Kanisius Teobald Deki, dkk.
Foto: Kostum lengkap pemain caci
Di antara
begitu banyak permainan rakyat Manggarai, caci
adalah sebuah permainan yang sangat popular.Permainan Caci dipentaskan di
hampir setiap kampong (beo) di saat
ada hajatan penting kampong seperti penti
(upacara syukur), kawing (perkawinan)
dan meramai-riakan acara-acara kenegaraan seperti memperingati hari kemerdekaan
RI atau menerima tamu penting.
Permainan caci
lahir dari kultur agraris orang Manggarai. Permainan ini biasa dilakukan pasca
panen.Saat itu orang Manggarai merayakan syukur panen.Sebagai moment syukur
panen, kesempatan itu dipandang istimewa untuk melakukan sesuatu yang
memberikan rasa gembira, menantang dan bermakna.
Secara
etimologis, kata caci berasal dari
kata “Ca” (satu), “Ca-Ca” (satu-persatu) dan “Ci” (ujian).Jadi secara harafiah
caci berarti suatu ujian satu-persatu. Dengan demikian dapat disusun suatu
defenisi, yakni: suatu arena pementasan tarian perang yang akrobatik,
menggunakan cemeti (larik, kalus) dan perisai
(nggiling) sebagai ekspresi estetis para pemainnya.[1]
Caci dipentaskan pada halaman kampung (natas),
dengan melibatkan
dua kelompok dan melakoni peran secara bergilir, silih berganti saling memukul
dan menangkis cemeti lawan.Kata caci dalam pengertian akronim dari ca gici ca. Ci berarti memberi kesempatan kepada seseorang untuk menerima
sesuatu dengan terpaksa dengan sikap tanpa
ikhlas dan dengan maksud untuk menguji
dan mengecek apakah pihak penerima mempunyai kemampuan untuk menerima
cambukan atau tidak.Gici Ca berarti satu persatu.Dari ketiga kata itulah muncul kata caci yang sekarang dipergunakan oleh
orang Manggarai.[2]
Sisi lain
pemahaman tentang caci ditawarkan ole Maribeth Erb, sebagaimana dia menulis
sbb:
Caci
is the communication between God and human beings. Ca means
one, ci means to test. So God tests the players, one against one to see
whether they are in the wrong or not. One sign of this testing is the whip,
which symbolizes a flash of lightning. Lightening is the judgement from God.
But lightening also connects the earth and sky. Caci is symbolic of God,
the unity of mother earth and father sky. The shield held in the right hand is
a symbol of the womb, of mother earth. The woven sticks held in the left hand,
(to also shield the defender), are a symbol of the sky. The whip as lightening
connects the two. [3]
Dari kutipan
Maribeth, terdapat dimensi relasi vertical dan horizontal dalam permainan
caci.Secara vertical ada hubungan antara Allah sebagai pencipta dan manusia,
lalu secara horizontal terdapat relasi manusia dengan symbol.
Permainan seni
caci adalah permainan yang saling mencemeti lawan
dengan mempergunakan alat perlengkapan cemeti yang disebut kalus/larik
(terbuat dari kulit kerbau), nggiling
(perisai terbuat dari kulit kerbau), panggal (pelindung kepala/wajah berbentuk kepala dan tanduk kerbau) dan agang atau koret(lengkungan ujung bambu dan rantingnya yang diikat
berbentuk setengah lingkaran untuk menahan tali cemeti lawan agar tidak mengenai
badan) dan lalong ndeki (menyerupai
ekor kerbau yang berfungsi untuk menahan pukulan cemeti dari bagian belakang).[4]***
[1] Bdk. Damasus Jeratu, “Kultur
Manggarai 1”, Manuskrip (Ruteng,
2010).
[3]Erb,
Maribeth, Conceptualising
Culture in a Global Age: Playing Caci in Manggarai.Department of
Sociology National University of Singapore: Presented as a seminar in the Southeast
Asian Studies Program, National University of Singapore, April 4, 2001, p.
23.
No comments:
Post a Comment