Kanisius Teobaldus Deki
Dua
Pandangan Ekstrem Tentang Sokrates
Dalam seluruh perjalanan sejarah filsafat, tidak ada
filsuf yang begitu ramai dipersoalkan seperti Sokrates.[1] Berbagai
anggapan telah dikemukakan tentang kepribadian dan cara hidupnya. Ada dua
pandangan ekstrem yang bertentangan. Pada satu pihak, Sokrates harus dianggap
sebagai filsuf terbesar yang pernah hidup di dunia ini. Bersamaan dengan itu,
pada pihak lain, Sokrates sama sekali bukan filsuf jika hidup seorang filsuf
dipatokkan pada karya-karya tertulis, walaupun melalui Plato ia sangat
mempengaruhi perkembangan pemikiran filsafat. Ini saya sebut sebagai masalah
historis.[2]
Persoalan
Sumber
Sokrates
sendiri tidak menulis satu karyapun.[3] Dari kenyataan ini, muncul
satu pertanyaan: Bagaimana kita bisa mengenal ajaran Sokrates? Sumber langsung
dari Sokrates tentang riwayat hidup dan karyanya tidak kita punyai. Maka untuk
menentukan pemikirannya kita harus mencari sumber lain yang memberikan
kesaksian tentang kepribadian dan cara hidup serta ajaran Sokrates. Meskipun
demikian, persoalan yang timbul adalah adanya perbedaan dalam pelukisan tentang
hidup dan aktivitas filsafatnya. Hal ini dimaklumi karena para penulis itu
tidak bermaksud menyajikan secara khusus riwayat hidupnya. Tentang kepribadian
Sokrates misalnya hanya dapat dikenal secara fragmentaris, tidak sistematis dan
tersebar dalam berbagai karya para filsuf.
Melihat adanya ketidaksamaan
pelukisan di atas tentang hidup dan karya Sokrates, timbul banyak pertanyaan,
seperti: Di manakah kita dapat menemukan Sokrates yang historis? Manakah sumber
yang paling bisa dipercayai? Dan apakah norma yang mengizinkan kita menentukan
kebenarannya? Beberapa sejarahwan berpendapat bahwa pertanyaan ini sulit
dijawab. Menurut mereka tidak mungkin melukiskan suatu gambaran tentang
Sokrates yang dibersihkan dari legenda dan imaginasi puitis. Dengan demikian
Sokrates yang historis tidak dapat dikenal. Berbeda dengan pandangan para ahli
tadi, ada sejarahwan yang bersikap lebih optimis tentang kemungkinan bagi ilmu
sejarah untuk memecahkan persoalan historis ini. Harus diakui, bahwa penjelasan
ini belum tentu memuaskan semua pihak. Namun yang paling penting ialah
bagaimana penjelasan itu bisa memberikan data yang paling kurang mendekati
fakta dan otentisitas historisnya.
Sumber-Sumber Tentang Sokrates[4]
Pada
bagian ini, sulit bagi kita untuk mendapatkan suatu pembahasan yang lengkap dan
teliti mengenai sumber yang digunakan tentang Sokrates. Ada empat sumber yang
bisa menjadi referensi bagi kita untuk menentukan riwayat hidup dan aktivitas
filsafat Sokrates. Keempat sumber ini masing-masing memberikan sumbangan yang
berarti dalam usaha untuk menyajikan dan menginterpretasi kembali kepribadian
dan ajaran - ajaran Sokrates.
·
Aristophanes
Aristophanes adalah seorang pengarang komedi terkenal di
Athena. Ia hidup sezaman dengan Sokrates. Komedi-komedi pada abad ke-5 membicarakan
dengan cara yang lucu peristiwa-peristiwa aktual, tokoh-tokoh dan
pikiran-pikiran yang lazim di kalangan para penonton Athena. Dalam dua karangan
komedinya ia menyebut Sokrates. Komedi pertama berjudul Burung-Burung dan Katak-katak. Komedi kedua berjudul Awan-awan. Komedi Awan-awan dipentaskan
untuk pertama kalinya pada tahun 423 dan Sokrates merupakan tokoh utama.
·
Xenophon
Sekitar tahun 430, Xenophon lahir di Athena dari kalangan
bangsawan. Selama beberapa waktu ia menjadi pengikut Sokrates. Kita hanya bisa
mengetahui bahwa pergaulannya dengan Sokrates selambat-lambatnya terjadi sampai
tahun 401. Pada tahun yang sama ia meninggalkan kota Athena untuk mengikuti
perjalanan militer Kyrios Muda, putera raja Parsi Darios II. Pada masa pasca
perang ia bertindak selaku jendral di luar Athena dan agaknya ia tidak menetap
lagi di kota ini.
Xenophon menulis beberapa karangan. Dalam karangannya itu
Sokrates mendapat peranan. Semua karangan itu ditulis pada tahun-tahun terakhir
hidupnya (360-350). Karangan yang terpenting ialah Memorabilia (Kenang-Kenangan akan Sokrates), yang meliputi berbagai
tulisan kecil mengenai Sokrates, antara lain beberapa percakapan Sokrates
dengan kawan-kawannya. Pada permulaan percakapan-percakapan itu Xenophon sering
kali mengatakan bahwa ia sendiri hadir ketika wawancara itu berlangsung.
·
Plato
Plato lahir tahun 428/7 di Athena. Ia mengenal Sokrates
sejak kanak-kanak dan menjadi pengikut Sokrates sampai kematiannya tahun 399.
Plato mengarang dialog-dialog. Dalam semua dialog itu, Sokrates bercakap-cakap
dengan orang lain, kecuali dalam karya yang berjudul Nomoi nama Sokrates tidak disebutkan. Dalam kebanyakan dialognya,
Sokrates adalah pelaku utama. Dari Plato sering kita temukan juga detail
mengenai riwayat hidup Sokrates dan kepribadiannya. Kalau kita memperhatikan
cara Plato melukiskan gurunya, sangat jelas terlihat bahwa Plato sebenarnya
menaruh rasa kagum yang besar padanya. Plato menganggap Sokrates sebagai guru
istimewa, yang tak henti-hentinya mencari kebenaran, karena ia berkeyakinan
bahwa hanya pengetahuan tentang “yang baik” dapat menghantar manusia kepada
kebahagiaan.
·
Aristoteles
Aristoteles lahir 15 tahun sesudah Sokrates meninggal.
Dengan itu dalam karangan-karangannya kita tidak bisa menemukan kesaksian
langsung mengenai Sokrates. Meskipun demikian, itu tidak berarti bahwa
Aristoteles tidak sanggup memberikan informasi yang sangat berguna untuk
memecahkan problem-probelem historis tentang Sokrates. Selama 20 tahun Aristoteles
adalah murid Plato. Ia pasti mendengar banyak hal tentang Sokrates dari Plato,
terutama menyangkut hidup dan ajarannya. Dalam karya-karya Aristoteles, kerap
kali ia membuat ikhtisar ajaran para filsuf pendahulunya. Dalam konteks ini
beberapa kali ia juga menyinggung ajaran Sokrates. Satu pemberitahuan yang
dapat dibaca dalam karya-karya Aristoteles, oleh banyak ahli filsafat dianggap
sangat penting.[5] Data-data
menyangkut kehidupan Sokrates jarang ditemui dalam karang-karangan Aristoteles.
Tinjauan
Atas Sumber
Setelah
kita menampilkan sumber-sumber yang bisa menunjukkan historisitas tokoh
Sokrates, kita dihadapkan dengan satu pertanyaan: Bagaimana sumber-sumber ini
dinilai? Pertanyaan ini telah coba dijawab dengan berbagai macam cara. Ada ahli
yang mementingkan Xenophon, ada yang mementingkan Plato dan ada pula yang lebih
mementingkan Aristoteles sebagai referensi utama untuk menentukan riwayat hidup
dan ajaran Sokrates. Sudah nyata bahwa komedi-komedi Aristophanes tidak banyak
membantu untuk menentukan ajaran Sokrates. Meskipun demikian, dari perspektif
historis, karya-karya Aristophanes juga memiliki arti. Melalui komedi-komedi
itu dapat disimpulkan bahwa Sokrates adalah salah satu figur terkenal di Athena
sekitar tahun 420. Selain itu beberapa ciri yang diperkenalkan Aristophanes
harus dianggap historis. Alasannya jelas, jika ia tidak menggambarkan ciri
historisnya Sokrates tidak dikenal oleh masyarakat Athena.
Berbeda dengan abad-abad
sebelumnya, pada abad ke-19 kebanyakan ahli berpendapat bahwa Xenophon harus
dipandang sebagai nara sumber yang utama. Dengan demikian mereka menolak Plato
murid Sokrates, yang juga adalah saksi mata terdekat tentang cara hidup dan
ajaran filosofis Sokrates. Keberatan mereka beralasan atas dasar pandangan bahwa
Plato adalah sastrawan yang mempunyai imaginasi puitis yang luar biasa dan
seorang filsuf yang genial. Karena kepiwaiannya, ia mengulas ajaran Sokrates
sebagai pikirannya sendiri. Sebagai tokoh dalam dialog-dialog Plato, peran
Sokrates hanya sebatas juru bicara
Plato. Sedangkan Xenophon tidak berbakat dalam bidang filsafat sehingga tidak
diragukan bahwa ia tidak menambahkan pemikirannya pada ajaran Sokrates. Di
tangan Xenophon, ajaran Sokrates lebih original. Dengan alasan itulah dapat
diharapkan bahwa Xenophon akan menguraikan dengan seksama pikiran-pikiran
Sokrates yang historis. Berdasarkan kesaksian Xenophon, para ahli sejarah abad
ke-19 melihat Sokrates sebagai figur pembaharu dalam bidang susila serta moral
dan seorang pendidik yang memberikan nasihat kepada kaum muda. Untuk mereka
Sokrates adalah filsuf sejati.
Pemikiran para ahli sejarah abad ke-19 sudah
tidak diakui lagi pada zaman ini. Kebanyakan ahli pada zaman ini berpikir bahwa
justru karena Xenophon tidak begitu berbakat dalam bidang filsafat, harus disangsikan apakah ia mengenal dan
mengerti dengan baik ajaran gurunya. Keraguan lain terletak dalam rentang waktu
penulisan Xenophon yakni 40 tahun setelah Sokrates meninggal. Dalam
karangan-karangannya ia tidak menggambarkan dengan jelas mengenai Sokrates.
Dengan itu ada kesan bahwa kontak antara Sokrates dengan Xenophon tidak
sungguh-sungguh dekat. Kalau ia sendiri mengatakan bahwa ia hadir dalam
percakapan-percakapan Sokrates kesaksiannya itu tidak bisa dipahami secara
harfiah. Kesaksian-kesaksian semacam itu lazim diberikan dalam kesusastraan
kuno dan setiap orang pada zaman itu mengerti bahwa itu hanya suatu kebiasaan
saja. Pada Xenophon kadang-kadang kita dapat memastikan bahwa kesaksian serupa
itu tidak bisa dicocokkan dengan data-data lain. Beberapa kali juga dapat
dibuktikan bahwa Xenophon memperoleh informasi-informasinya dari sumber-sumber
tertulis lainnya, seperti Prodikos, Plato dan Isokrates.
Karena alasan-alasan itu,
sekarang ini Xenophon ditolak sebagai satu-satunya sumber untuk menentukan
ajaran Sokrates. Kebanyakan ahli, seperti Werner Jaeger, menggunakan secara
kritis semua sumber yang ada. Bertentangan dengan Xenophon, Plato lebih sanggup
memahami maksud Sokrates. Jikalau diadakan studi untuk membuktikan informasi
Plato mengenai kehidupan dan ajaran Sokrates dengan data-data yang berasal dari
sumber lain, maka kecermatan Plato harus diakui. Karena itu, dapat dikatakan
bahwa Plato dapat dipercaya untuk menentukan riwayat hidup Sokrates. Kesulitan
baru akan terasa bila kita menentukan ajaran filosofisnya: Apakah ajaran
Sokrates historis sama saja dengan apa yang disodorkan Sokrates dalam
dialog-dialog Plato? Dalam penjelasan pada bagian terdahulu, Aristoteles
menekankan bahwa teori mengenai idea-idea, yang dalam dialog - dialog Plato
dihubungkan dengan Sokrates tidak diajarkan Sokrates sendiri. Ini adalah salah
satu cara yang digunakan Plato untuk mengembangkan dan melanjutkan
pikiran-pikiran Sokrates. Kesaksian Aristoteles itu memberikan kepada kita
suatu norma untuk menetapkan apa yang ditambahkan Plato sendiri pada ajaran
gurunya. Tetapi menyangkut titik ajaran lain yang diuraikan Sokrates dalam
dialog-dialog Plato, boleh diandaikan bahwa itu memang dianut oleh Sokrates
historis. Apologia dan dialog-dialog
pertama berasal dari Sokrates historis. Dalam dialog yang ditulis Plato pada
usia lanjut, peran Sokrates sudah semakin berkurang. Bahkan dalam tulisannya
yang terakhir, Nomoi, Sokrates sama
sekali tidak disebut.
Sokrates dan Kaum Sofis[6]
Jika ditelusuri sepintas, ajaran Sokrates tidak berbeda
jauh dengan kaum Sofis. Bisa terjadi bahwa pengamatan yang tidak mendalam
mengakibatkan kita kurang bisa melihat perbedaan di antara mereka. Jika kita
tidak memiliki sumber lain, seperti dari komedi Aristophanes misalnya, tentu
tidak ada alasan bahwa Sokrates berbeda dengan para pemikir lainnya, dalam hal
ini kaum Sofis. Sebagaimana para Sofis, Sokratespun berbalik dari filsafat
alam. Pada periode kaum Sofis dan Sokrates, manusia sebagai mikrokosmos dengan
segala peradaban dan kebudayaannya baru menjadi tema atau obyek refleksi
filosofis. Cicero
mengatakan dalam Tusculan Disputations V,
4, 10, sebagai berikut: “Socrates was
the first to call philosophy down from the heavens” (Sokrates adalah yang
pertama memindahkan filsafat dari langit ke bumi).[7]
Mereka juga sama-sama memilih manusia sebagai obyek penyelidikannya dan
memandang manusia lebih kurang sebagai makhluk yang mengenal, yang harus
mengatur tingkah lakunya sendiri dan yang hidup dalam suatu kelompok
masyarakat. Mereka juga memulai filsafatnya dengan bertitik
tolak dari pengalaman sehari-hari, dari kehidupan konkret.
Perbedaan yang paling mendasar
antara kaum Sofis dan Sokrates yakni Sokrates tidak menyetujui relativisme yang
terdapat pada kaum Sofis.[8] Sokrates
mengatakan bahwa ada kebenaran obyektif.[9] Kebenaran
yang dimaksudnya ialah bagaimana manusia bisa melihat adanya kesesuaian antara
apa yang dipikirkan dengan apa yang ada dalam kenyataan. Sokrates tidak hanya
mencurahkan pemikirannya dalam bidang teoretis. Dalam kenyataannya ia hanya
memperhatikan hidup praktis saja, yakni tingkah laku manusia. Menurut Sokrates,
tidak semua tingkah laku dapat diberi penilaian baik. Ada kelakuan yang baik
dan ada kelakuan yang buruk. Ada tindakan yang pantas dilakukan, dan ada
tindakan yang tidak dibolehkan karena jelek. Sokrates memiliki keyakinan bahwa
berbuat jahat merupakan suatu kemalangan bagi manusia dan berbuat baik
merupakan satu-satunya kebahagiaan baginya.[10] Berdasarkan
keyakinan ini, Sokrates lalu bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan seperti:
Apakah hidup yang baik itu? Apakah kebaikan itu mengakibatkan kebahagiaan bagi
manusia? Apakah norma yang mengizinkan kita menetapkan baik buruknya suatu
perbuatan? Pertanyaan-pertanyaan ini mendasari seluruh pencaharian
filosofisnya.
[1]
I.F. Stone membuat paralelisme antara pengadilan Sokrates dengan Yesus. Kedua
pengadilan itu sungguh memiliki pengaruh yang sangat besar dan kuat bagi
manusia sepanjang sejarahnya. Kedua pengadilan itu juga memiliki kemiripan, terutama
mereka mati sama-sama karena kebenaran. Bdk. Rahma Asa Harun, Op. Cit., p. 1.
[2] F. Copleston Op. Cit., pp. 120-124.
[3] Leslie
Stevenson & David L. Haberman, Sepuluh
Teori Hakikat Manusia, diterjemahkan oleh Yudi Santoso & Saut
Pasaribu (Yogyakarta, 2001), pp. 135-136.
[4]
Guthrie, Op. Cit., pp. 5-57.
[5] Yang
kami maksudkan ialah bahwa Aristoteles beberapa kali menekankan bahwa teori
mengenai idea-idea berasal dari Plato dan belum terdapat dalam pemikiran
Sokrates. Dalam beberapa dialog Plato, teori ini dikemukakan oleh Sokrates yang
bertindak sebagai pelaku utama dalam dialog-dialog itu, sehingga kita mendapat
kesan bahwa teori-teori itu sudah dianut oleh Sokrates sendiri. Bdk.
Bertens, Op Cit., p. 79.
[6] Frans Ceunfin, Op.
Cit., pp. 23-24.
[7] Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy (New York: The Macmillan Company
& The Free Press, 1967), pp. 483-484.
[8]
Pandangan tentang relativisme para Sofis misalnya tercermin dalam pikiran
Protagoras, salah satu tokoh terkenal kaum Sofis. Ia mengatakan bahwa segala
sesuatu bersifat relatif. Tidak ada kebenaran-kebenaran mutlak, tidak ada
nilai-nilai moral mutlak. Yang ada hanyalah yang lebih berguna, lebih
menyenangkan dan lebih menguntungkan. Orang bijaksana ialah orang yang tahu
bahwa yang relatif lebih beguna. K.
Bertens, Op. Cit., p. 25.
[9] William A. Wallace, The Elements of Philosophy (New
York: Alba Hause, 1977), pp. 281-282.
[10] Charles H. Patterson, Western Philosophy I (Nebraska:
Cliff’s Notes Inc, 1970), p. 15.
No comments:
Post a Comment