Monday, 1 October 2018

Permainan Caci (3)




 Kanisius Teobald Deki, dkk.

 Foto: Kostum lengkap pemain caci


Di antara begitu banyak permainan rakyat Manggarai, caci adalah sebuah permainan yang sangat popular.Permainan Caci dipentaskan di hampir setiap kampong (beo) di saat ada hajatan penting kampong seperti penti (upacara syukur), kawing (perkawinan) dan meramai-riakan acara-acara kenegaraan seperti memperingati hari kemerdekaan RI atau menerima tamu penting.

Permainan caci lahir dari kultur agraris orang Manggarai. Permainan ini biasa dilakukan pasca panen.Saat itu orang Manggarai merayakan syukur panen.Sebagai moment syukur panen, kesempatan itu dipandang istimewa untuk melakukan sesuatu yang memberikan rasa gembira, menantang dan bermakna.

Secara etimologis, kata caci berasal dari kata “Ca” (satu), “Ca-Ca” (satu-persatu) dan “Ci” (ujian).Jadi secara harafiah caci berarti suatu ujian satu-persatu. Dengan demikian dapat disusun suatu defenisi, yakni: suatu arena pementasan tarian perang yang akrobatik, menggunakan cemeti (larik, kalus) dan perisai (nggiling) sebagai ekspresi estetis para pemainnya.[1]

Caci dipentaskan pada halaman kampung (natas), dengan melibatkan dua kelompok dan melakoni peran secara bergilir, silih berganti saling memukul dan menangkis cemeti lawan.Kata caci dalam pengertian akronim dari ca gici ca. Ci berarti memberi kesempatan kepada seseorang untuk menerima sesuatu dengan terpaksa dengan sikap tanpa ikhlas dan dengan maksud untuk menguji dan mengecek apakah pihak penerima mempunyai kemampuan untuk menerima cambukan atau tidak.Gici Ca berarti satu persatu.Dari ketiga kata itulah muncul kata caci yang sekarang dipergunakan oleh orang Manggarai.[2]

Sisi lain pemahaman tentang caci ditawarkan ole Maribeth Erb, sebagaimana dia menulis sbb:

Caci is the communication between God and human beings. Ca means one, ci means to test. So God tests the players, one against one to see whether they are in the wrong or not. One sign of this testing is the whip, which symbolizes a flash of lightning. Lightening is the judgement from God. But lightening also connects the earth and sky. Caci is symbolic of God, the unity of mother earth and father sky. The shield held in the right hand is a symbol of the womb, of mother earth. The woven sticks held in the left hand, (to also shield the defender), are a symbol of the sky. The whip as lightening connects the two. [3]

Dari kutipan Maribeth, terdapat dimensi relasi vertical dan horizontal dalam permainan caci.Secara vertical ada hubungan antara Allah sebagai pencipta dan manusia, lalu secara horizontal terdapat relasi manusia dengan symbol.

Permainan seni caci adalah permainan yang saling mencemeti lawan dengan mempergunakan alat perlengkapan cemeti yang disebut kalus/larik (terbuat dari kulit kerbau), nggiling (perisai terbuat dari kulit kerbau), panggal (pelindung kepala/wajah berbentuk kepala dan tanduk kerbau) dan agang atau koret(lengkungan ujung bambu dan rantingnya yang diikat berbentuk setengah lingkaran untuk menahan tali cemeti lawan agar tidak mengenai badan) dan lalong ndeki (menyerupai ekor kerbau yang berfungsi untuk menahan pukulan cemeti dari bagian belakang).[4]***





[1] Bdk. Damasus Jeratu, “Kultur Manggarai 1”, Manuskrip (Ruteng, 2010).
[2]Ibid.
[3]Erb, Maribeth, Conceptualising Culture in a Global Age: Playing Caci in Manggarai.Department of Sociology National University of Singapore: Presented as a seminar in the Southeast Asian Studies Program, National University of Singapore, April 4, 2001, p. 23.
[4]Ibid.

No comments:

Post a Comment