Kata bahasa Manggarai "dureng" yang dimasukkan sebagai kata bahasa Indonesia. Foto: putracongkasae.wordpress.com
Oleh: Kanisius Teobaldus Deki
Ada beberapa orang yang secara khusus
memublikasikan karya tulis khusus tentang bahasa Manggarai.[1]
Freijss pada tahun 1856 menulis beberapa kosa kata Manggarai. Pada tahun 1940,
sesudah kedatangan Belanda, Pater A. Burger juga melakukan hal yang sama dengan
menulis artikel etnografi dengan memfokuskan diri pada gramatikal dan beberapa
term dalam bahasa Manggarai. Sejak tahun 1917, secara terus menerus para
misionaris Katolik melakukan pencatatan kosa kata dalam bahasa Manggarai.
Nama-nama seperti Pater Dorn, Th. Koning, N. Bot dan P. Vostermans. P.
Verheijen sendiri, melakukan hal yang sama sejak tahun 1937, secara reguler
mengumpulkan teks-teks tentang kehidupan orang Manggarai.
Nama-nama tempat di Manggarai sudah lama
diketahui melalui artikel Braam Morris.[2] Nama-nama
itu kemudian dibandingkan dengan naskah lontar Bima[3]
memiliki kemiripan dan kesamaan. Bahkan nama-nama itu, sebagian besar, tetap
dipakai sampai saat ini.
P. Vitalis Djebarus
SVD melakukan studi khusus tentang bahasa Manggarai.[4]
Dalam publikasi terbatasnya, secara khusus dijelaskan tentang tata bahasa Manggarai, yakni suatu himpunan dari patokan-patokan dalam
stuktur bahasa. Stuktur bahasa itu meliputi bidang-bidang tata bunyi, tata
bentuk, tata kata, dan tata kalimat serta tata makna. Dengan kata lain, mengikuti Keraf, bahasa
meliputi bidang-bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis.[5]
Dari kajian Djebarus diketahui, bahwa alat analisis
tata bahasa tradisional Manggarai dapat mendasarkan dirinya pada kaidah bahasa lain terutama Yunani,
Romawi, dan Latin, khususnya berciri bahasa deklinatif,
yaitu yang perubahan katanya menunjukkan kategori, kasus, jumlah, atau
jenisnya,[6] sedangkan bahasa
Indonesia tergolong sebagai bahasa inflektif, yaitu perubahan bentuk katanya
menunjukkan hubungan gramatikal.[7]
Bahasa Manggarai menjadi umum di Manggarai
dan hampir dikuasai oleh semua Orang Manggarai dari berbagai wilayah. Bahasa
ini sebenarnya digunakan oleh orang Manggarai dari wilayah bagian tengah.
Meskipun bahasa Manggarai menjadi umum namun dua wilayah timur yakni Rongga dan
Rembong memiliki bahasa yang khas dan berbeda dengan bahasa Manggarai. Menurut
Fransiskus Xaverius Do KoO, pembagian bahasa di Manggarai dapat ditelusuri dari
klasifikasi kata “tidak”.[8] Orang Manggarai tengah dan bahasa yang
digunakan di wilayah ini disebut bahasa Toe. Orang Rongga dengan bahasa
Rongga menggunakan bahasa Mbaen. Dan orang Rembong yang wilayahnya dekat
dengan perbatasan dengan kabupaten Ngada menggunakan bahasa Pae.[9] Perbedaan yang paling menyolok dari
ketiga jenis bahasa ini terletak dalam kosa kata, dialek dan konsonan-vokal
yang dimiliki setiap bahasa.
Sedangkan di wilayah Timur, hampir semua
kata yang digunakan sama dengan kosa kata yang dipakai di Manggarai tengah.
Perbedaan yang cukup kentara terletak dalam dialek, sedangkan konsonan-vokal[10] tidak memiliki perbedaan yang menyolok.
Verheijen melihat perbedaan itu dalam kekhususan yang dimiliki setiap bahasa.[11] Misalnya, bunyi [e] dalam suku akhir
tertutup diganti dengan bunyi [o]. Kata temék dalam bahasa Manggarai
Tengah [MT] menjadi temók dalam bahasa Manggarai Timur [MTi]. Di MT kita
temukan pada akhir kata bunyi [-ng], di MTi terdapat [-n] misalnya: MTi: latun
pada kata yang sama di MT: latung, maupun [-ng] MTi: lasen = MT: laseng.[12]
Di Manggarai Barat [MB] lafal-lafal bunyi
menyerupai bunyi-bunyi di MT. Perubahan terjadi para pronominal personal
misalnya di MT: ami [kami], meu [kamu] menjadi hami, hemi
di MB. Selain itu ada kosa kata yang berbeda, misalnya: ciri yang
berarti jadi di MT dan kata yang sama diubah menjadi jiri di MB.
Ada juga kata-kata pinjaman dari bahasa Bima seperti: bisa [pandai], daha
[senjata], disa [berani], kani [pakaian], ngango [ribut],
dsb.[13] Kata-kata ini tidak terdapat di MT dan
MTi. Wilayah yang memiliki kekhususan bahasa di Manggarai Barat hanyalah Orang
Komodo. Bahasa Komodo
merupakan campuran antara bahasa Manggarai dan bahasa Bima.
Verheijen dalam penelitiannya tentang
bahasa Orang Komodo menampik anggapan Eiser [1931] yang menggabungkan bahasa
Komodo ke wilayah bahasa Bima. Anggapan yang keliru ini kemudian masuk ke
Ensiklopedi Indonesia [1955: II, 672, Peta Bahasa-bahasa]. Selain itu masih ada
ahli yang mengelompokkan bahasa Komodo sebagai bahasa Bima, misalnya Salzner
[1960].[14] Penelitian yang dibuat Verheijen
menunjukkan bahwa bahasa orang Komodo merupakan gabungan antara bahasa
Manggarai, Bima dan Bugis, Bajau, Makasar di Sulewesi Selatan.[15] Hal itu secara menyolok dapat dilihat
dari sebagian kosa kata yang khas pada orang Komodo dan tidak terdapat pada
daerah lainnya di Manggarai.
[1] Jilis Verheijen, Kamus Manggarai-Indonesia (Koninklijk
Intituut Voor Taal-Land-En Volkenkunde: S-Gravenhage-Martinus Nijhoff, 1967),
pp. IX-X.
[2] D.F. van Braam Morris, “Nota van
toelicthing behoorende bij het contract gesloten met het Landschap Bima op den
20sten October 1886” dalam: TBG 34,
1891.
[3] Bdk. Henri Chambert-Loir dan
Siti Maryam R. Salahudin, Bo’ Sangaji
Kai-Catatan Kerajaan Bima (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), Bagian
Lampiran IV.
[4] Bdk. Vitalis Djebarus, Tata Bahasa Manggarai (Ledalero, 1974).
[5] Goris Keraf, Tata Bahasa Indonesia (Ende: Nusa Indah,
1984), p. 27l
[6] Harimurti Kridalaksana, Tata bahasa Baku Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1984), p. 36.
[7] Ibid., p. 75.
[8] Fransiskus Xaverius Do KoO, “Jiwa Sesuai Paham Manggarai
Asli dan Pergeseran Pengaruh Pandangan Kristiani”, Skripsi [Maumere:
STFK Ledalero, 1984], p. 25.
[9] Uraian yang sangat memadai tentang bahasa Rembong secara
khusus didalami oleh Jillis A. Verheijen, “Bahasa Rembong Jilid I dan II” Stensilan
[Ruteng: Regio SVD Ruteng, 1978].
[10] Konsonan adalah bunyi bahasa yang diucapkan dalam
keadaan selaput suara yang mungkin bergetar, mungkin tidak bergetar dan mungkin
terjadi bunyi geser, letup, getar, spiran atau lateral. Sedangkan vokal adalah
bunyi yang kita ucapkan dengan selaput suara bergetar, tanpa terjadi bunyi
geser, letup, getar dan lateral di dalam rongga mulut. Zaidan Hendy, Bahasa dan Sastra Indonesia [Bandung:
Bina Budhaya, 1985], pp. 54-55.
[11] Bdk. Jillis A. Verheijen, “Manggarai Text XIII:
Dialek-dialek Manggarai Barat dan Timur” Stensilan [Ruteng 1978].
[12] Ibid, pp.
1429-1430.
[13] Jillis A. Verheijen, “Manggarai Text XII”, Stensilan [Ruteng:
Provinsi SVD Ruteng, 1987], pp. 1263-1265.
[14] Jilis A. Verheijen, Pulau Komodo Tanah, Rakyat dan
Bahasanya, Terjemahan: Achadiati Ikram [Jakarta: Balai Pustaka, 1987], p.
34.
[15] Ibid., pp.
56-59.
Bagus, tulisan ini sangat membantu saya untuk mengetahui Ata Manggarai lebih dalam lagi
ReplyDelete