Kanisius Teobaldus Deki
S
|
okrates
sungguh menyadari bahwa misinya adalah mendorong orang-orang untuk
memperhatikan harta miliknya yang paling berharga yakni jiwanya dengan jalan
memperoleh pengetahuan dan kebajikan.[1] Bagi Sokrates, kebajikan
adalah suatu kualitas yang menyebabkan sesuatu baik dan sempurna sejalan dengan
tuntutan kodratnya. Jika kebajikan itu berurusan dengan bagaimana menjadikan
jiwa manusia itu baik, maka hal yang paling penting dimiliki terlebih dahulu
ialah mengetahui unsur manakah yang menjadikan manusia itu baik. Melalui
pengetahuan tentang unsur yang baik itu maka jelas bahwa kebaikan dan
pengetahuan mempunyai relasi yang sangat erat. Untuk mempertegas hubungan ini,
Sokrates pada akhirnya mengidentifikasi pengetahuan dengan kebajikan yang
semata-mata bersifat teoretis. Melalui pengidentifikasian pengetahuan dengan
kebajikan, Sokrates ingin mengatakan bahwa “kejahatan adalah ketiadaan atau
kekurangan pengetahuan”[2].
K
|
onsekuensi
lanjut dari argumentasi semacam ini ialah bahwa tak seorang pun terlibat dalam
kejahatan dengan penuh pengetahuan. Kesalahan dalam perbuatan selalu bersifat involuntary (kehendak dan kemauan yang
penuh tidak dilibatkan) sebagai hasil dari ignorance.[3] Sokrates yakin bahwa seorang
yang bijaksana yang tahu apa itu yang benar dan yang sadar secara mendalam
bahwa itu memang benar, akan juga melakukan yang benar. Seseorang yang
sungguh-sungguh yakin bahwa suatu tindakan tertentu akan membawa kebahagiaan
baginya, pasti akan melakukannya. Suatu kehidupan yang luhur dan kehidupan yang
memberi penerangan pada seseorang pada hakekatnya adalah satu dan sama.
Seseorang yang berbudi luhur adalah dia yang mengetahui kebaikan moral, manusia
yang bijaksana. Karena alasan ini, maka pengetahuan merupakan suatu yang sangat
penting dalam kehidupan setiap manusia.
M
|
enurut
Sokrates hidup yang baik bagi manusia adalah hidup yang dipuji. Hal ini memang
berguna bagi manusia supaya ia hidup menurut suatu cara manusiawi yang khas,
yaitu secara rasional, secara bijaksana dan secara jelas. Kehidupan bahagia
yang sejati adalah kehidupan manusia yang indah sebab ada kesehatan dan
keharmonisan jiwa. Kehidupan manusia yang khas adalah kehidupan yang diatur
secara baik dan bijaksana. Karena itu manusia perlu mengenal diri melalui
refleksi yang terus menerus. Ia berkata dalam semboyannya yang termahsyur,
“kenalilah dirimu” (gnothi seauton).
D
|
engan
menyamakan keutamaan atau kebajikan dengan pengetahuan, Sokrates sebenarnya
ingin menentang relativisme Protagoras dan sofis-sofis yang lain.[4] Sokrates tidak menerima bahwa
“yang baik” itu berbeda dari satu bangsa ke bangsa yang lain. Menurut Sokrates
“yang baik” mempunyai nilai yang sama bagi semua orang. Dengan kata lain, “yang
baik” berlaku universal. Karena itu keutamaan senantiasa berdasarkan pada
pengertian yang sama. Mempunyai keutamaan (arete)
berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia. Sokrates membela “yang
benar” dan “yang baik” sebagai nilai obyektif yang harus diterima dan dijunjung
tinggi oleh semua orang.[5] Atas pendasarannya ini,
Sokrates pada prinsipnya membangun suatu etika yang berlaku bagi semua orang.
W
|
alaupun ada
kontradiksi melalui kritikan-kritikan atas etika Sokrates ini[6], Sokrates pada dasarnya ingin
menyadarkan manusia akan urgensitas kebajikan atau keutamaan untuk mencapai
kesempurnaan atau kebahagiaan sejati jiwa (eudaimonia
daimon) sebagai tujuan tertinggi hidup manusia. Apabila jiwa yang merupakan
esensi manusia bijaksana, murni dan sehat, maka manusia akan mengalami
kebahagiaan sejati. Tetapi kebahagiaan tertinggi itu tidak bergantung pada
hal-hal yang eksternal atau dari benda-benda material, melainkan pada
pengetahuan yang benar tentang aktus yang hendak dijalankan. Berkaitan dengan
ini, cara yang dianggap tepat untuk menjadi baik adalah usaha untuk
mengembangkan kemampuan dalam kebaikan lewat kegiatan praktis. Meskipun ada
berbagai kebajikan namun kebajikan-kebajikan itu tetap merupakan satu kesatuan
dan satu forma dengan pengetahuan.
[2] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), p. 37.
[3]
“Ignorantia” adalah suatu privatio
dari pengetahuan yakni kekurangan pengetahuan yang seseorang tertentu harus
miliki. Josep Pianiazek, “Epistemologi”, Manuskrip
(STFK Ledalero, 1990), p. 50.
[4] Kees
Bertens, Op. Cit., p. 92.
[5] Kees
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat ( Yogyakarta: Kanisius, 1991), p.
12.
[6]
Tentang kontradiksi ini bisa dilihat dalam penjelasan tentang Intelektualisme
Etis Sokrates. Pemikiran ini mula-mula merupakan kritikan Aristoteles atas
pernyataan Sokrates bahwa keutamaan adalah pengetahuan. Lihat bagian Catatan
Kritis, pp. 134-147.
No comments:
Post a Comment