Wednesday 3 October 2018

KE MANA MANUSIA?


Kanisius Teobaldus Deki, S.Fil., M.Th





L
ahirnya revolusi industri pada abad ke-18 membawa dampak yang luas bagi kehidupan manusia. Hari demi hari perjuangan manusia ditandai dengan pelbagai usaha eksperimentasi untuk menguasai alam. Jika pada zaman dahulu manusia bergantung sepenuhnya pada kemurahan alam, maka sejak zaman pencerahan, manusia berubah haluan untuk memahami alam dan kemudian menaklukkannya. Secara khusus hal ini diakui oleh Alexis Carrel yang menegaskan betapa ilmu pengetahuan memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan hidup manusia.[1] Karena itu tidaklah mengherankan kalau penemuan-penemuan baru menjadi titik awal untuk berlangkah pada penemuan lainnya. Dari sejarah, kita dapat melihat bahwa ekspansi bangsa – bangsa Eropa ke Asia dan Afrika dimungkinkan oleh penemuan alat navigasi seperti kompas. Penemuan mesiu, seni cetak[2] dan mesin uap menyebabkan manusia mencari daerah koloni yang baru. Salah satu tokoh yang berhasil menemukan Amerika adalah Columbus. Sejak saat itu pula, arus perpindahan dari Eropa ke Amerika semakin deras sehingga penduduk asli Amerika tersingkir dan kebanyakan menjadi budak orang-orang Eropa.

D
alam perjalanan kemudian, manusia hidup pada zaman yang ditandai oleh kemajuan gemilang berkat teknologi yang semakin canggih dan perkembangan ilmu pengetahuan yang kian pesat. Teknologi selalu berkembang untuk membantu kelangsungan hidup manusia. Dan manusia juga terseret dalam arus teknologi untuk menciptakan terus tanpa henti.

Kini, zaman kita ditandai oleh perubahan dan kemajuan dalam banyak bidang kehidupan masyarakat. Perubahan mencolok itu terjadi berkat perkembangan sains dan teknologi, khususnya komunikasi dan informasi, yang membuat dunia ini menjadi bagaikan sebuah desa global (global village). Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Amerika, misalnya, dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat di belahan bumi yang lainnya melalui siaran televisi. Demikian juga dengan teknologi yang lain, misalnya bioteknologi dan persenjataan.

Sebagai contoh, kemajuan yang diraih teknologi di bidang kedokteran mencuatkan decak kagum manusia. Berbagai penyakit yang dulunya sulit diobati kini dengan mudah diatasi dengan hadirnya obat-obat yang kualitasnya semakin baik. Bahkan manusia bisa mendeteksi keberadaan janin sementara berada dalam kandungan.[3] Melalui berbagai eksperimentasi manusia juga berhasil mengkloning beberapa hewan.

K
emajuan di bidang nuklir, selain membantu manusia tetapi juga menghancurkannya secara kejam. Di mana-mana dibangun reactor nuklir untuk membantu kekurangan pasokan listrik. Tetapi kehadirannya serentak membahayakan manusia dengan limbah yang sulit mencari tempat pembuangan yang aman. Selain itu, teknologi nuklir yang digunakan dalam militer cenderung membunuh manusia dengan kejam dalam tempo yang singkat.

Akibatnya, di samping menghasilkan kemajuan yang membanggakan, juga menimbulkan kegelisahan bagi banyak orang, khususnya masalah-masalah moral dan sosial. Keadaan ini memunculkan berbagai pertanyaan moral. Banyak orang merasa bingung dan tidak punya pegangan lagi tentang norma kebaikan. Norma yang selama ini dipegang seakan-akan sudah tidak relevan dan tidak meyakinkan lagi. Bahkan suara hati pun tidak berdaya lagi menemukan kebenaran yang sejati apabila norma-norma yang selama ini dijadikan landasan  menjadi serba tak pasti. Servulus Isaak melihat adanya kenyataan bipolaris zaman ini, yang pada satu sisi terkungkung dalam kehancuran tetapi di sisi lain memberikan harapan akan penghargaan yang utuh terhadap martabat manusia. Ia menulis:

Suatu tanda zaman yang paling menyolok dewasa ini adalah adanya dinamika hidup yang seakan-akan bertentangan dalam hidup manusia. Pada satu pihak umat manusia dan bangsa-bangsa merasa tertindas oleh peperangan dan derita yang seolah-olah tiada berujung. Manusia merasa terhimpit antara ideologi dan persaingan pendapat yang sering meruntuhkan. Manusia merasa panik di tengah dunia kaya-miskin yang semakin melebar jurangnya.

Di lain pihak tidak berlebihan jika dikatakan bahwa zaman ini adalah zaman gemilang. Pada zaman ini muncullah magna charta yang menempatkan manusia pada proporsinya yang wajar. Kita dapat menyaksikan betapa kesadaran manusia akan hak-hak dan martabatnya meningkat; betapa manusia mendambakan perdamaian dan kebebasan; kita dapat menyaksikan betapa manusia berjuang untuk menjadikan hidupnya lebih menarik. Manusia menggarap pelbagai ilmu dan pengetahuan untuk menjadikan hidupnya lebih pantas dan praktis.[4]

M
enghadapi kenyataan ini, manusia lalu masuk ke dalam diri sendiri seraya menggenggam banyak kata tanya. Ada banyak peristiwa bahkan menjadi misteri bagi manusia sendiri. Tatkala manusia berada di persimpangan jalan hidupnya, ia bertanya kembali tentang eksistensinya yang terdalam: Apa arti dan tujuan hidup saya? Apa yang menjadi kewajiban saya yang mutlak, tanggung jawab saya sebagai manusia? Bagaimana saya harus hidup agar menjadi baik sebagai manusia? Apa arti dan implikasi martabat saya dan martabat orang lain sebagai manusia? Apa arti transendensi yang saya rasakan dalam diri saya? Begitu pula pertanyaan-pertanyaan tentang dasar pengetahuan kita, tentang nilai-nilai yang kita junjung tinggi, tentang keadilan.[5]  Pertanyaan-pertanyaan itu datang silih berganti dan memberikan warna bagi hidup manusia sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu pula yang menggugah manusia untuk terus maju dan meraih apa yang menjadi makna dan tujuan hidupnya, demi mempertegas hakikatnya.[6] Albert Camus menilai, bahwa makna hidup adalah pertanyaan yang paling mendesak[7], pertanyaan yang harus dijawab manusia untuk mempertegas eksistensinya. Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Fides et Ratio membenarkan hal itu ketika ia menulis,

“Pertanyaan-pertanyaan itu sama-sama bersumber dari hasrat keinginan mencari makna yang selalu mendesak hati manusia. Kenyataannya, jawaban atas pertanyaan itu menentukan arah yang hendak diberikan orang kepada hidup mereka”.[8]

N
amun untuk sampai di situ, manusia membutuhkan sarana. Manusia oleh daya refleksinya menggunakan filsafat sebagai batu loncatan untuk semakin memahami dirinya. Justru karena pertanyaan itu begitu urgen, maka manusia berkepentingan agar pertanyaan-pertanyaan itupun ditangani secara rasional dan bertanggungjawab, sebagaimana menjadi fungsi-fungsi ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya untuk menangani masalah-masalah teoretis yang dihadapi manusia secara rasional dan bertanggungjawab. Justru itulah fungsi filsafat dalam usaha umat manusia untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Filsafat dapat dipandang sebagai usaha manusia untuk menangani pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut secara bertanggungjawab. Tanpa usaha ilmiah itu pertanyaan-pertanyaan itu hanya akan dijawab secara spontan dan dengan demikian senantiasa ada bahaya bahwa jawaban-jawaban didistorsikan oleh selera subyektif, segala macam rasionalisasi dan kepentingan ideologis.[9]

Dari awal mula manusia mencari cahaya untuk menerangi makna eksistensinya. Dia mau tahu mengapa semua yang baik dalam dunia ini tidak pernah berhasil mengisi kehausannya akan kebahagiaan. Apakah jawabannya terletak dalam suatu dunia yang lain?[10]

P
engalaman memperlihatkan bahwa manusia amat merindukan kebahagiaan, apa pun bentuknya, dan tanpa batas. Pencarian kebahagiaan, dengan harapan menemukan kebahagiaan sejati, berada pada awal kegiatan manusia. Fakta fundamental itu tidak boleh dilalaikan. Adanya begitu banyak kekecewaan dan situasi keputusasaan yang menyakiti manusia karena dia keliru dalam caranya mengejar kebahagiaan, melukiskan dengan jelas bahwa struktur ontologis manusialah yang mengarah pada kebahagiaan itu. Hasrat akan kebahagiaan total dan definitif itu termasuk kodrat manusia.[11]



[1] Alexis Carrel, Manusia Misteri, diterjemahkan oleh Kania Roesli (Bandung: Remaja Karya, 1987), p. 244: “Ilmu pengetahuan telah menguasai materi, memberikan manusia kekuatan untuk mentransformasikan dirinya. Ilmu pengetahuan telah menyingkirkan beberapa mekanisme rahasia hidup manusia dan telah pula memperlihatkan kepada manusia bagaimana cara mengubah gerak mekanisme itu, cara mencetak tubuh dan jiwanya menurut pola yang terakhir dari keinginan-keinginannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, umat manusia dengan bantuan ilmu pengetahuan telah menjadi pengatur nasibnya sendiri”.
[2] Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1984), p. 3.
[3] Simon dan Christoper Danes, Masalah-Masalah Moral Aktual dalam Perspektif Iman Kristen, diterjemahkan oleh Hardono Hadi  (Yogyakarta: Kanisius, 2000), p. 66: Tes yang biasa dipakai adalah Ultrasound Scanning. Selama pengamatan (scanning) gambar janin yang bergerak dapat terlihat pada layar monitor dengan memberikan gelombang suara yang frekkuensinya sangat tinggi ke dalam uterus dan mengubah gema menjadi gambar. Ultrasound Scanning memiliki keuntungan tambahan dengan memungkinkan ayah dan ibu melihat anak-anak mereka untuk pertama kalinya sebelum dilahirkan. Banyak yang menganggap pengalaman ini menggairahkan dan meneguhkan.
[4] Servulus Isaak, “Menuju Hari Esok Yang Lebih Cerah”, dalam majalah VOX (no. 19/1, tahun 1972), p. 3.
[5] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992), pp/hal./hlm. 18-19.
[6] Leslie Stevenson & David L. Haberman, Sepuluh Teori Hakikat Manusia, diterjemahkan oleh Yudi Santoso & Saut Pasaribu (Yogyakarta: Bentang, 2001), p. 3.
[7] Albert Camus, Mite Sisifus: Pergulatan Dengan Absurditas, diterjemahkan oleh Apsanti D.  (Jakarta: Gramedia, 1999), p. 4.
[8] Yohanes Paulus II, Fides et Ratio, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya (Yogyakarta: Kanisius, 1999), p. 8.
[9] Franz Magnis-Suseno, Op. Cit., p. 19.
[10] Louis Leahy, Misteri Kematian: Suatu Pendekatan Filosofis (Jakarta: Gramedia, 1998), p. 24.
[11] Ibid, p. 20.

2 comments:

  1. mantap e ase... luar biasa... hanya sedikit bertanya, rasanya kok revolusi industri itu muncul pada abad ke-19 e sebagai buah hasil dari revolusi sains (ilmu pengetahuan) pada abad ke-18. Tapi mungkin saya juga salah... hehehehe... tabe ga...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih ite sudah membaca. Kita sama2 cek yang betulnya soal RI. Tabe.

      Delete