Friday, 5 October 2018

Sokrates Sebagai Masalah Historis


Kanisius Teobaldus Deki



Dua Pandangan Ekstrem Tentang Sokrates
            Dalam seluruh perjalanan sejarah filsafat, tidak ada filsuf yang begitu ramai dipersoalkan seperti Sokrates.[1] Berbagai anggapan telah dikemukakan tentang kepribadian dan cara hidupnya. Ada dua pandangan ekstrem yang bertentangan. Pada satu pihak, Sokrates harus dianggap sebagai filsuf terbesar yang pernah hidup di dunia ini. Bersamaan dengan itu, pada pihak lain, Sokrates sama sekali bukan filsuf jika hidup seorang filsuf dipatokkan pada karya-karya tertulis, walaupun melalui Plato ia sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran filsafat. Ini saya sebut sebagai masalah historis.[2]

Persoalan Sumber
            Sokrates sendiri tidak menulis satu karyapun.[3] Dari kenyataan ini, muncul satu pertanyaan: Bagaimana kita bisa mengenal ajaran Sokrates? Sumber langsung dari Sokrates tentang riwayat hidup dan karyanya tidak kita punyai. Maka untuk menentukan pemikirannya kita harus mencari sumber lain yang memberikan kesaksian tentang kepribadian dan cara hidup serta ajaran Sokrates. Meskipun demikian, persoalan yang timbul adalah adanya perbedaan dalam pelukisan tentang hidup dan aktivitas filsafatnya. Hal ini dimaklumi karena para penulis itu tidak bermaksud menyajikan secara khusus riwayat hidupnya. Tentang kepribadian Sokrates misalnya hanya dapat dikenal secara fragmentaris, tidak sistematis dan tersebar dalam berbagai karya para filsuf.
           
Melihat adanya ketidaksamaan pelukisan di atas tentang hidup dan karya Sokrates, timbul banyak pertanyaan, seperti: Di manakah kita dapat menemukan Sokrates yang historis? Manakah sumber yang paling bisa dipercayai? Dan apakah norma yang mengizinkan kita menentukan kebenarannya? Beberapa sejarahwan berpendapat bahwa pertanyaan ini sulit dijawab. Menurut mereka tidak mungkin melukiskan suatu gambaran tentang Sokrates yang dibersihkan dari legenda dan imaginasi puitis. Dengan demikian Sokrates yang historis tidak dapat dikenal. Berbeda dengan pandangan para ahli tadi, ada sejarahwan yang bersikap lebih optimis tentang kemungkinan bagi ilmu sejarah untuk memecahkan persoalan historis ini. Harus diakui, bahwa penjelasan ini belum tentu memuaskan semua pihak. Namun yang paling penting ialah bagaimana penjelasan itu bisa memberikan data yang paling kurang mendekati fakta dan otentisitas historisnya.

Sumber-Sumber Tentang Sokrates[4]
            Pada bagian ini, sulit bagi kita untuk mendapatkan suatu pembahasan yang lengkap dan teliti mengenai sumber yang digunakan tentang Sokrates. Ada empat sumber yang bisa menjadi referensi bagi kita untuk menentukan riwayat hidup dan aktivitas filsafat Sokrates. Keempat sumber ini masing-masing memberikan sumbangan yang berarti dalam usaha untuk menyajikan dan menginterpretasi kembali kepribadian dan ajaran - ajaran Sokrates.

·        Aristophanes
            Aristophanes adalah seorang pengarang komedi terkenal di Athena. Ia hidup sezaman dengan Sokrates. Komedi-komedi pada abad ke-5 membicarakan dengan cara yang lucu peristiwa-peristiwa aktual, tokoh-tokoh dan pikiran-pikiran yang lazim di kalangan para penonton Athena. Dalam dua karangan komedinya ia menyebut Sokrates. Komedi pertama berjudul Burung-Burung dan Katak-katak. Komedi kedua berjudul Awan-awan. Komedi Awan-awan dipentaskan untuk pertama kalinya pada tahun 423 dan Sokrates merupakan tokoh utama.

·        Xenophon
            Sekitar tahun 430, Xenophon lahir di Athena dari kalangan bangsawan. Selama beberapa waktu ia menjadi pengikut Sokrates. Kita hanya bisa mengetahui bahwa pergaulannya dengan Sokrates selambat-lambatnya terjadi sampai tahun 401. Pada tahun yang sama ia meninggalkan kota Athena untuk mengikuti perjalanan militer Kyrios Muda, putera raja Parsi Darios II. Pada masa pasca perang ia bertindak selaku jendral di luar Athena dan agaknya ia tidak menetap lagi di kota ini.   
            Xenophon menulis beberapa karangan. Dalam karangannya itu Sokrates mendapat peranan. Semua karangan itu ditulis pada tahun-tahun terakhir hidupnya (360-350). Karangan yang terpenting ialah Memorabilia (Kenang-Kenangan akan Sokrates), yang meliputi berbagai tulisan kecil mengenai Sokrates, antara lain beberapa percakapan Sokrates dengan kawan-kawannya. Pada permulaan percakapan-percakapan itu Xenophon sering kali mengatakan bahwa ia sendiri hadir ketika wawancara itu berlangsung.

·        Plato
            Plato lahir tahun 428/7 di Athena. Ia mengenal Sokrates sejak kanak-kanak dan menjadi pengikut Sokrates sampai kematiannya tahun 399. Plato mengarang dialog-dialog. Dalam semua dialog itu, Sokrates bercakap-cakap dengan orang lain, kecuali dalam karya yang berjudul Nomoi nama Sokrates tidak disebutkan. Dalam kebanyakan dialognya, Sokrates adalah pelaku utama. Dari Plato sering kita temukan juga detail mengenai riwayat hidup Sokrates dan kepribadiannya. Kalau kita memperhatikan cara Plato melukiskan gurunya, sangat jelas terlihat bahwa Plato sebenarnya menaruh rasa kagum yang besar padanya. Plato menganggap Sokrates sebagai guru istimewa, yang tak henti-hentinya mencari kebenaran, karena ia berkeyakinan bahwa hanya pengetahuan tentang “yang baik” dapat menghantar manusia kepada kebahagiaan.

·        Aristoteles
            Aristoteles lahir 15 tahun sesudah Sokrates meninggal. Dengan itu dalam karangan-karangannya kita tidak bisa menemukan kesaksian langsung mengenai Sokrates. Meskipun demikian, itu tidak berarti bahwa Aristoteles tidak sanggup memberikan informasi yang sangat berguna untuk memecahkan problem-probelem historis tentang Sokrates. Selama 20 tahun Aristoteles adalah murid Plato. Ia pasti mendengar banyak hal tentang Sokrates dari Plato, terutama menyangkut hidup dan ajarannya. Dalam karya-karya Aristoteles, kerap kali ia membuat ikhtisar ajaran para filsuf pendahulunya. Dalam konteks ini beberapa kali ia juga menyinggung ajaran Sokrates. Satu pemberitahuan yang dapat dibaca dalam karya-karya Aristoteles, oleh banyak ahli filsafat dianggap sangat penting.[5] Data-data menyangkut kehidupan Sokrates jarang ditemui dalam karang-karangan Aristoteles.

Tinjauan Atas Sumber
            Setelah kita menampilkan sumber-sumber yang bisa menunjukkan historisitas tokoh Sokrates, kita dihadapkan dengan satu pertanyaan: Bagaimana sumber-sumber ini dinilai? Pertanyaan ini telah coba dijawab dengan berbagai macam cara. Ada ahli yang mementingkan Xenophon, ada yang mementingkan Plato dan ada pula yang lebih mementingkan Aristoteles sebagai referensi utama untuk menentukan riwayat hidup dan ajaran Sokrates. Sudah nyata bahwa komedi-komedi Aristophanes tidak banyak membantu untuk menentukan ajaran Sokrates. Meskipun demikian, dari perspektif historis, karya-karya Aristophanes juga memiliki arti. Melalui komedi-komedi itu dapat disimpulkan bahwa Sokrates adalah salah satu figur terkenal di Athena sekitar tahun 420. Selain itu beberapa ciri yang diperkenalkan Aristophanes harus dianggap historis. Alasannya jelas, jika ia tidak menggambarkan ciri historisnya Sokrates tidak dikenal oleh masyarakat Athena.
           
Berbeda dengan abad-abad sebelumnya, pada abad ke-19 kebanyakan ahli berpendapat bahwa Xenophon harus dipandang sebagai nara sumber yang utama. Dengan demikian mereka menolak Plato murid Sokrates, yang juga adalah saksi mata terdekat tentang cara hidup dan ajaran filosofis Sokrates. Keberatan mereka beralasan atas dasar pandangan bahwa Plato adalah sastrawan yang mempunyai imaginasi puitis yang luar biasa dan seorang filsuf yang genial. Karena kepiwaiannya, ia mengulas ajaran Sokrates sebagai pikirannya sendiri. Sebagai tokoh dalam dialog-dialog Plato, peran Sokrates  hanya sebatas juru bicara Plato. Sedangkan Xenophon tidak berbakat dalam bidang filsafat sehingga tidak diragukan bahwa ia tidak menambahkan pemikirannya pada ajaran Sokrates. Di tangan Xenophon, ajaran Sokrates lebih original. Dengan alasan itulah dapat diharapkan bahwa Xenophon akan menguraikan dengan seksama pikiran-pikiran Sokrates yang historis. Berdasarkan kesaksian Xenophon, para ahli sejarah abad ke-19 melihat Sokrates sebagai figur pembaharu dalam bidang susila serta moral dan seorang pendidik yang memberikan nasihat kepada kaum muda. Untuk mereka Sokrates adalah filsuf sejati.
           
Pemikiran para ahli sejarah abad ke-19 sudah tidak diakui lagi pada zaman ini. Kebanyakan ahli pada zaman ini berpikir bahwa justru karena Xenophon tidak begitu berbakat dalam bidang filsafat,  harus disangsikan apakah ia mengenal dan mengerti dengan baik ajaran gurunya. Keraguan lain terletak dalam rentang waktu penulisan Xenophon yakni 40 tahun setelah Sokrates meninggal. Dalam karangan-karangannya ia tidak menggambarkan dengan jelas mengenai Sokrates. Dengan itu ada kesan bahwa kontak antara Sokrates dengan Xenophon tidak sungguh-sungguh dekat. Kalau ia sendiri mengatakan bahwa ia hadir dalam percakapan-percakapan Sokrates kesaksiannya itu tidak bisa dipahami secara harfiah. Kesaksian-kesaksian semacam itu lazim diberikan dalam kesusastraan kuno dan setiap orang pada zaman itu mengerti bahwa itu hanya suatu kebiasaan saja. Pada Xenophon kadang-kadang kita dapat memastikan bahwa kesaksian serupa itu tidak bisa dicocokkan dengan data-data lain. Beberapa kali juga dapat dibuktikan bahwa Xenophon memperoleh informasi-informasinya dari sumber-sumber tertulis lainnya, seperti Prodikos, Plato dan Isokrates.
           
Karena alasan-alasan itu, sekarang ini Xenophon ditolak sebagai satu-satunya sumber untuk menentukan ajaran Sokrates. Kebanyakan ahli, seperti Werner Jaeger, menggunakan secara kritis semua sumber yang ada. Bertentangan dengan Xenophon, Plato lebih sanggup memahami maksud Sokrates. Jikalau diadakan studi untuk membuktikan informasi Plato mengenai kehidupan dan ajaran Sokrates dengan data-data yang berasal dari sumber lain, maka kecermatan Plato harus diakui. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Plato dapat dipercaya untuk menentukan riwayat hidup Sokrates. Kesulitan baru akan terasa bila kita menentukan ajaran filosofisnya: Apakah ajaran Sokrates historis sama saja dengan apa yang disodorkan Sokrates dalam dialog-dialog Plato? Dalam penjelasan pada bagian terdahulu, Aristoteles menekankan bahwa teori mengenai idea-idea, yang dalam dialog - dialog Plato dihubungkan dengan Sokrates tidak diajarkan Sokrates sendiri. Ini adalah salah satu cara yang digunakan Plato untuk mengembangkan dan melanjutkan pikiran-pikiran Sokrates. Kesaksian Aristoteles itu memberikan kepada kita suatu norma untuk menetapkan apa yang ditambahkan Plato sendiri pada ajaran gurunya. Tetapi menyangkut titik ajaran lain yang diuraikan Sokrates dalam dialog-dialog Plato, boleh diandaikan bahwa itu memang dianut oleh Sokrates historis. Apologia dan dialog-dialog pertama berasal dari Sokrates historis. Dalam dialog yang ditulis Plato pada usia lanjut, peran Sokrates sudah semakin berkurang. Bahkan dalam tulisannya yang terakhir, Nomoi, Sokrates sama sekali tidak disebut.


Sokrates dan Kaum Sofis[6]
            Jika ditelusuri sepintas, ajaran Sokrates tidak berbeda jauh dengan kaum Sofis. Bisa terjadi bahwa pengamatan yang tidak mendalam mengakibatkan kita kurang bisa melihat perbedaan di antara mereka. Jika kita tidak memiliki sumber lain, seperti dari komedi Aristophanes misalnya, tentu tidak ada alasan bahwa Sokrates berbeda dengan para pemikir lainnya, dalam hal ini kaum Sofis. Sebagaimana para Sofis, Sokratespun berbalik dari filsafat alam. Pada periode kaum Sofis dan Sokrates, manusia sebagai mikrokosmos dengan segala peradaban dan kebudayaannya baru menjadi tema atau obyek refleksi filosofis. Cicero mengatakan dalam Tusculan Disputations V, 4, 10, sebagai berikut: “Socrates was the first to call philosophy down from the heavens” (Sokrates adalah yang pertama memindahkan filsafat dari langit ke bumi).[7] Mereka juga sama-sama memilih manusia sebagai obyek penyelidikannya dan memandang manusia lebih kurang sebagai makhluk yang mengenal, yang harus mengatur tingkah lakunya sendiri dan yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat. Mereka juga memulai filsafatnya dengan bertitik tolak dari pengalaman sehari-hari, dari kehidupan konkret.
           
Perbedaan yang paling mendasar antara kaum Sofis dan Sokrates yakni Sokrates tidak menyetujui relativisme yang terdapat pada kaum Sofis.[8] Sokrates mengatakan bahwa ada kebenaran obyektif.[9] Kebenaran yang dimaksudnya ialah bagaimana manusia bisa melihat adanya kesesuaian antara apa yang dipikirkan dengan apa yang ada dalam kenyataan. Sokrates tidak hanya mencurahkan pemikirannya dalam bidang teoretis. Dalam kenyataannya ia hanya memperhatikan hidup praktis saja, yakni tingkah laku manusia. Menurut Sokrates, tidak semua tingkah laku dapat diberi penilaian baik. Ada kelakuan yang baik dan ada kelakuan yang buruk. Ada tindakan yang pantas dilakukan, dan ada tindakan yang tidak dibolehkan karena jelek. Sokrates memiliki keyakinan bahwa berbuat jahat merupakan suatu kemalangan bagi manusia dan berbuat baik merupakan satu-satunya kebahagiaan baginya.[10] Berdasarkan keyakinan ini, Sokrates lalu bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah hidup yang baik itu? Apakah kebaikan itu mengakibatkan kebahagiaan bagi manusia? Apakah norma yang mengizinkan kita menetapkan baik buruknya suatu perbuatan? Pertanyaan-pertanyaan ini mendasari seluruh pencaharian filosofisnya.



                [1] I.F. Stone membuat paralelisme antara pengadilan Sokrates dengan Yesus. Kedua pengadilan itu sungguh memiliki pengaruh yang sangat besar dan kuat bagi manusia sepanjang sejarahnya. Kedua pengadilan itu juga memiliki kemiripan, terutama mereka mati sama-sama karena kebenaran. Bdk.  Rahma Asa Harun, Op. Cit., p. 1.
[2] F. Copleston Op. Cit., pp. 120-124.
[3] Leslie Stevenson & David L. Haberman, Sepuluh Teori Hakikat Manusia, diterjemahkan oleh Yudi Santoso & Saut Pasaribu (Yogyakarta, 2001), pp. 135-136.





[4] Guthrie, Op. Cit., pp. 5-57.

[5] Yang kami maksudkan ialah bahwa Aristoteles beberapa kali menekankan bahwa teori mengenai idea-idea berasal dari Plato dan belum terdapat dalam pemikiran Sokrates. Dalam beberapa dialog Plato, teori ini dikemukakan oleh Sokrates yang bertindak sebagai pelaku utama dalam dialog-dialog itu, sehingga kita mendapat kesan bahwa teori-teori itu sudah dianut oleh Sokrates sendiri. Bdk. Bertens, Op Cit., p. 79.
[6] Frans  Ceunfin, Op. Cit., pp. 23-24.
[7] Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy (New York: The Macmillan Company & The Free Press, 1967), pp. 483-484.
[8] Pandangan tentang relativisme para Sofis misalnya tercermin dalam pikiran Protagoras, salah satu tokoh terkenal kaum Sofis. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu bersifat relatif. Tidak ada kebenaran-kebenaran mutlak, tidak ada nilai-nilai moral mutlak. Yang ada hanyalah yang lebih berguna, lebih menyenangkan dan lebih menguntungkan. Orang bijaksana ialah orang yang tahu bahwa yang relatif lebih beguna. K. Bertens, Op. Cit., p. 25.
[9] William A. Wallace, The Elements of Philosophy (New York: Alba Hause, 1977), pp. 281-282.
[10] Charles H. Patterson, Western Philosophy I (Nebraska: Cliff’s Notes Inc, 1970), p. 15.

No comments:

Post a Comment