Kanisius Teobaldus Deki
Dari
penjelasan sejak awal pada bagian ini dapat disimpulkan bahwa Sokrates telah
memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi perkembangan filsafat.
Pertama-tama Sokrates mengalihkan obyek penelitian filsafat dari kosmologi
kepada manusia. Kaum Sofis dan Sokrates menandai suatu masa baru dalam sejarah
filsafat Yunani yakni era humanis. Refleksi filsafat tidak hanya diarahkan
kepada alam dunia tetapi juga mencari jawaban atas misteri manusia itu sendiri.
Menurut P.A. van der Weij, kaum Sofis juga merenungkan tentang manusia, “tetapi
mereka tidak sungguh-sungguh memperdalam kemanusiaan sejati. Tidak ada orang
yang menyadari hal itu lebih baik daripada Sokrates”.[1]
Dalam pencarian
filosofisnya, Sokrates menemukan bahwa
hidup manusia memiliki makna. Manusia juga memiliki tujuan hidup yakni
kesempurnaan jiwa. Apa yang disebut sebagai kebahagiaan oleh Sokrates terwujud
bila manusia semakin menyempurnakan jiwanya. Untuk mencapai kesempurnaan
jiwanya manusia mesti menjalankan apa yang menjadi tuntutan kodratnya. Dengan
ini, Sokrateslah yang mendorong manusia untuk menyelidiki manusia dalam
keseluruhannya: ia mulai menghargai nilai unsur-unsur pada manusia yang
kelihatannya bertentangan: rohani dan jasmaninya.[2]
Sokrates
telah memulai sejarah baru bagi perkembangan filsafat. Filsafat pasca Sokrates
mendasarkan refleksi filosofisnya pada manusia. Pencarian filosofis Plato,
Aristoteles, Plotinus, Agustinus, Mazhab Stoa, Marcus Aurelius, Epikuros,
Boethius, Spinoza, Jean-Jacques Rosseau, Kant, Fichte, Hegel, Kierkegaard,
Jaspers, Sartre, Albert Camus, Gabriel Marcel dan semua filsuf lainnya berpijak
dan mendasarkan dirinya pada apa yang telah dimulai oleh Sokrates. Tema
kemanusiaan dalam filsafat tak pernah kehilangan daya tariknya. Manusia
merupakan sebuah tema yang tetap aktual. Walaupun pengetahuan terus menerus
dikaji, manusia tetaplah misteri yang tak tersibak secara gamblang dan tuntas.
Namun, Sokrates telah membantu manusia dari generasi ke generasi dengan
memberikan pemikiran baru dalam dunia filsafat, terutama partisipasi manusia
sebagai subyek sekaligus obyek penelitian filsafat. Kees Bertens menyatakan
ketakjubannya terhadap Sokrates dengan berkata, “Dalam sejarah umat manusia, Sokrates
merupakan contoh istimewa selaku filsuf yang jujur dan berani”.[3]
Melalui artikel-artikel ini,
kita telah melihat hidup dan Pemikiran Sokrates. Pertama-tama kita disodorkan
penulis tentang sekilas perkembangan filsafat pra Sokrates. Mereka pada umumnya
adalah para filsuf yang mencari prinsip pemersatu dari seluruh jagat raya ini.
Bagi mereka persoalan filosofis adalah persoalan kosmologis. Pemikiran ini
diwakili oleh Thales, Anaximandros,
Anaximenes, Heraklitus, mazhab Phytagoras, mazhab Pluralis, mazhab Atomis.
Sebagai reaksi atas pemikiran mereka lahir para Sofis. Pada para Sofis
refleksi filsafat memiliki gerak maju yang sangat berarti. Pada masa ini
humanisme mulai muncul. Secara keseluruhan kaum Sofis telah melakukan suatu
revolusi spiritual yang radikal dengan mengalihkan obyek sentral refleksi
filsafat dari kosmos kepada manusia. Maka sangat tepat kalau dikatakan bahwa
dengan kaum sofis periode humanistis dimulai. Tokoh-tokohnya adalah Protagoras,
Georgias, Kritias dan Prodikos.
Sokrates
lahir sebagai mahkota dari pemikiran humanisme. Pada dasarnya pemikiran
Sokrates tidak jauh berbeda dengan kaum Sofis. Namun Sokrates tidak menyetujui
relativisme kaum Sofis. Sokrates lebih jauh menelaah tentang manusia dalam
filsafatnya. Pertanyaan utama Sokrates: siapa itu manusia? Apa hakikat atau
tujuan akhir manusia? Melalui metode dialektika Sokrates membimbing mitra
bicaranya untuk mengenal diri. Karena pengajarannya dia dituduh tidak percaya
kepada dewa-dewa dan meracuni kaum muda maka ia dihukum mati. Namun Sokrates
telah mewariskan kepada kita pemikiran tentang definisi universal dan
argumentasi induktif melalui proses ironik dan maieutike.
[1] P.A.
van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, diterjemahkan oleh Kees
Bertens (Yogyakarta: Kanisius, 2000), p. 26.
[2] I. R.
Poedjawitjana, Pembimbing Kearah Alam
Filsafat (Jakarta: Bina Aksara, 1983), p. 31.
[3] Kees Bertens, Loc. Cit.
No comments:
Post a Comment