Sunday, 8 May 2016

RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI[1] (Sebuah Studi Awal Untuk Mencari Pertautannya dengan Inkulturasi Iman Kristen)





Kanisius Teobaldus Deki 



Dalam kesehariannya, orang Manggarai sebagai orang Katolik, tetap juga menjalankan ritus-ritus adat yang kerap dianggap secara sepihak bertentangan dengan isi iman Kristen. Hal itu menimbulkan perdebatan di kalangan umat dan menimbulkan berbagai pertanyaan, antara lain: “Apakah ini bentuk sinkretisme? Apakah ini penghayatan iman yang dualistis? Apakah ini tidak bertentangan dengan isi dan inti iman Kristen? Apakah ini bentuk penyembahan berhala?”
Pertanyaan-pertanyaan ini, seyogyanya harus membawa kita pada penemuan jawaban berbasis analisis yang diposisikan di atas pangkuan penelisikkan secara mendalam melalui penelitian adequat tentang hal ini. Dengan jalan ini, kita bisa menjustifikasi kenyataan itu bertitik pijak pada pengetahuan yang kurang lebih memadai.
Studi kecil ini lebih merupakan sebuah studi awal yang berusaha menjelaskan ritus Teing Hang orang Manggarai dan sekilas refleksi atasnya jika diperhubungkan dengan arus inkulturasi dalam Gereja Katolik Manggarai. Tentu, sebagai studi awal, bahan ini memiliki banyak keterbatasan. Karena itu, diskusi atasnya merupakan keharusan, demi meraih perspektif pencerahan yang lebih benderang dalam menempatkannya pada area iman berbasis budaya.[2]

1.       Konteks Ritus Teing Hang
Kepercayaan orang Manggarai tak dapat dilepas-pisahkan dengan kultur agraris yang memiliki keterkaitan yang erat antara alam dengan seluruh kehidupan ciptaan. Tanah, gunung, air, iklim mempunyai relasi yang tak terpisahkan dan menyatu dengan kehidupan semua mahkluk.  Kepercayaan akan keterkaitan unsur-unsur itu menyata dalam berbagai bentuk. Hal itu menjadi umum dalam agama-agama asli.[3]
Pertama, kepercayaan akan roh alam dan roh leluhur. Roh berpengaruh atas pelbagai peristiwa dan kejadian yang dialami manusia dan ciptaan yang lainnya. Kepercayaan akan roh alam ini[4] membawa Orang Manggarai kepada keyakinan bahwa roh alam inilah jiwa dari alam semesta. Selain roh alam yang memiliki  identitas yang abstrak dan tak terjamah, Orang Manggarai juga percaya pada roh leluhur yang telah meninggal (ata pele sina). Roh-roh leluhur ikut berperan dalam menciptakan keseimbangan kosmos. Itulah sebabnya terhadap roh-roh ini Orang Manggarai memberikan respek, penghargaan serta menjalin relasi yang tetap intim dan konstan melalui pelbagai ritus. Salah satu ritus itu adalah Teing Hang atau kerap disebut Takung yakni memberikan sesajian kepada roh leluhur sebagai bentuk persembahan yang memiliki berbagai maksud, antara lain meminta keberhasilan, memohon perlindungan dan juga berupa ucapan syukur. Dalam kesempatan itu dibuat Toto Urat [memperlihatkan usus hewan] yakni sebuah upacara untuk membaca tanda-tanda alam, khususnya berkaitan dengan nasib di masa depan, dengan melihat bentuk usus ayam, hati babi ataupun hati kerbau, tergantung bahan korban yang disiapkan dan maksud diadakannya ritus itu. Usai toto urat sebagian bahan persembahan disebarkan ke berbagai tempat yang disebut wecak helang dan sebagian lagi disimpan di piring kecil bersama dengan secangkir tuak.[5]
Roh alam dan roh leluhur juga sering disebut naga golo, naga tana [roh kampung]. Naga golo ini diyakini memiliki peran khusus yakni melindungi masyarakat Adak komunal dari berbagai serangan, entah serangan fisik dalam peperangan maupun serangan non fisik seperti penyakit, berbagai bentuk mbeko janto [racun kiriman melalui ilmu hitam yang dimaksudkan sebagai aksi destruktif], bencana alam dsb. Naga golo juga kerap dihubungkan dengan pelbagai peristiwa yang menakjubkan, khususnya bila warga golo bersangkutan selamat dari pelbagai bencana.[6]
Kedua, kepercayaan akan adanya roh halus berupa Darat Tana [Bidadari, peri] dan Poti [setan]. Alam-dunia dipercayai oleh Orang Manggarai sebagai yang memiliki roh. Mahkluk halus seperti peri, bidadari yang disebut darat adalah mahkluk halus yang sering menampakkan diri di mata air, sungai yang memiliki kolam besar dengan kedalaman yang tinggi dan berdaya angker [tiwu leténg]. Darat kerap dilihat sesekali pada saat matahari meninggi persis di atas ubun-ubun atau sekitar jam 12 siang, pada kesempatan yang kerap tidak diduga-duga dan merupakan pengalaman istimewa. Ada keyakinan bahwa darat biasa membantu manusia dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu, misalnya memikul batu-batu untuk Compang [altar persembahan]. Di kampung Tenda-Riwu ataupun Ruteng Pu’u terdapat compang yang dibuat dari batu-batu ceper besar yang beratnya berton-ton. Menurut masyarakat yang mendiami wilayah-wilayah itu, batu-batu besar itu berada di compang berkat bantuan darat yang didasarkan pada perjanjian tertentu.
Selain membantu manusia, darat juga dapat memberikan malapetaka tertentu. Misalnya ada orang yang tiba-tiba hilang yang biasa disebut wendo le darat yakni peristiwa darat membawa-lari seseorang dan akan dikembalikan lagi jika ada ritus tertentu dibuat oleh ata Pecing atau ata Mbeko. Ritus pemanggilan orang yang dibawa oleh darat disebut benta. Ritus itu ditandai oleh pemukulan gendang dan gong. Ada keyakinan bahwa bagi darat bunyi gong dan gendang yang ditabuh di luar acara-acara adak merupakan bunyi gemuruh guntur dan halilintar yang menyambar-nyambar mereka. Itulah sebabnya para darat membuat aksi pemulangan [podo kole] orang yang mereka bawa itu. Menurut pengalaman beberapa orang yang mengalaminya, orang merasa kehilangan kesadaran, tidak mampu melawan kekuatan yang membiusnya dan darat mengadakan penawaran nuru [daging] orang itu kepada poti [setan] yang berada di berbagai pong [hutan rimba].[7] Ritus benta yang dibuat dengan pertolongan ata Mbeko atau Tu’a adat membuat mereka melepaskan orang bersangkutan.
Selain darat, ada mahkluk halus yang disebut poti [setan]. Poti merupakan kekuatan yang kerap dinilai indifferent terhadap manusia, tetapi pada saat tertentu ia  memberi pengaruh khususnya poti yang disebut jing da’at atau biasa disebut juga dengan poti wolo [setan jahat]. Jika manusia berpapasan dengan poti, maka manusia akan sakit dan bahkan dapat juga meninggal dunia. Untuk menghindari bahaya yang lebih besar dari kekuatan poti ini, ata Peci atau ata Mbeko membuat ritus tertentu, misalnya upacara Sening di wilayah Manus, Manggarai Timur.[8] Poti juga dapat dipakai manusia yang memiliki kekuatan supranatural untuk membawa malapetaka bagi orang lain. Di Manggarai ada istilah rasung [racun] yang berhubungan dengan penggunaan kekuatan magis dan melibatkan poti sebagai mediumnya. Aktus memberi rasung bisa dilakukan melalui pelbagai materi alam misalnya: air, udara, cahaya, kayu, tanah, dsb. Benda-benda ini akan membunuh manusia dengan cara yang irrasional dan tak tampak secara kasat mata. Kehadiran ata Pecing dan ata Mbeko sangat penting untuk menetralisir kekuatan magi hitam. Dalam banyak kasus, ata Mbeko selalu berpihak pada korban, kecuali jika ada perhitungan bisnis antara yang memberikan rasung dengan ata Mbeko. Meskipun hal itu merupakan kekecualian, pada ghalibnya ata Mbeko hadir sebagai pihak yang selalu menolong. Itulah sebabnya ada pembagian yang jelas antara ata Mbeko dengan ata Janto [orang yang menggunakan Mbeko-nya untuk tujuan destruktif].
Ketiga, benda dan ucapan magis [mbeko, ceca, krenda, sungke].[9] Mbeko berhubungan dengan benda-benda dan ucapan-ucapan mantra yang memiliki daya magis. Ata Mbeko memiliki keduanya. Dalam melakukan aktus penyembuhan ata Mbeko merapalkan beberapa mantra kemudian melakukan gestikulasi tertentu lalu mengambil air [wae], garam [ci’e] atau benda lain seperti akar kayu [wake haju], keris [kiris], medali [ceca] lalu meletakkan benda-benda itu sesuai dengan maksudnya ke badan orang sakit. Benda-benda dan mantra-mantra ini kerap berfungsi sebagai pelindung diri dan masyarakat [pake weki] yang disebut jimak [azimat]. Jimak memiliki banyak wajah yang terungkap dalam benda-benda bertuah seperti batu akik, keris, bandul, tanduk dan gigi binatang tertentu, emas, dsb.
Ada satu jenis mantra yang disebut Krenda. Krenda adalah mantra-mantra tertentu yang diucapkan oleh orang Manggarai pada saat-saat khusus dengan tujuan untuk membebaskan pengucapnya dari rasa takut dan tertekan oleh situasi atau peristiwa tertentu. Misalnya jika seseorang dipanggil oleh Kraeng Raja atau atasan, maka supaya tidak salah dalam berkata-kata krenda toe rantang dirapal kemudian terjadilah percakapan dengan raja sebagai sebuah dialog yang akrab. Seperti diakui banyak pihak krenda bukanlah bagian dari Mbeko.[10] Sebab krenda dapat diucapkan oleh siapa saja meskipun asal krenda dari ata Mbeko. Walaupun demikian, krenda tetap diyakini sebagai mantra yang manjur dan berdaya magis, namun menjadi mantra popular masyarakat kebanyakan.
Keempat, Mori Keraeng: Pencipta, Pemelihara dan Pemilik Segala Sesuatu. Hingga saat ini bagian terbesar populasi penduduk yang mendiami tanah Manggarai beragama Katolik. Menurut Robert Mirsel,  jumlahnya hampir sebanyak 95 % orang Manggarai menganut agama Katolik.[11] Meskipun demikian, kepercayaan akan adanya Yang Ilahi yang mengatasi segala kekuatan yang ada [roh alam, roh leluhur, kemampuan supranatural, dsb.] dan menjadi sumber, asal dan tujuan segala sesuatu bukanlah semata-mata karena ajaran iman Katolik. Sejak zaman lampau Orang Manggarai percaya akan adanya Allah yang diungkapan melalui paralelisme: Morin agu Ngaran, Jari agu Dedek, Parn awo-kolepn sale, tanan wa-awangn eta.[12]
Dalam pemahaman asli Manggarai terminologi iman dalam kosa kata agama formal sinonim dengan imbi [percaya].[13] Terminologi ini secara eksplisit menggambarkan relasi antara seseorang atau sekelompok orang dengan yang lain. Relasi ini terbentuk karena rasa saling percaya. Karena itu, imbi dipahami sebagai suatu sikap percaya kepada sesuatu yang lain, baik orang-pribadi, kelompok maupun kekuatan lain. Dalam konteks religius, terminologi yang sama menggambarkan sikap dan keterarahan hati manusia kepada Wujud Tertinggi dalam agama primal mereka.[14]
Dapat disimpulkan bahwa kepercayaan orang Manggarai dalam kesatuannya dengan kosmis berkiblat pada animisme, dinamisme, fetisisme dan totemisme yang bercampur dengan ide tentang Yang Ilahi yang mereka sebut sebagai Morin agu Ngaran, Mori Jari Dedek, atau pada zaman modern disingkat dengan Mori Keraeng.


2.      Pengertian dan Maksud
Teing Hang adalah upacara memberikan makan kepada leluhur atau orangtua yang sudah meninggal. Ada tiga kesempatan teing hang dilakukan. Pertama, karena ada sakit yang berkepanjangan lalu muncullah mimpi (lang one nipi) bertemu dengan orangtua atau leluhur yang telah meninggal. Menurut penafsir (ata mbéko, ata pécing), mimpi itu memperlihatkan kenyataan bahwa anak-anak, termasuk yang sakit, lupa pada orang tua atau leluhurnya yang telah meninggal.
Kedua, Teing hang menjadi satu kebiasaan dalam upacara penti, baik di akhir panen maupun pada saat pergantian tahun.
Ketiga, pada saat-saat khusus, misalnya pada saat laki (persiapan perkawinan), wuat wa’i (meminta restu saat bepergian untuk maksud tertentu), rampas (perang) untuk meminta kekuataan dan penyertaan, dan landang (memenuhi undangan dari pihak yang melaksanakan hajatan tertentu yang disertai caci). Saat sekarang, perluasannya di segala lini kehidupan, misalnya untuk meraih jabatan politis (Pilkada, Pileg, Kadis, dll).

3.      Hewan Kurban
Dalam acara Teing Hang, hewan kurban adalah ayam jantan putih. Warna bulu ayam disesuaikan dengan penglihatan dalam mimpi atau yang lazim menjadi kepercayaan. Bulu ayam juga memiliki arti, misalnya ayam putih melambangkan keputihan hati, hati yang bersih, tulus dan suci.

4.      Struktur Torok Teing Hang
1.       Pembukaan
Pembukaan dibuat sebagai pengantar untuk menyampaikan maksud dipanggilnya penutur torok ke rumah kediaman mereka yang mengadakan upacara Teing hang. Wakil keluarga akan mengatakan:
“Yo éma, agu ised ngasang énde laing, ka’e laing, ase laing. Tara mangad lonto cama wie ho’o, padir wa’i, rentu sa’i dite, ai alang wa keta betid, pu’ung eta main hiat ngaso, wan iset cucu, nenggitu koles wote agu hi énde. Itu tara mangan nggo’o tae, ole, asa landing méjeng hese, ngonde holes dami ngasan anak, toe manga nuk ata Tu’a Ema, pa’ang be le. Hitu kole itan one nipi, landing lé ho’o e, landing lé hitu e tara mangas meu ringing tis, népo leso, wan cengata, etan cengata. Itu tara nggo’on ema ga, wie ho’o kudut adak teing hang hi éma dami. Betuan, itu tara mangan siro ite éma laing, ise ende do, ase-kae, kudut teing hang hi ema. Kudut hia koe panggad buru warat, nggitu kole ringingtis, népo léso,kudu ngaji kole latang te hia kamping Mori agu Ngaran, poli ngaji eta mai boa bo ga.Hitu de betuan lonto dite wie ho’o. Ho’o tuak. Képok.”  (Ya Bapa, dan semua yang disapa sebagai mama, kakak dan adik. Adapun yang menjadi  alasan kita duduk bersama malam ini, menjulur kaki, beradu muka, karena kerap terjadi sakit yang menimpa keluarga kami mulai dari yang sulung hingga yang bungsu, demikian pula anak mantu dan mama. Itulah sebabnya ada prakiraan, barangkali karena ada rasa malas untuk bangun, Anak-anak tak gegas untuk bergerak, lupa pada bapa yang telah meninggal dunia.  Itulah yang telah ditemukan melalui mimpi, alasan sakit karena disebabkan oleh hal ini  atau hal itu. Itulah sebabnya bapa, malam ini kita akan mengadakan upacara Adak Teing Hang untuk ayah kami. Jadi, itulah sebabnya kami mengundang Bapa ke sini, mama sekalian, adik-kakak, untuk mengadakan upacara Teing Hang. Supaya, dialah yang menahan angin puyuh, semua sakit, dan berdoa ke hadapan Tuhan-Pencipta untuk keselamatannya. Kami sudah berdoa di kubur tadi. Itulah maksudnya kita duduk berkumpul bersama malam ini. Inilah tuaknya. Képok).
Lalu pihak keluarga [kilo] yang meminta menyampaikan kêpok yang diwakili sebotol tuak, seraya berkata,
“Aram manga toe di’a nain hi éma ho’od pa’ang be le wiga mangad do do’ong, itu tara mangad do bules ami ngasang anak, toe cumang nuk tau ase-ka’e, éma agu anak. Ho’og de haeng lamid anak laing kudut adak teing hang,kudut we’ang gerak wancing ngalis. Dopo one wie ho’os kali sangged po’ong jogot, ête nggéte, éma agu anak, ase agu ka’e, nénggitu kole ised cau léwing be musid. One manuk taungs keta tombod to’ong”.  (Barangkali bapa yang telah meninggal memiliki perasaan yang tidak menyenangkan sehingga terjadilah berbagai rintangan, muncullah banyak penyakit dalam diri kami anak-anak, hadirnya berbagai pertentangan dalam diri kami adik-kakak, bapak-anak sebagai satu keluarga. Sekarang kami anak-anak temukan untuk mengadakan upacara Teing Hang, biarlah terang berpendar dan jalan terbuka lebar. Berhentilah malam ini semua usaha menumbuh-kembangkan dengki, perpecahan antara bapak dan anak, adik dengan kakak, demikian pula ibu-ibu yang bekerja di dapur. Dalam ayam ini nanti semuanya akan disampaikan).


2.      Penutur Torok Menerima Maksud Teing Hang
Setelah wakil keluarga menyampaikan maksud, penutur torok akan berkata:

Nggo’o anak, ase ka’e tite. Ngasang éma kami, anak tite. Ai dite ho’o pe, gereng keta manga béti po manga teing hang ata Tu’a. Tama keta landing lé hitue, landing lé toe teing hang. Ho’o kali haeng kawen to’ong kudut dumpun, eta lawang ka’e hi énde, hi ka’e, ited do. Ho’o neng lonto torok dite wie ho’o, teing hang hi ka’e (sebut nama orang yang meninggal) hitu kudut neka manga wéndu lé watu ngasang meut anak dading, wécar lé tanad, neho réweng dé meu anak kamping amid éma. Ai hitu itay, ho’o neng pande. Eme landing lé hitu gauk de kraeng tu’a weli kamping ite anak, ole, mbér agu nantal beti situe, hood de teing hang to’ong. Toe manga célan réweng hitue. (Anak, kita adalah saudara. Kami disapa sebagai bapak, kalian anak-anak. Dalam kenyataannya kita baru ingat dan memberi penghormatan kepada orang tua jikalau kita sakit. Yang terpenting itulah alasan utamanya  semua terjadi karena kita tidak ingat dan memberikan penghormatan kepada mereka. Inilah saatnya kita menemukan jawabannya, mulai dari ibu, kakak dan kita semua. Inilah saatnya di mana kita duduk bersama malam ini, mengadakan upacara untuk (sebut nama orang yang sudah meninggal) supaya jangan lagi ada batu yang membebani dan tanah percikan yang membuat mata kalian anak-anaknya tak sanggup melihat seperti yang kalian sampaikan melalui kami sebagai bapak. Karena kita sudah melihat, maka sekaranglah saatnya untuk menyatakannya melalui  perbuatan. Jikalau karena kesilapan kita Kraeng Tu’a menjadi marah terhadap kalian anak-anak, ya, biarlah semua sakit terelakkan dan terpental, sekaranglah saatnya kita akan mengadakan upacara Teing Hang. Tiadalah bercacat suara yang kalian sampaikan).

Kemudian, penutur Torok menerima tuak kepok sebagai ungkapan kesediaan untuk menjadi wakil kilo [keluarga] yang membuat upacara Teing Hang. Lalu dilanjutkan dengan dialog antara penutur torok dan keluarga yang mengundang.

3.      Upacara Teing Hang dimulai
Dalam upacara ini yang menjadi korban adalah ayam jantan putih. Tujuan utama dari upacara ini ialah supaya para leluhur tidak menjadi murka oleh karena keluarga yang masih hidup melupakan dia dan berperilaku tidak sesuai yang diharapkannya, misalnya saling bermusuhan. Dalam torok penutur berkata,
Dénge lite Kraeng (sebut nama), etad ata ngaso wad cucu anak ata ronam, ai lé ngonde holes, lé méjeng hése dise olo e, itu mangad macél one célis, da’ong one tokos beti. Kali manga kantad dite, manga tegi dite eta mai Gewak,[15] cala lé rugi tite, rabo tite, ho’o tuak, etad anak ata ngasom, wan ata cucu, nénggitu kami ase-ka’e, nenggitus weta, anak rona, ngasang empo. Reje neka beng kami wie ho’o, molor lonto torok, ho’o tuak bantang agu bentam.
Mai neki no’od ga ai ho’o de manuk kudut teing hang ite. Neka peleng nggér le wiwim, neka pacu nggér lau. Ho’o tuak bantang agu bentam. Mai lonto no’o ce ite. Ca salang kole, ise ema Tu’a, ise ende tu’a, ende (sebut nama) mai lonto néki no’o meu, kudut senget papi agu tombo dami, teing hang to’ong, kudut majak lonto cama meu le mai, molor lonto torok, senget papi agu tombo eta  lawang hi ka’e (sebut nama), wa lawang wing agu dading.
Kudut majak lonto cama meu le mai senget papi agu tombo, manuk to’ong teing meu, kudut senang kole widang wéki. Kudut neka peleng nggér le wiwi, neka tei ringing ti’is, neka népo leso. Ho’o kole tuak kudut bantang agu bentas meu”. (Dengarlah Keraeng (sebut nama), berkatalah istrimu, anak-anak lelakimu mulai dari yang sulung hingga yang bungsu, karena mereka malas untuk bergerak, tak gegas berdiri, itulah sebabnya tinggallah sakit dalam daging, berdiamlah sakit dalam tulang. Ternyata kraeng terpaut rasa marah, terdapat permintaan dari Gewak, barangkali kraeng tersinggung, tersebab kraeng marah, inilah tuak, mulai dari yang sulung hingga yang bungsu, demikian kami saudara-saudari,  anak rona, dan semua cucu. Sertailah kami malam ini, supaya benar dalam tutur bersama, inilah tuak untuk mengundangmu. Marilah datang bergabung bersama kami di sini, inilah ayamnya untuk memberi makan engkau. Janganlah engkau acuh tak acuh tanpa menghiraukan kami. Inilah tuaknya untuk mengundang dan memanggilmu. Kraeng, marilah duduk di sini. Selain itu kami juga mengundang dan memanggil para leluhur, mama (sebut nama), mama (sebut nama), marilah duduk bersama di  sini, supaya mendengar keluh kesah kami mulai dari kakak (sebut nama), dan semua anak yang terlahir. Supaya senang duduk bersatu kalian yang datang dari dunia seberang, mendengar tutur dan keluh kesah kami, ayamlah yang akan dikorbankan untuk memberi kalian makan, supaya ada rejeki, supaya kalian jangan acuh tak acuh terhadap kami, supaya janganlah sakit menimpa kami. Inilah tuak untuk memanggil dan mengundang kalian).



4. Torok Teing Hang
Setelah menyampaikan sapaan terhadap orang yang meninggal, penutur torok memegang ayam jantan, mengarahkan matanya ke depan. Penutur torok menyampaikan kembali struktur yang sama seperti pada bagian terdahulu. Setiap satu ba’it torok selesai, ia mencabut bulu ayam sehingga ayam itu mengeluarkan suara.

Yo, Kraeng Tu’a, Eta lawang ised ngasang ka’e, wan lawang sangged anak, wote agu émpon, Ata one tana datad mole, ho’o taung ise. Ai dite ho’o lé la’ang le nipi lise anak dite. Rugi ite, keraeng Tu’a, lé toe di teing hang.One mai rugi ho’o weli ga mangas ita calang one weki: ringing tis, népo leso. Kali lé toe teing hang ite. Ho’o kali lami ga, lalong bakok teing hang. Kudut palong koes nai bakok dite. Kudut totos nai molor dite. Kudut widangs di’a, patis ngalis. Kudut widangs moncok neteng moso, hasil neteng uma. Neka mangas peleng nggér le, pacu nggér lau. Neka teis ringing tis. Neka patis népo léso.  (Ya, Keraeng Tu’a, Mulai dari semua yang dipanggil kakak, juga yang disebut sebagai anak, menantu dan cucumu, mereka yang berada di tempat perantauan, mereka semua telah ada di sini. Karena engkau telah menunjukkan diri dalam mimpi anakmu. Kraeng Tu’a telah marah tersebab belum dibuat upacara Teing Hang. Dari sebab itulah, muncullah berbagai bentuk petaka: sakit kepala, kebingungan. Ternyata semua itu disebabkan oleh lupa memberikan makan Kraeng Tu’a. Kini kami memberikanmu ayam jantan putih. Supaya engkau mengalirkan hatimu yang putih. Supaya engkau memperlihatkan hatimu yang benar. Supaya engkau menghadiahkan kami kebaikan, membagi keluasan. Supaya engkau menganugerahkan keberhasilan di  setiap moso,[16] hasil di setiap kebun. Janganlah kau nyatakan ketidak-acuhanmu. Janganlah kau beri kami kemalangan. Jangan timpakan kami segala kebingungan).
Kudut émos sangged wéjang rugi, senget di’a lite Kraeng Tu’a. Ite kole anak, etan lawang ata ngaso, wan lawang ata cucu, sangged woten, agu émpon, wae tuka di (sebut nama). Ai toe di teing hang du ntaung weru olo, Aik hitu tara mangan rugi agu rabo, Nénggitu kole sangged wintuk da’at dé meu anak, One mai toe bae hiang cama tau, Lawang ase-ka’e, weta-nara, ende agu anak, agu sangged émpon. Hambor keta ata naun one lonto cama ho’o. Neka po’ongs jogot, béte nggete. Paka oke keta taungs beti nais, mose molor one lino. Mber koe taungs nengong-nangong, Du lesos saled, wa’a le waes laud. (Supaya berhentilah semua kemarahan, dengarlah baik-baik Kraeng Tu’a, demikian juga anak-anak, mulai dari yang sulung hingga yang bungsu, semua menantu, dan cucu-cucumu, anak kandungmu sendiri. Karena belum memberikan persembahan saat tahun baru yang lalu. Barangkali karena itulah sebab muncul berbagai kemarahan. Begitu juga sifat dan perilaku buruk kalian, hai anak-anak. Tersebab kalian tidak saling menghormati, antara adik-kakak, saudari-saudara, mama dengan anak, serta semua cucunya. Berdamailah yang indah dalam duduk bersama. Janganlah rasa dengki dipelihara, pupuskan sakit hati. Haruslah semua sakit hati dibuang, hidup benar di bumi. Menjauhlah semua pertengkaran, pergi bersama terbenamnya mentari, terbawa bersama air yang mengalir)

Eme landing lé hitue, ho’o lalong bakok teing hang dite: kudut widangs di’a, patis ngalis, karong salang,teing salang, kudut tompals momang, kudut widangs moncok neteng moso, tei berkak latang té meu anak dading.Kudut dani koe neteng mbaru, kudut neho pongkor eta golo moses, kudut pateng koe wa wae…Teing hang ite ga, lalong bakok. Tiba sina teing dami, kraeng Tu’a… (Jika itulah yang menjadi penyebabnya inilah ayam jantan putih untuk memberikan makan: supaya kebaikan diberikan, keluasan dibagi, jalan dibuka, jalan diberi. Supaya kemurahan diturunkan, supaya tanah memberikan hasil di setiap moso, berkat bagi semua anak kandung. Supaya rejeki ada di setiap rumah. Supaya hidup kalian seperti pongkor[17] di bukit. Supaya seperti pateng[18] di dalam air…Keraeng Tu’a diberi makan ayam jantan putih. Terimalah di sana, Keraeng Tu’a…).
Hitus de tombo ata kop, hitus de pau ata patut kudut pinga torok hitu sina, senget torok hitu le, kudut cama laing lé ase ka’e weki cama raja ce’e, manuk laing tu’ung ho’o te ho’o muing manuk ita one urak te pecing one pening. Wai déri hau manuk, bombong pésu langkas maja! (Itulah permohonan yang kami sampaikan, dengarlah hai kalian para leluhur, inilah ayam dalam kesejatiannya, nyatakanlah restumu dalam usus ayam ini!)

5. Toto Urat Manuk
Hati dan usus ayam diperlihatkan. Jika berbentuk lurus dan kilat-berkilau maka Tuhan dan leluhur merestui acara ini dan pihak yang sakit akan sembuh. Demikianpun sebaliknya.
6. Helang (Memberi Makan Roh Leluhur)
Memberikan makanan serta minuman kepada leluhur dalam sebuah piring beserta tuak dalam gelas. Bersamaan dengan itu, peserta yang hadir dalam ritus ini juga akan menyantap hidangan yang sama.
7. Hang wie cama (Makan Malam Bersama)
Acara ini ditutup dengan makan malam bersama. Ada kebiasaan untuk saling menasihati, menanyakan kabar anggota keluarga yang jauh atau juga membahas rencana ke depan dari keluarga besar.

4. Beberapa Penafsiran
4.1. Status Questionist Leluhur dan Orang Tua dalam Teing Hang
Ada keyakinan Orang Manggarai bahwa orang yang sudah meninggal, khususnya nenek moyang dan orang tua, mempunyai relasi intim dengan anak dan cucunya yang masih hidup di dunia. Relasi itu tetap terbangun dalam semua situasi kehidupan, lebih-lebih saat anak atau cucunya mengalami penderitaan. Pihak énde-éma ata pa’ang be le, diminta bantuan untuk menjadi letang temba le ranga de Morin agu Ngaran. Adapun penderitaan tertentu juga disebabkan karena leluhur tidak diindahkan, dilupakan atau tidak dihiraukan.[19] Karena itu, mereka tersinggung (régis) dan memberikan malapetaka atau ikut serta dalam kemarahan alam.[20]
Leluhur di satu sisi dianggap sebagai pihak yang dapat membantu dan menolong. Dia menjadi letang temba. Dia hidup di hadirat pemilik kehidupan.[21] Namun di sisi lain, dia bisa menjadi pihak pemberi bencana, kesusahan atau hal yang tidak menyenangkan bila dia tidak diindahkan.

4.2. Teing Hang sebagai Moment Rekonsiliasi
Teing Hang dibuat untuk membangun kembali hubungan yang telah retak atau rusak. Ada dua sisi. Pertama, rekonsiliasi adalah inisiatif pihak yang masih hidup. Kesadaran rekonsiliatif datang dari kesulitan hidup. Ada relasi kausal antara orang yang sudah meninggal dengan yang masih hidup dari sisi jalan keluar kesulitan-kesulitan ini.
Kedua, relasi yang benar di antara orang (anggota keluarga) yang masih hidup menjadi salah satu prasyarat pemberian restu dari leluhur. Leluhur akan menyatakan restunya, bila semua saudara-saudari, orang tua dan semua keluarga telah bersepakat dalam menyatakan intensi dalam komitmen membangun kembali hidup yang benar.

4.3. Tentang Maksud Toto Urat[22]
Adapun maksud dari toto urat sebagai berikut. Pertama, Untuk membaca baik tidaknya acara yang dibuat. Acara Teing Hang tidak sekedar sebuah ritual. Tetapi ada maksud atau pencapaian yang menjadi target. Karena itu, toto urat menjadi tanda bahwa acara in se diterima dan sesuai prosedur standar.[23]
Kedua, diterima atau tidaknya maksud atau intensi teing hang itu. Teing hang memiliki kiblat untuk menjawabi masalah tertentu. Kondisi usus ayam yang lurus-berkilau adalah tanda pengabsahan yang menegaskan bahwa maksud diadakan upacara itu direstui. Tanda itu juga memberikan kekuatan, kesembuhan dan kepastian bagi yang meminta jika nyata usus/hati ayam bertanda demikian. Ataupun sebaliknya, memberikan tanda jelek akan masa depan atau tak direstuinya maksud upacara itu.[24]
Ketiga, toto urat pada dasarnya berciri visioner, melihat sesuatu di depan. Ia menjadi tanda pendahuluan untuk mengetahui apa yang bakal terjadi pada seseorang, keluarga atau komunitas masyarakat tertentu.
Sebenarnya, toto urat adalah moment sakral karena mengandung penyampaian restu oleh leluhur. Pada saat yang sama juga bermakna “sumpah” sebab ia akan menegaskan apa yang terjadi pada masa yang akan datang. Rumusannya sbb:[25]


“…..Hitus de tombo ata kop, hitus de pau ata patut kudut pinga torok hitu sina, senget torok hitu le, kudut cama laing lé ase ka’e weki cama raja ce’e, manuk laing tu’ung ho’o te ho’o muing manuk ita one urak te pecing one pening. Wai déri hau manuk, bombong pésu langkas maja...”
(Itulah niat dan permohonan kami, permohonan yang indah dan pantas, dengarlah hai kalian leluhur kami, agar kita bersatu hati, seperti persatuan nyata di bumi, nyatakanlah dalam usus ayam, lurus-kilat berkilau, kuat-perkasa dengan perbawa yang agung...)

“…..Hoog de manukn ga, adak tanda ngasang hi (sebut nama anak), ratung di’a wuwung-wali di’a cumpe. Manuk keta laing tu’ung, paka cékél ndéng-wa’i déri, bombong pésu-langkas to’ong maja…”
(Inilah ayamnya, untuk memberi nama...dalam acara membongkar cumpe. Inilah ayam dalamkesejatiannya, haruslah kuat-perkasa dengan perbawa yang agung...)

“…..Ho’o de manuk ga adak wuat dia wa’i ngo one tempat tugas cumang cama tuang boto mas agu macak lé hae atan, manuk keta laing tu’ung hau manuk paka cékel ndéng, wa’i déri, bombong pesum, langkas majam.”
(Inilah ayamnya untuk menghantar-pergikan anak kita agar tatkala bertemu dengan rekan sejawatnya dia selalu bersahaja, inilah ayam dalamkesejatiannya, haruslah kuat-perkasa dengan perbawa yang agung...)

Toto Urat kerap dinilai oleh banyak orang sebagai bentuk penyembahan berhala. Pernyataan ini menurut hemat saya lebih karena kurangnya pemahaman akan maksudnya. Pernyataan restu leluhur sebenarnya sebuah tanda akan kemampuan visioner ke masa depan. Mereka dapat melihat melampui waktu sekarang. Toto Urat juga dapat menjadi motivasi untuk orang yang mengadakannya. Sedangkan ketika tak mendapat restu, pihak yang menyelenggarakan upacara ini berefleksi dan membuat penilaian kritis atas sikap hidupnya.

5. Rekomendasi
Studi kecil ini membawa beberapa implikasi untuk dapat direfleksikan dalam upaya inkulturasi:
·         Untuk memahami koeksistensi Kristen dan budaya lain kita dapat kembali menengok ke zaman apostolik. Sebelum Yesus naik ke surga, Ia memerintahkan murid-muridNya untuk menyebarkan ajarannya sampai ke ujung bumi (Mk28, 28; Mk16, 15). Tetapi Yesus tidak memberitahukan mereka bagaimana caranya secara eksplisit.[26]  Namun, pidato Santo Paulus kepada orang Yunani di Aeropagus-Athena (Kisah 17:22-33) dapat dianggap sebagai upaya inkulturasi pertama. Sekitar tahun 50, para rasul mengadakan konsili Gereja pertama, Konsili Yerusalem, untuk memutuskan apakah akan menyertakan “orang kafir” (non Yahudi) dan inkulturasi budaya non-Yahudi. Konsili menegaskan bahwa orang bukan Yahudi dapat diterima sebagai orang Kristen.
·         Inkulturasi kemudian berlanjut dalam perjumpaan Kekristenan dengan budaya lain. Gereja secara resmi mengeluarkan dokumen-dokumen yang menyokong tujuan ini dari masa ke masa.[27]
·         Ritus Teing Hang merupakan bentuk pengakuan eksistensi dan peran Allah sebagai pencipta dari ketiadaan (ex nihilo) dan peran orang tua dan leluhur sebagai co creator Allah. Manusia tidak pernah bertemu langsung dengan Allah (yang tak kelihatan), namun ia dapat menemukan Allah dalam diri orang tuanya (Mori ata ita le mata). Tanggung jawab orang tua, bahkan kalaupun mereka sudah mati, tetap dimintai anak-anak/cucunya untuk memberikan pertolongan, perlindungan, rejeki dan penyertaan. Ole karena kualitas baik yang menjadi cirri orang tua, maka mereka diandaikan telah hidup di hadirat Allah. Karenanya mereka menjadi perantara antara anak-anak/cucu dengan Allah.
·         Toto Urat dalam ritus Teing Hang dimaknai sebagai bentuk restu yang dapat terbaca untuk mengetahui maksud atau intensi yang terjawab atau tidak. Karena ini adalah tanda maka, tidak ada alasan untuk menyamakannya dengan kepercayaan yang sia-sia apalagi sebagai bentuk penyembahan berhala. Kita tahu, bahwa para nabi juga sering meminta tanda dari Allah melalui sarana alam.
·         Upaya inkulturasi, ritus teing hang dengan alasan-alasannya, merupakan bagian dari pendaratan iman atas kebudayaan Manggarai.

6. Kesimpulan
Ritus Teing Hang sebagai praktik keagamaan tradisional orang Manggarai memiliki nilai yang sangat tinggi. Keyakinan akan nilai itu yang membuat ia tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat pemiliknya. Unsur  itu menyata dalam penghormatan terhadap orang tua dan peran yang dapat dimainkannya.
Orang tua memiliki posisi yang sangat penting sebagai penghubung antara anak yang masih hidup dengan Tuhan Sang Pemilik kehidupan. Melalui Ritus Teing Hang, hubungan itu tetap berlanjut pada saat orang tua sudah meninggal dunia. Ada harapan agar peran dan fungsi orang tua tetap berjalan walaupun dia sudah meninggal. Peran itu menjadi nyata dalam fungsi perlindungan terhadap anaknya yang masih berjuang di dunia ini.
Berhadapan dengan fakta kesulitan, ritus ini memberikan salah satu tawaran jalan keluar melalui penilikan atas relasi horizontal dan vertical. Rekonsiliasi merupakan prasyarat bagi terlaksananya hubungan yang baik antar manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan alam. Ritus yang menawarkan sebuah alternative pemecahan untuk mengobati penyakit buruknya relasi zaman ini. Dari sisi ini, ritus ini dapat memberikan jalan untuk lahirnya sebuah inkulturasi dalam peribadatan Kristen.***

REFRENSI

·         BUKU/ARTIKEL/MANUSKRIP:

Agustus Franzen, Kirchengeschichte. Herder Freiburg, 1988.

Derek Collins, "Mapping the Entrails: The Practice of Greek Hepatoscopy"  in: American Journal of Philology. 129, 2008.

Jillis A. Verheijen, Manggarai Text IV, Stensilan. Ruteng: Regio SVD Ruteng, 1978.

___________, Manggarai dan Wujud Tertinggi. Leiden-Jakarta: LIPI-Ruhl, 1989.

Huub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Ivan Haryanto, et. al., “Agama Asli Manggarai”, Bahan Seminar. STFK Ledalero, 2003.

Kanisius T. Deki, Tradisi Lisan Orang Manggarai-Membidik Persaudaraan Dalam Bingkai  Sastra. Jakarta: Pharresia Institute, 2011.

___________, Wujud Tertinggi Agama Primal Mengais Makna Ilahi Orang Manggarai dan Lio. Maumere: Pusat Studi Spiritualitas Karmel, 2004.

___________, “Kain Songke dan Bahasa: Penanda Inkulturasi di Manggarai” dalam:  Hu Flores Pos, 3 Maret 2012.

___________, “Perjumpaan Transformatif Agama-Budaya: Satu Abad Gereja Katolik Manggarai” dalam: Hu Flores Pos, 19 Januari 2012.

Max Regus Pr & Kanisius T. Deki, Gereja Menyapa Manggarai-Menghirup Keutamaan Tradisi, Menumbuhkan Cinta, Menjaga Harapan. Jakarta: Parrhesia Institute, 2011.

Koentjaraningrat, Pengantar Anthropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2002

Marie-Laurence Haack, Les haruspices dans le monde romain. Bordeaux : Ausonius, 2003.

Ndoi Fransiskus, “Sening: Upacara Penyembuhan Orang Sakit dalam Masyarakat Manus”, Praskripsi. Maumere: STFK Ledalero, 1977.

Rahmat Subagya (Jan Bakker), Agama Asli di Indonesia. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1981.

Robert Mirsel dan Eman J. Embu [eds.], Gugat Darah Petani. Maumere: Ledalaro, 2004.

W.Stöhr-P.Zoetmulder, Die Religionen Indonesiens. Stuttgart 1965.

Walter Burkert,  The Orientalizing Revolution: Near Eastern Influence on Greek Culture in the Early Archaic Age. Thames and Hudson, 1992.

·         WAWANCARA:

Romo Herman Ando Pr (52th), imam dioses Ruteng, penutur torok, dari kampong Manus.

Sirilus Rahu (42th), tinggal di desa Benteng Raja, kecamatan Borong, kab. Manggarai Timur.

Wilhelm Wagut, (78 th), warga Gendang Ruteng, kecamatan Langke Rembong.

Yoseph Ngedot (61th), Ketua Sanggar Lawe Lenggong Manggarai.

(Telah dipublikasikan oleh Jurnal Missio, Vol 5, No 1 Thn 2013)
[1] Bahan ini pernah dipresentasikan untuk Sidang Pastoral Keuskupan Ruteng, 16-18 April 2012.
[2] Bdk. Kanisius T. Deki, “Perjumpaan Transformatif Agama-Budaya: Satu Abad Gereja Katolik Manggarai” dalam: Hu Flores Pos, 19 Januari 2012.
[3] Tentang Agama Asli baca: W.Stöhr-P.Zoetmulder, Die Religionen Indonesiens, Stuttgart 1965; Rahmat Subagya (Jan Bakker), Agama Asli di Indonesia, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1981; Huub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
[4] Bdk. Koentjaraningrat, Pengantar Anthropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hal. 193.
[5] Selain untuk roh leluhur, juga untuk semua roh yang datang bersamaan dengan roh leluhur itu.
[6] Romo Herman Ando Pr, melalui percakapan dengan orang tua-tua di kampung Manus menjelaskan bahwa pada saat pembukaan ladang atau kampung, orang Manggarai selalu membuat upacara tertentu untuk “meminta ijin” kepada roh yang mendiami tanah itu agar mereka berpindah ke lain tempat. Peristiwa itu disebut hesing. Lalu roh leluhur (céki) dari orang-orang itu diberi tempat sehingga merekalah yang menjaga tempat itu (kebun, kampong).
[7] Wawancara dengan Sirilus Rahu pada tanggal 10 Agustus 2004 di Borong. Sirilus pernah mengalami peristiwa wendo le darat pada tahun 2000.
[8] Untuk mengetahui lebih jelas tentang upacara ini bdk. Ndoi Fransiskus, “Sening: Upacara Penyembuhan Orang Sakit dalam Masyarakat Manus”, Praskripsi, Maumere: STFK Ledalero, 1977.
[9] Jillis A. Verheijen, Manggarai Text IV, Stensilan, Ruteng: Regio SVD Ruteng, 1978, pp. 338-369, 373-375.
[10] Wawancara dengan Wilem Wagut, 78 tahun, warga Gendang Ruteng, kecamatan Langke Rembong, tanggal 22 Februari 2005.
[11] Robert Mirsel dan Eman J. Embu [eds.], Gugat Darah Petani, Maumere: Ledalaro, 2004, hal. 33.
[12] Jillis A. Verheijen, Manggarai dan Wujud Tertinggi, Leiden-Jakarta: LIPI-Ruhl, 1989, hal. 34-35.
[13] Ivan Haryanto, et. al., “Agama Asli Manggarai”, Bahan Seminar, STFK Ledalero, 2003, hal. 3.
[14] Kanisius T. Deki, Wujud Tertinggi Agama Primal Mengais Makna Ilahi Orang Manggarai dan Lio, Maumere: Pusat Studi Spiritualitas Karmel, 2004, hal. 24-25.
[15] Gewak adalah nama sebuah tanah Lingko (kebun komunal) dari Gendang Tenda, kecamatan Langke Rembong.
[16] Dalam pembagian tanah komunal di setiap Lingko, setiap orang akan mendapat moso masing-masing. Moso adalah jari telunjuk yang dipakai sebagai ukuran ketika membagi tanah Lingko. Dari jari moso ini ditarik garis lurus ke luar batas Lingko [yakni cicing] yang membentuk segi tiga. Selain moso, ada juga yang mendapat tanah seturut ukuran moso kina [ibu jari] yang khusus diberikan untuk Tu’a Golo atau Tu’a Teno.
[17] Pongkor adalah adalah gundukan tanah seperti bukit yang mudah terlihat.
[18] Pateng adalah bagian dalam dari kayu,  bagian yang paling keras. Meskipun disimpan dalam air, kayu ini tidak akan lapuk atau rusak. Pateng kerap menjadi simbol untuk ketahanan, kesetiaan dan ketabahan.
[19] Banyak pasangan suami-istri yang belum mendapat keturunan akan mendapatkannya setelah mereka melakukan ritus teing hang terhadap leluhurnya.
[20] Bencana alam dan bencana personal (sakit) tertentu kerap dianggap sebagai akibat kealpaan orang atau komunitas tertentu terhadap kewajiban menghormati leluhurnya.
[21] Dalam benak orang Manggarai, paraleluhur selalu diandaikan sudah hidup bahagia di alam baka. Dalam posisinya itu, dia layak dimintai bantuan. Namun kelihatannya, dia masih berciri manusia juga dengan karakteristik manusiawi tertentu: marah, tersinggung, murka.
[22] Praktik melihat atau membaca tanda hati hewan juga ada dalam kebiasaan Romawi dan Etruscan. Kebiasaan ini dihubungkan dengan praktek keagamaan yang disebut haruspex (jamak haruspices; Latin auspex, naungan). Haruspex adalah orang yang dilatih untuk mempraktekkan suatu bentuk ramalan yang disebut haruspicy, hepatoscopy atau hepatomancy. Haruspicy adalah pemeriksaan isi perut dari hewan kurban , terutama hati dari domba dan unggas . Ritual yang disejajarkan dengan ritual lain dari ramalan seperti penafsiran petir, dari penerbangan burung ( nujum ), dan alam lainnya pertanda . Para praktisi selama periode dominasi Romawi mengadopsi judul auspex dari haruspex kata yang lebih tua, atau dari avis Latin (burung) dan specere atau spectare (melihat / lihat) untuk mebahasakan kenyataan itu.  Lihat: Walter Burkert, 1992. The Orientalizing Revolution: Near Eastern Influence on Greek Culture in the Early Archaic Age (Thames and Hudson), pp 46–51; Derek Collins, "Mapping the Entrails: The Practice of Greek Hepatoscopy" American Journal of Philology 129 [2008]: 319-345; Marie-Laurence Haack, Les haruspices dans le monde romain (Bordeaux : Ausonius, 2003).
[23] Wawancara dengan bapak Yoseph Ngedot (61th), Ketua Sanggar Lawe Lenggong Manggarai, di Tenda, 24 Maret 2012.
[24] Jika tidak bertanda baik, maka diupayakan pergantian hewan dan dibuat upacara ulang.
[25] Max Regus Pr & Kanisius T. Deki, Gereja Menyapa Manggarai-Menghirup Keutamaan Tradisi, Menumbuhkan Cinta, Menjaga Harapan, Jakarta: Parrhesia Institute, 2011, hal. 61, 123, dst.
[26] Bisa diperluas lebih dalam baca misalnya: Agustus Franzen, Kirchengeschichte, Herder Freiburg, 1988.
[27] Setelah penemuan wilayah-wilayah baru, inkulturasi menguat dalam Konsili Trente (1545-1563). Gerakan ini menjadi lebih sistematis, ketika Gereja Roma harus merenungkan bagaimana mengevaluasi unsur-unsur non-Kristen dalam budaya kuno. Tokoh terkenal dalam usah ini antara lain, José de Anchieta untuk orang asli Brasil, Thomas Stephens (Jesuit) di Goa, Roberto de Nobili di Southern India, Alexandre de Rhodes di Vietnam. Untuk wilayah Manggarai, dapat disebutkan Mgr. Wilhelmus van Bekkum SVD, P. Jillis Verheijen SVD dan P. Piet de Graff SVD. Adapaun secara singkat pandangan para Bapa Suci tentang inkulturasi sebagai berikut:
·         Paus Leo XIII pada tahun1894 dalam ensikliknya Praeclara Gratulationis memuji keragaman budaya dan liturgis sebagai ekspresi iman di dalam Gereja. Dalam Dignitatis Orientalum dia mengulangi kebutuhan untuk melestarikan dan mengembangkan keragaman dan budaya yang berbeda, dinyatakan menjadi harta karun. Ia menentang kebijakan latinisasi dari Vatikan dan menetapkan sejumlah langkah untuk melestarikan integritas dan kekhasan ekspresi budaya lainnya.
·         Paus Benediktus XV menekankan kemendesakkan adanya imam diosesan karena melihat efek negatif Perang Dunia I terhadap pergerakan misi gereja. Inkulturasi baginya pertama-tama adalah pengembangan imam projo atau misionaris domestik . Pada tanggal 20 November 1919, ia mengimbau umat Katolik dunia untuk mendukung misi dan terutama pengembangan klerus lokal, mendukung de-Eropanisasi misi Katolik.
·         Pada tahun 1939 Paus Pius XII  mengizinkan penghormatan anggota keluarga yang tewas di China. Pada 8 Desember 1939 surat dari Kongregasi Penyebaran Iman diterbitkan atas permintaan Pius XII yang menyatakan bahwa adat Cina tidak lagi dianggap takhayul melainkan cara terhormat menghargai kerabat seseorang, dan karena itu diizinkan oleh umat Katolik. Gereja mulai berkembang  menjadi tujuh puluh sembilan keuskupan dan tiga puluh delapan prefek apostolic walau hanya sampai 1949, ketika revolusi komunis mengambil alih negeri.
·         Paus Pius XI mengikuti gerakan ini dengan mempromosikan imam local. Hal ini berpengaruhpada perluasan studi budaya lokal untuk mendapat pengakuan yang lebih baik atau terakui. Dia secara pribadi berkomitmen menahbiskan setiap tahun uskup dari Asia, Afrika dan Amerika Latin. Pada kematiannya, terdapat 240 keuskupan berada di tangan para uskup dalam negeri.  Pengenalan Injil berarti inkulturasi dan menghindari penghancuran budaya lokal. Pius menekankan ini karena tidak semua tampaknya memahami hal ini. Menurut dia, dalam Summi Pontificatus  bahwa apresiasi yang lebih dalam terhadap berbagai peradaban perlu untuk pemberitaan Injil Kristus.  Tentang Inkulturasi dibahas dalam bukunya ensiklik Evangelii Praecones dan Fidei Donum , yang dikeluarkan pada 2 Juni 1951 dan 21 April 1957. Pius meningkatkan ketersediaan imam local, pembangunan prefektur apostolik menjadi keuskupan independen. Pius XII menuntut pengakuan budaya local. Melanjutkan garis pendahulunya, Pius XII mendukung pembentukan pemerintahan lokal di Gereja: pada tahun 1950, hirarki Afrika Barat menjadi independen; pada tahun 1951, Afrika Selatan, dan pada tahun 1953, Afrika Timur. Finlandia, Burma dan Afrika  jajahan Perancis menjadi keuskupan independen pada tahun 1955.
·         Yohanes Paulus II membahas inkulturasi dalam ensiklik dan beberapa penampilan publiknya. Istilah ini digunakan lagi oleh ensiklik Redemptoris Missio Yohanes Paulus II pada tahun 1990: Inkarnasi Injil dalam budaya asli dan juga pengenalan budaya ini ke dalam kehidupan Gereja merupakan transformasi intim nilai-nilai budaya yang otentik melalui integrasi mereka dalam agama Kristen dan masuknya agama Kristen di berbagai budaya manusia. Saat ini, inkulturasi merupakan istilah teologis yang telah didefinisikan dalam Redemptoris Missio 52 sebagai dialog yang sedang berlangsung antara iman dan budaya." Lihat: Kanisius T. Deki, “Kain Songke dan Bahasa: Penanda Inkulturasi di Manggarai” dalam: Hu Flores Pos, 3 Maret 2012.


30 comments:

  1. Selamat sore pa Kanisius,saya membaca tulisan pa Kanis dibagian pengertian dan maksud teing hang orang tua yang sudah meninggal rasanya terharu bahkan merinding pa karena apa ? Sadar atau tidak ini realita kehidupan orang Manggarai saat ini tidak ada lagi yang namanya nuk empo atau ata tua yang mendahului kita,padahal kita telah diwariskan dengan ritual yang kita yakini bisa mengatasi kondisi yang kita alami,,dan menurut saya tidak bertentangan dengan keyakinan kita sebagai orang Katolik.Hal ini pernah saya sheringkan pada saat saya ikut KEP di Jakarta 4 tahun yang lalu,mengenai tradisi kita orang Manggarai pande teing hang rapu atau orang tua yang sudah meninggal,,menurut pembicara tidak ada masalah dengan hal itu yang penting kita yakin dan percaya bahwa apa yang kita lakukan murni untuk tujuan baik buat orang yang sudah meninggal seperti halnya bagaimana kita mengikuti kisah sengsara Kristus yang wafat di kayu salib.Prinsipnya semakin banyak lagi orang Manggarai yang mau angkat ritual adat sehingga kita jangan sampai tergilas oleh arus zaman saat ini.Nuk empo atau orang tua yang sudah meninggal adalah Tuhan yang kelihatan dengan mata,kita yakin bahwa apa yang kita lalukan baik untuk Tuhan Yesus.Maaf kraeng tanggapan saya tidak bersifat ilmiah hanya lebih kepada rasa akan kehilangan ritual adat yang pernah diwariskan saja,terima kasih Tuhan Yesus memberkati :Aleksius Sundi : 081811889688

    ReplyDelete
  2. Lanjut Kraeng tua ...budaya kita unik dan mempunyai makna yang dalam untuk rasa persaudaraan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ite penanggap yang kritis dan cerdas. Yesus juga orang Yahudi. Dia tidak menolak keyahudianNya. Adat kita banyak yang positif. Kita tidak mungkin ada tanpa orang tua. orang tua ada karena leluhur. Menghormati mereka=menunjukkan keadaban kita sebagai pencinta kehidupan dan pengakuan terhadap pencipta kehidupan itu (Mori Jari Dedek). Tabe.

      Delete
  3. Io kraeng tua neka rabo saya baru balas....saya pikir kraeng dengan saya hampir sama cara pandang tentang budaya terutama " adat teing hang " keluarga ( orang tua ) yang sudah meninggal ...andai kata waktu mengizinkan boleh kita bertemu untuk mengungkapkan pandangan-pandangan mengenai budaya kita orang Manggarai dengan harapan budaya yang sudah diwariskan oleh nenek moyang,dan orang tua harus menjadi perhatian yang serius dari generasi sekarang karena ..hidup tanpa budaya ibarat jalan tanpa arah ini realita kehidupan zaman sekarang tabe ite.

    ReplyDelete
  4. Trimakasih banyak pa, saya sangat mengapresiasasi artikel ritus teing hang orang manggarai yang memiliki begituh banyak pembekalan bagi diri saya sendiri memperkuat keyakinan akan relasi antara leluhur yang telah meninggal dengan keluarga yang ditinggalkan.YOSEFINA TATI
    Artikel ini mengarahkan keyakinanan pembaca terhadap pengawasan dan kedekatan roh leluhur. Ini mungkin mustahil tapi percaya atu tidak percaya kajian dalam artikel ini mengupas lebih jauh hubungan antara leluhur dan keluarga yaang ditinggalkan serta dampakya.
    Hal ini dibuktikan dengan pengalaman pembaca, yang pada awalnya meragukan bahkan memandang “teing hang“ leluhur ini sebagai pola lelucon semata, dan menaanggapi dampak kelalain teing hang dengan sikap acuh tak acuh.
    Sikap ini nyatanya membawa dampak yang sangat luar biasa bagi diri saya, dalam rentan waktu saya merasa hidup dalam kebimbangan dan tak punya tujuan, hidup dalam kecemasan dan kegelisaan tiada batas, bahkan selalu diteror oleh mimpi-mimpi buruk dan di kejar oleh orang-orang yang wajahnya cukup asing tuk dideskripsikan dengan rupa manusia.
    Teing hang mungkin sangat sederhana dan mudah dilakukan tetapi jika dilakukan-nya tidak dengan kepercayan dan keiklasan maka tidak akan menghasilkan apapun bagi pemberi sesajian. Tulisan ini memperkuat upaya mempertahankan aset budaya kita.

    ReplyDelete
    Replies
    1. “RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI”

      Trimakasih banyak pa, saya sangat mengapresiasasi artikel ritus teing hang orang manggarai yang memiliki begituh banyak pembekalan bagi diri saya sendiri memperkuat keyakinan akan relasi antara leluhur yang telah meninggal dengan keluarga yang ditinggalkan.
      Artikel ini mengarahkan keyakinanan pembaca terhadap pengawasan dan kedekatan roh leluhur. Ini mungkin mustahil tapi percaya atu tidak percaya kajian dalam artikel ini mengupas lebih jauh hubungan antara leluhur dan keluarga yaang ditinggalkan serta dampakya.
      Hal ini dibuktikan dengan pengalaman pembaca, yang pada awalnya meragukan bahkan memandang “teing hang“ leluhur ini sebagai pola lelucon semata, dan menaanggapi dampak kelalain teing hang dengan sikap acuh tak acuh.
      Sikap ini nyatanya membawa dampak yang sangat luar biasa bagi diri saya, dalam rentan waktu saya merasa hidup dalam kebimbangan dan tak punya tujuan, hidup dalam kecemasan dan kegelisaan tiada batas, bahkan selalu diteror oleh mimpi-mimpi buruk dan di kejar oleh orang-orang yang wajahnya cukup asing tuk dideskripsikan dengan rupa manusia.
      Teing hang mungkin sangat sederhana dan mudah dilakukan tetapi jika dilakukan-nya tidak dengan kepercayan dan keiklasan maka tidak akan menghasilkan apapun bagi pemberi sesajian. Tulisan ini memperkuat upaya mempertahankan aset budaya kita.

      Delete
  5. JUDUL ARTIKEL
    ( RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI )

    Terimakasi kepada pa nik deki yang telah membuat artiker tentang ritus teing hang orang manggarai.
    Setelah saya membaca artikel ini, saya mendapatkan banyak hal yang selama ini saya tidak ketahui,artikel ini sangat bagus sebab banyak wawasan baru yang saya dapat dari artikel ini, sebagai orang manggarai saya selalu mengikuti acara teing hang, tetapi saya hanya mengiti saja dan tidak tau arti yang sesungguhnya dari acara teing hang tersebut.
    Ada banyak hal yang saya tidak ketahui dalam acara teing hang dan ada banyak hal yang saya artikan menyimpang dari arti yang sesungguanhnya, dan ada banyak pertanyaan tentang ritus teing hang dan dalam artikel ini saya mendaptkaan jawaban dari semua pertanyaan. Seperti yang saya paparkan dibawah ini.
    Dalam acara Teing hang yang selama ini kami ketahui maksudnya hanya memberi sesajaian kepada orang yang sudah meninggal, dan ternyata didalam acara teing hang tersebut memiliki berbagai maksud yaitu meminta keberhasilan, memohon perlindungan dan juga berupa ucapan syukur.
    Upacara teing hang ternyata hanya dilakukan pada 3 kesempat, yaitu pertama pada saat sakit berkepanjangan lalu muncullah mimpi, kedua dalam upacara adat, ketiga pada saat khusus misalnya pada saat laki.
    Ternyata dalam upacara teing hang ada struktur torok yang harus dilalui, artikel ini sangat membantu kami untuk mengetahui struk torok dan seperti apa kata-kata yang diucapkan pada saat torok dilkukan, kami sebagai orang muda manggarai perlu mengetahui kata-kata yang diucapakan pada saat torok, pada saat tua adat melalukan torok pasti menggunakan bahasa manggarai dan banyak orang manggarai saat ini bukannya tidak tau bahasa manggarai tetapi karena dengan perkembangan zaman sekarang orang muda manggarai setiap harinya menggunakan bahasa indonesia, dengan adanya aratikel ini sangat membantu kami untuk lebih memahami arti dari torok yang dilakukan oleh tua adat, karena dalam artikel ini menerjemahkan kata-kata yang menggunakan bahasa manggarai dalam torok kedalam bahasa indonesia.
    Dalam acara teing hanga ada satu kegiatan yang dinamakan dengan toto urat, sering tua adat pada saat totot urat memberikan banyak komentar setelah dia meliat urat dari heman kurban, komentarnya bisa berupa komentar yang baik dan ada juga komentar yang tidak baik. Kami tidak tahu komentar itu dilihat dari apa, teryata komentar itu dilihat hati dan usus hewan kurban, komentar yang baik ternyata jika bentuk hati lurus dan kilat –berkilau dan komentar yang buruk sebaliknya.
    Saya bangga jadi orang manggarai sebab ritus teing teing hang sebagai praktik keagamaan tradisional orang manggarai yang memiliki nilai yang sangat tinggi, bukan praktik menyebah berhalal,selama ini saya mengartikan teing hang sebagai praktik menyembah berhalal. Terimakasih untuk artikelnya

    nama : Frida Nilda
    kelas : III B
    NPM : 13.31.3079

    ReplyDelete
  6. ( Nama : Kristina Nurhayati Suel, Kelas : 3b , Npm : 13.31.3062, Prodi: PGSD )

    1. Artikel Tentang Ritus Teing Hang Orang Manggarai
    Pertama tama saya ucapkan terima kasih kepada bapak Kanisius Teobaldus Deki yang sudah menulis artikel tentang” Ritus Teing Hang Orang Manggarai”. Setelah saya membaca artikel yang bapak tulis saya baru paham bahwa, acara teing hang memiliki banyak kesempatan. Karena sepengetahuan saya selama ini acara teing hang hanya di lakukan pada saat ahkir tahun saja. Saya baru memahami bahwa acara teing hang bisa dilakukan dalm berbagai situasi yang di alami dalam hidup ini seperti yang telah di tulis pada artikel bapak, bahwa teing hang di lakukukan pada tiga kesempatan yaitu:
    Pertama, karena ada sakit yang berkepanjangan lalu muncullah mimpi (lang one nipi) bertemu dengan orangtua atau leluhur yang telah meninggal. Menurut penafsir (ata mbéko, ata pécing), mimpi itu memperlihatkan kenyataan bahwa anak-anak, termasuk yang sakit, lupa pada orang tua atau leluhurnya yang telah meninggal. Kedua, Teing hang menjadi satu kebiasaan dalam upacara penti, baik di akhir panen maupun pada saat pergantian tahun. Ketiga, pada saat-saat khusus, misalnya pada saat laki (persiapan perkawinan), wuat wa’i (meminta restu saat bepergian untuk maksud tertentu), rampas (perang) untuk meminta kekuataan dan penyertaan, dan landang (memenuhi undangan dari pihak yang melaksanakan hajatan tertentu yang disertai caci). Saat sekarang, perluasannya di segala lini kehidupan, misalnya untuk meraih jabatan politis (Pilkada, Pileg, Kadis, dll).
    Berdasarkan kesempatan teing hang yang bapak jelaskan, ada satu acara teing hang belum saya lihat bapak cantumkan yaitu acara” Takung Ase Kae Weki”. Menurut kepercayaan dalam keluarga kami bahwa acara takung ase kae weki perlu di lakukan pada orang yang sudah berkeluarga. Hal itu dilakukan guna untuk agar roh atau dalam bahasa Manggarai wakar dari seseorang selalu menjaga dan menuntun orang tersebut dalam pekerjaan, adapun maksud lain dari acara takung ase kae weki tersebut adalah agar roh atau wakar dari orang tersebut tidak merajut atau mela wakar dalam bahasa Manggarainya.
    Berkaitan dengan kepercayaan orang Manggarai yaitu mbeko, saya salah satu orang yang masih ragu dengan yang namanya ata mbeko, banyak sekali orang yang mendefenisikan bahwa ada orang mbeko yang baik dan ada orang mbeko yang tidak baik. Orang mbeko yang baik di artikan sebagai orang yang bisa membantu orang yang sakit atau mempunyai masalah. Sedangkan orang mbeko yang tidak baik adalah orang yang mempunyai ilmu jahat yaitu mempunyai ilmu sihir, bisa merusak rumah tangga orang, intinya berkaitan dengan hal – hal yang negative. Tetapi banyak kenyataan yang saya dengar, bahawa orang yang memiliki mbeko yang baik terkadang masih memiliki mbeko yang tidak baik juga, yang menjadi pertanyaan saya dan menjadi bahan refresing untuk kita bagaimana kita dapat menyakini atau dapat mengetahui orang mbeko yang baik, dilihat dari segi apanya.
    Ahkirnya saya ucapkan terima kaih kepada bapak Kanisius Teobaladus Deki yang sudah menulis artikel ini, karena dengan artikel yang bapak tulis bisa menambah pengetahuan saya tentang ritus teing hang untuk orang Manggarai, semoga bapak selalu di berkati oleh Tuhan Yanag M aha Esa.

    ReplyDelete
  7. “RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI (Sebuah Studi Awal Untuk Mencari Pertautannya dengan Inkulturasi Iman Kristen)”
    Selama ini saya berpikir bahwa teing hang tidak selamanya harus dilakukan tunggu ada keinginan (get) saja tetapi setelah saya membaca artikel di atas Saya baru memahami bahwa acara Teing Hang bisa dilakukan dalam berbagai situasi yang di alami dalam hidup ini seperti yang telah di tulis pada artikel, bahwa teing hang di lakukukan pada tiga kesempatan yaitu (1) Teing Hang karena ada sakit yang berkepanjangan lalu muncullah mimpi (lang one nipi) bertemu dengan orangtua atau leluhur yang telah meninggal. (2) Teing Hang menjadi satu kebiasaan dalam upacara penti, baik di akhir panen maupun pada saat pergantian tahun,(3) pada saat-saat khusus, misalnya pada saat laki (persiapan perkawinan), wuat wa’i (meminta restu saat bepergian untuk maksud tertentu), rampas (perang) untuk meminta kekuataan dan penyertaan, dan landang (memenuhi undangan dari pihak yang melaksanakan hajatan tertentu yang disertai caci).
    Disini baru saya menyadari bahwa Teing Hang merupakan budaya wajib sebagai orang manggarai yang selalu atau harus selalu dilakukan setiap tahun dan merupakan penghubung agar kita sebagai manusia masih bisa berhubungan dengan orang yang sudah meninggal melalui Teing Hang. Dalam artikel pa Nik saya tidak melihat atau belum dicantumkan acara “hese ngando” dan “Teing Hang Ase Kae Weki”. Dalam acara “hese ngado” adanya sebuah Teing Hang agar leluhur kita menjaga rumah kediaman kita dan juga untuk memperkokoh rumah kita dengan berbagai kayu yang disatukan “Hambor Haju”, dan acara “Teing Hang ase kae weki” yang bertujuan agar kita dijaga oleh roh kita dan dan ada yang mengatakan tidak mau menikah atau lambat menikah karena tidak mengadakan acara “Teing Hang ase kae weki”, agar kita juga mendapatkan rejeki atau ucapan terimakasih atas keberhasilan kita dalam jangka waktu yang tidak menentu.
    Banyak juga untuk zaman sekarang banyak orang yang beranggapan bahwa acara Teing Hang di anggap sebagai wujud penyembahan berhala karena sudah lahir agama-agama di masyarakat. Tetapi hal ini bertentangan dengan hal nilai kesakralan budaya Teing Hang karena sebelum manusia mengenal agama atau kepercayaan terlebih dahulu mereka mengenal suatu adat istiadat sebagai pegangan hidup mereka. Contohnya sekarang adanya sebuah pembentukan kelompok doa, dan dalam pembentukan kelompok doa tersebut bila kita sudah menjadi anggotanya kita tidak boleh lagi mengadakan Teing Hang, tetapi melihar realita yang ada banyak masyarakat sakit akibat tidak menghormati leluhur kita karena tidak melakukan Ritus Teing Hang. Mungkin ini menjadi pertanyaan saya,bagaimana tanggapan bapak mengenai pernyataan yang saya paparkan. Jadi menurut pemahaman saya upacara Teing Hang merupakan suatu kebudayaan yang tak bisa dipisahkan dari diri masing-masing masyarakat karena acara Teing Hang selalu dan terus berkembang dimasyarakat dan harus sejalan dengan kepercayaan kita sebagai umat yang beragama.
    Akhir kata, saya ingin mengucapkan sangat dan sangat berterima kasih kepada bapak Kanisius Teobaladus Deki karena karena telah memaparkan sebuah artikel yang berjudul Teing Hang yang mampu membuka pemikiran dan wawasan saya tentang betapa pentingnya sebuah adat Teing Hnag yang dapat berguna dan bermanfaat bagi kehidupan saya sebagai masyarakat manggarai yang berbudaya dan saya juga sangat berharap bahwa artikel-artikel tentang kebudayaan ini tidak akan pernah putus sampai kapanpun agar generasi-generasi yang selanjutnya di masa yang akan mendatang agar mereka akan selalu mencintai adat atau budaya yang sudah diterapkan dari nenek moyang kita dari zaman ke zaman.


    Nama : Angelina Sriati Miting
    Kelas : IIIB
    Prodi : PGSD
    NPM : 13.31.3119

    ReplyDelete
  8. Artikel 1 :
    RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI


    Menurut saya , dalam ritus teing hang terdapat usaha untuk menjaga warisan budaya karena merupakan salah satu kearifan religius dan kultural yang harus dikembangkan dalam diri kita orang mmanggarai. Teing hang adalah upacara memberikan makanan kepada leluhur atau orang tua yang sudah meninggal. Ada dua kesempatan teing hang dilakukan. Pertama, karena ada orang sakit yang berkepanjangan lalu muncullah mimpi ( lang one nipi ) bertemu dengan orang tua atau para leluhur dari orang yang sakit tersebut. Menurut ata mbeko, atau ata pecing, mimpi itu memperlihatkan kenyataan bahwa anak-anak, termasuk yang sakit, lupa pada orang tua atau leluhurnya yang telah meninggal. Ata mbeko dianggap memiliki pengetahuan dan kekuatan magis. Dialah orang yang disegani karena ia mampu menyembuhkan penyakit. Ata mbeko menyandarkan kekuatan mereka pada Wujud Tertinggi atau Roh-roh, mereka merupan penganjur yang kuat bagi kepercayaan akan magis. Ada juga ata mbeko janto yang merugikan orang lain. Kebanyakan ata mbeko janto dicari karena orang minta bantuannya untuk membalas dendam kepada orang lain. Kedua , teing hang menjadi satu kebiasaan dalam upacara penti,baik akhir panen maupun pada saat pergantian tahun.
    Dalam upacara teing hang orang Manggarai, hewan kurban yang digunakan adalah ayam jantan putih. Tujuan utama dari upacara ini adalah supaya para leluhur tidak menjadi murka oleh karena keluarga yang masih hidup melupakan dia dan berperilaku tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Dalam ritus teing hang ini penutur Torok menerima tuak kepok sebagai ungkapan kesediaan untuk menjadi wakil kilo ( keluarga ) yang mebuat upacara teing hang ini. Dalam ritus teing hang ini biasanya dilakukan hal-hal seperti berikut, torok teing hang, toto urat manuk, helang dan yang terakhir dilakukan hang wie cama ( makan malam bersama).
    Nama : Mariana Grace De Simnia
    Npm : 13. 31.3099
    Kelas : III B

    ReplyDelete
  9. “ Komentar Tentang Ritus Teing Hang Empo dan Melawan Lupa ”

    Acara teing hang empo merupakan sebuah kebudayaan yang yang biasa yang dilakukan oleh orang Manggarai pada akhir dan awal pergantian tahun. Teing hang empo bertujuan untuk berterimah kasih atas segala sesuatu yang telah diterima selama tahun itu dan permohonan maaf apabila terjadi suatu tindakan atau perbuatan yang kurang baik yang telah dilakukan selama setahun. Dan memohon agar apa yang belum didapatkan pada tahun sebelumnya dapat dipereroleh pada tahun yang akan datang. Permohonan itu disampaikan kepada Pencipta dan kepada leluhur. Menurut saya tak salahnya kita orang Manggarai melakukan acara seperti ini karena dasarnya ini adalah teing hang empo dimana empo yang dimaksud itu merupakan orang-orang yang bagian dari hidup keluarga yang telah meninggal dan merekalah yang telah memberikan kita hidup serta unsur-unsur yang mendukung kita agar dapat bisa berdiri dengan tegak. Tidak salah kita meberikan ucapan terimah kasih kepada mereka yang walapun semuanya itu telah disediakan oleh maha pencipta melalui lengar perantara mereka.
    Memang kalau dilihat dari model acaranya tak salah kalau ada yang memandang bahwa acara teing hang empo merupakan sebuah penyebahan berhala. Tetapi begitu banyak fenomena yang membuktikan jikalau acara yang dianggap penyebahan berhala itu tidak dilakukan atau tidak dilaksanakan. Fenomena-fenomena yang terjadi itu yang membuat kita sadar bahwa acara-acara seperti itu perlu kita lakukan, karena memang itulah yang menjadi tradisi yang telah dilakukan oleh nenek moyang yang sudah tertanam ditangah nuca lale ini.
    Saya sangat tidat setuju kalau teing hang empo dinilai sebuah penyembahan berhala dan apa lagi kalau kebiasaan sepreti itu dihilangkan karena dapat membawa malapetaka bagi kita yang sudah terikat dengan kebudaayaan seperti ini. Karena didalam setiap kebuadayaan selalu ada hukunya dan barang siapa yang niat ingin melanggara dengan aturan yang ada maka resiko ditanggung sendiri.

    Sekian komentar dari saya...
    Nama : Robertus Lang
    Kelas : III B
    NPM : 13.31.3121

    ReplyDelete
  10. Ritus budaya TEING HANG merupakan budaya Manggarai yaitu upacara members makan terhadap orang yang sudah meninggal.Artikel Bapak sangt menarik membuat kami lebih mengerti tentang budaya teing hang.Dimana orang Manggarai orang Manggarai sangat percaya bahwa dengan memberi makan kepada untuk menghormati para leluhur dan tidak menerima makanan dari orang lain(tuntung hang data).Semoga kami tetap peduli terhadap budaya budaya Manggarai i di era globalisasi ini.Dan artikel ini dapat memberi dorongan dan wawasan terhapad saya dalam memahami budaya Manggarai dalam ritus TEING HANG.IRENE PRIANDARINI ARIANI

    ReplyDelete
  11. KOMENTAR TENTANG ARTIKEL ACARA RITUS TEI HANG DALAM BUDAYA MANGGARAI
    Pertama-tama saya mengucapkan limpah terima kasih kepada Bapak Teobaldus Deki yang telah membuat artikel ini sebagaimana mestinya.Pada kesempatan ini saya ingin berkomentar tentang artikel yang telah dibuat .Menurut saya acara “RITUS TEI HANG “dalam kebudayaan manggarai sangat berguna bagi generasi penerus . Artikel ini sangat berguna bagi kami para pembaca agar mengetahui betapa pentingnya acara Ritus Tei Hang dalam kebudayaan Manggarai.Dalam kebudayaan Manggarai acara ritus tei hang itu kita hanya melakukan pada saat acara tutup tahun atau akhir tahun dan acara- acara adat lainnya.Dimana dalam pengertiannya acara tei hang adalah salah satu kearifan lokal budaya Manggarai .Masyarakat Manggarai sangat percaya bahwa roh atau arwah nenek moyang kita masih hidup sehingga tetap membangun relasi dengan mereka yang sudah meninggal dunia. Acara ritus tei hang menurut saya merupakan menjadi kebenaran yang mendasari penghormatan kita terhadap arwah dari nenek moyang kita yang telah meninggal.
    Budaya Tei Hang dalam kebudayaan Manggarai tentu saja sudah lama dipraktikan pada saat acara-acara adat ataupun pada saat acara tutup tahun atau akhir tahun . Yang mendasari adanya upacara ritus Tei Hang ini adalah karena adanya sebuah keyakinan dan kepercayaan akan adanya kehidupn setelah kematian . Keyakinan dan kepercayaan ini sejalan dengan iman kristiani .Oleh karena itu , upacara tei hang tidak terlepas dari iman katolik. Dalam upacara seperti ini harus ada hewan korban contohnya yaitu ayam, babi, kambing ,dll. Upacara tei hang bukan hal yang berdiri sendiri . Upacara tei hang ini dilaksanakan dalam berbagai konteks , bentuk , dan dengan tujuan tertentu . Upacara tei hang misalnya dilakukan pada saat acara penti, wuat wa’i ,membuka kebun baru ,we’e mbaru dll. Meskipun konteksnya berbeda tetapi makna dan tujuan dari acara tei hang itu tetap sama yakni menghormati para leluhur dan memohon perlindungan kepada mori kraeng.
    Upacara tei hang bukan hanya sekedar ritual belaka atau karena sudah menjadi kebiasaan yang diwariskan dari nenek moyang kita secara turun temurun , tetapi masyarakat Manggarai sungguh percaya bahwa dibalik acara tei hang kepada arwah nenek moyang terungkap suati credo atau pengakuan dan kepercayaan kepada wujud tertingginya yang disebu’t Mori’ karena dia telah memberikan nafas kehidupan kepada kita manusia. Dalam upacara tei hang biasanya ada satu orang yang bisa dipercayakan (ata bae tombo adat) . Dia yang mengucapkan kata-kata adat atau goet dalam bahasa Manggarai. Orang yang dipercayakan untuk menjadi pemimpin adalah bukan orang sembarangan. Upacara tei hang selalu digandengkan dengan morin kraeng. Tei hang dalam kebudayaan Manggarai yang beragam lokal untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal .
    Dalam upacara tei hang dalam kebudayaan Manggarai disitu kita percaya bahwa Tuhan itu benar- benar ada karena dialah yang menciptakan kita menjadi mansuia seperti yang sekarang ini . Upacara tei hang bukan merupakan suatu bentuk penyembahan berhala tetapi upacara Tei Hang merupakan suatu acara adat Manggarai yang perlu yang perlu diwariskan dari generasi kegenerasi yang lainnya. Oleh karena itu upacara Tei Hang sangat penting bagi masyarakat Manggarai dan perlu diwariskan kepada generasi selanjutnya. Upacara Tei Hanag tidak boleh dilepas pisahkan dari adat kebudayaan manggarai, acara ritus Tei Hang memang perlu diwariskan kegenerasi penerus karena itu sangat bermanfaat.
    Upacara Tei Hang dalam kebudayaan Manggarai itu merupakan suat acara adat yang sangat penting dan tidak boleh dilepaskan tetapi perlu diwariskan kegenerassi penerus. Pada kesempata yang terakhir ini saya mengucapkan bnyak terima kasih kepada Bapak Teobaldus Deki yang telah membuat artikel ini karena sangat gergun a dan bermanfaat bagi kami para pembaca agar kami tadak meninggalkan atau melepaskan apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang kami dulu.
    Nama : Elisabet Nurhayati Enot Emong
    Kelas : III B
    NPM : 13.31.3064

    ReplyDelete
  12. KOMENTAR TENTANG ARTIKEL ACARA RITUS TEI HANG DALAM BUDAYA MANGGARAI
    Pertama-tama saya mengucapkan limpah terima kasih kepada Bapak Teobaldus Deki yang telah membuat artikel ini sebagaimana mestinya.Pada kesempatan ini saya ingin berkomentar tentang artikel yang telah dibuat .Menurut saya acara “RITUS TEI HANG “dalam kebudayaan manggarai sangat berguna bagi generasi penerus . Artikel ini sangat berguna bagi kami para pembaca agar mengetahui betapa pentingnya acara Ritus Tei Hang dalam kebudayaan Manggarai.Dalam kebudayaan Manggarai acara ritus tei hang itu kita hanya melakukan pada saat acara tutup tahun atau akhir tahun dan acara- acara adat lainnya.Dimana dalam pengertiannya acara tei hang adalah salah satu kearifan lokal budaya Manggarai .Masyarakat Manggarai sangat percaya bahwa roh atau arwah nenek moyang kita masih hidup sehingga tetap membangun relasi dengan mereka yang sudah meninggal dunia. Acara ritus tei hang menurut saya merupakan menjadi kebenaran yang mendasari penghormatan kita terhadap arwah dari nenek moyang kita yang telah meninggal.
    Budaya Tei Hang dalam kebudayaan Manggarai tentu saja sudah lama dipraktikan pada saat acara-acara adat ataupun pada saat acara tutup tahun atau akhir tahun . Yang mendasari adanya upacara ritus Tei Hang ini adalah karena adanya sebuah keyakinan dan kepercayaan akan adanya kehidupn setelah kematian . Keyakinan dan kepercayaan ini sejalan dengan iman kristiani .Oleh karena itu , upacara tei hang tidak terlepas dari iman katolik. Dalam upacara seperti ini harus ada hewan korban contohnya yaitu ayam, babi, kambing ,dll. Upacara tei hang bukan hal yang berdiri sendiri . Upacara tei hang ini dilaksanakan dalam berbagai konteks , bentuk , dan dengan tujuan tertentu . Upacara tei hang misalnya dilakukan pada saat acara penti, wuat wa’i ,membuka kebun baru ,we’e mbaru dll. Meskipun konteksnya berbeda tetapi makna dan tujuan dari acara tei hang itu tetap sama yakni menghormati para leluhur dan memohon perlindungan kepada mori kraeng.
    Upacara tei hang bukan hanya sekedar ritual belaka atau karena sudah menjadi kebiasaan yang diwariskan dari nenek moyang kita secara turun temurun , tetapi masyarakat Manggarai sungguh percaya bahwa dibalik acara tei hang kepada arwah nenek moyang terungkap suati credo atau pengakuan dan kepercayaan kepada wujud tertingginya yang disebu’t Mori’ karena dia telah memberikan nafas kehidupan kepada kita manusia. Dalam upacara tei hang biasanya ada satu orang yang bisa dipercayakan (ata bae tombo adat) . Dia yang mengucapkan kata-kata adat atau goet dalam bahasa Manggarai. Orang yang dipercayakan untuk menjadi pemimpin adalah bukan orang sembarangan. Upacara tei hang selalu digandengkan dengan morin kraeng. Tei hang dalam kebudayaan Manggarai yang beragam lokal untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal .
    Dalam upacara tei hang dalam kebudayaan Manggarai disitu kita percaya bahwa Tuhan itu benar- benar ada karena dialah yang menciptakan kita menjadi mansuia seperti yang sekarang ini . Upacara tei hang bukan merupakan suatu bentuk penyembahan berhala tetapi upacara Tei Hang merupakan suatu acara adat Manggarai yang perlu yang perlu diwariskan dari generasi kegenerasi yang lainnya. Oleh karena itu upacara Tei Hang sangat penting bagi masyarakat Manggarai dan perlu diwariskan kepada generasi selanjutnya. Upacara Tei Hanag tidak boleh dilepas pisahkan dari adat kebudayaan manggarai, acara ritus Tei Hang memang perlu diwariskan kegenerasi penerus karena itu sangat bermanfaat.
    Upacara Tei Hang dalam kebudayaan Manggarai itu merupakan suat acara adat yang sangat penting dan tidak boleh dilepaskan tetapi perlu diwariskan kegenerassi penerus. Pada kesempata yang terakhir ini saya mengucapkan bnyak terima kasih kepada Bapak Teobaldus Deki yang telah membuat artikel ini karena sangat gergun a dan bermanfaat bagi kami para pembaca agar kami tadak meninggalkan atau melepaskan apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang kami dulu.
    Nama : Elisabet Nurhayati Enot Emong
    Kelas : III B
    NPM : 13.31.3064

    ReplyDelete
  13. Nama : Ferdianus Nasus
    NPM : 13.31.3083
    Kelas : III B
    “RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI (Sebuah Studi Awal Untuk Mencari Pertautannya dengan Inkulturasi Iman Kristen)”
    Seperti yang kita ketahui bersama teing hang merupakan Penghormatan terhadap leluhur untuk mengucap syukur kepada Sang Pencipta dan leluhur, memohon ampun atas segala kesalahan sekaligus memohon pertolongan agar kehidupan yang akan datang lebih baik. Ritus yang sarat dengan simbol ini (teing hang empo) merupakan kearifan lokal masyarakat manggarai yang masi terpelihara dengan baik. Dengan adanya retus teing hang empo pada upaca penti pada awal tahun maupun pada akhir tahun kita sebagai orang manggarai dapat mendapat anugrah.
    Retus teing hang juga merupakan merupakan pelindungan dan penjaga serta pemberi segala sesuatu kepada manusia. Keyakinan inilah yang melahirkan gagasan untuk menyembah parah leluhur dengan segala bentuk upacara adat. Sebagai orang manggarai, suku Manggarai percaya bahwa retus teing hang itu merupakan kedekatan antara sang leluhur dan Sang Pencipta melalui penyembahan atau ritus-ritus adat, mereka akan bersatu dalam kebahagiaan kelak.
    Upacara adat yang dibuat secara khusus untuk mengungkapkan kepercayaan akan Wujud Tertinggi, seperti upacara kelahiran, perkawinan dan pembukaan lahan baru, menyatakan secara tegas bahwa leluhurlah yang mengasal segala sesuatu untuk menciptakan, memelihara dalam kehidupan orang manggarai dan akhirnya memanggil untuk bersatu kembali secara erat pada akhir hidup sesudah kematian.
    Akhirnya dengan hadirnya upacara teing hang dan melawan lupa bagi orang manggarai itu merupakan wujud nyata dalam menmbangun segala usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam membangun sebuah usaha melalui adat istiadat dalam berupa teing hang atau sajian kepada leluhur Kepercayaan akan leluhur ini membawa Orang Manggarai kepada keyakinan bahwa teing hang Roh-roh leluhur ikut berperan dalam menciptakan keseimbangan kehidupan orang manggarai. Itulah sebabnya terhadap roh-roh ini Orang Manggarai memberikan respek, penghargaan serta menjalin relasi yang tetap intim dan konstan melalui berbagai ritus antaralain: Teing Hang atau kerap disebut Takung wura ceki yakni memberikan sesajian kepada roh leluhur sebagai bentuk persembahan yang memiliki berbagai maksud, antara lain meminta keberhasilan, memohon perlindungan dan juga berupa ucapan syukur. Sehingga orang manggarai dapat melimelihara hubungkan dengan berbagai macam upacara adat. Orang Manggarai kepada keyakinan bahwa teing hang. Itulah sebabnya terhadap roh-roh ini Orang Manggarai memberikan respek, penghargaan serta menjalin relasi antara sekelompok keluarga besar dalam satu kampung untuk menyaji bersama teing hang terhadap roh-roh leluhur nenek moyang kita bagi orang manggarai pada umunya.

    ReplyDelete
  14. Nama : Ferdianus Nasus
    NPM : 13.31.3083
    Kelas : III B
    “RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI (Sebuah Studi Awal Untuk Mencari Pertautannya dengan Inkulturasi Iman Kristen)”
    Seperti yang kita ketahui bersama teing hang merupakan Penghormatan terhadap leluhur untuk mengucap syukur kepada Sang Pencipta dan leluhur, memohon ampun atas segala kesalahan sekaligus memohon pertolongan agar kehidupan yang akan datang lebih baik. Ritus yang sarat dengan simbol ini (teing hang empo) merupakan kearifan lokal masyarakat manggarai yang masi terpelihara dengan baik. Dengan adanya retus teing hang empo pada upaca penti pada awal tahun maupun pada akhir tahun kita sebagai orang manggarai dapat mendapat anugrah.
    Retus teing hang juga merupakan merupakan pelindungan dan penjaga serta pemberi segala sesuatu kepada manusia. Keyakinan inilah yang melahirkan gagasan untuk menyembah parah leluhur dengan segala bentuk upacara adat. Sebagai orang manggarai, suku Manggarai percaya bahwa retus teing hang itu merupakan kedekatan antara sang leluhur dan Sang Pencipta melalui penyembahan atau ritus-ritus adat, mereka akan bersatu dalam kebahagiaan kelak.
    Upacara adat yang dibuat secara khusus untuk mengungkapkan kepercayaan akan Wujud Tertinggi, seperti upacara kelahiran, perkawinan dan pembukaan lahan baru, menyatakan secara tegas bahwa leluhurlah yang mengasal segala sesuatu untuk menciptakan, memelihara dalam kehidupan orang manggarai dan akhirnya memanggil untuk bersatu kembali secara erat pada akhir hidup sesudah kematian.
    Akhirnya dengan hadirnya upacara teing hang dan melawan lupa bagi orang manggarai itu merupakan wujud nyata dalam menmbangun segala usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam membangun sebuah usaha melalui adat istiadat dalam berupa teing hang atau sajian kepada leluhur Kepercayaan akan leluhur ini membawa Orang Manggarai kepada keyakinan bahwa teing hang Roh-roh leluhur ikut berperan dalam menciptakan keseimbangan kehidupan orang manggarai. Itulah sebabnya terhadap roh-roh ini Orang Manggarai memberikan respek, penghargaan serta menjalin relasi yang tetap intim dan konstan melalui berbagai ritus antaralain: Teing Hang atau kerap disebut Takung wura ceki yakni memberikan sesajian kepada roh leluhur sebagai bentuk persembahan yang memiliki berbagai maksud, antara lain meminta keberhasilan, memohon perlindungan dan juga berupa ucapan syukur. Sehingga orang manggarai dapat melimelihara hubungkan dengan berbagai macam upacara adat. Orang Manggarai kepada keyakinan bahwa teing hang. Itulah sebabnya terhadap roh-roh ini Orang Manggarai memberikan respek, penghargaan serta menjalin relasi antara sekelompok keluarga besar dalam satu kampung untuk menyaji bersama teing hang terhadap roh-roh leluhur nenek moyang kita bagi orang manggarai pada umunya.

    ReplyDelete
  15. KOMENTAR “RITUS TEING HANG”
    Trimakasih banyak Pa atas artikelnya yang menarik , saya sudah membacanya dan di sini menandakan kepedulian kita terhadap adat, adat yang dimaksud salah satunya dalam acara teing hang empo, hal ini terlukis indah dalam diri orang Manggarai. Orang Manggarai menyadari dan mengharagai betapa baiknya mengingatkan/ mendoakan sesama. Hal ini bukan saja untuk orang- orang yang masih hidup tetapi kebaikan ini untuk orang telah meninggal juga.
    kebahagian datang, apabila kita menerima diri dalam keadaan apapun dan juga sembari kita menghargai/ mengingat kembaki mereka yang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Harapannya bagi kita yang ditinggalkannya akan menjadi pendoa untuk kita, oleh karena itu sadar atau tidak oleh Manggarai hal ini menurut saya, wajar dan seharusnya di lakukan pada saat apapun keadaan kita dan bila perlu acara ini harus dilakukan.
    Acara teing hang ini merupakan bentuk tobat bagi orang yang tidak menghormati orang tua/ keluarganya selama hidupnya, dan sebagai salah satu usaha untuk mengingat para leluhur, dan acara ini sangatlah perlu bila keluarga itu menyadarinya, karena dengan ritual ini, bisa menyembuhkan atau apapun keadaan kita saat itu yang menghambat aktivitas kita. Dan ritual harus benar- benar niat dari kelurga yang bermasalah, dan bukan karena dipaksa oleh orang lain, dan kalaupun itu dipaksa, bagi keluarga yang bermasalah harus menerimanya dengan baik. Acara ini bukanlah sebuah hal yang bertentangan, karena acara masih dalam nuansa doa, hanya saja selain doa yang diucapkan, ada juga bentuk lainnya yaitu mengundang leluhur kita yang menurut orang Manggarai mereka tetap ada di sekitar kita sebagai penjaga kita
    NAMA : MARIA FATIMA IRMA
    KELAS : IIIB
    NPM : 13. 31. 3093

    ReplyDelete
  16. RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI
    Saya sangat senang dengan adat manggarai atau kebudayaan orang manggarai. Selain orang manggarai percaya kepada Tuhan, orang manggarai juga percaya kepada leluhur/nenek moyang yang sudah meninggal (empo). Empo di sini ada yang baik yang dan ada yang jahat.
    Dengan adanya artikel tentang budaya orang manggarai ini, akan bermanfaat bagi orang yang membacanya, karna dengan membaca artikel ini bisa menambah pengetahuan sesorang tentang budaya. Sebelumnya kami tidak mengetahui banyak tentang budaya manggarai. Memang orang tua kami sering melakukan teing hang kolang, penti, dll, tapi kami tidak bertanya apa tujuan dari acara itu. Setelah kami membaca artikel ini, jadinya kami bisa mengetahui semuanya tujuan dari acara-acara itu.
    Secara turun temurun orang manggarai tidak pernah lari jauh dari kebudayaannya.

    NAMA : RENITINA JEDIAN
    KELAS : III B
    NPM : 13.31.3094

    ReplyDelete
  17. RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI
    Saya sangat senang dengan adat manggarai atau kebudayaan orang manggarai. Selain orang manggarai percaya kepada Tuhan, orang manggarai juga percaya kepada leluhur/nenek moyang yang sudah meninggal (empo). Empo di sini ada yang baik yang dan ada yang jahat.
    Dengan adanya artikel tentang budaya orang manggarai ini, akan bermanfaat bagi orang yang membacanya, karna dengan membaca artikel ini bisa menambah pengetahuan sesorang tentang budaya. Sebelumnya kami tidak mengetahui banyak tentang budaya manggarai. Memang orang tua kami sering melakukan teing hang kolang, penti, dll, tapi kami tidak bertanya apa tujuan dari acara itu. Setelah kami membaca artikel ini, jadinya kami bisa mengetahui semuanya tujuan dari acara-acara itu.
    Secara turun temurun orang manggarai tidak pernah lari jauh dari kebudayaannya.

    NAMA : RENITINA JEDIAN
    KELAS : III B
    NPM : 13.31.3094

    ReplyDelete
  18. RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI
    Saya sangat tertarik sekali membaca tulisan Bpk, tulisan ini sangat membangun dan sangat bermanfaat bagi kami di kalangan remaja yang nanti sebagai generasi penerus untuk menjaga dan tetap melestarikan kebudayaan ini. Dengan melakukan acara teing hang ini berarti kita masih ada ikatan yang sangat dekat dengan para leluhur . Acara teing hang ini juga memiliki nilai yang sangat tinggi bagi orang manggarai,keyakinan akan nilai itu membuat kita sebagai orang manggarai tetap bertahan hidup di tanah nunca lale tanah manggarai ini.karena budaya teing hang ini menyatakan begitu besar penghormatan kita terhadap orang tua kita atau para leluhur. Orangtua memiliki posisi yang sanggat penting dalam kehidupan anak-anak mereka. Melalui acara teing hang ini bertanda kita masaih ada hubungan dengan orangtua kita walaupun mereka sudah meninggal.tetap ada harapan bahwa ada fungsinya sebagai orang tua,walaupun mereka sudah meninggal.peranya tetap sangat nyata sebagai orangtua yaitu melindungi anak-anaknya yang masih hidup,walaupun yang sesungguhnya mereka sudah tiada.ritus teing hang ini perlu dijaga dan dilestarikan untuk anak cucu kita nanti,karena ritus teing hang ini juga sangat erat kaitanya untuk menjaga suatu kampung dari bencana.
    NAMA : ELFIANA JEMINA
    NPM : 13.31.3113
    KELAS : III B PGSD

    ReplyDelete
  19. RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI
    Saya sangat tertarik sekali membaca tulisan Bpk, tulisan ini sangat membangun dan sangat bermanfaat bagi kami di kalangan remaja yang nanti sebagai generasi penerus untuk menjaga dan tetap melestarikan kebudayaan ini. Dengan melakukan acara teing hang ini berarti kita masih ada ikatan yang sangat dekat dengan para leluhur . Acara teing hang ini juga memiliki nilai yang sangat tinggi bagi orang manggarai,keyakinan akan nilai itu membuat kita sebagai orang manggarai tetap bertahan hidup di tanah nunca lale tanah manggarai ini.karena budaya teing hang ini menyatakan begitu besar penghormatan kita terhadap orang tua kita atau para leluhur. Orangtua memiliki posisi yang sanggat penting dalam kehidupan anak-anak mereka. Melalui acara teing hang ini bertanda kita masaih ada hubungan dengan orangtua kita walaupun mereka sudah meninggal.tetap ada harapan bahwa ada fungsinya sebagai orang tua,walaupun mereka sudah meninggal.peranya tetap sangat nyata sebagai orangtua yaitu melindungi anak-anaknya yang masih hidup,walaupun yang sesungguhnya mereka sudah tiada.ritus teing hang ini perlu dijaga dan dilestarikan untuk anak cucu kita nanti,karena ritus teing hang ini juga sangat erat kaitanya untuk menjaga suatu kampung dari bencana.
    NAMA : ELFIANA JEMINA
    NPM : 13.31.3113
    KELAS : III B PGSD

    ReplyDelete
  20. Nama: Gisela Srinarti Awut
    Kelas : III B PGSD
    Npm : 13.31.3074

    RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI
    (Sebuah Studi Awal Untuk Mencari Pertautannya
    Dengan Inkulturasi Iman Kristen)

    KOMENTAR :
    Sebagai orang Manggarai saya sangat senang membaca artikel yang telah Bapak posting. Patut diberi apresiasi terhadap kebudayaan yang kita miliki ini, karna disamping kita sebagai umat Kristen kita juga tidak lupa akan kebudayaan kita yaitu budaya teing hang yang bisa dilaksanakan setiap tahun. Budaya teing hang yang telah dipaparkan sangat menarik. Dan aptesiasi kepada Bapak karna telah mempostingkan kubudayaan adat Manggarai.



    ReplyDelete
  21. Nama: Gisela Srinarti Awut
    Kelas : III B PGSD
    Npm : 13.31.3074

    RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI
    (Sebuah Studi Awal Untuk Mencari Pertautannya
    Dengan Inkulturasi Iman Kristen)

    KOMENTAR :
    Sebagai orang Manggarai saya sangat senang membaca artikel yang telah Bapak posting. Patut diberi apresiasi terhadap kebudayaan yang kita miliki ini, karna disamping kita sebagai umat Kristen kita juga tidak lupa akan kebudayaan kita yaitu budaya teing hang yang bisa dilaksanakan setiap tahun. Budaya teing hang yang telah dipaparkan sangat menarik. Dan aptesiasi kepada Bapak karna telah mempostingkan kubudayaan adat Manggarai.



    ReplyDelete
  22. Nama: Gisela Srinarti Awut
    Kelas : III B PGSD
    Npm : 13.31.3074

    RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI
    (Sebuah Studi Awal Untuk Mencari Pertautannya
    Dengan Inkulturasi Iman Kristen)

    KOMENTAR :
    Sebagai orang Manggarai saya sangat senang membaca artikel yang telah Bapak posting. Patut diberi apresiasi terhadap kebudayaan yang kita miliki ini, karna disamping kita sebagai umat Kristen kita juga tidak lupa akan kebudayaan kita yaitu budaya teing hang yang bisa dilaksanakan setiap tahun. Budaya teing hang yang telah dipaparkan sangat menarik. Dan aptesiasi kepada Bapak karna telah mempostingkan kubudayaan adat Manggarai.



    ReplyDelete
  23. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  24. Untuk menjawab apakah tri hang empo itu berhala atau tdk, alangkah baiknya dibandingkan dgn rujukan ayat ayat Alkitab. Terkesan komentar lbih banyak mendukung adat itu karena alasan warisan budaya tanpa memperlihatkan kebenaran teoologis Alkitabiah. Sya jadi ingat, Saul mati karena meminta petunjuk dari roh penenung. Roh penenung itu adalah sihir dan roh peramal. Singkat kata berhati-hati lah agar kita jgn disesatkan.

    yang berpaling kepada arwah atau kepada roh-roh peramal, yakni yang berzinah dengan bertanya kepada mereka, Aku sendiri akan menentang orang itu dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya.”Imamat 20:6

    ReplyDelete
  25. Ritus Yeong hang bertentangan dengan katekismus,211-2117 di kitab ulangan bab 18 secara jelas Allah melarang berkomunikasi dengan arwah orang mati.
    Yesus taat kepada hukum taurat,karena Yesus ingin menyempurnakan hukum taurat itu kepada orang Yahudi dan dilam hukum taurat tidak ada ritus memberi makan kepada arwah

    ReplyDelete
  26. Dalam rangka teologi kontekstual, justru ritus-ritus ini menjadi titik mulai untuk membangun teologi yang aktual sekaligus relevan.

    ReplyDelete
  27. Saya ingin bertanya, dalam tradisi teing hang, siapa yg memakan sesajian itu?🙏🏼

    ReplyDelete