Friday, 12 October 2018

Definisi Universal: Metode Sokrates (1)

Kanisius Teobaldus Deki



          Sokrates memang tidak menyajikan suatu ajaran sistematis. Meskipun ia tidak membukukan karangannya tentu ia memiliki satu metode tersendiri, yang menjadi sarana untuk mengungkapkan pikiran dan gagasannya. Beberapa sumber yang memberikan informasi mengenai ajarannya sepakat bahwa Sokrates menggunakan metode tertentu.
         
Aristoteles dalam bukunya tentang Metafisika, mengemukakan bahwa ada dua penemuan dalam ilmu pengetahuan yang berasal dari Sokrates. Kedua penemuan itu menyangkut dasar ilmu pengetahuan sendiri. Pada satu pihak ia menemukan “induksi” atau “argumentasi induktif” dan pada pihak yang lain ia mengintroduksi “definisi-definisi universal”[1]

          Kemajuan dalam bidang ini hendaknya dipahami dalam hubungan dengan pernyataan-pernyataan  bahwa Sokrates tidak membuat unsur-unsur universal atau definisi yang berdiri sendiri walaupun para pendahulunya telah memberikan kepada definisi-definisi tersebut eksistensi tersendiri.
         
Berkaitan dengan hal itu, Sokrates mengarahkan perhatiannya pada definisi-definisi universal, yaitu pada “pencapaian konsep yang benar”. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa kaum Sofis mengemukakan doktrin-doktrin relativistik, sehingga mereka menolak kebenaran (validitas) yang penting dan universal. Berbeda dengan mereka, Sokrates berhadapan dengan fakta bahwa konsep universal tetap sama: hal-hal yang partikular mungkin bermacam-macam, tetapi definisi-definisi tetap sama. Ide ini bisa dijelaskan dengan contoh berikut. Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai animal rationale (binatang berakal budi). Setiap manusia berbeda dalam bakat-bakat: ada yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, sedangkan yang lain memiliki kemampuan intelektual yang rendah. Ada orang yang menuntun kehidupannya menurut akal budi, sedangkan orang-orang lain bersikap pasrah pada instink tanpa berpikir dan mengabaikan impuls-impuls. Ada banyak orang yang tidak menikmati penggunaan akal budinya secara bebas, entah karena mereka sedang tidur atau karena mereka sedang mengalami defective mental.[2] Akan tetapi semua makhluk yang memiliki kemampuan akal budi, entah mereka mempergunakannya secara bebas atau dihalangi oleh cacat-cacat organ tertentu, adalah manusia. Di sini definisi tentang manusia terpenuhi atau berlaku terhadap mereka. Jika manusia, maka itu adalah rational man; jika ada rational animal, maka itu adalah manusia.[3] Perlu diingat bahwa di sini kita tidak dapat mempersoalkan atau mendiskusikan status yang tepat atau referensi obyektif tentang gagasan atau ide-ide kita yang generik dan spesifik. Di sini kita ingin menunjukkan perlawanan antara yang partikular dan universal, dan menjelaskan karakter yang konstan dari definisi. Memang beberapa pemikir mempertahankan bahwa konsep universal itu sungguh-sungguh obyektif, namun sangat sulit melihat bagaimana kita bisa membentuk ide-ide universal semacam itu dan mengapa kita terdorong untuk membentuk ide-ide itu. Tentu sekurang-kurangnya harus ada suatu dasar bagi mereka dalam kenyataan. Kembali kepada hal yang terakhir di atas, yakni pertanyaan tentang referensi obyektif dan status metafisis dari ide-ide universal kita bisa melihat adanya relasi yang sangat erat antara keduanya. Berhubungan dengan itu, konsep atau definisi universal menghadapkan kita pada sesuatu yang konstan sebagai karakteristik yang dimilikinya. Maka, meskipun semua manusia dinodai eksistensinya, definisi tentang manusia sebagai being yang rasional akan tetap berlaku.
         
Hal yang serupa terjadi jika kita mengatakan tentang sepotong emas bahwa itu emas murni. Ungkapan ini secara implisit ingin menjelaskan bahwa definisi emas, baik standar maupun kriteria universalnya, berlaku dalam sepotong emas itu. Hal ini juga berlaku  bila dikatakan tentang sesuatu yang memiliki keindahan. Tak ada satu benda partikular pun yang secara sempurna indah kalau ia tidak mengambil bagian dalam keindahan itu sendiri. Bila benda itu lenyap maka ide keindahan masih tetap ada. Akal budi berpikir tentang dua jenis obyek yang berbeda kalau ia berpikir tentang sesuatu. Misalnya, suatu bunga yang indah membawa orang kepada pemikiran akan bunga tertentu atau suatu contoh tunggal atau yang mengambil bagian dalam ide universal keindahan. Kenyataan bahwa akal budi membuat distinksi antara keduanya itulah yang disebut proses definisi. Proses definisi harus mengarah kepada konsep yang jelas dan pasti.
         
Dengan cara membuat definisi, Sokrates berhasil memperlihatkan bahwa pengetahuan yang benar bukan hanya sekedar melakukan inspeksi tentang realitas, melainkan pengetahuan yang benar harus berurusan dengan daya akal budi untuk menemukan elemen-elemen yang tetap atau abadi, meskipun fakta-faktanya lenyap. Konsepnya tentang manusia memberikan dasar yang kuat untuk berpikir lebih dalam tentang manusia. Demikian halnya, walaupun budaya berbeda-beda, hukum aktual dan hukum moral berbeda, namun ide mengenai hukum, keadilan dan kebaikan tetap dimengerti dalam konsep definisi universal seperti ide tentang manusia. Hal ini menjadi mungkin karena definisi menemukan hakekat yang terdapat pada setiap hukum, keadilan dan kebaikan.
         
Dengan demikian, definisi menjadi mungkin hanya karena ada suatu yang tetap dan konstan dalam sesuatu, yakni hakekatnya[4]. Bagi Sokrates definisi merupakan instrumen untuk memperoleh pemikiran yang jelas dan benar tentang hakekat sesuatu.



[1] Kees  Bertens, Op. Cit., p. 87. Bdk. L. Mare, Op. Cit., p. 78.
[2]Defective mental” di sini berarti kerusakan mental atau sakit jiwa.
[3] Aristoteles melanjutkan pembagian yang dibuat Plato tentang manusia yakni manusia pada hakikatnya sebagai satu kesatuan pikiran, kehendak dan nafsu-nafsu. Namun pandangan Aristoteles tentang jiwa sebagai forma tubuh menganjurkan satu kesatuan organik, yang dapat didefinisikan sebagai “makhluk rasional”. Laurens Bagus, Op. Cit., p. 565.
[4] Guthrie, Op. Cit., p. 122.


No comments:

Post a Comment