Drs. Donatus Hargens, Lelaki Dengan Garpu Tala: In Memoriam

Kanisius Teobald Deki

Mantan Murid 1989-1995


Foto: Guru Drs. Donatus Hargens

Sejak zaman sekolah menengah pertama, saya menjumpai sosok ini. Saat merayakan ekaristi  hari Minggu ia tampil memimpin lagu. Palumatnya sangat khas. Penuh semangat. Ayunan tangannya selaras dengan mimik wajahnya ketika memimpin lagu. Maklum kala itu, koor belum dibiasakan untuk perayaan hari Minggu biasa. Kecuali pada saat tiga perayaan besar: Natal, Paskah dan Pentekosta. Begitu juga ketika kami berada di kelas SMPK St. Stanislaus. Kami menjumpai sosok ini dalam kelas Seni. Untuk pertama kalinya notasi balok diperkenalkan.

Pagi ini saya membaca di WAG SMAK Pancasila Borong: Guru Don Hargens telah pergi untuk selamanya! Ada perasaan sedih. Setelah sekian lama ia bertarung dalam derita karena sakit panjang yang menghimpitnya, iapun menghembuskan nafas terakhir. Sebuah pembebasan kodrati yang tak dapat ditolak.

Pembuka Pintu Sosiologi dan Antropologi

Ada lima guru yang mengajar kelas sosial yang disebut juga dengan kodefikasi jurusan A3. Guru Simon Sabur mengajar sejarah. Guru Simon sangat ahli ketika mengajar sejarah. Ia menciptakan suasana sedemikian apik sehingga kita seolah hadir di Maluku ketika Spanyol mengunjungi wilayah itu. Guru Alo Ontar mengajar ekonomi. Guru Alo mengajarkan Hukum Gossen, neraca dan rumusan ekonomi. Guru Alo, dengan aksen Satar Mesenya, membangun kecintaan terhadap bidang ini. Kelak, saya sangat menaruh minat pada bidang sejarah dan ekonomi oleh karena dua guru ini.

Guru geografi adalah Ibu Mince. Perawakan Ibu Mince yang bertubuh mungil dengan suara yang lembut menciptakan kesan tersendiri bagi kami. Ibu Mince penuh semangat membawakan materi geosfer seperti penduduk, flora, fauna, batuan, tanah, air, iklim serta interaksi semua elemen itu. Melalui pelajarannya, Ibu Mince membangun diskursus fenemena geosfer dalam konteks keruangan dan kewilayahan.

Di bidang tata negara, ada Guru Herman Hasu. Guru Herman memudahkan teori tentang negara, demokrasi dan politik. Nama-nama seperti Plato, Aristoteles, John Locke, Nicolo Machiaveli hingga Karl Marx diperkenalkan. Guru Herman pribadi yang penuh semangat dan tegas. Tak jarang, ketegasannya melampaui ambang kelemah-lembutan. Sebagai Wakasek Bagian Kesiswaan, beliau memang memiliki semangat yang terus membara. Kedisiplinan dan kerja adalah kata kunci untuk semua hal.

Selain keempat guru itu, ada Guru Don Hargens. Ia membuka pintu sosiologi dan antropologi bagi kami. Perbincangan tentang tema sosiologi:  individu, masyarakat, sistem sosial, keluarga, sosialisasi, stratifikasi sosial, hubungan antar kelompok, perilaku, tatanan sosial, perubahan sosial,  konflik[1] kami peroleh darinya. 

Demikian ketika masuk diskursus antropologi. Perbincangan tentang manusia, kepribadian, masyarakat, kebudayaan, dinamika masyarakat dan kebudayaan, etnografi,[2] gender, hirarki sosial, politik dan kekuasaan, pertukaran, produksi dan teknologi, agama dan ritual, pola-pola pikir, etnisitas, politik identitas[3] kami berguru padanya.

Penjalinan idenya yang genial menghadirkan tokoh-tokoh kaliber di bidang ini secara sederhana. Setidaknya, kala itu, nama-nama seperti Aguste Comte, Emile Durkheim, Max Weber, Peter L. Berger, Karl Marx, Herbert Spencer, Simmel mulai akrab dalam ingatan. Dari Indonesia dua nama yang kerap terdengar antara lain: Selo Soemardjan dan Soerjono Soekonto masuk ke medan memori kami sebagai siswa program A3.

Demikian halnya tokoh kampiun di bidang antropologi seperti Edward Burnet Taylor, James George Frazer, Margaret Mead, Franz Boas, Claude Levi Strauss, Clifford Geertz. Tak lupa antropolog dari Indonesia, Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan dan Arief Budiman. Penjelasan-penjelasan Guru Don Hargens tentang tokoh-tokoh ini dan pemikirannya menggugah saya untuk meminati medan sosiologi dan antropologi pada masa kemudian.

Saat kuliah, kemudian, saya secara khusus mengarahkan diri untuk mengkaji bidang sosiologi dan antropolgi dengan konsisten. Buku pertama saya berjudul: Tradisi Lisan Orang Manggarai  menjadi karya monumental bidang sosiologi dan antropologi yang dipertautkan dengan konteks kehidupan sosial dan budaya Manggarai.[4] Buku ini paling banyak disitasi oleh penstudi  Manggarai, dalam dan luar negeri. Demikian karya publikasi selanjutnya, minat di dua bidang ini menjadi domain yang memberi daya dan kekhasan tersendiri pada artikel jurnal, artikel media (koran pun online) serta buku-buku saya. Minat itu pula yang menempatkan saya sebagai salah satu maestro budaya Manggarai oleh Kantor Bahasa NTT. Kenyataan yang membanggakan sekaligus membahagiakan!

Garpu Tala, Gaya Khas yang Memendam Rindu

Guru Don Hargens di masanya menjadi pegiat koor. Jika ada perayaan Natal, Paskah pun Pentekosta menjadi tanggungan wilayah mereka, ia menjadi dirigen. Gaya khas yang dimilikinya adalah memegang garpu tala. Alat resonator akustik berbentuk garpu ini akan bergetar pada frekuensi tertentu saat dipukul. Alat ini digunakan untuk menghasilkan nada murni yang stabil, biasanya sebagai referensi dalam menyetel alat musik atau dalam pemeriksaan  pendengaran.

Mungkin karena kecintaannya pada seni, di sekolah oleh Rm. Kanis Ali Pr, kepsek zaman itu memercayakan pengajaran bidang seni kepada Guru Don Hargens. Terus terang, saat latihan koor, Guru Hargens bersemangat. Sayangnya, saya sama sekali tak tertarik untuk menjadi peserta koor. Mujurnya, di bidang seni rupa, saya memiliki minat tinggi. Gambar-gambar saya diapresiasinya secara positif.

Hari ini saya berduka karena kepergian Guru Don Hargens. Ingatan akan kebersamaan yang memiliki ruang kolektif yang cukup panjang tentu tidaklah mudah dilupakan begitu saja. Garpu tala yang selalu berada di tangannya menciptakan kesan tersendiri. Garpu tala itu menjadi simbol kesetiaannya melayani jemaat dalam perayaan ekaristi. Melihat wajah Guru Don yang memiliki senyum simpatik dengan pola gerak memukul garpu talanya, memulangkan semua yang menjadi saksi kepada rindu mendalam. Rindu untuk hadir dalam kebersamaan yang senantiasa memberi makna.

Guru Don, bahagialah di sana bersama Guru Herman Hasu!

 

 



[1] Lih. Bernard Raho, Sosiologi (Maumere: Ledalero, 2019).

[2] Lih. Konetjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009).

[3] Lih. Thomas Hylland Eriksen, Antropologi Sosial dan Budaya-Sebuah Pengantar (Maumere: Ledalero, 2009).

[4] Kanisius Teobaldus Deki, Tradisi Lisan Orang Manggarai (Jakarta: Pharresia Institute, 2011).


Comments

  1. Saya ada di tenor bersama Celi, dan Michael Maput. Sejauh ini dia ada tiga pelatih koor terbaik yg sy kenal, dan Pak Don adalah yg terbaik dari yg terbaik. Dia kenal betul jika ada satu anak miss satu nada. Latihan dihentikan, dan ia pun mendekati sumber suara fals tersebut. Yg punya suara langsung ketar ketir, sebab selucu-lucu pak Don, saat latihan koor muka dan suaranya bikin nyamuk pun lari menghindar. Tuhan berkati beliau. Bahagia nan abadi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kenangan kita yang indah. Latihan koor sejak SMP, guru musik yang paten dan tak jarang muka bengis dihadiahkan kepada yang tak ikut not. Hahaha...

      Delete
  2. Bagus sekali, vulgar

    ReplyDelete
  3. Terima kasih atas Tulisan Kaka dari kami Keluarga bapa Don Hargens

    ReplyDelete
  4. Saya masih dapat Bpk Don Hargens waktu beliau menjabat sbg kepsek SMPN 1 Borong tahun 1996-1999. Terima kasih banyak utk tulisan ini, mengenang lagi penjasa pengetahuan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI[1] (Sebuah Studi Awal Untuk Mencari Pertautannya dengan Inkulturasi Iman Kristen)

Asal Usul Orang Manggarai-Flores-NTT