Kanisius Teobaldus Deki
Sokrates memang tidak menyajikan suatu
ajaran sistematis. Meskipun ia tidak membukukan karangannya tentu ia memiliki
satu metode tersendiri, yang menjadi sarana untuk mengungkapkan pikiran dan
gagasannya. Beberapa sumber yang memberikan informasi mengenai ajarannya
sepakat bahwa Sokrates menggunakan metode tertentu.
Aristoteles
dalam bukunya tentang Metafisika,
mengemukakan bahwa ada dua penemuan dalam ilmu pengetahuan yang berasal dari
Sokrates. Kedua penemuan itu menyangkut dasar ilmu pengetahuan sendiri. Pada
satu pihak ia menemukan “induksi” atau “argumentasi induktif” dan pada pihak
yang lain ia mengintroduksi “definisi-definisi universal”[1]
Kemajuan
dalam bidang ini hendaknya dipahami dalam hubungan dengan
pernyataan-pernyataan bahwa Sokrates
tidak membuat unsur-unsur universal atau definisi yang berdiri sendiri walaupun
para pendahulunya telah memberikan kepada definisi-definisi tersebut eksistensi
tersendiri.
Berkaitan
dengan hal itu, Sokrates mengarahkan perhatiannya pada definisi-definisi
universal, yaitu pada “pencapaian konsep yang benar”. Sebagaimana telah
disinggung di atas bahwa kaum Sofis mengemukakan doktrin-doktrin relativistik,
sehingga mereka menolak kebenaran (validitas) yang penting dan universal.
Berbeda dengan mereka, Sokrates berhadapan dengan fakta bahwa konsep universal
tetap sama: hal-hal yang partikular mungkin bermacam-macam, tetapi
definisi-definisi tetap sama. Ide ini bisa dijelaskan dengan contoh berikut.
Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai animal
rationale (binatang berakal budi). Setiap manusia berbeda dalam
bakat-bakat: ada yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, sedangkan yang
lain memiliki kemampuan intelektual yang rendah. Ada orang yang menuntun
kehidupannya menurut akal budi, sedangkan orang-orang lain bersikap pasrah pada
instink tanpa berpikir dan mengabaikan impuls-impuls. Ada banyak orang yang
tidak menikmati penggunaan akal budinya secara bebas, entah karena mereka sedang
tidur atau karena mereka sedang mengalami defective
mental.[2] Akan tetapi semua makhluk
yang memiliki kemampuan akal budi, entah mereka mempergunakannya secara bebas
atau dihalangi oleh cacat-cacat organ tertentu, adalah manusia. Di sini
definisi tentang manusia terpenuhi atau berlaku terhadap mereka. Jika manusia,
maka itu adalah rational man; jika
ada rational animal, maka itu adalah
manusia.[3] Perlu diingat bahwa di sini
kita tidak dapat mempersoalkan atau mendiskusikan status yang tepat atau referensi
obyektif tentang gagasan atau ide-ide kita yang generik dan spesifik. Di sini
kita ingin menunjukkan perlawanan antara yang partikular dan universal, dan
menjelaskan karakter yang konstan dari definisi. Memang beberapa pemikir
mempertahankan bahwa konsep universal itu sungguh-sungguh obyektif, namun
sangat sulit melihat bagaimana kita bisa membentuk ide-ide universal semacam
itu dan mengapa kita terdorong untuk membentuk ide-ide itu. Tentu
sekurang-kurangnya harus ada suatu dasar bagi mereka dalam kenyataan. Kembali
kepada hal yang terakhir di atas, yakni pertanyaan tentang referensi obyektif
dan status metafisis dari ide-ide universal kita bisa melihat adanya relasi
yang sangat erat antara keduanya. Berhubungan dengan itu, konsep atau definisi
universal menghadapkan kita pada sesuatu yang konstan sebagai karakteristik
yang dimilikinya. Maka, meskipun semua manusia dinodai eksistensinya, definisi
tentang manusia sebagai being yang
rasional akan tetap berlaku.
Hal yang
serupa terjadi jika kita mengatakan tentang sepotong emas bahwa itu emas murni.
Ungkapan ini secara implisit ingin menjelaskan bahwa definisi emas, baik
standar maupun kriteria universalnya, berlaku dalam sepotong emas itu. Hal ini
juga berlaku bila dikatakan tentang
sesuatu yang memiliki keindahan. Tak ada satu benda partikular pun yang secara
sempurna indah kalau ia tidak mengambil bagian dalam keindahan itu sendiri.
Bila benda itu lenyap maka ide keindahan masih tetap ada. Akal budi berpikir
tentang dua jenis obyek yang berbeda kalau ia berpikir tentang sesuatu.
Misalnya, suatu bunga yang indah membawa orang kepada pemikiran akan bunga
tertentu atau suatu contoh tunggal atau yang mengambil bagian dalam ide
universal keindahan. Kenyataan bahwa akal budi membuat distinksi antara
keduanya itulah yang disebut proses definisi. Proses definisi harus mengarah
kepada konsep yang jelas dan pasti.
Dengan cara
membuat definisi, Sokrates berhasil memperlihatkan bahwa pengetahuan yang benar
bukan hanya sekedar melakukan inspeksi tentang realitas, melainkan pengetahuan
yang benar harus berurusan dengan daya akal budi untuk menemukan elemen-elemen
yang tetap atau abadi, meskipun fakta-faktanya lenyap. Konsepnya tentang
manusia memberikan dasar yang kuat untuk berpikir lebih dalam tentang manusia.
Demikian halnya, walaupun budaya berbeda-beda, hukum aktual dan hukum moral
berbeda, namun ide mengenai hukum, keadilan dan kebaikan tetap dimengerti dalam
konsep definisi universal seperti ide tentang manusia. Hal ini menjadi mungkin
karena definisi menemukan hakekat yang terdapat pada setiap hukum, keadilan dan
kebaikan.
Dengan
demikian, definisi menjadi mungkin hanya karena ada suatu yang tetap dan
konstan dalam sesuatu, yakni hakekatnya[4]. Bagi Sokrates definisi
merupakan instrumen untuk memperoleh pemikiran yang jelas dan benar tentang
hakekat sesuatu.
[2] “Defective mental” di sini berarti
kerusakan mental atau sakit jiwa.
[3]
Aristoteles melanjutkan pembagian yang dibuat Plato tentang manusia yakni
manusia pada hakikatnya sebagai satu kesatuan pikiran, kehendak dan
nafsu-nafsu. Namun pandangan Aristoteles tentang jiwa sebagai forma tubuh
menganjurkan satu kesatuan organik, yang dapat didefinisikan sebagai “makhluk
rasional”. Laurens
Bagus, Op. Cit., p. 565.
[4] Guthrie, Op. Cit., p. 122.
No comments:
Post a Comment