Kanisius Teobaldus Deki, S.Fil., M.Th
L
|
ahirnya revolusi
industri pada abad ke-18 membawa dampak yang luas bagi kehidupan manusia. Hari demi hari perjuangan manusia ditandai dengan
pelbagai usaha eksperimentasi untuk menguasai alam. Jika pada zaman dahulu manusia
bergantung sepenuhnya pada kemurahan alam, maka sejak zaman pencerahan, manusia
berubah haluan untuk memahami alam dan kemudian menaklukkannya. Secara khusus
hal ini diakui oleh Alexis Carrel yang menegaskan betapa ilmu pengetahuan
memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan hidup manusia.[1] Karena itu tidaklah mengherankan kalau
penemuan-penemuan baru menjadi titik awal untuk berlangkah pada penemuan
lainnya. Dari sejarah, kita dapat melihat bahwa ekspansi bangsa – bangsa Eropa
ke Asia dan Afrika dimungkinkan oleh penemuan alat navigasi seperti kompas.
Penemuan mesiu, seni cetak[2] dan mesin uap menyebabkan manusia mencari daerah
koloni yang baru. Salah satu tokoh yang berhasil menemukan Amerika adalah
Columbus. Sejak saat itu pula, arus perpindahan dari Eropa ke Amerika semakin
deras sehingga penduduk asli Amerika tersingkir dan kebanyakan menjadi budak
orang-orang Eropa.
D
|
alam perjalanan kemudian, manusia hidup pada zaman yang ditandai oleh
kemajuan gemilang berkat teknologi yang semakin canggih dan perkembangan ilmu
pengetahuan yang kian pesat. Teknologi selalu berkembang untuk membantu
kelangsungan hidup manusia. Dan manusia juga terseret dalam arus teknologi
untuk menciptakan terus tanpa henti.
Kini, zaman kita ditandai oleh perubahan dan
kemajuan dalam banyak bidang kehidupan masyarakat. Perubahan mencolok itu
terjadi berkat perkembangan sains dan teknologi, khususnya komunikasi dan
informasi, yang membuat dunia ini menjadi bagaikan sebuah desa global (global
village). Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Amerika, misalnya, dapat
dengan mudah diterima oleh masyarakat di belahan bumi yang lainnya melalui
siaran televisi. Demikian juga dengan teknologi yang lain, misalnya
bioteknologi dan persenjataan.
Sebagai contoh, kemajuan yang diraih teknologi di
bidang kedokteran mencuatkan decak kagum manusia. Berbagai penyakit yang
dulunya sulit diobati kini dengan mudah diatasi dengan hadirnya obat-obat yang
kualitasnya semakin baik. Bahkan manusia bisa mendeteksi keberadaan janin
sementara berada dalam kandungan.[3] Melalui berbagai eksperimentasi manusia juga
berhasil mengkloning beberapa hewan.
K
|
emajuan di bidang nuklir, selain membantu manusia tetapi juga
menghancurkannya secara kejam. Di mana-mana dibangun reactor nuklir untuk
membantu kekurangan pasokan listrik. Tetapi kehadirannya serentak membahayakan
manusia dengan limbah yang sulit mencari tempat pembuangan yang aman. Selain
itu, teknologi nuklir yang digunakan dalam militer cenderung membunuh manusia
dengan kejam dalam tempo yang singkat.
Akibatnya,
di samping menghasilkan kemajuan yang membanggakan, juga menimbulkan
kegelisahan bagi banyak orang, khususnya masalah-masalah moral dan sosial.
Keadaan ini memunculkan berbagai pertanyaan moral. Banyak orang merasa bingung
dan tidak punya pegangan lagi tentang norma kebaikan. Norma yang selama ini
dipegang seakan-akan sudah tidak relevan dan tidak meyakinkan lagi. Bahkan
suara hati pun tidak berdaya lagi menemukan kebenaran yang sejati apabila
norma-norma yang selama ini dijadikan landasan
menjadi serba tak pasti. Servulus Isaak melihat adanya kenyataan
bipolaris zaman ini, yang pada satu sisi terkungkung dalam kehancuran tetapi di
sisi lain memberikan harapan akan penghargaan yang utuh terhadap martabat
manusia. Ia menulis:
Suatu tanda zaman
yang paling menyolok dewasa ini adalah adanya dinamika hidup yang seakan-akan
bertentangan dalam hidup manusia. Pada satu pihak umat manusia dan
bangsa-bangsa merasa tertindas oleh peperangan dan derita yang seolah-olah
tiada berujung. Manusia merasa terhimpit antara ideologi dan persaingan
pendapat yang sering meruntuhkan. Manusia merasa panik di tengah dunia
kaya-miskin yang semakin melebar jurangnya.
Di lain pihak tidak berlebihan jika dikatakan bahwa zaman ini adalah
zaman gemilang. Pada zaman ini muncullah magna charta yang menempatkan manusia pada proporsinya yang
wajar. Kita dapat menyaksikan betapa kesadaran manusia akan hak-hak dan
martabatnya meningkat; betapa manusia mendambakan perdamaian dan kebebasan;
kita dapat menyaksikan betapa manusia berjuang untuk menjadikan hidupnya lebih
menarik. Manusia menggarap pelbagai ilmu dan pengetahuan
untuk menjadikan hidupnya lebih pantas dan praktis.[4]
M
|
enghadapi kenyataan ini, manusia lalu masuk ke dalam diri sendiri seraya
menggenggam banyak kata tanya. Ada banyak peristiwa bahkan menjadi misteri bagi
manusia sendiri. Tatkala manusia berada di persimpangan jalan hidupnya, ia
bertanya kembali tentang eksistensinya yang terdalam: Apa arti dan tujuan hidup
saya? Apa yang menjadi kewajiban saya yang mutlak, tanggung jawab saya sebagai
manusia? Bagaimana saya harus hidup agar menjadi baik sebagai manusia? Apa arti
dan implikasi martabat saya dan martabat orang lain sebagai manusia? Apa arti
transendensi yang saya rasakan dalam diri saya? Begitu pula pertanyaan-pertanyaan
tentang dasar pengetahuan kita, tentang nilai-nilai yang kita junjung tinggi,
tentang keadilan.[5]
Pertanyaan-pertanyaan itu datang silih berganti dan memberikan warna
bagi hidup manusia sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu pula yang menggugah
manusia untuk terus maju dan meraih apa yang menjadi makna dan tujuan hidupnya,
demi mempertegas hakikatnya.[6] Albert Camus menilai, bahwa makna hidup adalah
pertanyaan yang paling mendesak[7], pertanyaan yang harus dijawab manusia untuk
mempertegas eksistensinya. Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Fides
et Ratio membenarkan
hal itu ketika ia menulis,
“Pertanyaan-pertanyaan itu sama-sama bersumber dari hasrat keinginan
mencari makna yang selalu mendesak hati manusia. Kenyataannya, jawaban atas
pertanyaan itu menentukan arah yang hendak diberikan orang kepada hidup mereka”.[8]
N
|
amun
untuk sampai di situ, manusia membutuhkan sarana. Manusia oleh daya refleksinya
menggunakan filsafat sebagai batu loncatan untuk semakin memahami dirinya.
Justru karena pertanyaan itu begitu urgen, maka manusia berkepentingan agar
pertanyaan-pertanyaan itupun ditangani secara rasional dan bertanggungjawab,
sebagaimana menjadi fungsi-fungsi ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya untuk
menangani masalah-masalah teoretis yang dihadapi manusia secara rasional dan
bertanggungjawab. Justru itulah fungsi filsafat dalam usaha umat manusia untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Filsafat dapat dipandang sebagai
usaha manusia untuk menangani pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut secara
bertanggungjawab. Tanpa usaha ilmiah itu pertanyaan-pertanyaan itu hanya akan
dijawab secara spontan dan dengan demikian senantiasa ada bahaya bahwa
jawaban-jawaban didistorsikan oleh selera subyektif, segala macam rasionalisasi
dan kepentingan ideologis.[9]
Dari awal mula manusia mencari cahaya untuk
menerangi makna eksistensinya. Dia mau tahu mengapa semua yang baik dalam dunia
ini tidak pernah berhasil mengisi kehausannya akan kebahagiaan. Apakah
jawabannya terletak dalam suatu dunia yang lain?[10]
P
|
engalaman memperlihatkan bahwa manusia amat merindukan kebahagiaan, apa
pun bentuknya, dan tanpa batas. Pencarian kebahagiaan, dengan harapan menemukan
kebahagiaan sejati, berada pada awal kegiatan manusia. Fakta fundamental itu
tidak boleh dilalaikan. Adanya begitu banyak kekecewaan dan situasi
keputusasaan yang menyakiti manusia karena dia keliru dalam caranya mengejar
kebahagiaan, melukiskan dengan jelas bahwa struktur ontologis manusialah yang
mengarah pada kebahagiaan itu. Hasrat akan kebahagiaan total dan definitif itu
termasuk kodrat manusia.[11]
[1] Alexis
Carrel, Manusia
Misteri, diterjemahkan oleh Kania Roesli (Bandung:
Remaja Karya, 1987), p. 244: “Ilmu pengetahuan telah menguasai materi,
memberikan manusia kekuatan untuk mentransformasikan dirinya. Ilmu pengetahuan
telah menyingkirkan beberapa mekanisme rahasia hidup manusia dan telah pula
memperlihatkan kepada manusia bagaimana cara mengubah gerak mekanisme itu, cara
mencetak tubuh dan jiwanya menurut pola yang terakhir dari
keinginan-keinginannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, umat manusia
dengan bantuan ilmu pengetahuan telah menjadi pengatur nasibnya sendiri”.
[2] Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh
Filsafat Barat Modern
(Jakarta: Gramedia, 1984), p. 3.
[3] Simon dan Christoper Danes, Masalah-Masalah
Moral Aktual dalam Perspektif Iman Kristen, diterjemahkan oleh Hardono Hadi
(Yogyakarta: Kanisius, 2000), p. 66: Tes yang biasa dipakai adalah Ultrasound
Scanning. Selama pengamatan (scanning) gambar janin yang bergerak
dapat terlihat pada layar monitor dengan memberikan gelombang suara yang
frekkuensinya sangat tinggi ke dalam uterus dan mengubah gema menjadi gambar. Ultrasound
Scanning memiliki keuntungan tambahan dengan memungkinkan ayah dan ibu
melihat anak-anak mereka untuk pertama kalinya sebelum dilahirkan. Banyak yang
menganggap pengalaman ini menggairahkan dan meneguhkan.
[4] Servulus Isaak, “Menuju Hari Esok Yang Lebih Cerah”, dalam
majalah VOX (no. 19/1, tahun 1972), p. 3.
[5] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis
(Yogyakarta: Kanisius, 1992), pp/hal./hlm. 18-19.
[6] Leslie Stevenson & David L. Haberman, Sepuluh
Teori Hakikat Manusia, diterjemahkan oleh Yudi
Santoso & Saut Pasaribu (Yogyakarta: Bentang, 2001), p. 3.
[7] Albert Camus, Mite
Sisifus: Pergulatan Dengan Absurditas, diterjemahkan oleh Apsanti D. (Jakarta: Gramedia, 1999), p. 4.
[8] Yohanes Paulus II, Fides et Ratio, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya (Yogyakarta:
Kanisius, 1999), p. 8.
[11] Ibid, p.
20.
mantap e ase... luar biasa... hanya sedikit bertanya, rasanya kok revolusi industri itu muncul pada abad ke-19 e sebagai buah hasil dari revolusi sains (ilmu pengetahuan) pada abad ke-18. Tapi mungkin saya juga salah... hehehehe... tabe ga...
ReplyDeleteTerima kasih ite sudah membaca. Kita sama2 cek yang betulnya soal RI. Tabe.
Delete