Friday 23 October 2020

Homo Viator Itu Bernama Agustinus Ch. Dula: Sebuah Prolog




Kanisius Teobaldus Deki
STIE Karya
 
Judul buku: Agustinus Ch. Dula-Sebuah Biografi.
Penerbit: Lembaga Nusa Bunga Mandiri, Oktober 2020.
Halaman: xxix + 420
Ukuran: 17cm x 24cm
Jenis cetakan: Hard Cover & Soft Cover.


Gabriel Marcel pada tahun 1945 menerbitkan buku dengan judul “Homo Viator-Introduction to the Metaphysic of Hope”. Buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Prancis, Homo Viator: Prolègomènes à une methaphysique de l’espèrecane (Manusia Peziarah: Sebuah Pengantar Untuk Metafisika Harapan). Setelah sekian tahun dalam bahasa Prancis, buku ini lalu diterjemahkan oleh Emma Craufurd ke dalam bahasa Inggris tahun 1962.[1] Buku ini melengkapi karya besar Gabriel Marcel  seperti Metaphysical Journal (1927), Being and Having (1933),  Mystery of Being (1951), and Man Against Mass Society (1955). Dia kemudian mengolah bahan kuliah di Harvard tahun 1961–1962 untuk kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul: The Existential Background of Human Dignity.[2]

Konsep manusia sebagai Homo Viator mulanya ada dalam buku Moralia, VIII 54,92 karya Gregorius Agung
(hidup tahun 540-604). Dalam buku itu, Gregorius menulis, “hidup itu seperti seorang yang berada di perjalanan yang beristirahat di penginapan. Ia beristirahat sejenak, tubuhnya rehat, namun budinya sudah berada di tempat lain”.[3] Buku ini mempresentasikan konsep dan gagasan Marcel selaku eksistensialis Kristen terkemuka di abad ke-20. Melalui karyanya ini, Marcel memberi kita wawasan pribadi yang luar biasa tentang 'manusia dalam keberadaannya di dunia sebagai sebuah perjalanan'. Dalam eksistensinya sebagai mahkluk yang berziarah, ia memiliki tujuan dan maksud

Filsafat Gabriel Marcel bertumpu pada situasi riil manusia. Kondisi manusia menurut Gabriel ada dalam situasi (la condition humaine, c’est d’ être-en situation) yakni berada dalam dunia (être-au-monde). Menerima manusia dan keberadaannya dalam dunia berarti mengakui bahwa manusia adalah Ada yang menjelma. Ia ada bersama yang lain. Inilah tonggak utama Marcel membangun metafisika harapan. Dalam konsep Marcel, berharap selalu ada dalam konteks dengan yang lain. Saya berharap untuk kita, bukan relasi aku-engkau yang memberi ruang bagi subjek-objek. Saya-engkau yang menjadi kita (nous) saling melibatkan diri secara aktif.[4]

Dalam pencariannya sebagai peziarah, manusia menemukan makna (meaning). Makna tertinggi dalam kehidupan manusia ada dalam mencinta (aimer). Dalam mencinta saya memberi diri, yang berarti ada pertemuan dan partisipasi sekaligus. Kini yang dibutuhkan oleh dunia adalah adanya kesalingan melalui kerela-sediaan (disponibilitè) setiap pribadi dalam saling percaya dan cinta kasih satu terhadap yang lain.[5] Marcel sadar bahwa apapun komitmen manusia membangun kehidupan bersama yang lebih baik, belum purna jika tidak diikat (engagement) dalam Tuhan sebagai pribadi yang absolut dan mutlak, sebab dengan bersatu dengan Dia, diriku menjadi pribadi yang utuh dan lengkap.Ketika semua pribadi memilih Tuhan sebagai penopang kehidupan, maka semua mendapat fundamen yang kokoh-kuat untuk membangun kehidupan bersama yang bermutu.

Banyak tokoh memuji Marcel sebagai tokoh penting yang membangun eksistensi manusia berlandaskan etika dan nilai-nilai spiritual yang berpusat pada hubungan antarpribadi. James Colins menulis:

“The theme of Marcel’s Homo Viator is close to the center of all preoccupations: man in his pilgrim condition. With great virtuosity in the use of his own philosophical method, he probes into interpersonal relations and the threat to ethical values. Marcel excels here in his concrete analyses of the attitude of hope, the family community in its temporal and supra-temporal aspects, and the forgotten virtue of personal fidelity.”[6]

Ada begitu banyak karya Gabriel Marcel dalam bidang filsafat, drama, dan puisi. Karya-karya itu menghantarnya menjadi pemenang Gifford pada 1950–1951 dan menginspirasi banyak orang untuk membangun hidup bermutu.Dia menyelesaikan tugasnya setelah dia menghembuskan nafas terakhir pada 8 Oktober 1973 di Paris-Prancis.

Homo Viator merupakan julukan yang pantas bagi orang yang berziarah dalam dunia dan menemukan dirinya Ada bersama yang lain. Dalam relasi Ada-bersama itu, ia menyediakan dirinya bagi sesama melalui pelayanan-pelayanan kemanusiaan. Dalam pelayanan yang total dan penuh kasih itu dia menemukan makna kehidupannya (the meaning of life) secara utuh.



Homo Viator juga pantaslah disematkan kepada Agustinus Ch. Dula. Ia lahir di Reweng pada 19 Oktober 1958. Ia mengalami kehidupan bersahaja di Reweng melalui proses pertumbuhan yang penuh warna. Kisah hidupnya sebagai seorang anak guru dan kultur agraris yang kental, menenun berbagai nilai positif yang dibutuhkan untuk membangun kehidupan masa depan. Pria berzodiaq Libra itu belajar menemukan peta jalan bagi dirinya sendiri dan sesamanya dalam komunitas Reweng. Ia bersosialisasi dengan keluarga, masyarakat dan lingkungan secara alamiah. Ia terlibat aktif dalam pergumulan masyarakat melalui kesetiaan untuk bekerja, belajar dan mencontohi tokoh besar seperti Fransiskus Sales Lega, bupati Manggarai kala itu.

Proses belajar melalui lembaga pendidikan formal dari SDK Reweng ke Seminari Pius XII Kisol, SMAK Giovany Kupang dan Universitas Nusa Cendana, memberinya ruang untuk mengeksplorasi kemampuan-kemampuan yang dipunyainya bersamaan dengan kepiwaiannya mengelaborasi nilai-nilai baru yang dijumpainya. Sedimentasi nilai-nilai itu membentuk kepribadian seorang Gusty Dula yang jernih memandang setiap persoalan secara objektif, bertindak dengan menggunakan hati nurani dan dalam segala hal membangun komunikasi yang intens dengan sesama dan Tuhan. Ia menempatkan dirinya secara proporsional dalam setiap situasi krusial. Ia bahkan tidak memiliki kemampuan mendendam, selain mencintai dan mengasihi sepenuh hati.
Ikhtiar sebagai seorang abdi negara dan masyarakat dijalankannya mulai dari Kupang, Detusoko, Ende dan menambatkan tali perahu pelayaran pengabdian di daerah asal, Manggarai Barat. Apakah ini akan menjadi titian terakhir dalam pelayanan masyarakatnya? Entahlah. Kompas penunjuk arah masih memberi ruang baginya untuk terus melangkah. 

Pria turunan Rambang, kampung dengan segudang tokoh besar bagi Manggarai Raya, mengikuti jejak sang kakak, Frans Dula Burhan untuk terjun ke dunia politik. Kakak kandungnya menjadi Bupati dua periode, menggerakkan dirinya untuk berlaga di medan yang sama dan meraih status yang mencengangkan: Bupati Manggarai Barat dua periode dengan satu periode menjadi Wakil Bupati. 15 tahun mengabdi masyarakat Manggarai Barat bukanlah waktu yang singkat.

Dalam kepercayaan yang diterimanya, baik dari atasan maupun rakyat, Pak Gusty berusaha menjalankannya dengan segenap hati dan penuh cinta. Ia datang mengunjungi rakyatnya dalam berbagai situasi; baik saat bahagia pun ketika rakyatnya dirundung kedukaan. Ia menghadiri acara-acara perkawinan, syukuran tahbisan, penerimaan komunio pertama, pembaptisan, khitanan, acara pengumpulan dana. Bersamaan dengan itu, dalam situasi kedukaan, saat ada yang meninggal, menghibur keluarga berduka yang ditimpa bencana alam, menolong mereka yang membutuhkan bantuan. Ia hadir dalam situasi-situasi ini untuk memberikan peneguhan, kekuatan dan kegembiraan.
Kerja-kerja pendampingan dan pelayanan dilaksanakannya untuk mengabdi Negara. Sebagai staf di Kantor Gubernur, Sekwilcam di Detusoko, berbagai jabatan di lingkup Setda Kabupaten Ende, hingga Kadis Pariwisata. Di Manggarai Barat, tugas mendampingi Drs. Fidelis Pranda selaku Wakil Bupati dijalankannya maksimal. Demikian saat dipercaya masyarakat Manggarai Barat untuk menjadi Bupati dua periode (2010-2021). Baginya, menjadi kepala daerah adalah sebuah jabatan untuk memajukan daerah ini dan mensejahterakan masyarakatnya.

Kerja-kerja manajerial selaku pemimpin daerah dijalankannya dalam tim kerja. Banyak pihak dilibatkan dalam tim kerja ini, antara lain OPD-OPD, Unsur Forkompimda, Unsur Agama, Lembaga-lembaga, dunia usaha, masyarakat Adat dan masyarakat. Kerja-kerja ini kemudian dibangun link atau jaringan dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Pemerintah Pusat (Pempus). Link yang terbangun baik memudahkannya membangun komunikasi dengan Pemprov dan Pempus. Diakuinya, penciptaan komunikasi yang intens dengan anggota DPR asal provinsi NTT pun kerja sama dengan kementerian-kementerian membawa hasil maksimal.

Fakta teranyar, terpilihnya Labuan Bajo sebagai destinasi super premium oleh Presiden Joko Widodo merupakan prestasi yang tak bisa dilepas-pisah dari keterlibatan seorang Gusty Dula. Keterpilihan itu bukanlah sebuah kebetulan. Langkah-langkah menuju ke sana telah dirintis sejak awal. Berbagai event nasional pun internasional digelar di Labuan Bajo. Penetapan TNK sebagai The New Seven Wonder, Tour de Flores yang berakhir di Labuan Bajo, Sail Komodo merupakan etape-etape terencana menuju ke posisi destinasi super premium ini. Keterpilihan ini serentak membangun sebuah skema pembangunan baru dalam diri Pak Gusty. Dirinya memandang bidang pariwisata sebagai leading sector pembangunan. Sector-sektor lain mendukung sector pariwisata. Kemandirian di sector-sektor lain terus digalakkan. Pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan terus didorong agar menghasilkan komoditi yang dapat memenuhi kebutuhan dalam daerah. Sector jasa terus ditingkatkan sehingga mendukung status destinasi super premium.

Di hadapan fakta kemajuan pembangunan Manggarai Barat yang terus menggeliat, pola keseimbangan (equilibrium) giat diupayakan oleh Pak Gusty. Keseimbangan itu terlihat dalam pembangunan yang tidak hanya berpusat di Labuan Bajo, tetapi juga di desa-desa. Arus ekonomi dikembangkan bukan hanya di jalur tengah, tetapi juga Utara dan Selatan. Kehadiran hotel, agensi-agensi pariwisata, travel dan restoran di Labuan Bajo berarti kehadiran lapangan kerja. Negosiasi tenaga kerja dilakukannya. Tenaga kerja lokal disalurkan. Kesiapan masyarakat diupayakan untuk menghadapi gelombang perubahan dengan status baru sebagai destinasi super premium.

Pemberian ijin usaha dilakukan dengan kecermatan. Pertimbangannya komprehensif. Tidak hanya mengutamakan seberapa besar nanti kontribusi ke daerah dalam bentuk pajak dan retribusi. Tetapi juga aspek ekonomi Manggarai Barat seluruhnya dalam wujud tenaga kerja dan pemakaian komoditas daerah. Selain itu, dirinya mempertimbangkan aspek lingkungan hidup. Usaha-usaha apapun namanya tidak boleh menciderai lingkungan hidup Manggarai Barat. Keindahan alam Manggarai Barat sebagai pemberian atau karunia Tuhan harus dirawat dan dijaga. Itulah sebabnya, selain membangun kebijakan tentang kebersihan Manggarai Barat bebas sampah, dirinya dengan berbagai elemen turun jalan memungut sampah. Ia tidak hanya memerintah dari singgasana, tetapi melibatkan diri memberi contoh. Ia tidak hanya bertitah, tetapi juga melakukannya.

Tentu ini bukanlah sebuah perjalanan mulus tanpa hambatan. Diakuinya, masih banyak hal yang harus dibenahi. Dirinya bukanlah superman, makhluk yang bisa mengatasi segalanya. Dirinya juga punya kelemahan. Kesadaran itulah yang membuat dirinya bisa menerima pendemo dengan rendah hati, penuh kasih dan manusiawi. Mereka adalah saudara yang datang memberi koreksi. Di dalam diri mereka tentu ada niat baik untuk membangun daerah ini menuju daerah yang maju dan sejahtera. Hal mana juga menjadi spiritnya hadir di Manggarai Barat. Tiada dendam bagi mereka yang mengusung keranda mati dirinya. Selalu ada maaf bagi mereka yang mencaci maki dan menghina. Karena baginya, seorang pemimpin hadir untuk semua manusia di wilayah ini.

Hambatan kemajuan dari dalam, secara internal juga banyak. Sumber daya manusia, sumber daya modal, sumber daya jaringan masih terus ditingkatkan. Pak Gusty tidak ingin kemajuan itu hanya untuk segelintir orang dan rakyatnya menjadi penonton. Ia berharap bahwa peziarahan dilakukannya adalah kerja bersama yang berakibat positif pada kemajuan daerah peningkatan kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Dalam perspektif Pak Gusty, kita tidak bisa meratapi nasib seolah-olah kita adalah korban, melainkan terus berusaha supaya kita memiliki daya saing. Kita tidak lagi bisa menolak investasi yang menguntungkan daerah kita dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal. Ikutannya, kita juga mendorong daya-daya yang dimiliki daerah untuk dimanfaatkan bagi kemajuan daerah.

Jaringan listrik terus dibangun. Desa-desa hampir 100% diterangi listrik. Kampung-kampung di pulau-pulau juga sudah dirambah listrik. Pembangunan listrik geothermal di Wae Sano didorong untuk memenuhi kebutuhan listrik Manggarai Barat dan Flores. Penyediaan air minum bersih terus digalakkan. Pembangunan kesadaran masyarakat untuk memelihara hutan, merawat mata air, menjaga pipa-pipa terus dilakukan. Alternative penyediaan kapal untuk pedistribusian air minum ke pulau-pulau diadakan. Demikian halnya teknologi penyulingan air laut untuk memenuhi kebutuhan air minum bersih dan berbagai keperluan rumah tangga diusahakan.
Pendidikan dan kesehatan yang berkualitas menjadi fokusnya dalam 10 tahun terakhir. Kerja kemitraan untuk dua bidang penting ini terus digalakkan. Sekolah-sekolah dibangun mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi. Pada masa beliaulah sejarah peradaban melalui pendidikan tinggi dibangun. Politeknik El Bajo Commodus menoreh tinta emas pada kemajuan di bidang ini. Bahkan ada usaha dari Kementerian Pariwisata untuk membangun Politeknik Pariwisata Negeri. Hal mana didukung oleh sekolah-sekolah menengah kejuruan di bidang yang sama. Demikian halnya Rumah Sakit Umum Daerah dibangun. Layanan kesehatan menjadi bidang yang “dikeroyok” secara bersama pemerintah dan pihak swasta. Rumah Sakit Siloam menjadi salah satu fasilitas kesehatan yang dibangun swasta untuk mendukung destinasi wisata super premium ini. 
Infrastuktur jalan, fasilitas umum dan rumah-rumah layak huni terus mendapat perhatian. Infrastruktur jalan ini sangat penting artinya dalam pembangunan karena menciptakan konektivitas antar wilayah. Lancarnya moda transportasi mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dalam kerja sama dengan Pempus, jalan-jalan Negara mulus. 

Demikian halnya dengan Pemprov, jalan-jalan provinsi jalur Utara sudah dibenahi. Interkonektivitas antar kabupaten menjadi lebih efektif dan efisien. Sejalan dengan itu, pembangunan perluasan bandara dengan status bandara internasional, memperbesar arus kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara. Ikut mendukung arus ekonomi, peredaran barang melalui laut diperhatikan dengan serius. Pemindahan dermaga barang ke Wae Kelambu membuka ruang yang terbuka lebar untuk kelancaran aktivitas perdagangan secara khusus. Pemisahan itu juga melapangkan jalan bagi arus kapal wisata di pelabuhan lama. Moda transportasi laut pariwisata yang nyaman membuat wisatawan memilih masa tinggal yang cukup lama dan memiliki kerinduan untuk kembali.

Pak Gusty dalam semua keberhasilan yang ditorehnya untuk pembangunan Kabupaten Manggarai Barat tetaplah seorang suami yang sederhana bagi Ibu Wyes Dula dan ayah yang baik bagi Stefan dan Manik. Dia tetap menjadi anggota bagi keluarga besar Dula yang mengunjungi mereka dalam berbagai kesempatan. Lelaki yang pandai melucu ini sering ditunggu kehadirannya oleh keluarga besar. Ia juga anggota masyarakat yang baik bagi masyarakat Manggarai Barat. Bekerja sama dengan para tokoh besar nasional pun regional. Ia berkolaborasi dalam kerja pembangunan dengan Pak Viktor Laiskodat, Pak Luhut Binsar Panjaitan, Pak Susilo Bambang Yudoyono, Pak Jusuf Kalla dan Pak Jokowi. Juga para menteri sejak zaman Pak SBY menjadi presiden hingga Pak Jokowi. Tak ketinggalan Pak Frans Lebu Raya bersama Ibu Adinda Lebu Raya, Ibu Julie Laiskodat, Pak Johny G. Plate, Pak Lorens Bahang Dama dan masih banyak nama yang bisa dideretkan.

Dalam kesahajaannya, Pak Gusty memiliki kehidupan spiritual yang tetap terjaga. Ia tak lupa berdoa. Menurutnya, kehidupan ini hanyalah sebuah ziarah mencari makna (a pilgrimage to looking for the meaning of life), sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Gabriel Marcel dalam Homo Viatornya. Ia mengembangkan kepribadiannya dengan membangun nilai-nilai dan keutamaan hidup. Sebuah konsep arête dalam filsafat Sokrates pun Aristoteles.[7] Nilai-nilai itu datang dari penghayatan iman yang mendalam pada Tuhan, Sang Khalik. Kehidupan rohani yang terjagalah yang membuat dirinya bisa melayani masyarakat yang dipercayakan Tuhan kepadanya dengan segenap hati. Ekspresinya terlihat jelas, ia aktif dalam lakutapa spiritual keagamaan, mendukung pembangunan rumah-rumah ibadat, kegiatan-kegiatan rohani semua agama dan keyakinan melalui kebijakan penganggaran daerah. Juga menyediakan rumahnya melalui open house bagi ritual keagamaan popular seperti Natal bersama dan Buka Puasa bersama. Saat bersamaan ia juga mengunjungi panti-panti asuhan dan menolong mereka secara nyata. Sebuah pilihan dasar (optio fundamental)[8] untuk kemanusiaan yang utuh: jiwa dan raga.

Orientasi spiritual diungkapkannya terhadap para leluhur. Ia secara berkala melakukan ritus-ritus budaya Manggarai melalui upacara Teing Hang.[9] Sebentuk penghargaan dan penghormatan mendalam terhadap leluhur dan orangtua yang sudah berpulang ke rumah Tuhan. Konsep dasarnya adalah keberadaan kita saat ini menjadi tidak mungkin tanpa kehadiran mereka. Sealur dengan penghargaan terhadap leluhur, budaya Manggarai memberi tempat yang luas bagi penghormatan terhadap sesama manusia. Para tetamu (meka) dihargai dengan sapaan khusus dalam acara penjemputan yang disebut kepok manuk kapu-tuak curu.[10] Selama masa pemerintahannya, sanggar-sanggar budaya bertumbuh. Sekolah-sekolah membangun sanggar budaya sebagai bentuk penerusan nilai budaya pada generasi muda. Apresiasi secara wajar diberikan Pak Gusty dalam lawatan-lawatan resminya. Peragaan atraksi budaya adalah bagian dari daya tarik yang bisa dipentaskan untuk menerima tamu wisatawan.

Ia menyadari bahwa masyarakatnya adalah homo religiosus (makhluk beragama).[11] Ia membangun persahabatan dengan para Uskup dan tokoh agama yang lain. Secara berkala mereka mengunjungi dirinya dan keluarga di Rujab. Mgr. Hubertus, Mgr. Silvester San, Mgr. Cosmas Angkur, Mgr. Paskalis dan Mgr. Siprianus datang melawat, demikian halnya para imam dan biarawan-biarawati, para pendeta, uztad dan imam masjid. Melalui persahabatan dengan para tokoh agama ini, dirinya membangun konsep-konsep kerja bersama dan sama-sama bekerja. Karena, subjek yang dilayani adalah orang yang sama dengan sebutan berbeda: masyarakat atau rakyat oleh Negara, umat oleh agama. Tak hanya dengan tokoh agama ini, dirinya juga membangun relasi yang baik dengan para tokoh adat di setiap kampung. Tokoh-tokoh adat ini memberi sumbangsih tak ternilai bagi pemberian lahan-lahan mereka untuk pembangunan fasilitas umum. Sinergisitas ini berhasil membangun keharmonisan di Manggarai Barat.

Sebagai Homo Viator, Pak Gusty juga Homo Educandum yang selalu belajar.[12] Ia belajar dari banyak orang. Orangtuanya, saudara-saudaranya, atasannya pun orang-orang yang bekerja bersamanya. Gagasan Pak Viktor Laiskodat tentang “menolak mati” sangat berbekas pada dirinya. Menolak mati adalah sebuah ungkapan tentang betapa manusia memiliki daya untuk membangun kehidupan bermutu, yang dalam segala aspek mengalami kepenuhan dan bahkan kelimpahan (abundance). Menolak mati adalah sebuah ikhtiar untuk menemukan potensi yang ada dalam daerah ini dan mengoptimalkannya. Itu berarti tidak lagi ada orang yang merasa dirinya tidak berdaya dan miskin sebagai nasib karena semua orang terpanggil untuk bekerja dan berdaya. Tugas pemerintah adalah menyediakan berbagai kebijakan, fasilitas dan biaya untuk mengembangkan potensi-potensi itu untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Menolak mati adalah pilihan untuk berjuang memiliki daya saing dan posisi tawar. Pada semua level kehidupan kita diarahkan untuk memiliki kemandirian. Pada akhirnya, Menolak mati adalah sebuah perayaan dan syukur bahwa kita telah berjuang mencapai kebahagiaan secara bersama dan memiliki harapan hal itu terjadi terus ke depan sebagai “kita” (nous) dalam ucapan Gabriel Marcel.[13]

Buku ini menulis jejak-jejak pengabdian sebagai seorang pemimpin sekaligus pejuang untuk membangun Manggarai Barat yang maju dan sejahtera. Dalam 450 halamannya tercatat episode-episode penting Pak Gusty selaku pribadi yang memiliki sejarah kedirian dari kampung Rambang dan Reweng. Terekam secara baik tapak-tapak pendidikannya, organisasi dan aktivitas-aktivitasnya sebagai seorang anak, remaja dan pemuda. Terungkap juga keluarganya, perjuangannya sebagai seorang ASN dan pilihannya untuk kembali ke kampung halaman (back to home), Manggarai Barat. Di bagian lain, buku ini adalah lembaran-lembaran historik karya seorang pemimpin, khususnya sebagai Bupati Manggarai Barat (2010-2021). Ia berpeluh menjalin benang-benang pembangunan untuk menenun lembaran-lembaran kain kemajuan di tanah ini sehingga terpilih menjadi sebuah destinasi pariwisata super premium. Itulah konsep dirinya sebagai Homo Viator yang berjuang menemukan makna hidup, jabatan dan karyanya dalam konteks yang actual dan relevan pada satu locus tertentu, Manggarai Barat.

Kiblat buku ini pertama-tama adalah sebuah catatan dokumentatif atas perjalanan hidup seorang Gusty Ch. Dula, sebagai pribadi sekaligus sebagai tokoh publik. Metode historis- Kiblat buku ini pertama-tama adalah sebuah catatan dokumentatif atas perjalanan hidup seorang Gusty Ch. Dula, sebagai pribadi sekaligus sebagai tokoh publik. Metode historis-kritis[14] membangun dialektika pembahasan di dalamnya. Ada persambungan yang lindang antara satu tahap dengan tahap lainnya membentuk sebuah narasi kehidupan yang utuh. Selain berorientasi pada dokumentasi kehidupan, pada aras berikutnya, buku ini dimaksudkan sebagai sebuah motivasi dan pembelajaran bagi siapa saja yang berkehendak baik membangun Kabupaten Manggarai Barat. Kisahan yang terungkap dalam buku ini merupakan sebuah jalinan perjalanan bermakna yang  berniat menjadi panduan bagi orang lain, khususnya generasi muda. Pak Gusty sungguh yakin bahwa perjalanan hidupnya ada dalam tuntunan Tuhan. Surat St. Paulus 2 Tim 3:16 mencatat: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran” adalah tujuan lain dari buku ini.

Kendati begitu, tidak semua hal dapat dicatat di sini. Sejalan dengan Injil Yohanes 21:25,[16] masih banyak hal lain yang diperbuat oleh tokoh dalam buku ini, tetapi jika semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya mustahil. Serpihan-serpihan aktivitas, cerita hidup dan pengalaman yang sempat tersurat, kiranya dapat mewakili perjalanan hidup tokoh Gusty Ch. Dula. Fragmen-fragmen ini menjadi simpul-simpul penting kehidupan dan pengabdiannya.

B
uku ini selesai karena bantuan banyak pihak. Karena itu kami ucapkan banyak terima kasih kepada para narasumber, peneliti-penulis buku referensi, pegiat media, para Kadis dari OPD-OPD. Terima kasih buat keluarga kecil di Jl. Robusta 46: Mom Efi, Star de Deki dan Atenzs de Deki. Kehangatan cinta mereka membuat buku ini selesai tepat waktu. Terima kasih untuk kakak Yohanes Valbis di Bappeda Manggarai Barat dan semua pihak yang tak bisa kami sebutkan satu per satu. Daftar sumber kami nyatakan pada catatan kaki (footnote) setiap bab. Kami sadar, buku ini tentulah belum sempurna. Di sana-sini mungkin masih ada kekurangan. Catatan kritis-konstruktif pembaca membantu kami dalam memperbaiki edisi keduanya (second edition) nanti.
 

Labuan Bajo, 
Syukur untuk HUT ke-62 
Drs. Agustinus Ch. Dula, 19 Oktober 2020.
 
 


[1]Gabriel Marcel, Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope  (New York,Harper & Brothers, 1962).
[2]Tentang Gabriel Marcel bisa dibaca: Paul T. Brockelman, Existential Phenomenology and the World of Ordinary Experience: An Introduction, (University Press of America, 1980); A. Wadge, The Influence of Royce on the philosophy of Gabriel Marcel, (Durham University, 1972); Ballard, Edward G., "Gabriel Marcel: The Mystery of Being". In Schrader, George Alfred, Jr. (ed.). Existential Philosophers: Kierkegaard to Merleau-Ponty, (Toronto: McGraw-Hill, 1972).
[3]Pius Pandor, Ex Latina Claritas-Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan (Jakarta: Obor, 2010), hal. 28; Julia Boton Holoway, The Pilgrim and the Book: A Study of Dante, Langland, and Chaucer (New York: Peter Lang, 1992), hal. 138; David Eliat, Hope and Christian Ethics (London: Cambridge University Press, 2017), hal. 230.
[4]Pius Pandor, Ibid., hal. 29.
[5]PA van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 159. Buku ini aslinya berjudul: Grote filosofen over de mens (Ultrecht: Erven J. Bijleveld, 1972), diterjemahkan oleh: Kees Bertens.
[6]Tema Gabriel Marcel, Homo Viator dekat dengan pusat semua keasyikan: pria dalam peziarahan. Dengan keahlian yang tinggi dalam menggunakan metode filosofisnya sendiri, dia menyelidiki hubungan antarpribadi dan ancaman terhadap nilai-nilai etika. Di sini Marcel unggul dalam analisis konkretnya tentang sikap pengharapan, komunitas keluarga dalam aspek duniawinya dan supratemporal, dan kebajikan yang terlupakan dari kesetiaan pribadi." Lihat: Gabriel Marcel,Being and Having-An Existencial Diary. Introduction by James Collins (New York: Harper Torchbooks, 1965), hal. 116-21,140.
[7] Kata “Aréte (Yunani: ρετή), dalam pengertian dasarnya, berarti "keunggulan" dalam bentuk apapun, juga bisa berarti "kebajikan moral". Kajian yang bisa dibaca: Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, Volume I: Archaic Greece: The Mind of Athens, (New York: Oxford University Press, 1939); G.B. Kerferd, "Arete/Agathon/Kakon", in: Paul Edwards [eds.], The Encyclopedia of Philosophy, (New York, Macmillan & The Free Press 1967).
[8] Istilah “optio fundamental” digunakan untuk menunjuk pilihan dasar atau sikap dasar manusia yang diambil secara sadar dan bebas. Istilah ini dipakai juga oleh para teolog untuk melukiskan perwujudan kebebasan dalam proses menjadi manusia. Dalam istilah ini termaktub “actus humanus” yakni satu pilihan sikap manusia karena dia memilih secara rasional. Lawan dari actus humanus adalah “actus hominis” yakni manusia melakukan sesuatu karena dorongan kodrati.
[9] Teing Hang merupakan ritus tentang penghormatan terhadap leluhur melalui upacara “teing hang kolang” (persembahan makan). Kajian khusus tentang hal ini bisa dibaca pada: Kanisius Teobaldus Deki, Trandisi Lisan Orang Manggarai (Jakarta:  Parrhesia Institute, 2011), hal. 183-185.
[10] Pada saat itu tetamu (Manggarai: meka) dijemput dengan sapaan adat, disertai penyerahan ayam dan tuak sebagai tanda penerimaan yang meriah dan penghargaan yang besar.
[11] Ungkapan Homo Religiosus ditemukan dalam kajian-kajian Mircea Elliade dan para tokoh fenomologi agama lainnya. Karya-karyanya banyak membicarakan tema itu, misalnya:  Willard R. Trask (trans.), A History of Religious Ideas, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago, 1978); The Sacred and the Profane: The Nature of Religion (New York,: Harper Torchbooks, 1961; Philip Mairet (trans.), Images and Symbols: Studies in Religious Symbolism (Princeton: Princeton Univeristy, 1991); George James, Interpreting Religion: The Phenomenological Approaches of Pierre Daniël Chantepie de la Saussaye, W. Brede Kristensen, and Gerardus van der Leeuw (Washington: Catholic University of America Press, 1995).
[12] Konsekuensi dari kodrat manusia sebagai Ens Rationale (makhluk rasional) adalah bahwa ia selalu ada dalam proses belajar dan dididik. Homo Educandum berposisi menempatkan manusia sebagai makhluk yang bisa belajar dan mendidik dirinya untuk bertumbuh secara wajar memenuhi kualitas-kualitas nilai. Ketika dia memiliki nilai, dia memiliki karakter.
[13] Perluasan bisa baca: Katharine Rose Hanley (trans.), Gabriel Marcel's Perspectives on The Broken World: The Broken World, a Four-Act Play, Followed by Concrete Approaches to Investigating the Ontological Mystery  (Milwaukee: Marquette University Press, 1998).
[14] Metode historis-kritis biasanya menjadi metode eksegese  yang umum digunakan dalam studi untuk mempelajari Kitab Suci. Dalam metode ini teks diperhadapkan dengan analisis yang terbagi menjadi: kritik teks, analisis bahasa, kritik jenis sastra, kritik tradisi, kritik redaksi. Metode ini dipakai sebagai cara untuk membaca jalinan peristiwa untuk menemukan maksud. Sumber yang bisa memperluas wawasan misalnya: Richard N. Soulen, Handbook of Biblical Criticism (New York: John Knox, 2001); Hahn Scott, Catholic Bible dictionary (New York: Doubleday, 2009).
[15]
Paralelisme dengan Yesus lebih ada dalam kesamaan ungkapan, tidak bermaksud mensejajarkan kedua tokoh ini. Teks lengkap Injil Yohanes 21:25 sebagai berikut: “Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus dituliskan itu”.





Thursday 1 October 2020

Cendekia dalam Perhelatan Politik: Menjadi Nabi atau Pengecut?



(Catatan Pilkada ke-6)

Kanisius Teobaldus Deki

Waktu rejim Nazi di Jerman berkuasa, Hitler menerapkan kediktatoran dan mengubah Negara itu menjadi totaliter. Hampir semua aspek kehidupan dikendalikan oleh pemerintah. Rasisme menguat, khususnya anti Yahudi. Seluruh kekuasaan terpusat pada diri Hitler dan perintahnya menjadi hukum tertinggi. Pemerintah menjadi mesin pembunuh bagi rakyatnya sendiri.

Hal paling mengerikan dari kekejaman Hitler adalah munculnya kebijakan Holokaus (ὁλόκαυστος holókaustoshólos, "seluruh" dan kaustós, "terbakar") yakni genosida atau pembunuhan massal secara terencana, sistematis dengan target khusus masyarakat Yahudi. Korban holokaus ini tidak main-main, 6 juta orang Yahudi mati di rumah-rumah gas beracun atau kamp konsentrasi karena kebijakan Hitler itu.

Kengerian Rezim Nazi tumbang setelah Sekutu mengalahkan Jerman pada bulan Mei 1945. Kekalahan itu juga mengakhiri Perang Dunia II di seluruh Eropa. Bersamaan dengan itu, kekejaman berhenti juga. Namun luka kekejaman itu tak sepenuhnya sembuh. Dunia ingin melupakannya sebagai sejarah hitam yang tak layak dicatat.

Di tengah kengerian itu, ada pertanyaan yang tersisa mengapa kekejaman itu bisa terkonstruksi sedemikian sehingga menghancurkan kehidupan banyak masyarakat? Di mana para cendekia atau kaum intelektual Jerman saat itu? Ataukah mereka justru menjadi motor penggerak kekejaman? Pertanyaan-pertanyaan inipun menjadi pertanyaan abadi setiap kali ada perhelatan politik yang menentukan arah pembangunan. Itulah yang menjadi focus wacana dalam artikel ini. 

Nazi dan Heidegger

Filsuf besar dunia dari Jerman, Martin Heidegger sangat sohor dengan konsep-konsepnya tentang fenomenalogi, eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika dan pasca-modernisme. Kemampuannya yang luar biasa mengubah orientasi filsafat Barat dari pertanyaan metafisis dan epistemologis ke pertanyaan-pertanyaan ontologis.

Namun siapa sangka, Martin Heidegger bergabung dengan Nazi (NSDAP) pada tanggal 1 Mei 1933, sepuluh hari setelah terpilih sebagai Rektor Universitas Freiburg. Setahun kemudian, pada bulan April 1934, ia mengundurkan diri dari Rektor dan berhenti mengambil bagian dalam pertemuan Nazi. Walaupun demikian, ia tetap menjadi anggota Nazi sampai dirubuhkan pada akhir Perang Dunia II. Sidang denazifikasi segera setelah Perang Dunia II menyebabkan pemecatan Heidegger dari Universitas Freiburg. Disaat bersamaan melarang dia untuk tetap mengajar. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1949, melalui penyelidikan, Heidegger masuk klasifikasi Mitläufer (sesama pengelana). Dia diijinkan  mengajar lagi tahun 1951. Tak lama sesudahnya Heidegger diberikan status emeritus pada tahun 1953 dengan hak-hak terbatas.

Ada hal yang mencengangkan di sini. Mengapa orang sekaliber Martin Heidegger masuk Nazi? Keikutsertaan Heidegger dalam gerakkan Nazisme, sikapnya terhadap orang Yahudi dan posisi diamnya yang nyaris total tentang Holocaust dalam tulisan dan pengajarannya setelah 1945 sangat kontroversial. Karyanya, The Black Notebooks, yang ditulis antara tahun 1931 dan 1941, memuat pernyataan anti Yahudi. Kesan keterlibatannya dalam Nazi makin kuat karena pasca 1945, Heidegger tidak pernah menerbitkan apa pun tentang Holocaust atau kamp pemusnahan. Dalam kengerian yang ditimbulkan Nazi, Heidegger tidak pernah meminta maaf untuk apa pun. Kendati demikian, secara pribadi, dia melukiskan jabatan rektor dan keterlibatan politiknya dalam Nazi sebagai "kebodohan terbesar dalam hidupnya" (die größte Dummheit seines Lebens). Sebuah situasi yang tak habis diakhiri penyesalan.

Cendekia sebagai Nabi

Kisah Nazi Jerman dan seorang filsuf besar seperti Heidegger yang hidup dan berkarya pada zaman itu membawa kita kepada wacana seberapa besar peran para cendekia dalam membangun Negara? Arus simpulan yang sederhana bisa ditarik. Keterlibatan Heidegger saat itu menjadi antithesis dari keberadaannya sebagai seorang cendekia di tengah masyarakat. Ia seharusnya menjadi pelawan atas kebijakan pemerintah Jerman yang destuktif. Dalam bahasa kitab suci, cendekia mestinya adalah seorang nabi (prophet) yang menegaskan kebenaran dalam situasi di mana kemanusiaan diluluh-lantakkan oleh kekuasaan.

Jika menelisik sejarah bangsa Indonesia, kaum cendekialah yang berdiskusi lalu berikhtiar agar Indonesia ini bebas dari penjajahan Belanda, juga Jepang. Karya teranyar Daniel Dhakidae yang diberi judul: Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru (2003:1) mendefenisikan cendekia sebagai manusia tapal batas dalam bingkai modal, kekuasaan dan budaya wacana kritis. Ia manusia bebas yang mengkonstruksi dirinya bagi kebenaran, keadilan dan kemaslahatan banyak orang. Sikap yang dimilikinya sebagai pembaca kenyataan yang kritis, pemasok ide-ide yang membangun hingga menyediakan diri sebagai penopang demokrasi, menjadi kekuatan tanding atas kekuasaan yang cenderung otoriter dan menyengsarakan rakyat.

Kaum cendekia atau para intelektual adalah api suar di tengah kegelapan budi masyarakat yang ditindas doktrin-doktrin kekuasaan yang salah arah. Mereka adalah para akademisi, para professional, tokoh media, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat yang memiliki insight pencerahan. Dalam hal pembangunan yang sudah tidak berkiblat pada bonum commune (kebaikan bersama), mereka adalah suara-suara yang terus bergema memberi pengaruh pada pelaku perubahan untuk terus berjuang gigih. Di sinilah mereka menjadi nabi yang pantang menyerah mempresentasikan sikap kritisnya.

Universitas dan Agama dalam Konteks Politik Pilkada

Heidegger dalam kebesarannya di dunia pemikiran internasional akhirnya kehilangan pamor karena pilihan sikap yang berseberangan dengan hakikat dirinya sebagai filsuf yang seharusnya memenangkan kebenaran dan kebaikan bersama. Filsuf besar yang menulis karya sohor seperti: Sein und Zait (1927), Die Grundprobleme der Phänomenologie(1927), Vom Wesen der Wahrheit (1935) dan masih banyak yang bisa dideretkan, tetap menimbulkan luka dari sejarah karena hilangnya peran seorang cendekia dalam pergumulan kemanusiaan.

Dari alur kisah historis Heideger sebagai rector universitas dan Nazi yang melakukan kekejaman, secara kasat mata kita melihat peralihan radikal yang salah dalam keberpihakan lembaga pendidikan tinggi dalam dunia politik. Universitas, termasuk rector, dekan dan seluruh civitasnya adalah pihak yang seharusnya menjadi tonggak kebenaran. Merekalah yang diharapkan oleh civil society pihak yang menjadikan kebenaran sebagai tonggak penopang arah pembangunan dan kehidupan. Merekalah yang mengkaji tentang keberhasilan pembangunan melalui data-data yang objektif. Dan jika temuan mereka pembangunan telah keluar dari relnya, maka merekalah pihak pertama yang menyuarakan mosi tidak percaya kepada pemerintah.

Selevel dengan Universitas, institusi agama juga demikian. Merekalah yang menenun nilai-nilai kebenaran. Suara profetis mereka gemakan, teriakan sehingga kehidupan bersama menjadi sebuah perayaan yang layak untuk disyukuri. Mereka tidak bisa memilih untuk kepentingan kelompoknya, melainkan kepentingan semua. Mereka tidak bisa mematok dukungan karena pragmatisme. Karena esensi kehadiran mereka adalah membawa kebaikan. Itulah sebabnya, mereka menjadi “pemisah” di tengah situasi dan kondisi yang serba buruk. 

Ketika orang-orang universitas tidak mampu membangun disposisi batin dan politis yang benar dalam carut-marut pembangunan di daerah ini mereka adalah garam yang sudah tawar. Mereka menjadi hamba-hamba kekuasaan yang menggantungkan harga diri pada donasi pemerintah dan kehilangan kedigdayaan di tengah patokan moral yang terus disuarakan sebagian masyarakat kritis. Merekalah yang menciptakan kekelaman dalam pembangunan persis ketika masyarakat mengharapkan cahaya perubahan.

Tatkala pemimpin-pemimpin agama berdiam diri dalam ketenangan rohani semu yang berimbas kepada hilangnya kepedulian kesengsaraan dan penderitaan rakyat, mereka adalah lampu pelita tanpa minyak, listrik tanpa arus, pipa tanpa air mengalir di dalamnya, jalan raya berlubang, sawah tanpa hasil, kebun tanpa nilai rupiah dan pembangunan penuh slogan. Bersama para penguasa, mereka ikut ambil bagian dalam penciptaan kehidupan yang menyengsarakan rakyat. 

Jika demikian adanya, baik orang-orang universitas maupun tokoh agama, juga para cerdik-pandai yang kita sebut sebagai cendekia atau kaum intelektual adalah pengkhianat kehidupan. Mereka tahu bagaimana seharusnya, tetapi mereka berani menyembunyikan kebenaran dan harapan karena mereka telah berubah menjadi pengecut!***