Saturday 26 September 2020

Disfungsi Lembaga Adat Dalam Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Manggarai

 

Persawahan "Lodok" Manggarai.

Kanisius Teobaldus Deki


Dalam masyarakat agraris Manggarai terdapat Tu’a Golo yang berperan sebagai kepala wilayah yang mencakupi kampung [golo], tanah, hutan dan air. Selain Tu’a Golo, terdapat Tu’a Teno yang diberi wewenang untuk secara khusus mengurus pembukaan lahan kebun yang baru dan pembagiannya yang merata untuk semua masyarakat komunal. Dalam penelitian yang dibuat oleh Maria Ruwiastuti dan team (“Sistem Penguasaan Asli dan Politik Hukum Tanah di Manggarai Tengah”, 1994) tentang persoalan tanah, kenyataan ini melahirkan gagasan yang dikenal luas dalam filosofi kehidupan orang Manggarai yang membahasakan kesatuan antara tanah dan kehidupan mereka yakni, “gendangn one, lingkon pe’ang” [yang secara harfiah diartikan sebagai rumah di dalam, tanah di luar]. Dalam proses pembukaan lahan pertanian yang baru [lingko] dan pembagiannya, Tu’a Teno terlebih dahulu mengundang [siro] semua suku [panga] yang ada dalam wilayah kampung untuk mengadakan “lonto leok” [bermusyawarah] supaya mengatur pembagian tanah secara adil dan bijaksana kepada semua warga.

Lingko biasanya dibedakan atas beberapa jenis. Menurut penelitian Ruwiastuti pembagian lingko bisa dilihat dari jenis hewan yang dikorbankan. Pertama, Lingko Randang atau Lingko Rame yaitu sebidang tanah garapan yang dibuka dengan melakukan upacara adat dengan hewan korban yang besar berupa seekor kerbau atau babi merah [éla rae]. Bidang tanah yang dibuka dengan babi merah disebut lingko wina [lingko perempuan] dan yang dibuka dengan kerbau disebut lingko rona [lingko lelaki]. Lingko rame biasanya dikunjungi setiap tahun untuk mengadakan upacara penti. Kedua, Lingko Saungcué yaitu ladang garapan yang dibuka dengan membunuh seekor babi tanpa memandang warna bulunya. Mereka yang menggarapnya mempunyai kewajiban untuk mempersembahkan seekor ayam di lahan garapan itu setiap tahunnya (“Sengketa Tanah di Manggarai: Temuan, Pendapat, Analisis dan Rekomendasi Berdasarkan Penelitian Lapangan yang Dilakukan di Manggarai Tengah pada bulan Oktober-November 1994”). Selain pembagian dengan menelisik hewan yang dikorbankan, Lingko Randang [atau disebut juga Lingko Rame] memiliki ukuran yang sangat luas sehingga semua warga masyarakat golo mendapat bagiannya dalam tanah persekutuan komunal itu. Sedangkan Lingko Saungcuè [disebut juga Lingko Kina] memiliki ukuran yang lebih kecil dan warga yang tidak mendapat bagian dalam lingko itu dialihkan ke lingko yang baru dengan tetap memperhatikan asas keadilan. Robert Lawang dalam kajiannya “Konflik Tanah di Manggarai Flores Barat (1999)” mengakui adanya pembagian jenis lingko. Selain lingko rame, ada juga lingko yang disebut sebagai Lingko bon yakni kebun biasa yang dibagikan kepada mereka yang tidak mendapat bagian dalam lingko rame. Lingko rame selalu memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan rumah gendang, kampung dan warga kampung seluruhnya. Dalam arti inilah ungkapan “gendangn one, lingkon pe’ang” mengungkapkan analogi suami-istri [rona-wina]. Rumah gendang adalah suami untuk lingko yang adalah istri. Karena itu mengambil sebuah lingko identik dengan merebut istri. Konsekuensinya, pemilik lingko akan berusaha melalui pelbagai cara mempertahankannya.

Biasanya lingko dikelolah dengan mekanisme yang tetap dan jelas. Beberapa mekanisme itu antara lain: Pertama, Lodok. Lodok adalah pembagian tanah garapan dengan satu titik pusat dan daripadanya ditarik jari-jari yang membatasi bidang garapan dari setiap warga yang mengerjakan kebun. Pada titik pusat lodok ditanami pohon waru [haju Teno] yang dibentuk menyerupai gasing sehingga disebut mangka [gasing]. Setiap garis jari-jari berakhir pada batas yang disebut cicing. Mekanisme kedua adalah membuka lahan pertanian baru dengan cara yang sama seperti lodok namun ukuran lahannya lebih kecil. Lahan jenis ini disebut neol. Akhirnya, mekanisme yang ketiga disebut tobok, yaitu membuka kebun baru di luar batas lingko. Tobok diperuntukkan bagi mereka yang tidak mendapat bagian pada lingko.

Dari struktur dan mekanisme tradisional yang ada sebenarnya tidak ada  indikasi pencaplokan tanah antar kampung atau komunitas. Tu’a-tua Golo dan Tu’a-tu’a Teno setiap kampung saling menghormati dan mengakui perbatasan lingko masing-masing dengan batas-batas alamiah seperti sungai, gunung atau kawasan hutan keduanya. Setiap Tu’a Teno mengetahui dengan persis batas-batas lingkonya sehingga jikalau terjadi soal dengan batas-batas lingko akan dengan mudah diselesaikan dalam rumah Gendang.

Sejak Manggarai diklaim dan akhirnya dijajah oleh pihak luar [Goa-Tallo, Bima dan Belanda], identitas kemanggaraian mulai luntur lalu pudar sejalan dengan perkembangan yang multidimensional. Perubahan-perubahan itu menyata dalam hal-hal berikut ini. Pertama, Kehadiran penjajah selalu melegitimasi secara sepihak kekuasaan dalam masyarakat serentak meniadakan eksistensi penguasa lokal. Kedua, Penjajah juga menempatkan hukum, peraturan dan undang-undangnya secara sepihak, mengatasi hukum, peraturan dan undang-undang masyarakat asli Manggarai yang sebelumnya sudah memiliki perangkat hukum. Ketiga, Ketika Indonesia merdeka, peran dan fungsi pemerintahan lokal adat [Tu’a Golo, Tu’a Teno] tidak diakui sepenuhnya dan tidak diberi tempat yang selayaknya. Peran mereka dikesampingkan.

Efek yang timbul dari perubahan-perubahan dan pergeseran kekuasaan ini ialah tidak berfungsinya lembaga-lembaga adat dengan seluruh elemennya secara yuridis. Lembaga-lembaga itu menjadi disfungsi oleh kehadiran peraturan dan hukum baru di satu pihak, tetapi tetap dilihat memiliki pengaruh yang besar di pihak lain. Secara hukum, institusi pemerintahan adat tidak diakui perannya, tetapi dalam kenyataan justru banyak segi kehidupan masyarakat berkaitan dengan aplikasi real hukum atau peraturan adat.

Berkaitan dengan pola penguasaan atas tanah, pemerintah [Goa-Tallo, Bima dan Belanda] secara sepihak membuat peraturan untuk kepemilikan tanah tanpa menghiraukan pembagian yang telah dibuat oleh Tu’a Teno sebagaimana termaktub dalam tata laksana peraturan adat lingko. Ketika terjadi pergeseran kekuasaan dari Tu’a Golo ke Gelarang di zaman Goa-Tallo dan Bima, dan Dalu di zaman Belanda, peran dan pengaruh Tu’a Golo terhadap warganya dipangkas. Mereka yang sebenarnya memiliki kekuasaan atas “gendangn one, lingkon pe’ang” hanya menjadi kepala kampung yang berada di bawah kekuasaan Gelarang dan Dalu. Padahal, sengketa-sengketa tanah yang ada bertitik pangkal pada lokasi yang dibagi dengan menggunakan hukum adat yang tidak digubris oleh Gelarang ataupun Dalu. Hingga disaat Indonesia sudah merdeka pun penyelesaian masalah sengketa tanah tetap tidak menyentuh basis persoalan. Masalah-masalah sengketa tanah dibawa ke Pengadilan Negeri [PN] yang hanya memiliki produk hukum nasional [penyeragaman] yang tidak bereferensi kepada hukum adat [konteks lokal]. Mengapa referensi kepada hukum adat penting dilakukan? Hukum adat inilah yang membidani kelahiran sebuah lingko, pengakuan akan eksistensinya [penetapan tapal batas dan peta serta status yang jelas atasnya] dan keberlangsungannya di masa depan.

Ketika muncul kesadaran akan pentingnya intervensi hukum adat dalam penyelesaian konflik, institusi adat justru mengalami kesulitan dalam mengakomodasi persoalan yang ada. Kerusakan yang ditimbulkan oleh pengaruh pemerintahan kolonial terhadap institusi adat sudah sangat parah sehingga keterjalinan pengetahuan masyarakat pemiliknya juga terputus. Hal ini berakibat pada putusnya jalinan relasi pengetahuan lisan dan pewarisannya kepada setiap generasi baru. Persoalan muncul ketika setiap generasi tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang kepemilikan tanah lingko yang diwariskan secara lisan turun temurun. Akibatnya ada banyak pengetahuan tentang batas yang berbeda. Terdapat kenyataan, bahkan dalam satu wilayah persekutuan adat, pengetahuan tentang batas-batas tanah lingko tidak sama. Maka amat mungkin muncul berbagai klaim fiktif oleh generasi kemudian yang pada akhirnya memunculkan konflik horizontal.

Meskipun kita berada pada posisi dilematis berhadapan dengan pertanyaan tentang eksistensi lembaga adat dan peran yang dimainkan oleh fungsionaris adat yang kian lemah, namun ada kemestian untuk mencari titik temu antara esensi kehadirannya dengan masyarakat yang terakui oleh keberadaannya. Ada dialektika antara lembaga adat dan pengakunya. Terbanyak masyarakat Manggarai masih bereferensi pada tata aturan yang dimainkan aturan adat yang dikeluarkan oleh lembaga adat khususnya dalam kaitan dengan penguasaan dan pengelolaan tanah. Ada dua sikap yang bisa dipilih. Pertama, hukum positif (negara) di bidang agraria diberlakukan tanpa adaptasi yang kreatif atas masyarakat Manggarai. Argumentasi logis yang dikonstruksi atasnya karena Manggarai adalah bagian dari wilayah NKRI. Karena itu mutlak berlaku tata aturan negara atasnya (termasuk lembaganya), tanpa kompromi. Jika alur pemikiran ini yang menjadi main stream, maka penerapan hukum akan tetap tak mencapai harapan.

Kedua, terbangunnya kembali sistem lembaga adat yang mengembangkan suatu proses kreatif untuk mencapai eksistensinya yang kian terkikis oleh kemajuan zaman. Lembaga adat yang teradaptasi ini kemudian menegaskan jati dirinya dalam penemuan kembali rumusan tata aturan hakiki dari sistem penguasaan dan pengelolaan atas tanah di Manggarai seraya mempertautkannya dengan hukum positif. Bila jalan pikiran ini yang menjadi kiblat, maka masyarakat yang bereferensi pada hukum adat akan mendapat perspektif pencerahan karena hukum adat mereka tetap diterima persis ketika mereka sadar bahwa mereka adalah bagian dari NKRI. Persoalan akan tetap  muncul ketika eksistensi masyarakat dipertanyakan, tatkala eksistensi yang dilekatkan pada matra adat-istiadat, tempat jati diri diperjelas dan dipertegas itu, ditolak oleh sebuah sistem baru atas nama negara. Persoalan yang mungkin tak pernah selesai jika tak ada kesadaran antara lembaga adat dan negara untuk saling menerima dan memberi secara kreatif.***

 

(Dipublikasi pertama oleh: PILAR, September 2007)


Thursday 24 September 2020

Pilkada 9 Desember 2020 Tanpa Selek Kope

 



Catatan Pilkada ke-5

Kanisius Teobaldus Deki

Gema Pilkada Manggarai sudah terdengar sejak beberapa waktu lalu. Semua menyiapkan diri untuk menghadapi moment penting ini. Pertanyaan substansial diajukan: “Akankah Pilkada tahun 2020 ini membawa perubahan dan kemajuan yang berefek pada tercapaianya kesejahteraan rakyat?” Pertanyaan mahapenting ini harus diajukan. Karena jika jawabannya "tidak memberi efek" pada kesejahteraan masyarakat, maka Pilkada hanya merupakan sebuah tipuan terencana yang legal.

Menariknya, untuk mencapai kemenangan, kandidat dan para pendukung berusaha keras dengan pelbagai cara untuk memeroleh kemenangan diajang Pilkada ini. Ada banyak usaha untuk meyakinkan pemilih agar memberikan dukungan politik, khususnya pada pemilihan di 9 Desember 2020. Namun, kerap kali, keinginan yang besar untuk meraih kekuasaan kerap membuat banyak orang lupa diri, termasuk menghalalkan segala cara supaya bisa menang.

Ketika secra resmi pada 23-24 September 2020 dua paslon ditetapkan sebagai calon dan penarikan nomor urut untuk kertas suara, sesungguhnya gong pertarungan baru ditabuh secara resmi. Pendaftaran yang dilakukan pada 5-6 September 2020 kini diterima dan dinyatakan secara sah. Siapapun yang bekerja dalam tim Pilkada, kini dengan sigap menaikkan daya kerja dan juang untuk kemenangan pasangan masing-masing.

Kendati semua kandididat dan timnya berharap akan menang, satu harapan bersama yang tak boleh alpa dari kesadaran kita adalah munculnya sebuah situasi Pilkada tanpa kekerasan, darah dan air mata. Sebuah Pilkada yang tidak disimbolkan pada kope (parang) sebagai tanda perang.

Kope dalam Budaya Manggarai

Dalam kultur agraris Manggarai, kope memiliki arti yang sangat penting. Kope adalah alat kerja untuk menebas pohon atau membersihkan rumput di kebun. Kope juga alat untuk meruncingkan kayu pagar kebun, membelah bambu dan memotong tali temali supaya binatang tak memasuki area kebun. Kope yang sama menjadi salah satu perkakas untuk membangun rumah.

Dalam mempertahankan diri, kope menjaga pemilik dan keluarganya dari aneka serangan, baik binatang buas (motang puar) pun sesama manusia yang menjadi musuh ataupun yang datang ingin mencelakai orang ataupun benda (purak mukang wajo kampong). Itulah sebabnya, kope menjadi barang penting di setiap rumah orang Manggarai. Melihat berbagai keperluan, ada banyak jenis kope. Ada kope untuk berkebun ada juga kope untuk mempertahankan diri. Kelewang, banjar, lombong nio adalah jenis-jenis kope yang dipersiapkan untuk memertahankan diri.

Arti figurative juga dinyatakan dalam kope. Dalam pengertian itu, kope adalah simbol kejantanan pria. Bagi pria yang impoten ataupun tidak memiliki anak ketika menikah kerap didengar istilah atau sebutan “toe manga kopen” (tidak memiliki kejantanan atau tidak mampu memproduksi). Kope dalam ungkapan itu memiliki makna yang sangat mendalam. Ketidakmampuan menghasilkan kehidupan merupakan sebuah kenyataan yang sangat tidak diinginkan, oleh sipapun.

Dalam arti figurative inilah kita bisa paham tentang sebuah acara mendulang dana sosial jelang pernikahan yang disebut “kumpul kope”. Dalam acara ini orang yang diundang ingin menyumbangkan sejumlah dana bagi orang yang akan menikah. Ada pengumpulan kekuatan, khususnya finansial, agar orang ini menyelesaikan urusan pernikahannya dengan baik.

Tatkala ada peperangan (raha, rampas) kope memainkan peran strategis sebagai senjata selain korung (tombak). Dali kope (mengasah parang) lalu selek kope adalah aktivitas mempersiapkan senjata dan pengenaan senjata sebelum menuju medan pertempuran. Di zaman dahulu para peserta yang akan bertempur melakukan lilik compang (mengelilingi  mesbah persembahan kampung) sebanyak 7 kali.

Kope tidak hanya menjadi simbol dalam dunia pertanian dan militer, tetapi juga dihubungkan dengan alat pampang wakar (penjaga jiwa) dalam ritual Paka Di’a (Pesta Kenduri). Saat itu, pihak Anak Rona memberikan kope kepada anak wina secara resmi. Anak wina (pihak penerima gadis) memberikan wali kepada anak rona (pihak pemberi gadis).

Dari banyak arti yang dipempatkan pada kope, selek kope memiliki banyak makna. Selek kope ke kebun merupakan sebuah harapan agar ada hasil dari kebun itu. Seperti lagu Manggarai ciptaan musisi Felix Edon: weri woja ako woja, weri latung gok latung (menanam padi akan menuai padi, menanam jagung akan memanen jagung). Ketika ada orang selek kope menuju sebuah pertarungan politik, kendati benar dalam kultur masa lampau, namun menggelisahkan jika membayangkan akibatnya. Itu makanya dibahas saat ini.

Tidak Selek Kope=Pilkada Damai

Kekerasan massal di Manggarai Raya yang terjadi di masa lampau menyebabkan kematian banyak orang. Catatan penelitian P. Dr. Hubert Muda SVD dan P. Adam Satu SVD MA (2001:9) mempresentasikan kekerasan kolosal yang berakibat kematian di Coal-Sama (1936, 1939, 1966, 1987, 1991, 1993), Taga- Mena (1935, 1958, 1967, 1979, 1982), Dimpong Rembong-Nggawut (1939, 1963, 1971, 1984, 1988, 1999), Dalo-La’o (1935, 1956, 1983, 1990, 1993, 1999), Wangkung-Popo (1976, 1990, 1993), Tontong Kedel (1982, 1988, 2001). Dalam perang ini kope memainkan peran penting. Kopelah alat yang membunuh dan menghilangkan nyawa dari lawan tanding.

Pilkada sebagai sebuah event politik bertujuan meraih kekuasaan pada level daerah. Ada sebuah ruang pertarungan di sini. Namun tentu tak bisa paralelkan apalagi disamakan dengan raha rumbu tanah (perebutan tanah). Pilkada yang bermartabat adalah perang gagasan tentang rencana pembangunan untuk 5 tahun yang akan datang. Pertanyaan kuncinya adalah “Akan dibawa ke mana nasib rakyat selama 5 tahun ini?” Jika pertanyaan itu diajukan, itu berarti mempertanyakan apa yang hendak dilakukan oleh kandidat sebagai sebuah bentuk implementasi program pembangunan.

Sebagai sebuah perang gagasan, konsep-konseplah yang dikedepankan. Show of forcenya ada pada ide-ide cemerlang yang secara gamblang dapat dilihat oleh masyarakat pemilih. Misalnya, inovasi pada pembangunan ada pada infrastruktur sebagai lokomotifnya. Logikanya, infrastruktur jalan yang baik akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Maka, jalan yang jelek sebaliknya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Nah, sekarang lihat ke kenyataannya. Apakah jalan-jalan kita sudah baik? Apakah sudah ada konektivitas antar kampung? Jika belum, munculkan inovasi infrstruktur macam mana yang mau dibangun. Dialektika semacam ini akan memberikan wawasan sekaligus mencerahkan masyarakat pemilih sehingga menentukan pilihan dengan elegan.

Pilkada sebagai sebuah ajang meraih kekuasaan memiliki potensi konflik yang besar. Itulah sebabnya, selek kope disaat seperti ini, sangat tidak dianjurkan karena berpotensi menyulut kekerasan fisik yang berakibat fatal: luka dan kematian. Secara inplisit selek kope saat ini mengatakan: saya sudah siap tempur, dengan cara apapun saya harus menang, termasuk kekerasan. Hendaknya kandidat tidak mempertontonkan kope di khalayak ramai, demikianpun tim kerja pun pendukung. Jika ada kelompok masyarakat ingin mengerahkan dukungan kepada kandidat tertentu, jauhkan kope sebagai simbol dukungan. Karena kope harat (parang tajam) yang salah digunakan akan membawa petaka yang tak cukup hanya disesali.

Berselancar di dunia yang kemajuannya super cepat seperti era digital saat ini, membawa kita kepada kesadaran untuk mulai menemukan simbol-simbol baru perjuangan pembangunan. Tema-tema konektivitas, kerja sama, inovasi, teknologi, potensi daerah, usaha riil, pertanian organik, anak-anak stunting, lapangan kerja, pendidikan, kesehatan dasar adalah focus yang harusnya menjadi inti kampanye. Tampilan fisik para kandidatpun tanpa ada simbol kekerasan seperti kope. Karena, pada galibnya, perjuangan kita di Pilkada kali ini, bukan demi kita sendiri, tetapi demi generasi masa depan Manggarai yang lebih baik. Mari bangun Pilkada damai tanpa selek kope! Siapapun pemenangnya, rakyat tidak boleh jadi korban kekerasan.***

 

Saturday 19 September 2020

Pilkada Momentum Perubahan Bagi Manggarai yang Lebih Baik

 



(Catatan Pilkada ke-4)

Kanisius Teobaldus Deki

Ribuan massa pendukung Hery-Heri memadati tempat acara di Kampung Watu pada 5 September 2020. Hadir saat itu tokoh masyarakat dan politik Manggarai seperti Drs. Christian Rotok, mantan bupati 2 periode, Drs. Frans Padju Leok, mantan Sekda Manggarai dan Penjabat Bupati Manggarai Timur, Seltus Mitak, S.H, mantan Sekda Manggarai, Rofinus Mbon, S.H, mantan Sekda Manggarai Barat. Belum termasuk tokoh adat dan masyarakat yang datang dari pelbagai kecamatan dan kelurahan atau desa. Tokoh-tokoh ini secara sadar hadir untuk memberikan dukungan politik bagi H2N.

Ada satu focus tema yang sama hari itu. Semua orator memiliki perspektif yang sama. Ketua-ketua DPD/DPC Partai Politik menyuarakan saatnya Manggarai harus berubah ke arah yang lebih baik. Selama 5 tahun kepemimpinan Deno-Madur belum membawa perubahan yang diharapkan. “Mengapa kita ingin maju dan memenangkan Pilkada ini, karena kita belum melihat kemajuan yang significant oleh pemimpin sebelumnya. Jikalau saja ada perubahan, lebih baik sedikit saja, maka tak perlu bersusah-susah. Mereka kita percayakan lagi. Namun karena yang kita harapkan tidak terjadi, maka kita maju untuk membawa Manggarai lebih baik dari kemarin”, kata Pak Hery Nabit dalam orasi politiknya.

Membaca Ketertinggalan Manggarai

Selaku calon Bupati, Pak Hery Nabit menandaskan begitu banyak persoalan masyarakat Manggarai yang belum terpecahkan. Mayoritas penduduk Manggarai adalah petani. Sector yang menyumbang paling besar PAD kabupaten kita juga datang dari pertanian, perkebunan, kelautan dan kehutanan. Namun betapa kebutuhan petani tidak terurus dengan baik. “Jikalau kami terpilih, kami tidak biarkan petani-petani kekurangan pupuk lagi. Kami berusaha agar pupuk datang tepat waktu sejalan dengan jumlah kebutuhan petani”, ujar Pak Hery. Selama ini memang petani menjerit karena langkanya ketersediaan pupuk. Selain itu, untuk mengurangi ketergantungan kepada pupuk dari luar, mereka juga berikhtiar untuk memberdayakan petani demi menghasilkan pupuk sendiri.

Pertumbuhan ekonomi kita yang seret juga disebabkan oleh kecilnya jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). “Kita ingin agar masyarakat kita tidak lagi hanya menjadi penyiap bahan baku, tetapi juga menghasilkan produk jadi. Kita akan bekerja sama dengan dunia usaha untuk menyalurkan produk-produk kita. Kita akan tumbuhkan minat entrepreneur pada generasi muda sehingga pertumbuhan ekonomi kita lebih baik”, ungkapnya. Hasl ini memang beralasan. Jumlah UMKM kita lebih kecil dari banyak daerah di NTT.

Sejalan dengan itu, untuk membangun ekonomi kerakyatan, kuantitas dan kualitas koperasi di Manggarai harus diperhatikan. “Kita terus mendorong agar kehidupan perekonomian kita dibangun dengan mengutamakan kekuatan sendiri. Kita punya banyak potensi yang seharus bisa lebih dioptimalkan lagi. Sector keuangan misalnya, selain lembaga bank, kita kembangkan koperasi sebagai sokoguru perekonomian bangsa dan daerah. Kita perkuat koperasi-koperasi yang sudah ada, kita kerja sama dengan Pusat Koperasi Kredit Manggarai (Puskopdit), bangun koperasi yang benar di tempat yang belum punya, sehingga rakyat merasakan manfaatnya secara nyata”, jelasnya.

Sector perdagangan menjadi salah satu penggerak ekonomi. Ada banyak potensi yang terus dikembangkan di Manggarai. Komoditi-komoditi eksport seperti kopi, cengkeh, fanili, cokelat, jambu mente, jahe, dll dikembangkan terus supaya hasil produksinya meningkat dan mutunya terjamin. Tanaman-tanaman baru seperti porang dikembangkan terus sehingga memberi manfaat bagi petani. “Untuk kopi arabika kita sudah mengantongi Sertifikat Indikasi Geografis. Itu artinya sudah ada pengakuan nasional dan dunia bagi mutu kopi kita. Bahwa kopi kita bermutu tinggi. Tinggal saja bagaimana program-program di bidang ini diinovasi supaya produktivitas kita meningkat dan memberi kontribusi bagi petani”, ungkapnya. Memang, sejak SIG diumumkan ke publik, belum ada geliat pemerintah  dalam bentuk program menuju kepada implementasi yang riil. Jika ISG ini menjadi nyata dalam program pemberdayaan petani dan peningkatan mutu, maka kopi-kopi kita menjadi produk prioritas yang dicari pasar luar negeri.

Inovasi pertanian juga dilakukan. Ada banyak lahan tidur di Manggarai. Lahan-lahan itu dibiarkan menjadi belukar. Tidak dimanfaatkan. “Kita bangun pertanian dengan focus-fokus sesuai kondisi tanah. Ada tanah yang bisa ditanami kopi, kita tanam kopi. Juga untuk tanaman-tanaman yang lainnya. Tanah kita subur. Mari kita bekerja giat agar tanah-tanah ini memberikan manfaat. Tidak ada lagi lahan yang dibiarkan terlantar dan tidak dimanfaatkan. Pemerintah perlu melakukan intervensi”, katanya.

Sejalan dengan penetapan Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata super premium, kabupaten Manggarai adalah kabupaten penyanggah kebutuhan-kebutuhan daerah pariwisata itu. “Penetapan itu harus memberi efek positif bagi kita. Pertanyaannya, apa yang harus kita buat? Kita baca kebutuhan mereka, kita buat program yang memberi manfaat bagi pelaku usaha dan petani sehingga produk-produk kita bisa terjual. Kelemahan selama ini adalah pada level pimpinan daerah belum membangun komunikasi dan kerja sama yang sistematis dengan kabupaten Manggarai Barat dan dunia usaha di sana. Kita perlu bangun komunikasi”, tandasnya. Evaluasi memperlihatkan program Simantri belum berhasil meningkatkan perekonomian masyarakat Manggarai. Manajemen pemasaran belum dibuat sistematis. Ketika produksi menjadi banyak, petani kelabakan. Sudah susah payah menghasilkan, tidak bisa menjadi uang. “Ini kita perlu perbaiki. Rakyat tidak boleh rugi”, komitmennya.

Manggarai Butuh Pemimpin Baru

Dari sebagian fakta-fakta ini, Manggarai butuh perubahan. Perubahan pada focus, program dan metode pembangunan. Pembacaan atas potensi Manggarai mewajibkan sisi tilik kritis untuk membangun inovasi baru. “Jika melihat potensi yang ada di Manggarai ini, tak seharusnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) kita seperti ini saja. Kita masih bisa memaksimalkannya. Kesejahteraan adalah tujuan akhir dari pembangunan dan kemajuan. Selama kita masih dengan metode yang lama maka pembangunan berjalan di tempat. “Dengan memperkuat focus pembangunan berbasis pemetaan potensi daerah, akan muncul banyak UMKM, berarti banyak lapangan kerja yang dibuka. Tingkat pengangguran bisa ditekan. Jika banyak usia produktif yang bekerja di berbagai sector maka akan banyak income (pendapatan) yang akhirnya akan memberi efek positif pada PAD”, tandasnya.

Untuk mencapai perubahan itu, leadernya memberi pengaruh yang kuat. Perubahan pada leader sedemikian penting sehingga erat kaitannya dengan rencana capaian pembangunan. “Perubahan-perubahan itu tidak bisa dijalankan dengan pemimpin seperti saat ini. Kita akan tertinggal jauh. Daerah ini butuh energy lebih. Karena itu, pada Pilkada ini momentum perubahan itu harus kita buat”, katanya.

Pada seorang leader, kemampuan-kemampuan strategis harus dipunyainya. Setidaknya, minimal tiga hal ini. Pertama, kemampuan organisitoris yang handal. Bisa membangun teamwork yang bagus, memberi motivasi dan spirit. Seorang manajer yang sanggup memetakan kemampuan person-person yang ada dalam tim untuk bekerja sesuai visi, misi dan program kerja daerah.

Kedua, attitude. Ada kemauan yang kuat untuk mengabdi sepenuh hati. Daerah ini butuh orang yang segenap jiwa dan raganya ada untuk Manggarai. Attitude itu muncul pada disposisi batin seorang pemimpin. “Kita tidak menjalankan sesuatu demi keuntungan sendiri. Evaluasi atas kinerja kepemimpinan selama 5 tahun terakhir sungguh memrihatinkan. Berkantor di desa malah banyak mendatangkan kerugian daripada manfaat positifnya. Kita tidak ingin rakyat dan pemerintahan desa kita digarong oleh system tatakelola organisasi pemerintahan yang salah”, ujarnya. Attitude menurut Pak Hery adalah bagian dari morality. “Jikalau tidak ada kemauan kuat untuk membawa daerah ini kepada kemajuan dan kesejahteraan masyarakat maka itu tandanya moralitas pemimpin harus dipertanyakan”, imbuhnya.

Ketiga, pembangunan jaringan (networking). Kita mesti membangun jaringan yang kuat dengan semua pihak. Pemerintah Pusat dan Provinsi juga dengan kabupaten-kabupaten lain. Demikian halnya dengan dunia usaha dan partai politik. “Ketergantungan kita kepada dana trasferan pusat sangat tinggi. Mari kita bangun jaringan supaya dana-dana pusat mengalir untuk membiayai kebutuhan pembangunan kita di daerah. Kerja sama dengan Parpol menjadi penting. Mereka ada jaringan di semua level: DPR dan Kementerian. Begitu juga dengan dunia usaha. Kita akan membangun kerja sama dengan Negara-negara lain yang membutuhkan tenaga kerja trampil. Kita akan kirim tamatan STIKES ke luar negeri. Kita punya kemampuan untuk membangun jaringan kerja sama internasional semacam itu”, jelas Pak Hery, tamatan Institute of Social Studies- Den Haag Belanda ini.

Dalam alur itulah mengganti pemimpin merupakan sebuah keharusan. Pernyataan “ganti bupati-wakil bupati” bukan sekadar sebuah jargon melainkan kebutuhan bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Manggarai. Posisi pemimpin seperti sopir yang memegang stir. Dia bisa membawa kemudi ke jurang jika dia lengah dan tidak punya kemauan baik. Saat untuk mengubah telah tiba melalui Pilkada.  Perubahan itu harus menjadi kenyataan untuk Manggarai yang lebih baik bersama Hery-Heri.***  (Bersambung).

Friday 11 September 2020

Pengusaha Jadi Pemimpin Daerah, Why Not?

(Catatan Pilkada Bagian ke-3)



Kanisius Teobaldus Deki

Pada 10 Juni 2019 saya bertolak ke Labuan Bajo. Saya memenuhi undangan Pak Gubernur NTT untuk mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) Gubernur dengan para bupati/walikota bersama pelaku usaha dan petinggi lembaga keuangan se-NTT. Bagi saya, ini kesempatan yang strategis untuk ikut langsung dalam diskusi tentang pembangunan NTT. Pagi 11 Juni 2019, pkl. 08.30 saya memasuki lobby hotel Ayana yang masyur itu. Lalu registrasi. Sebuah ketakjuban yang sulit dihindari saat menyaksikan keindahan Labuan Bajo dan pulau-pulaunya dari lobby hotel.

Tempat Rakor di lantai bagian bawah. Saya menuruni gedung dengan lift. Di sana sudah banyak yang hadir. Para bupati dan wali kota sudah siap di ruang rapat. Demikianpun petinggi lembaga keuangan, baik bank maupun koperasi. Saya duduk bersebelahan dengan direktur utama bank NTT. Bagi saya, pertemuan ini memiliki nilai yang sangat besar daya ungkitnya untuk membangun kebijakan pembangunan di NTT. Ada banyak hal yang membantu untuk memperluas wawasan sekaligus memperkuat komitmen pelayanan untuk bidang kerja masing-masing.

Tiga Fokus Utama Pak Gubernur

Para bupati dan walikota masing-masing diberi kesempatan untuk presentasi. Kami diminta menjadi penanggap. Biasalah, pada kesempatan ini, para kepala daerah unjuk kemampuan dan prestasi. Sesudahnya Gubernur mengomentari semua presentasi itu. Pertama, Pak Viktor membaca peta potensi daerah setiap kabupaten/kota. “Untuk Manggarai produk unggulan kalian adalah kopi. Hendaklah seluruh NTT mendapat pasokan kopi dari Manggarai. Semua hotel di sini menyediakan kopi asli Manggarai. Manggarai harus dikenal karena produksi kopinya yang mendunia”, berapi-api Pak Viktor saat itu bicara.

Memang pernyataan Pak Viktor ini sungguh mengena. Sejak zaman dahulu Manggarai menjadi terkenal karena produksi kopinya. Kopi Manggarai dikenal di berbagai Negara. Pada zaman Pak Gaspar Ehok dan Pak Christ menjadi bupati, sector ini sungguh diperhatikan. “Kami tidak lagi mendapat perhatian dari pemerintah. Anakan kopi yang kami miliki masih dari Bupati sebelumnya. Pendampingan oleh PPL untuk petani tanaman perdagangan tidak ada”, ujar petani saat kami melakukan assessment petani kopi dampingan Yayasan Ayo Indonesia di 12 desa dalam 5 kecamatan kabupaten Manggarai.

Hal kedua yang disentil oleh Pak Gubernur saat di Ayana adalah peran strategis kepala daerah untuk memajukan pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah. Bupati/Walikota adalah actor utama dalam merencanakan pertumbuhan ekonomi melalui penguatan sector-sektor unggulan daerah, manajemennya hingga distribusinya. “Tugas Bupati atau Walikota itu bukan untuk melantik pejabat, duduk diam dalam kantor. Itu tugas wakil Bupati dan Sekda. Tugas dia adalah menjual produk daerahnya. Dia pergi ke Negara-negara lain untuk menawarkan produk unggulannya sehingga mendatangkan keuntungan bagi daerahnya”, lanjut Pak Viktor.

Pak Viktor mencontohkan dirinya. Dia pergi ke luar negeri, nginap di hotel. Dia minum wine yang hargnya belasan hingga puluhan juta rupiah. Lalu dia teringat, kualitas tuak yang dimiliki rakyat NTT tidak jauh berbeda dengan minuman luar negeri. “Saya lalu punya niat menjadikan tuak NTT dengan branding yang baik, lalu lahirlah Sophia. Harga per botolnya lebih dari 1 juta rupiah. Dengan begitu ada keuntungan yang lebih besar baik bagi petani maupun dunia industry”, ungkapnya.

Hal ketiga adalah peran lembaga keuangan. Dikatakan Pak Gubernur bahwa lembaga keuangan, baik bank dan koperasi kredit punya peran besar untuk pengembangan ekonomi rakyat. Dunia usaha harus bekerja sama dengan lembaga keuangan untuk mengembangkan usahanya. Semakin banyak lembaga usaha, kebutuhan akan tenaga kerja semakin besar, peredaran uang juga besar dan pendapatan perkapita meningkat. “Bank NTT dan Koperasi Kredit saya andalkan untuk penyiapan modal usaha”, ujar Pak Viktor.

Saat itu saya bicara sebagai pemimpin koperasi kredit. Saya sampaikan bahwa lembaga kami bekerja sama dengan Asosiasi Petani Kopi Manggarai (Asnikom). Kami menyediakan dana bagi petani sehingga mereka tidak bergantung pada rentenir. Ada pinjaman musiman. Kami mendapat apresiasi untuk inovasi itu.

Lalu saya datang ke kondisi Manggarai. Memang sampai sejauh ini, pemerintah daerah belum membuat pemetaan instansi-instansi mana saja yang memungkinkan peningkatan pendapatan masyarakat. Bidang Koperasi misalnya berkantor dengan bidang-bidang lain: UMKM, tenaga kerja, transmigrasi, perijinan satu atap, dll. Banyaknya urusan membuktikan bahwa bidang koperasi dipandang sebelah mata, padahal koperasi adalah sokoguru perekonomian bangsa ini. Hal mana ketiadaan perhatian Pemerintah membuat koperasi kita belum semaju daerah lain di NTT.

Belajar dari Jokowi

Dalam perhelatan Politik Pilkada seperti saat ini, wacana tentang pengusaha jadi pemimpin daerah seolah berarah negative. Logika yang dibangun adalah akan ada pengerukan kekayaan daerah bagi keuntungan pribadi. “Jika kita memilih pengusaha menjadi pemimpin dia akan mencari keuntungan bagi dirinya!” Begitulah pernyataan yang dinyatakan agar mengarahkan pendukung untuk tidak memilih Hery Nabit. Pernyataan ini terbangun dari sebuah asumsi yang berlebihan.

Jika menilik sejarah bangsa Indonesia, foundator bangsa adalah para cendikia dan orang pergerakan. Soekarno yang aktivis bergandengan dengan Muhammad Hatta seorang ekonom. Dialah yang menghendaki Negara ini berbasis ekonomi gotong royong dalam wadah koperasi. Mereka menjalankan roda pemerintahan dengan susah payah. Mencari bantuan finansial hingga berhasil membangun pertumbuhan ekonomi. Tidak terdengar mereka memperkaya diri. Soekarno meninggal dalam kemiskinan. Kritik terhadap Soeharto menjadi sedemikian kencang karena bisnis anak-anaknya. Mereka mengarahkan kekuasaan untuk kepentingannya dan kroni-kroninya. Akhirnya, kekuasaan itu tumbang.

Jokowi menjadi contoh hidup bagaimana seorang pengusaha bekerja dalam kesederhanaan dan kesahajaannya membangun Indonesia. Sebagai pengusaha meubeler di Solo ia mampu menunjukkan dedikasi untuk kota itu sampai menjadi kota yang sukses dalam banyak hal. Demikian halnya di Jakarta saat menjadi gubernur. Ia tetap pribadi yang bersih. Jauh dari hiruk pikuk mencari keuntungan bagi diri, keluarga dan sahabatnya.

Ketika untuk kedua kalinya dipercaya rakyat Indonesia, Jokowi melihat bahwa perubahan paradigma kepemimpinan harus dilakukan demi akselerasi percepatan pembangunan bangsa ini. Perubahan itu bukan saja pada program kerja yang strategis dan urgen, tetapi juga pada person, orang yang memimpin kementerian dan BUMN. Ada banyak tokoh dari kalangan professional dan pengusaha yang dilibatkan dalam kabinet dan instansi pemerintah lainnya.

Waktu itu banyak suara keras yang menentang keputusan Jokowi. Namun Jokowi tetap jalan. Ia memunyai target percepatan pembangunan. Ia berusaha membangun Indonesia dengan energy yang lebih. Memang terlihat, pergerakan orang-orang kepercayaan Jokowi ini membangun prestasi luar biasa. Sebuah pilihan yang tidak salah sebagai orang yang mencintai Negara ini.

Dalam Pilkada kali ini, majunya pasangan Hery-Heri ada dalam ikhtiar Jokowi dan spirit Viktor yang selalu ingin mengeluarkan NTT dari ketertinggalan dan kungkungan kemiskinan. Manggarai tanah yang subur. Penduduknya bukan kumpulan orang malas. Mereka hanya butuh spirit seorang yang memiliki mental usaha. Jika mereka menanam tomat, sayur, buah-buahan ada yang membeli secara tetap. Ada link dengan dunia usaha (hotel dan restoran), bukan terlunta-lunta dan jadi layu di pinggir jalan Labuan Bajo. Jika mereka menanam kopi, fanili dan cengkeh harganya baik, karena ada pemimpin yang paham alur usaha yang bergelut secara nyata dalam dunia itu. Karena, jika rakyat sudah menanam dan memelihara dengan susah payah tanpa ada yang membeli, itu adalah sebuah PHP (pemberian harapan palsu).

Manggarai ini harus jaya lagi. Posisi kabupaten Manggarai sangat strategis saat Labuan Bajo menjadi “Super Premium Destination” pariwisata dunia. Kabupaten ini mengambil bagian dalam pasokan pangan dan kebutuhan lainnya. Hentikan sudah PHP, kita harus bergerak dalam paradigma baru bersama pemimpin baru. Pengusaha jadi pemimpin daerah adalah keniscayaan demi Manggarai yang lebih maju dan sejahtera. Hery-Heri siap untuk rakyat Manggarai!***


Tuesday 8 September 2020

Membaca Pidato Politik Pak Christian Rotok

(Catatan Pilkada Bagian 2)


Kanisius Teobaldus Deki

Ada yang istimewa pada pada 5 September 2020, saat Deklarasi Koalisi Front Perjuangan Rakyat Manggarai untuk Hery-Heri. Pak Christian Rotok, bupati Manggarai 2 periode, hadir di tengah acara itu. Kehadiran beliau disambut dengan tepuk tangan meriah. Tampik sorak-sorai tak terelakkan. Kehadirannya memiliki daya magnet yang sangat besar untuk memberi spirit kepada 2.000an peserta yang hadir memenuhi tenda deklarasi.

Setelah acara orasi politik Partai Pengusung dan Partai Pendukung, Pak Christ didaulat untuk memberikan sambutan ataupun pidato. Karena ini adalah gawean politik maka pidato beliau tentu dipandang sebagai sebuah pidato politik.

Saya duduk di kursi berjarak 2,5 meter dari tempat beliau berpidato. Saat diberi kesempatan oleh pembawa acara, Pak Christ mengingatkan dirinya sendiri sebagai orang yang sudah lanjut usia, “Salah satu ciri orang lanjut usia, omongannya sendiri dia lupa. Untuk mengatasi soal itu neka lewe bail tombo (tidak usahlah omong panjang-panjang)”, katanya disambut tepuk tangan meriah dari peserta yang hadir.

Lalu dirinya menuturkan bahwa ada keluarga yang datang ke rumahnya untuk menyampaikan bahwa Pak Hery mau maju. Beberapa hari yang lalu juga datang orang yang mengundang. “Pagi orang lain, siang orang lain, malam orang lain”, ujarnya. Dirinya seakan perlu bercerita tentang tempus (waktu): pagi, siang, malam dan persona (pribadi) yang berbeda-beda. Ini menunjukkan betapa keluarga dan Pak Hery Nabit sungguh membutuhkan dirinya hadir di acara deklarasi. “Saya mau bilang, saya sudah ada di sini”, katanya. Sebagai seorang tokoh pak Christ sadar bahwa kemendesakan untuk hadir dalam acara ini adalah sebuah pilihan hati yang tidak lagi bisa ditolak.

Dalam pidato selanjutnya, Pak Christ membaca situasi. Peserta yang hadir dengan simbol masing-masing. Tim kerja Hery-Heri yang tampil gagah-apik dengan seragamnya. Para petinggi partai politik dengan kostum partai. Para relawan serta undangan datang dengan pakaian yang resmi (formal outfit).

“Saya minta maaf, saya sampai dengan baju yang lain dengan yang lain. Bahkan sudah buruk baju ini.  Bo minder saya minder masuk. Sisa ini saja baju yang saya miliki. Baju yang saya pernah miliki sudah compang-camping. Bete keta taung e (semuanya sudah robek). Eme manga baju di’as meu ta de (Jika kalian memiliki baju yang baik). Saya bilang sama ibu, tahan sedikit belanja di pasar supaya beli baju baru. Mama bilang, ma’u toe manga ata werud soo cepisa (mudah-mudahan ada yang baru ke depan)”, katanya.

Pernyataan inilah yang memicu banyak penafsiran. Walau tak menyebut nama, dalam pernyataan-pernyataan metaforisnya, Pak Christ seakan menyimbolkan kekuasaan pada baju. Bajunya yang lama sudah sobek, berharap ada baju yang baru. Jikalau sedikit agak bergeser dari situasi politik kekinian, Pak Christ sebenarnya sedang membicarakan dirinya. Dua kali gagal menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, sekali gagal dalam Pileg. Beliau berharap akan ada keberhasilan untuk masa depan. Namun apa lacur, bagian ini dipersepsikan sedang mengarahkan opini massa ke Pilkada 9 Desember 2020.

Pada bagian berikutnya, Pak Christ mau memperlihatkan jalinan peristiwa yang misterius. “Pada saat ini saya mau mengumumkan, ketika kepemimpinan Credo akan segera berakhir, saya buat acara Ulang Tahunnya di Klumpang. Pada saat itu saya untuk pertama kalinya mengumumkan calon pengganti saya. Orang yang protes saat itu adalah Heri Ngabut. “Cukup satu kali e”, kata Heri.  Saat itu saya bilang, tergantung kualitas orang itu. Kali ngong weki run (padahal memaksudkan dirinya sendiri). Jawaban saya hari ini saya tepati. One ite nai ngalis-tuka ngengga”, ujarnya.

Pak Christ mungkin juga terkejut dengan dirinya sendiri dengan peristiwa yang terjadi di Klumpang. Bahwa Hery Nabit yang jadi lawan politiknya kini berpasangan dengan Hery Ngabut yang meminta: cukup satu kali! Ada dua kemungkinan pilihan Pak Christ untuk hadir dalam acara deklarasi koalisi Hery-Heri. Pertama, kesadaran akan regenerasi kepemimpinan sebagai sesuatu yang wajar dalam alam demokrasi. Bisa jadi, 2 periode dirinya sudah cukup untuk memimpin. Lebih dari itu akan ada kejenuhan yang berakibat fatal: ketidakmajuan daerah karena ketiadaan inovasi dan capaian pembangunan yang rendah mengakibatkan rakyat tidak sejahtera. Dalam skala nasional, kejatuhan Soeharto disebabkan karena terlalu lama berkuasa dan perkembangan dan kemajuan Indonesia terhambat.

Kedua, tujuan dari kekuasaan politik adalah kesejahteraan masyarakat. Selama lima tahun kepemimpinan setelah dirinya, tentu ada aspek-aspek kebijakan pembangunan yang malah mengalami kemunduran. Jikalau ini menjadi catatan evaluative Pak Christ, maka tidak mungkin beliau merelakan ini berlanjut. Itu artinya harus ada usaha untuk melakukan alih generasi dan pribadi-pribadi itu ada pada Hery-Heri. Tongkat estafet pembangunan diberikan kepada mereka sebagai perutusan baru.

Di bagian terakhir, Pak Christ menitipkan pesan. Siapapun tidak boleh membebankan kandidat, jika terpilih, dengan pelbagai kepentingan indvidualistik dan kelompok. “Jangan ciptakan suasana yang berdampak pada  ngale wae-ngampang tana. Jika mereka sudah terpilih mereka menjadi pemimpin untuk semua rakyat. Semua rakyat apapun situasinya adalah miliknya”, tegasnya. Berkaitan dengan perbedaan pilihan politik dia mengingatkan untuk tetap bersikap sebagai negarawan. “Sayalah yang mengirim Pak Hery untuk kuliah lanjut. Lalu dia melawan saya dalam Pilkada. Saya tidak mau buang kader-karder terbaik daerah ini”, ujarnya. Memang setelah kalah tahun 2010, Pak Hery Nabit datang melapor. Lalu Pak Christ memerintahkan Pak Hery untuk bekerja sebagaimana biasanya.

Pak Christian turun panggung. Sorak sorai yang hadir tak dapat dibendung. Masing-masing pihak memberikan interpretasi atas kata-kata dan kalimat-kalimat pidato politik Pak Christ. Ketika berpidato Pak Christ menyampaikan gagasan dan konsepnya dalam kata-kata yang santun dan tanpa menyebut nama orang. Sebagai saksi mata (eye-witness) dalam peristiwa itu, saya tidak menemukan sisi di mana beliau bermaksud merendahkan pihak lain.

Perubahan Pilihan Politik

Wacana yang berkembang selanjutnya ada dalam bentuk pertanyaan: Mengapa Pak Christ datang ke tempat itu? Apakah itu memberi isyarat beliau akan mendukung Paket Hery-Heri? Secara sederhana bisa dijawab bahwa kehadiran dirinya saat itu merupakan sebuah bentuk dukungan politik kepada pasangan yang mengundangnya itu. Sebagai tokoh masyarakat, beliau seolah ingin memberitahu bahwa inilah calon pemimpin selanjutnya.

Tentu perubahan pilihan politik ini susah dicerna dan diterima oleh Deno-Madur. Dalam konsep logis Pak Deno, kedatangan dirinya di Manggarai adalah sebuah kehadiran karena undangan Pak Christ tahun 2004. Selama 10 tahun mendampingi Pak Chris dalam 2 periode kepemimpinan bukanlah waktu yang sedikit. Pak Christ adalah pribadi yang konsisten. Dirinya mendukung sepenuh hati tatkala tahun 2015 pasangan DM maju di pentas Pilkada. Hasilnya saat itu, DM menang tipis dari pasangan Hery-Adolf. Tentu masyarakat Manggarai tetap mengakui, ada peran luar biasa Pak Christ dan tim saat itu sehingga DM menang.

Namun Pak Christ adalah tipe pribadi yang jujur, apa adanya. Evaluasi atas kinerja 5 tahun DM memberi haluan baru bagi dirinya di pentas Pilkada 2020. Dia ingin tercatat sebagai pelaku perubahan (agent of change) dalam sejarah peradaban Manggarai. Ketika pembangunan tidak berjalan semestinya, dia ingin perubahan itu terjadi di sini dan saat ini (hic et nunc)!

Tetap Menjadi Tokoh

Pak Deno dalam orasi politk sehari sesudahnya mencerca Pak Christ sedemikian keras. Pak Deno marah-marah teramat sangat. Gesture dan penampilan  Pak Deno dengan parang panjang terikat di pinggang memperlihatkan kegarangan dan kegeraman yang luar biasa. Dalam catatan Yance Janggat (castra.com), itu dilihatnya sebagai tanda kepanikan. Semua publik Manggarai terpaku pada tanya: “Mengapa sedemikian marah Pak Deno pada Pak Christ?”

Apakah yang sudah dilakukannya bukan sebuah kemajuan? Apakah prestasi-prestasi yang ditorehnya tidak ada artinya? Pak Crist tidak memungkiri itu. Namun mungkin dalam perspektif Pak Christ laju pertumbuhan kita bergerak lambat. Kita butuh energy lebih. Hal itu dilihatnya ada dalam pasangan Hery-Heri.

Kemarahan Pak Deno disadari sungguh-sungguh oleh Pak Christ. Iapun meminta maaf dengan penuh ketulusan. Melalui pemberitaan media, pernyataan permohonan maaf disyiarkan, salah satunya oleh media tagar.id. "Saya (Christian Rotok) sudah menonton dan mendengar kembali video tersebut di atas, tidak ada satu katapun menyebut nama seseorang," katanya.

Namun jika ada pihak-pihak yang merasa dihina atas semua  kata-katanya dalam rekaman video tersebut di atas, maka dari hati yang paling dalam Christian Rotok menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya.

"Saya Christian Rotok, adalah seorang manusia yang tidak sempurna. Dan dalam ketak- sempurnaan itulah saya tidak patut dan tidak layak untuk dihargai oleh siapapun juga, kecuali dari anak kandung saya. Meraka wajib menghormati dan menghargai  orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan mereka," katanya.

Permohonan maaf Pak Christian mempresentasikan dirinya sebagai tokoh politik, pemerintah dan masyarakat yang kawakan. Jika salah ia meminta maaf. Jika benar ia tidak takut mengatakannya. Namun ia tetaplah tokoh bagi semua orang. Itu adalah karakter pemimpin sesungguhnya. Inilah yang akan diingat anak-cucunya, warga Manggarai di masa yang akan datang. Sebuah keutamaan (arête) seorang ksatria yang lebih mementingkan kesejahteraan bersama (bonum commune) daripada sebuah kekuasaan yang tak banyak berpengaruh pada masyarakat yang dipimpinnya. Terima kasih Pak Christ!***

 


Monday 7 September 2020

Christian Rotok & Kritik Pembangunan

Catatan Pilkada Manggarai (1)





Kanisius Teobaldus Deki

Jelang tahun 2010 di perhelatan Pilkada saya diwawancarai oleh Tabloid Nucalale. Satu halaman penuh. Isinya saya menyampaikan bahwa pembangunan Manggarai belum maksimal. Wartawan tabloid itu, sdr. Jimmy Carvalo kebetulan ke kantor bupati, masuk ke ruang kerja Bupati. Dia melihat tabloidnya di atas meja, halaman bagian wawancara saya terbuka. Tak disangka, reaksi sang bupati Manggarai kala itu, tidak mempersoalkan apa yang menjadi isi pikiran dalam wawancara itu. Kritik yang saya sampaikan rupanya bukan soal bagi Pak Chris. Malah sebagai input berharga untuk mengubah jika ternyata apa yang disampaikan masyarakat benar.

Saya makin akrab dengan beliau saat perhelatan Pilkada 2015. Kami berada di tim yang sama. Kami mendukung segenap hati, segala daya upaya yang baik dan benar kami keluarkan. Saya bersama rekan-rekan muda membentuk front perjuangan sendiri, yg menurut hemat kami memiliki daya pengaruh yang besar untuk memenangkan pertarungan itu. Jadilah waktu itu kami menang. Kegembiraan tentu sudah menjadi alasan yang wajar atas sebuah perjuangan.

Ada kisah menarik saat kampanye akbar 7 November 2015. Saat itu kami sama-sama dipanggung. Sedang rame-ramenya orasi dipentas, tiba2 hujan mengguyur dengan deras. Sontak para audiens melarikan diri dari arena. Panggungpun nyaris kosong. Tiba-tiba terlintas di pikiran untuk mengambil langkah supaya audiens tidak pergi terus dan sia-sia kami bekerja mempersiapkan acara. Kami memaksa Bapa Christian untuk ke panggung saat hujan terus turun. Pak Christ sigap. Dia ambil topi salah satu kawan. Dipakainya topi itu. Sorak sorai terdengar ramai. Semua kembali semangat setelah sempat down bagaimana mengakali situasi ini. Kandidat juga diajak serta keliling lapangan. Orasi dijalankan di bawah guyuran hujan. Suasana berubah kembali semangat. "Kalian yang tanggung jawab kalau suami saya sakit", kata Mama Ika. Kampanye selesai. Setelahnya, kemenangan kami raih.

Tahun 2018 Pak Christ maju sebagai Calon Wakil Gubernur berpasangan dengan Pak Esthon. "Nanti Nick dan teman2 yang urus deklarasi kami", ujar beliau spontan. Saat itu saya merasa bangga dipercaya. Kamipun mengurus deklarasi dengan baik. Sebuah kepercayaan yang saya maknai sebagai tugas untuk mendidik saya melayani orang lain. Bisa jadi, di mata beliau, suatu saat saya berkiprah di politik dan sudah terbiasa belajar melayani dan bekerja untuk orang lain.

Di tahun 2019, kami sama-sama maju di medan Pileg. Saya maju untuk calon kabupaten dan beliau untuk calon pusat dari partai berbeda. Sayangnya, kami sama-sama belum berhasil. Namun tali silaturahmi terus berlanjut dalam berbagai acara, termasuk juga diskusi, yang di dalamnya terdapat kritik pembangunan. Kami membuat evaluasi atas banyak hal.

Kami temukan beberapa hal penting. Pertama, PAD kita masih sangat kecil. Itu berarti ada pertumbuhan ekonomi namun melambat. Kemampuan membayar pajak misalnya erat hubungan dengan jumlah pendapatan yang diterima. Sementara salah satu unsur PAD adalah pajak. Trend PAD Kabupaten Manggarai 2016-2019 malah terus menurun.

Kedua, hal pertama tadi berkaitan erat dengan jumlah uang beredar di tengah masyarakat. Uang yang beredar di daerah kita pertama-tama bersumber pada jumlah dana APBD yang mayoritasnya adalah dana transferan pusat baik dalam bentuk DAU maupun DAK. Malah jumlah dana transferan pusat tahun 2010-2015 lebih besar daripada tahun 2016-2019. Kondisi ini terjadi karena kemampuan loby daerah ke pusat rendah dan sinergisitas kerja sama dengan DPR Pusat/DPRD Provinsi kecil. Penciptaan komunikasi tidak intens. Demikian halnya kerja sama dengan partai-partai politik (Parpol) tidak jalan. Bagaimanapun Parpol inilah yang duduk di kursi Dewan dan menguasai kementerian-kementerian.

Ketiga, dijumpai bahwa beberapa sector penting seperti  lapangan kerja, peningkatan mutu produk, harga produk yang tetap rendah menyebabkan pertumbuhan ekonomi kita kecil. Harga kopi misalnya malah cenderung turun. Bukan karena pengusaha bermain harga tetapi karena pemerintah belum membuat terobosan sendiri untuk memperbaiki harga. Intervensi harga tidak dilakukan.

Keempat, predikat “kota terkotor” membuktikan bahwa Pemerintah tidak memunyai program yang sungguh-sungguh menopang kehidupan yang berkualitas. Jika kita ke kota Bajawa, jalan boulevard dipenuhi bunga. Di Labuan Bajo hal yang sama jadi pemandangan mata. Setiap dinas bertanggungjawab terhadap tanaman bunga. Padahal pasokan air kita lebih baik bila dibandingkan dengan Labuan Bajo.

Masih banyak hal yang bisa dikuantifikasi: angka kemiskinan, pengangguran, infrastruktur, pendidikan, kesehatan yang menunjukkan bahwa kepercayaan yang telah diberikan belum maksimal dijalankan.



Persis tgl 31 Agustus 2020, saya berjumpa beliau. Kami mengundang beliau untuk hadir dalam acara Penyerahan SK Ketua DPD Partai Perindo kepada kami di rumah. Saat itu beliau didaulat untuk bicara, berpesan selaku orangtua. Beliau mengakui bahwa dirinya sudah tua dan alihgenerasi itu sesuatu yang harus dalam kehidupan. Motivasi, pengetahuan, kerelaan dan cinta akan tanah Manggarai ini erat terpatri dalam nubarinya.

Pada 5 September 2020, beliau juga diundang hadir dalam Deklarasi Koalisi Front Perjuangan Rakyat Manggarai untuk Hery-Heri. Pembicaraannya biasa-biasa saja, bertutur tentang masa lalu, memotivasi untuk membangun perubahan. "Saya diundang berkali-kali untuk datang ke acara ini. Pagi orang lain, siang orang lain dan malam orang lain", ujar Pak Christ. "Sekarang saya sudah ada di sini!". Dikatakan Pak Christ bahwa Pak Hery Nabit dikirim study olehnya demi masa depan daerah ini. Walaupun Pak Hery pernah bertarung melawan dirinya di arena Pilkada Manggarai (2010), Pak Christ tetap memandang positif Pak Hery dan tidak menaruh dendam. Sepertinya Pak Christ memberi sinyal bahwa lawan tanding kita dalam sebuah arena pertarungan adalah pihak yg sedang menguji mutu kita. Jika kita berhasil mengalahkan dia, kita sedang membuktikan kualitas diri kita secara fair. "Kamu kembalilah bekerja", pesan beliau saat Pak Hery melapor usai Pilkada.

Saya belajar banyak pada beliau. Belajar untuk menjadi pemimpin ataupun pelayan rakyat dengan hati yang terbuka terhadap kritikan ataupun masukkan yang konstruktif. Belajar untuk tetap menaruh respek terhadap semua orang. Terima kasih Bapa Christian, tetaplah jadi Bapa semua anak tanah Manggarai. Keteladanan dan kesejukan jiwamu menjadi kemudi arah bagi kemajuan daerah ini.

Jika ada yang menghina pribadi ini, orang itu akan melawan rakyat Manggarai Raya yang mencintai dan menghargai ketulusan Pak Christ. Bapa Christ, Mori sembeng Ite sekeluarga dan semua orang yang berkehendak baik untuk tanah ini.***