Kanisius
Teobaldus Deki
M
|
elalui
argumentasi-argumentasi induktif Sokrates mengarahkan perhatiannya pada
permasalahan logika, meskipun masih dalam konteks yang sederhana yakni dengan
menyelidiki tingkah laku manusia.
Dalam mengembangkan pemikirannya Sokrates
mempergunakan metode dialektika. Disebut dialektika karena dialog atau
percakapan mempunyai peranan paling mendasar dalam menemukan kebenaran. Proses
dialektika itu bisa dilukiskan demikian: Mula-mula Sokrates masuk dalam
percakapan dengan beberapa orang. Kemudian ia berusaha untuk mengemukakan
pendapatnya tentang suatu obyek tertentu, misalnya: keberanian, pengendalian
diri, persahabatan, dsb. Sebagai contoh, dia menunjukkan ketidaktahuan atau
kebodohannya sendiri dan mau belajar dari mereka. Ia mempunyai keyakinan bahwa
jika mereka mempergunakan kata keberanian tentu saja mereka sudah mempunyai
pengertian tentang kata itu. Seandainya mereka memberikan suatu pengertian
(definisi) dan deskripsi kepadanya, Sokrates menunjukkan kepuasannya, tetapi
serentak juga ia mengisyaratkan bahwa masih ada kesulitan-kesulitan kecil lain
yang masih harus dipecahkan lagi. Oleh karena itu Sokrates langsung mengajukan
pertanyaan-pertanyaan baru dengan maksud membiarkan orang itu senantiasa
berbicara, meskipun dialog tersebut berada di bawah kontrolnya. Dengan
demikian ia menunjukkan ketidaktahuannya
mengenai arti keberanian itu. Lawan bicaranya merasa bersemangat kembali sehingga mereka bisa
melanjutkan proses dialog sampai tuntas atau sama sekali tidak ada hasil.
Dialektika
Sokrates bertolak dari pengertian-pengertian yang kurang tepat lalu
perlahan-lahan berkembang ke arah suatu pengertian yang lebih tepat. Ia
bertolak dari pertimbangan-pertimbangan tentang contoh-contoh khusus lalu
beralih ke suatu pengertian yang
universal. Suatu kenyataan yang sering terjadi ialah bahwa hasil akhir tidak
tercapai, tetapi melalui proses ini maksud utamanya tetap sama yakni: untuk
mencapai pengertian yang benar dan universal. Karena argumentasi bertolak dari
hal-hal yang partikular menuju kepada hal-hal yang universal atau dari hal-hal
yang kurang sempurna kepada hal-hal yang lebih sempurna maka metode ini lebih
cocok dinamakan metode induksi.[1]
Bagaimanapun juga metode dialektika agak
menjengkelkan dan membingungkan bahkan terkesan menghina orang yang tidak tahu
dan yang tidak punya keyakinan akan dijatuhkan. Akan tetapi tujuan utama dari
Sokrates bukanlah ingin menemukan obyek spekulasi murni melainkan demi suatu
pandangan mengenai kehidupan yang baik, yakni bertindak secara baik; membimbing
orang untuk menyadari hidupnya sendiri. Karena tujuan seperti ini, maka metode
dialektika yang dia terapkan pada hakekatnya bersifat pedagogis, edukatif dan
moral.
Metode
dialektika mencakup dua proses utama yang berurutan dan saling berhubungan satu
sama lain. Kedua proses itu adalah: proses
ironik dan proses Maieutik (proses kebidanan).[2]
Proses Ironik Sokrates
D
|
alam perspektif Sokrates, seorang yang berpikir bahwa ia sudah mengetahui
segala sesuatu, dengan secara tidak sadar ia sudah tertutup dalam jalan
kebenaran. Langkah pertama menuju pengetahuan adalah kesadaran akan
ketidaktahuan kita. Semua petunjuk untuk menyadarkan orang akan kekurangan
pengetahuan mereka merupakan langkah awal dari ironik Sokrates.
Tujuan dari
proses Ironik ini dapat dilukiskan sebagai berikut. Pertama-tama, melalui
proses ini para pencari ilmu pengetahuan yang telah memperolehnya dapat
bersiap-siaga untuk berjuang lebih keras lagi. Selanjutnya proses ini
memurnikan pikiran seseorang terhadap prasangka dan ketidaktahuannya atas
informasi yang bisa menghalangi realisasi kebenaran. Proses ini juga mendorong
dan menuntun seseorang kepada pengakuan yang jujur dan ikhlas akan
ketidaktahuannya mengenai sesuatu. Pengakuan semacam ini adalah tuntutan mutlak
bagi realisasi pengetahuan. Kedua, menciptakan suatu kondisi yang amat baik
apabila suatu obyek mulai didiskusikan, dan ia akan mengemukakan banyak
pertanyaan menarik kepada lawan bicaranya seolah-olah ia mempunyai kekaguman
terhadap kebijaksanaan mereka dan mempunyai kepercayaan yang penuh atas
kemampuan untuk memberikan informasi. Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan selalu
dirumuskan secara tajam dan berbelit-belit, sehingga lawan bicara dengan cepat
dibawa masuk kepada suatu jaringan yang penuh dengan kontradiksi dalam dirinya
sendiri. Kemudian Sokrates dengan sangat berhati-hati bahkan penuh
kelemahlembutan menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Melalui cara itu
perlahan-lahan Sokrates memaksa lawan bicaranya untuk mengakui bahwa ia sedang
berbicara tentang sesuatu yang tak berarti, sebab berdasarkan kenyataan ia
tidak mengetahui apa-apa mengenai obyek-obyek yang sedang dipersoalkan. Dapat
disimpulkan bahwa dalam proses ini ada dua kutub yang penting, yakni pars destruens (bagian yang
menghancurkan) dan pars construens
(bagian yang membangun kembali).[3] Dalam dua bagian ini ada
suatu proses konfrontasi yang terus-menerus sampai pada gilirannya mitra bicara
menemukan pemahaman yang benar tentang pokok pembicaraan. Melalui
sangkalan-sangkalan, Sokrates hendak membimbing mitra bicara untuk mengakui
bahwa ia tidak tahu. Atas dasar ketidaktahuan mitra bicaranya ia memberikan
suatu pemurnian dan kemudian membangun hidup yang kokoh. Jadi, pertanyaan
Ironik Sokrates mengarah kepada pengakuan yang penting tentang ketidaktahuan.
Proses Maieutik Sokrates
B
|
erpijak pada
proses Ironik, Sokrates berlangkah maju ke proses yang kedua, yakni Maieutik.
Bagi Sokrates, jiwa hanya dapat mencapai kebenaran kalau kebenaran itu sudah
dikandung (dimiliki) dalam diri sendiri. Seperti yang sudah kita lihat, orang
mengatakan bahwa ia tidak tahu dan karena itu ia menyangkal bahwa ia mampu
mengkomunikasikan kepada orang lain suatu pengetahuan dengan isi tertentu.
Seperti seorang wanita yang hamil, yang sedang mengandung dalam dirinya seorang
bayi memerlukan seorang bidan yang membantu untuk melahirkan ke alam terang
bayi itu, demikian juga jiwa yang sudah
memiliki kebenaran memerlukan suatu jenis seni rohani yang membantu kebenaran
ini terungkap.[4] Untuk mencapai apa yang
menjadi tujuannya musti ada satu proses. Dialog atau percakapan berproses dari
pengertian yang kurang adequate[5] menuju pada formulasi
pengertian yang adequate. Dengan kata
lain, metode Maieutik adalah suatu metode yang bertujuan memampukan
murid-muridnya untuk mencapai dan melahirkan pemikiran baru serta mendalam
tentang ide-ide etika dan tingkah laku etis.
Obyek kebajikan misalnya ingin dijadikan bahan
diskusi. Sokrates tidak menyampaikan pengetahuan tentang kebajikan, tetapi
melalui pertanyaan-pertanyaan ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa
para muridnya tentang kodrat kebijaksanaan. Dengan pertanyaan-pertanyaan lebih
lanjut ia menguji nilai pikiran-pikiran yang sudah dilahirkan itu.
Sokrates menggunakan proses ironik untuk
memurnikan pikiran dari pertanyaan mengenai semua gagasan yang kurang jelas,
tidak tepat dan salah yang telah dimiliki subyek. Dengan menggunakan proses
Maieutik ia ingin melibatkan diri secara aktif dalam dialog dengan murid-muridnya,
memimpin diskusi dengan suatu sikap tertentu sehingga apa yang disebut
kebajikan misalnya, dapat disadari, diuji, dibandingkan, dipelajari berdasarkan
sudut pandangan mereka yang sama atau berbeda-beda. Dengan demikian lewat
proses ini, Sokrates membantu seorang murid mengungkapkan kebenaran yang telah
dikandungnya dalam pikiran (jiwanya).
[1] L. Mare, Op. Cit., p. 77.
[2] Martin J. Wals, Op. Cit., p. 170.
[4] Ibid.,
p. 28.
[5]
“Adequate” sebagai kata sifat berarti:
memuaskan, dengan memuaskan dalam kuantitas atau kualitas. A P. Cowie, Oxford Advanced Learner’s Dictionary (London: Oxford University
Press, 1994), p. 14. Dalam bahasa Indonesia istilah ini dapat
diterjemahkan dengan: cocok, sesuai. Bdk. Laurens Bagus, Op. Cit., p. 17.
No comments:
Post a Comment