Kanisius Teobaldus Deki
S
|
ejak zaman dahulu kala banyak orang secara khusus menaruh
perhatian terhadap manusia. Hal
itu terekspresi dalam berbagai tulisan zaman lampau hingga saat ini. Sofokles,
seorang dramawan Yunani, berkata dalam sebuah karya tragedi yang berjudul Antigone, “Banyak keajaiban di dunia
ini, tetapi tidak ada satupun yang lebih ajaib daripada manusia”. Pernyataan
ini masih bisa dibenarkan sampai hari ini. Tentu saja sejak pernyataan Sofokles ini ditulis, hampir 25 abad yang
lalu, telah terjadi banyak perubahan. Pengetahuan manusia sudah meloncat
mencapai ketinggian yang belum pernah diimpikan.[1]
B
|
erbicara tentang manusia ada banyak
pertanyaan yang bisa diajukan. Meminjam istilah Driyarkara, ada pertanyaan
“eksperimental”, baik eksperimental biasa maupun eksperimental ilmiah. Namun
khusus untuk pertanyaan dalam filsafat, manusia tidak bisa mengajukan pertanyaan
eksperimental melainkan metafisis atau hakiki. Yang ditanyakan: hakekat
manusia. Jawaban atas pertanyaan yang hakiki itu menjadi dasar keterangan semua
hal manusiawi.[2] Belajar tentang manusia selalu menarik justru karena
bermuara pada pengenalan dirinya sendiri dan apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Hal itu sepintas diakui oleh Mortimer yang menulis:
W
|
hether or not the proper study of mankind is man, it is the
only study in which the knower and the known are one, in which the object of
the sciences is the nature of the scientist. If we consider every effort men
have made is response to the ancient injunction “know thy self”, then
psychology has perhaps a longer tradition than any other science.[3]
(Apakah benar atau tidak
bahwa studi khusus tentang umat manusia adalah manusia, ialah satu-satunya
studi di mana ilmuwan dan ilmu adalah satu, di mana obyek dari ilmu-ilmu
pengetahuan adalah kodrat dari ilmuwan itu sendiri. Jika kita memperhatikan
setiap usaha yang telah dibuat oleh manusia merupakan tanggapan terhadap
pepatah kuno, kenalilah dirimu,
lantas psikologi mungkin memiliki tradisi yang lebih lama dari pada ilmu
pengetahuan yang lain).
D
|
alam seluruh ajaran Sokrates kita
tidak bisa menemukan pemikiran yang sistematis tentang pandangannya mengenai
manusia, apa dan siapa itu manusia. Dari catatan-catatan yang bersifat
framentaristik, kita hanya bisa menyusun pemikirannya dengan bersumber pada
para penulis lain, entah itu muridnya seperti Plato atau orang-orang yang
menaruh perhatian kepada hidup dan ajarannya. Hal ini jelas bagi kita sebab,
seperti yang tertera pada bagian terdahulu dalam tulisan ini[4], Sokrates tidak meninggalkan karya tulisan apapun
kepada kita. Lalu, bagaimana kita bisa mengetahui pemikiran Sokrates tentang
manusia? Menurut refleksi penulis, hal itu bisa kita lakukan dengan coba
membedah karya-karya tulis sahabat dan murid-muridnya.
D
|
alam tulisan ini, secara khusus
penulis hanya berpatokan pada tulisan-tulisan Plato.[5] Alasan penulis ialah sebab Plato memiliki kerangka
berpikir yang agak sistematis dan lebih lengkap dalam menyajikan kepada kita
siapa sebenarnya Sokrates dan bagaimana pemikirannya tentang manusia dan
kehidupannya. Selain itu, Plato menaruh minat yang sangat besar terhadap
Sokrates. Hal ini jelas dari antusiasme Plato terhadap Sokrates, gurunya
sendiri. Plato mengakui hal itu dengan terus terang dan memberikan gelar kepada
Sokrates sebagai the noblest and the
wisest and most just (yang paling mulia dan paling bijaksana dan yang
paling tulus).[6] Setelah kematian Sokrates, Plato juga mengatakan
kekagumannya, the best man of all his
time that we have known, and moreover the most wise and just (manusia
terbaik pada masanya yang kita tahu, dan lagi pula paling bijaksana dan adil).[7]
[1]
Soerjanto Poespowardojo & Kees Bertens (red.), Sekitar Manusia: Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia (Jakarta: Gramedia, 1978), p. 1.
[2]
Driyarkara menjelaskan lebih lanjut melalui contoh tentang pertanyaan
eksperimental biasa: “Kamu dari mana, kamu mau ke mana, siapa namamu.”
Sedangkan pertanyaan eksperimental ilmiah terdiri macam-macam bidang
pengetahuan secara: sosiologis, psikologis, yuiridis, antropologis, dsb. Bdk. Driyarkara, Filsafat Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1969), p. 6.
[3] Mortimer J. Adler (ed.), Great
Books of the Western World (Chicago: The University of Chicago), 1990, p.
[4] Martin J. Wals, A History of Philosophy (London:
Geoffrei Chapman, 1985), p. 20.
[5] Tentang hal yang sama pada penulis
lain akan kami singgung sejauh memiliki hubungan yang membantu kita dalam
menjelaskan Sokrates dan ajarannya. Antara lain kita bisa menyebut Xenophon
dalam tulisannya Memorabilia.
[6] “Phaedo” dalam W.H.D. Rouse, The Complete Texts of Great Dialogues of
Plato (New York: New American Library), 1970, p.
597; Bdk. J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato (Jakarta:
Rajawali Pers, 1988), p. 57.
[7] Wals, Op. Cit. p. 23.
No comments:
Post a Comment