Tuesday, 16 October 2018

Argumentasi Induktif –Metode Sokrates (2)


Kanisius Teobaldus Deki


   M
elalui argumentasi-argumentasi induktif Sokrates mengarahkan perhatiannya pada permasalahan logika, meskipun masih dalam konteks yang sederhana yakni dengan menyelidiki tingkah laku manusia.
           
Dalam mengembangkan pemikirannya Sokrates mempergunakan metode dialektika. Disebut dialektika karena dialog atau percakapan mempunyai peranan paling mendasar dalam menemukan kebenaran. Proses dialektika itu bisa dilukiskan demikian: Mula-mula Sokrates masuk dalam percakapan dengan beberapa orang. Kemudian ia berusaha untuk mengemukakan pendapatnya tentang suatu obyek tertentu, misalnya: keberanian, pengendalian diri, persahabatan, dsb. Sebagai contoh, dia menunjukkan ketidaktahuan atau kebodohannya sendiri dan mau belajar dari mereka. Ia mempunyai keyakinan bahwa jika mereka mempergunakan kata keberanian tentu saja mereka sudah mempunyai pengertian tentang kata itu. Seandainya mereka memberikan suatu pengertian (definisi) dan deskripsi kepadanya, Sokrates menunjukkan kepuasannya, tetapi serentak juga ia mengisyaratkan bahwa masih ada kesulitan-kesulitan kecil lain yang masih harus dipecahkan lagi. Oleh karena itu Sokrates langsung mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru dengan maksud membiarkan orang itu senantiasa berbicara, meskipun dialog tersebut berada di bawah kontrolnya. Dengan demikian  ia menunjukkan ketidaktahuannya mengenai arti keberanian itu. Lawan bicaranya merasa  bersemangat kembali sehingga mereka bisa melanjutkan proses dialog sampai tuntas atau sama sekali tidak ada hasil.
           
Dialektika Sokrates bertolak dari pengertian-pengertian yang kurang tepat lalu perlahan-lahan berkembang ke arah suatu pengertian yang lebih tepat. Ia bertolak dari pertimbangan-pertimbangan tentang contoh-contoh khusus lalu beralih ke  suatu pengertian yang universal. Suatu kenyataan yang sering terjadi ialah bahwa hasil akhir tidak tercapai, tetapi melalui proses ini maksud utamanya tetap sama yakni: untuk mencapai pengertian yang benar dan universal. Karena argumentasi bertolak dari hal-hal yang partikular menuju kepada hal-hal yang universal atau dari hal-hal yang kurang sempurna kepada hal-hal yang lebih sempurna maka metode ini lebih cocok dinamakan metode induksi.[1]
           
Bagaimanapun juga metode dialektika agak menjengkelkan dan membingungkan bahkan terkesan menghina orang yang tidak tahu dan yang tidak punya keyakinan akan dijatuhkan. Akan tetapi tujuan utama dari Sokrates bukanlah ingin menemukan obyek spekulasi murni melainkan demi suatu pandangan mengenai kehidupan yang baik, yakni bertindak secara baik; membimbing orang untuk menyadari hidupnya sendiri. Karena tujuan seperti ini, maka metode dialektika yang dia terapkan pada hakekatnya bersifat pedagogis, edukatif dan moral.
           
Metode dialektika mencakup dua proses utama yang berurutan dan saling berhubungan satu sama lain. Kedua proses itu adalah: proses ironik dan proses Maieutik (proses kebidanan).[2]

Proses Ironik Sokrates
   D
alam perspektif Sokrates, seorang yang berpikir bahwa ia sudah mengetahui segala sesuatu, dengan secara tidak sadar ia sudah tertutup dalam jalan kebenaran. Langkah pertama menuju pengetahuan adalah kesadaran akan ketidaktahuan kita. Semua petunjuk untuk menyadarkan orang akan kekurangan pengetahuan mereka merupakan langkah awal dari ironik Sokrates.
           
Tujuan dari proses Ironik ini dapat dilukiskan sebagai berikut. Pertama-tama, melalui proses ini para pencari ilmu pengetahuan yang telah memperolehnya dapat bersiap-siaga untuk berjuang lebih keras lagi. Selanjutnya proses ini memurnikan pikiran seseorang terhadap prasangka dan ketidaktahuannya atas informasi yang bisa menghalangi realisasi kebenaran. Proses ini juga mendorong dan menuntun seseorang kepada pengakuan yang jujur dan ikhlas akan ketidaktahuannya mengenai sesuatu. Pengakuan semacam ini adalah tuntutan mutlak bagi realisasi pengetahuan. Kedua, menciptakan suatu kondisi yang amat baik apabila suatu obyek mulai didiskusikan, dan ia akan mengemukakan banyak pertanyaan menarik kepada lawan bicaranya seolah-olah ia mempunyai kekaguman terhadap kebijaksanaan mereka dan mempunyai kepercayaan yang penuh atas kemampuan untuk memberikan informasi. Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan selalu dirumuskan secara tajam dan berbelit-belit, sehingga lawan bicara dengan cepat dibawa masuk kepada suatu jaringan yang penuh dengan kontradiksi dalam dirinya sendiri. Kemudian Sokrates dengan sangat berhati-hati bahkan penuh kelemahlembutan menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Melalui cara itu perlahan-lahan Sokrates memaksa lawan bicaranya untuk mengakui bahwa ia sedang berbicara tentang sesuatu yang tak berarti, sebab berdasarkan kenyataan ia tidak mengetahui apa-apa mengenai obyek-obyek yang sedang dipersoalkan. Dapat disimpulkan bahwa dalam proses ini ada dua kutub yang penting, yakni pars destruens (bagian yang menghancurkan) dan pars construens (bagian yang membangun kembali).[3] Dalam dua bagian ini ada suatu proses konfrontasi yang terus-menerus sampai pada gilirannya mitra bicara menemukan pemahaman yang benar tentang pokok pembicaraan. Melalui sangkalan-sangkalan, Sokrates hendak membimbing mitra bicara untuk mengakui bahwa ia tidak tahu. Atas dasar ketidaktahuan mitra bicaranya ia memberikan suatu pemurnian dan kemudian membangun hidup yang kokoh. Jadi, pertanyaan Ironik Sokrates mengarah kepada pengakuan yang penting tentang ketidaktahuan.

Proses Maieutik Sokrates
   B
erpijak pada proses Ironik, Sokrates berlangkah maju ke proses yang kedua, yakni Maieutik. Bagi Sokrates, jiwa hanya dapat mencapai kebenaran kalau kebenaran itu sudah dikandung (dimiliki) dalam diri sendiri. Seperti yang sudah kita lihat, orang mengatakan bahwa ia tidak tahu dan karena itu ia menyangkal bahwa ia mampu mengkomunikasikan kepada orang lain suatu pengetahuan dengan isi tertentu. Seperti seorang wanita yang hamil, yang sedang mengandung dalam dirinya seorang bayi memerlukan seorang bidan yang membantu untuk melahirkan ke alam terang bayi itu, demikian  juga jiwa yang sudah memiliki kebenaran memerlukan suatu jenis seni rohani yang membantu kebenaran ini terungkap.[4] Untuk mencapai apa yang menjadi tujuannya musti ada satu proses. Dialog atau percakapan berproses dari pengertian yang kurang adequate[5] menuju pada formulasi pengertian yang adequate. Dengan kata lain, metode Maieutik adalah suatu metode yang bertujuan memampukan murid-muridnya untuk mencapai dan melahirkan pemikiran baru serta mendalam tentang ide-ide etika dan tingkah laku etis.
           
Obyek kebajikan misalnya ingin dijadikan bahan diskusi. Sokrates tidak menyampaikan pengetahuan tentang kebajikan, tetapi melalui pertanyaan-pertanyaan ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa para muridnya tentang kodrat kebijaksanaan. Dengan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut ia menguji nilai pikiran-pikiran yang sudah dilahirkan itu.
           
Sokrates menggunakan proses ironik untuk memurnikan pikiran dari pertanyaan mengenai semua gagasan yang kurang jelas, tidak tepat dan salah yang telah dimiliki subyek. Dengan menggunakan proses Maieutik ia ingin melibatkan diri secara aktif dalam dialog dengan murid-muridnya, memimpin diskusi dengan suatu sikap tertentu sehingga apa yang disebut kebajikan misalnya, dapat disadari, diuji, dibandingkan, dipelajari berdasarkan sudut pandangan mereka yang sama atau berbeda-beda. Dengan demikian lewat proses ini, Sokrates membantu seorang murid mengungkapkan kebenaran yang telah dikandungnya dalam pikiran (jiwanya).



[1] L. Mare, Op. Cit., p. 77.
[2] Martin J. Wals, Op. Cit., p. 170.

[3] Frans Ceunfin, Op. Cit., 27.
[4] Ibid., p. 28.
[5] “Adequate”  sebagai kata sifat berarti: memuaskan, dengan memuaskan dalam kuantitas atau kualitas. A P. Cowie, Oxford Advanced Learner’s Dictionary (London: Oxford University Press, 1994), p. 14. Dalam bahasa Indonesia istilah ini dapat diterjemahkan dengan: cocok, sesuai. Bdk. Laurens Bagus, Op. Cit., p. 17.

No comments:

Post a Comment