Tuesday, 16 October 2018

Pemikiran Etis Sokrates




Kanisius Teobaldus Deki

   S
okrates sungguh menyadari bahwa misinya adalah mendorong orang-orang untuk memperhatikan harta miliknya yang paling berharga yakni jiwanya dengan jalan memperoleh pengetahuan dan kebajikan.[1] Bagi Sokrates, kebajikan adalah suatu kualitas yang menyebabkan sesuatu baik dan sempurna sejalan dengan tuntutan kodratnya. Jika kebajikan itu berurusan dengan bagaimana menjadikan jiwa manusia itu baik, maka hal yang paling penting dimiliki terlebih dahulu ialah mengetahui unsur manakah yang menjadikan manusia itu baik. Melalui pengetahuan tentang unsur yang baik itu maka jelas bahwa kebaikan dan pengetahuan mempunyai relasi yang sangat erat. Untuk mempertegas hubungan ini, Sokrates pada akhirnya mengidentifikasi pengetahuan dengan kebajikan yang semata-mata bersifat teoretis. Melalui pengidentifikasian pengetahuan dengan kebajikan, Sokrates ingin mengatakan bahwa “kejahatan adalah ketiadaan atau kekurangan pengetahuan”[2].

K
onsekuensi lanjut dari argumentasi semacam ini ialah bahwa tak seorang pun terlibat dalam kejahatan dengan penuh pengetahuan. Kesalahan dalam perbuatan selalu bersifat involuntary (kehendak dan kemauan yang penuh tidak dilibatkan) sebagai hasil dari ignorance.[3] Sokrates yakin bahwa seorang yang bijaksana yang tahu apa itu yang benar dan yang sadar secara mendalam bahwa itu memang benar, akan juga melakukan yang benar. Seseorang yang sungguh-sungguh yakin bahwa suatu tindakan tertentu akan membawa kebahagiaan baginya, pasti akan melakukannya. Suatu kehidupan yang luhur dan kehidupan yang memberi penerangan pada seseorang pada hakekatnya adalah satu dan sama. Seseorang yang berbudi luhur adalah dia yang mengetahui kebaikan moral, manusia yang bijaksana. Karena alasan ini, maka pengetahuan merupakan suatu yang sangat penting dalam kehidupan setiap manusia.
           
M
enurut Sokrates hidup yang baik bagi manusia adalah hidup yang dipuji. Hal ini memang berguna bagi manusia supaya ia hidup menurut suatu cara manusiawi yang khas, yaitu secara rasional, secara bijaksana dan secara jelas. Kehidupan bahagia yang sejati adalah kehidupan manusia yang indah sebab ada kesehatan dan keharmonisan jiwa. Kehidupan manusia yang khas adalah kehidupan yang diatur secara baik dan bijaksana. Karena itu manusia perlu mengenal diri melalui refleksi yang terus menerus. Ia berkata dalam semboyannya yang termahsyur, “kenalilah dirimu” (gnothi seauton).
           
D
engan menyamakan keutamaan atau kebajikan dengan pengetahuan, Sokrates sebenarnya ingin menentang relativisme Protagoras dan sofis-sofis yang lain.[4] Sokrates tidak menerima bahwa “yang baik” itu berbeda dari satu bangsa ke bangsa yang lain. Menurut Sokrates “yang baik” mempunyai nilai yang sama bagi semua orang. Dengan kata lain, “yang baik” berlaku universal. Karena itu keutamaan senantiasa berdasarkan pada pengertian yang sama. Mempunyai keutamaan (arete) berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia. Sokrates membela “yang benar” dan “yang baik” sebagai nilai obyektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang.[5] Atas pendasarannya ini, Sokrates pada prinsipnya membangun suatu etika yang berlaku bagi semua orang.
           
W
alaupun ada kontradiksi melalui kritikan-kritikan atas etika Sokrates ini[6], Sokrates pada dasarnya ingin menyadarkan manusia akan urgensitas kebajikan atau keutamaan untuk mencapai kesempurnaan atau kebahagiaan sejati jiwa (eudaimonia daimon) sebagai tujuan tertinggi hidup manusia. Apabila jiwa yang merupakan esensi manusia bijaksana, murni dan sehat, maka manusia akan mengalami kebahagiaan sejati. Tetapi kebahagiaan tertinggi itu tidak bergantung pada hal-hal yang eksternal atau dari benda-benda material, melainkan pada pengetahuan yang benar tentang aktus yang hendak dijalankan. Berkaitan dengan ini, cara yang dianggap tepat untuk menjadi baik adalah usaha untuk mengembangkan kemampuan dalam kebaikan lewat kegiatan praktis. Meskipun ada berbagai kebajikan namun kebajikan-kebajikan itu tetap merupakan satu kesatuan dan satu forma dengan pengetahuan.             



[1] Martin J. Wals, Op. Cit., p. 21.
[2] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1995), p. 37.
[3] “Ignorantia” adalah suatu privatio dari pengetahuan yakni kekurangan pengetahuan yang seseorang tertentu harus miliki. Josep Pianiazek, “Epistemologi”, Manuskrip (STFK Ledalero, 1990), p. 50.
[4] Kees Bertens, Op. Cit., p. 92.
[5] Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat ( Yogyakarta: Kanisius, 1991), p. 12.
[6] Tentang kontradiksi ini bisa dilihat dalam penjelasan tentang Intelektualisme Etis Sokrates. Pemikiran ini mula-mula merupakan kritikan Aristoteles atas pernyataan Sokrates bahwa keutamaan adalah pengetahuan. Lihat bagian Catatan Kritis, pp. 134-147.

No comments:

Post a Comment