Saturday 25 January 2020

Karya Roh Kudus Itu Nyata!





Kanisius Teobaldus Deki S.Fil., M.Th

Apakah Roh Kudus itu nyata ada, bukanlah pertanyaan yang penting lagi bagi umat beriman. Namun bagaimana Roh itu menampakkan diri, itulah sebuah pertanyaan yang aktual dan relevan. Aktual karena bermuara pada pertanyaan: manakah buah-buah roh? Relevan karena buah-buah roh yang nyata dalam kehidupan kongkrit membawa manusia dan semesta kepada kepenuhan hidup sebagai anak-anak Allah.

Tulisan ini lebih sebuah narasi syukur yang membuncah atas kasih karunia Allah yang nyata dalam diri para suster SSpS yang kini merayakan 75 tahun karya di Keuskupan Ruteng, Denpasar (Sumbawa) dan Weetebula (Sumba). Sebuah perjalanan intan yang terus memendarkan cahaya dari hati yang tulus, iklas, sedia dan setia melayani umat Allah dari pelbagai suku, bahasa, bangsa dan bahkan melintas batas (passing-over) dari sekat-sekat primordialistik seperti agama dan keyakinan di panca benua.

Dalam percakapan sehari-hari kerap terdengar sebutan Roh Allah dan Roh Kudus. Kata “roh” diasalkan pada kata Ibrani “ruah” dan kata Yunani “pneuma” yang berarti nafas dan roh. Kata ini menunjukkan secara aktif kuasa pemberi kehidupan yang tak kelihatan namun dirasakan. Sejak dalam Kitab Kejadian, Roh Allah sudah hadir di tengah dunia dalam proses tataciptaan (Kej. 1:2), membentuk manusia (Kej 2:7), memelihara kehidupan semesta (Maz 104:30). Roh yang mencipta. Dalam seluruh alur kehidupan Roh Allah membantu manusia memiliki keahlian (Kel 31:3), kemampuan memimpin (Hak 3:10) dan kekuatan lahiriah (Hak 14:6). Roh Allah juga mengilhami para nabi dalam kitab suci sehingga mereka menjalankan kehendak Allah dalam memimpin bangsa Israel (Yes 63:10,11), dengan moralitas yang terandalkan (Maz 139:7) dan nurani yang senantiasa terjaga (Maz 139:23-24).

Dalam masa bangsa Israel terjerembab dalam lembah nista karena meninggalkan Allah dan dibantai oleh penjajah asing, pemazmur tetap yakin akan munculnya mesias, sang penyelamat yang akan membebaskan bangsa Israel dari penindasan (Yes 11:2, 42:1-4, 6:1-2, bisa kita bandingkan dengan teks Luk 4:18) dan nubuat tentang peran Roh dalam kehidupan umumnya (Yeh 36:26, 27, Yl 2:28). Janji Allah memerdekakan bangsa Israel (dan umat kemudian umat manusia seluruhnya), tidak hanya berciri temporer, namun berkelanjutan tanpa batas waktu dalam tata keselamatan Allah melalui kelahiran Sang Mesias, Yesus Kristus (Mat 1:18, Luk 1:35), pembabtisanNya (Mark 1:8), pelayananNya (Mat 12:28) dan kebangkitanNya (Yoh 7:39).

Pascakenaikan Yesus, sesuai janjiNya, Dia akan mengirim penolong, yakni Roh Kudus untuk membantu para murid dan setiap orang yang percaya (Luk 24:49 ). Dalam kehidupan jemaat perdana Roh Kudus turun atas para rasul (Kis 1:8), Dialah Roh Kristus (Rom 8:4, 2Kor 3:18). Roh itu menuntun jemaat yang percaya dan memenuhi mereka (Ef 4:4), memberikan aneka karunia untuk melayani seluruh persekutuan umat beriman (1Kor 12:7).

Congregatio Missionalis Servarum Spiritus Sancti (CM-SSpS) atau Kongregasi Abdi Roh Kudus berada dalam area semangat biblis di atas. Dalam kebulatan tekad yang luar biasa mengagumkan, mereka percaya bahwa Roh Kudus Allah adalah Pencipta, Sumber dan Penata kekuatan sepanjang hidup dalam proses pertumbuhan spiritual, dan hanya dengan Roh maka orang percaya dapat memperoleh kemenangan melawan dosa.

Panggilan kepada kekudusan SSpS ditandai oleh keyakinan bahwa Roh melepaskan orang kudus dari belenggu ketergantungan mutlak pada hukum secara harfiah. Roh adalah Roh Kristus Pembebas, yang mengubah orang berdosa, yang menyesuaikannya dengan citra Kristus (2Kor 3:17-18). Karena itu, melayani Kerajaan Allah berarti melayani umat-Nya yang berada dalam dunia melalui pendidikan baik formal (TK-SLTA) maupun nonformal (Kursus dan pembinaan Asrama) juga pastoral dalam aneka rupanya.

Roh Kudus ialah Roh Kerajaan Allah yg mengutamakan kebenaran, damai sejahtera dan sukacita di atas makanan dan minuman (Rom 14:17). Roh yang melepaskan egoisme dan individualisme untuk melayani orang yang sakit dan menderita melalui pendirian Balai Pengobatan dan Rumah Sakit dan panti-panti kusta, termasuk lingkungan hidup yang kian rusak melalui JPIC. Roh yang menuntun mereka untuk melewati padang savanna di Sumba, penghinaan dan penolakan di Sumbawa.

Di atas segala-galanya, Rohlah sumber kebenaran, sumber kasih kudus yang mengungguli imam dan pengharapan, yang paling pertama dan utama dalam daftar buah Roh hasil spontan dari pekerjaan-Nya (Gal 5:22-23). Keyakinan ini membuat mereka tidak berdiam diri di Eropa, tetapi melangkahi samudera dan benua untuk datang bermisi di Indonesia, khususnya Flores. Dalam rangka itu maka karunia-Nya kepada gereja harus dihargai dan digunakan (1Kor 12-13) pada aneka karya pastoral kemudian: di tanah Flores, Kalimantan, Sumba, Sumbawa dan juga kemudian mengirim misionaris ke seluruh dunia. Semua karya ini adalah sebuah perutusan Allah yang dirasakan dan dialami manusia dari watu ke waktu!

Kongregasi ini sungguh sadar bahwa Rohlahyang mempersatukan  seluruh visi, misi, karya serta orang-orang yang bergabung di dalamnya, bahkan bila Ia membagikan karunia yang berbeda di antara mereka, Ia berusaha memelihara kesatuan dalam ikatan damai sejahtera (Ef 4:3). Itulah sebabnya, karya-karya Kongregasi ini, walau dilumuri oleh pelbagai tantangan dan masalah, tak pernah sepi dari derita dan air mata, namun selama 75 tahun di Provinsi Flores Barat, tetap kokoh kuat. Roh Kudus yang menuntun ini, seakan teguh pada keyakinan ini: Janganlah memadamkan Roh karena tidak bersandar pada-Nya, dan janganlah mendukakan-Nya dengan mengandalkan-Nya secara salah (1Tes 5:19, Ef 4:30). Sebuah karya yang sulit ditakar akal, penuh misteri namun tetap abadi hingga kini!

Apakah penjajahan yang paling mengerikan di saat ini? Bukan lagi peretasan batas wilayah, mencari negeri baru, menjelajahi samudera. Bukan! Penjajahan itu adalah kemiskinan, kebodohan, kesehatan yang buruk, tidak dihiraukan, tidak dianggap ada, terlemiminasi dari komunitas dan tidak mendapat tempat dalam kebersamaan. Ini adalah penjajahan kemanusiaan yang total. Belenggu yang harus dilepaskan segera. Selama 75 tahun SSpS sudah menjadi peretas jalan untuk menemukan jalan pembebasan atas penjajahan itu. Sebuah mahakarya dalam pelbagai bidang kehidupan yang tak terukur kata. Kami tetap mendukungmu, kami tetap mengharapkan komitmenmu tak berubah, karena kami yakin Roh Kudus yang engkau layanilah yang menuntunmu pada jalan kebenaran dan kehidupan. Nyatakanlah terus melalui pewartaan dan karya bahwa Roh Kudus itu nyata!***

(Dimuat sebagai chapter dalam buku: DALAM CINTAMU KAMI MENGABDI
75 Tahun CM SSpS di Keuskupan Ruteng, Oleh: Sr. Mektilde Theodora Nahas, SSpS)





Thursday 23 January 2020

Prophete du sens


Kanisius Teobaldus Deki
Penulis buku 100 Tahun Paroki Katedral Ruteng (2020)

Catatan: Artikel ini terbit tahun 2010 (Suara Nuca Lale edisi 15, 16-31 Maret 2010), jelang tahbisan Uskup Ruteng Mgr. Hubertus Leteng. Kami publikasikan kembali sebagai catatan jelang tahbisan Uskup Ruteng yang baru Mgr. Siprianus Hormat. Kiranya bermanfaat bagi kita.


“Berita gembira! Telah terpilih uskup Ruteng yang baru Romo Dr. Hubert Leteng Pr.” Demikian sebuah short message service (SMS) masuk ke ponselku. Aku memperhatikan kalender dan jam dinding, hari itu, Sabtu 7 November 2009, pkl. 19.00. Spontan aku berkata “syukur Tuhan!” Beliau terpilih untuk menggantikan Mgr. Eduardus Sangsun, SVD yang meninggal dunia 13 Oktober 2008 lalu. Berita ini tentu sangat menggembirakan umat Katolik, khususnya di Keuskupan Ruteng karena adanya tahta lowong sejak 13 Oktober 2008. Penantian yang cukup lama ini disambut dengan kegembiraan yang penuh. Di setiap paroki diumumkan tentang terpilihnya Doktor Spiritualitas ini sebagai uskup Ruteng yang baru.

Dalam rasa gembira yang meluap-luap, ingatanku berpulang pada hari-hari kuliah tahun 2004. Seorang laki-laki paro baya memasuki pelataran parkir STFK Ledalero. Dari lantai dua mata kami terus mengikuti langkahnya menuju tangga kampus. Langkah tegap yang disertai senyuman setiap kali berpapasan dengan mahasiswa. Tegap, berwibawa serta sederhana, adalah tampilan yang tak pernah alpa dari kepribadian seorang Hubert Leteng. Cara pikir, tutur kata dan sikap yang bersahaja adalah ekspresi kental yang menjadi cirinya. Begitulah, setiap kali kami disuguhi kuliah Spiritualitas Imamat. Ada diskusi hangat yang kontekstual. Tak kurang kepiawaiannya dalam menjawabi pertanyaan mahasiswa Pascasarjana. Lebih dari semua itu, pandangannya yang tetap teguh berhadapan dengan kecenderungan modernitas yang seolah terakui secara otomatis tanpa sikap kritis.

Seraya mengutip dokumen Pastores Dabo Vobes ia berulang menandaskan tentang fokus pelayanan para imam sebagai pihak yang dipanggil untuk hidup bersama dengan orang lain, bukan dalam keterpisahan, sebab esensi panggilan mereka, selain “ada” yang berasal dari Allah (man of God), juga sekaligus “ada” untuk sesama (man for others) dalam bingkai cinta kasih pastoral. Panggilan kepada cinta kasih pastoral memiliki dimensi sosial (social dimension) yang mau tidak mau harus berhadapan dengan sesama. Sebab, jikalau ia hadir hanya untuk dirinya, maka panggilannya menjadi nirmakna (meaningless). Dalam perjalanan pelayanannya di tengah masyarakat kampus dan Seminari Tinggi, Hubertus tidak hanya menjadi seorang tokoh spiritual tetapi juga imam-teolog yang menginterpretasi kehidupan secara kreatif. Dan kini, beliau menjadi gembala umat untuk keuskupan Ruteng!

Membaca konteks Manggarai Raya (Timur, Tengah & Timur) yang masih dililiti  kemiskinan, pertanyaan yang perlu diajukan ialah praksis pastoral macam mana yang perlu dilakukan Uskup baru ini? Pertanyaan ini adalah sebuah stand point untuk menentukan kiblat pastoral di daerah yang mayoritas penduduknya adalah petani sederhana dan masih dibeliti persoalan kemiskinan.

Ada secuil kegalauan membaca peta yang terkuak secara inplisit dari persiapan tahbisan ini. Pertama, soal komposisi panitia tahbisan. Tak dapat disangkal, ketua umum dan ketua pelaksana adalah orang jajaran atas di lingkup Pemkab Manggarai. Pertanyaan yang muncul ialah: Apakah pemilihan ini tidak akan menjebak sang gembala ke rimba persekongkolan  antara altar dan kuasa? STFK Ledalero juga mengingatkan hal ini sebagai sikap kritis yang harus dihiraukan. Kedua, soal tempat. Panitia sepakat untuk memilih Lapangan Motang Rua. Pertanyaan yang spontan menyeruak masuk ialah: Mengapa kita tidak memanfaatkan Katedral nan megah dengan pelatarannya yang luas? Lapangan ini berada di tengah kekuatan modal (toko-toko, pasar) dan kekuatan kuasa (kantor Pemkab). Kalau peristiwa mulia ini terjadi di Katedral, selain penegasan eksistensi, juga mengurangi biaya. Ini adalah perayaan umat-rakyat. Maka pesta dirayakan seadanya, namun sakral, serentak menghargai kemiskinan dan kepapaan umat-rakyat Manggarai. Dengan demikian, tak perlu menghambakan diri pada pemilik modal dan penguasa (donor sukarela di pentas jelang Pilkada) untuk meminta sesuap nasi di acara resepsi.

Ada dua jawaban yang bisa diberikan. Pertama, secara teologis, gereja harus keluar dari sikap eksklusivitasnya. Ia harus berada di lapangan dunia ini. Bahasa Injilnya, “menjadi garam dan terang dunia” (Mat 5:13-16). Bahwasannya, Allah hadir di mana saja Ia mau. Modal dan kuasapun, karenanya, bisa disakralkan. Ini maksud yang sangat positif. Kedua, bisa jadi mengisyaratkan bahwa Gereja sendiripun menyerahkan diri dikepung oleh kekuatan lain dan takluk-tunduk padanya seperti kenyataan yang dirasakan oleh umat Manggarai selama ini. Jika ini yang menjadi spirit, maka uskup baru sudah dibawa ke tempat pembantaian secara metodologis-sistematis-sadar sebelum memainkan jurus reksa pastoral yang profetik!

Menurut Paul Ricoeur (Borgias, 2009: vi), seorang teolog, pemimpin umat atau orang beriman harus bisa menjadi prophete du sens, nabi yang mewartakan atau menegaskan arti kehidupan. Seorang teolog-pemimpin umat adalah seorang yang berani mewartakan atau menegaskan arti kehidupan. Seorang teolog adalah seorang yang berani menggerakkan dirinya dalam alur triadik berteologi yakni going in, coming back dan going in between. Dengan membawa tradisi kristiani yang dianutnya, seorang teolog harus masuk ke dalam konteks (going in) untuk belajar dari konteks. Oleh pengalaman dalam going in, seorang teolog mesti juga berani untuk melakukan coming back (kembali ke tradisi Kristen) dan mengkonfrontir kenyataan konteks dengan tradisi Kristen. Buah dari sebuah coming back memungkinkan teolog-pemimpin umat untuk bergerak di antara (going in between), menjawab kenyataan-kenyataan konteks dengan tradisi Kristen yang relevan.
Mgr. Hubertus, dalam kesahajaannya adalah pribadi yang dekat dengan harapan Ricoeur. Dia adalah man of God serentak man for others dalam kesadaran sebagai ens sociale (mahkluk sosial) dan homo religiosus (mahkluk rohani). Bisa jadi ia sebagai yubilaris tak bisa berkata dan berkomentar tentang persiapan penahbisannya. Tapi kita, umat-teolog-rakyat Manggarai, diberi kesempatan yang sama untuk menjadi prophete du sens. Belajar dari konteks sejarah masa lalu untuk menegaskan diri sebagai nabi yang tetap independent dan memiliki otoritas dalam ajaran dan tindakan yang benar. Itu adalah hasil pertautan dari going in, coming back  dan going in beetwen. Sebuah racikan untuk menemukan kembali jati diri gereja Manggarai dan visinya di tengah dunia yang sedang kalap dan rancu. Bahkan kalau itu harus berlawanan dengan pemilik modal dan penguasa.***













[1] Dimuat Tabloid Mingguan Suara Nuca Lale edisi 15, 16-31 Maret 2010.