Tuesday 9 March 2021

Sistem Ijon Sudah Pamit- Kisah Kelompok Tani Golo


 

Kanisius Teobaldus Deki


K

ampung Wune terletak di desa Golo, kecamatan Cibal. Kampung ini terletak di puncak bukit. Di bagian Selatan terdapat kawasan hutan Negara. Di hutan itu terdapat mata air yang memenuhi kebutuhan penduduk. Dari ketinggian, sejauh mata memandang terpampang di depan mata wilayah Benteng Jawa di Timur. Juga kampung Barang dan Laci terlihat begitu dekat.

Penduduk di kampung ini semuanya bertani. Mereka menanam kopi, cengkeh, cokelat, kemiri dan berbagai jenis kayu. Di sini ada kelompok tani dengan nama Raka Cama. Raka dalam bahasa Manggarai berarti bekerja sama atau bergotong royong. Cama berarti sama-sama. Raka Cama berarti bekerja bersama-sama. Anggota kelompok berjumlah 32 orang. Namun yang aktif setengahnya, 16 orang.

Mereka mulai menanam kopi di tahun 1940an untuk jenis robusta. Tanaman kopi mereka peroleh dari daerah Colol di Manggarai Timur. Luas lahan masing-masing orang adalah 0,25ha-0,75. Tanaman kopi yang mereka miliki umumnya adalah warisan dari orangtua. Mereka melanjutkan pemeliharaan tanaman kopi sampai saat ini. Lahan-lahan mereka umumnya berada di kemiringan 45°. Karenanya, lahan-lahan yang ditanami kopi tidak dapat maksimal sesuai ukuran seharusnya. Rata-rata seorang petani memiliki 100-200 pohon kopi di kebunnya. Hasil produksi setiap tahun rata-rata 75kg-150kg.

Sebelum didampingi Yayasan Ayo, mereka menanam kopi dari anakan kopi yang bijinya jatuh di bawah pohon kopi. Dalam bahasa Manggarai sering disebut belak kopi. Tidak ada pemilihan biji kopi untuk dijadikan benih. Selain itu, mereka juga tidak menyemai benih lalu ditaruh dalam kokeran. Perawatan tanaman kopi tanpa pemupukan. Dibiarkan begitu saja, tumbuh sendiri secara alamiah. Mereka hanya membersihkan rumput yang ada di sekitar pohon kopi lalu meletakkan rumput itu pada pangkal pohon kopi.

Untuk pengelolaan pascapanen tidak diperhatikan secara detail. Asal sudah dipetik, diperam, cukup lama baru digiling. Terkadang kopi yang sudah matang tercampur dengan yang masih muda. Setelah ditumbuk baru dijemur di atas tanah. “Kami tidak pernah berpikir bahwa media jemuran juga berpengaruh terhadap mutu kopi. Bagi kami di saat itu, asal kopi bisa dijemur, tugas kami sudah selesai dan tinggal dijual kepada pengepul kopi di Ruteng”, kisah Bapa Vitalis, 45 tahun, ketua kelompok Raka Cama.

Tahun 2016 Yayasan Ayo mulai mendampingi masyarakat petani desa Golo di dusun, Cumpe dan Wune. Desa Golo memiliki 435 kepala keluarga. Dari sekian banyak kepala keluarga, 32 kepala keluarga bergabung membentuk satu kelompok dampingan. Dalam perjalanan waktu, terdapat 16 kepala keluarga yang terus aktif mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan Yayasan Ayo Indonesia. “Bagi kami, salah satu patokan keaktifan adalah keterlibatan yang penuh pada setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh fasilitator”, ujar ibu Delfina Luhur menjelaskan.

Sejak awal, Yayasan Ayo melihat bahwa ada praktik budidaya kopi yang belum benar. Para petani dilatih dan didampingi mulai dari konsep bertanam kopi, merawatnya hingga pengelolaan pascapanen. “Kami bertanya pada awalnya, apa penghasilan utama dari bapak ibu? Jawaban mereka adalah kopi. Setelah ditanyakan, berapa banyak waktu yang dipakai untuk memerhatikan kopi, ternyata jawaban mereka sedikit waktu yang dipakai. Demikian halnya dengan pengetahuan mereka tentang kopi kami assessment. Mereka mulai paham dan mau mengubah pola bertani mereka dalam menghasilkan kopi yang bermutu”, kisah Ibu Delfina Luhur.

Ketua Kelompok, Vitalis Nanggus mengatakan, sejak mengetahui bahwa kopi ini memiliki nilai jual yang tinggi, mereka mulai memberikan perhatian yang cukup besar untuk tanaman kopi. Mereka juga mengubah cara memetik buah kopi dengan memilih yang sudah benar-benar matang saja (te’e tu’ung), sedangkan yang setengah matang (banur) dibiarkan untuk dipetik pada waktu berikutnya. “Untuk penjemuran kami mulai ubah. Dari menjemur kopi di atas media tanah kami ganti dengan terpal atau tandu kawat kasa sehingga benar-benar terjaga dari bahan-bahan lain”, ujarnya Vitalis.

Marsel Jehabut mengatakan bahwa tanaman kopi sangat menolong masyarakat desa Golo. Selain tanaman kopi mereka juga menanam cengkeh, kemiri, cokelat dan fanili. Kebun sawah hanya dimiliki oleh segelintir orang, itupun luasnya tidak seberapa. “Kami juga menanam sayur-sayuran. Hasilnya kami jual kepada pembeli borongan yang datang ke kampung ini. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami”, jelasnya.

Untuk memberikan jawaban terhadap kebutuhan akan uang, anggota kelompok ini sudah menjadi anggota Koperasi Kredit (Kopdit) Ayo Mandiri, Mawar Moe dan Cembes Nai. “Sejak Kopdit-Kopdit ini ada, akses kami kepada lembaga keuangan ada. Kami bangga dipercaya oleh lembaga keuangan mikro ini. Sejak saat itu pula, kami bebas dari praktik ijon kopi atau tanaman perdagangan lainnya”, jelas ibu Theresia Nirung. Lebih lanjut ibu Theresia bercerita bahwa saat praktik ijon masih menguat, masyarakat menjadi lemah sebab hasil pekerjaan mereka hanya untuk diserahkan kepada pemilik uang.

Kesulitan yang masih tersisa di kelompok tani ini ialah kebutuhan akan peralatan untuk memproses kopi secara benar. “Kami membutuhkan mesin pulper dan huller. Kami di sini selama ini masih menggunakan lesung untuk mengupas biji kopi, baik kulit merah maupun kulit tanduk”, ungkap Teodorus Pon. Peralatan memang merupakan sarana yang penting untuk menjami produk yang dihasilkan benar-benar berkualitas.

Kehadiran Yayasan Ayo dalam mendampingi petani kopi di desa Golo ini mulai terlihat. Kopi-kopi robusta yang sudah tua telah disambung dengan kopi Arabica. Tanaman kopi ini terlihat subur dan hijau. Batang-batangnya besar dan daunnya hijau. Buah kopi lebih lebat dan ranum. “Karena kami baru mendapat pendampingan dari Yayasan Ayo, kami belum menikmati hasil kopi yang benar-benar maksimal. Kami yakin dalam tahun-tahun mendatang, kopi sambung dan kopi tanam baru dari bibit pilihan akan memberi kami hasil yang sangat besar”, ungkap Ibu Karolina Nardi.***