Monday 1 February 2021

Opus Caritatis Pax: In Memoriam P. Servulus Isaak SVD

 


Kanisius Teobaldus Deki

B

eberapa minggu yang lalu saya bersama enu Wiwin Haman menjumpai P. Servulus di kediamannya, di Biara SVD Ruteng. Kali itu saya sempat menunggu beberapa saat di ruang tamu biara SVD karena Om Tuan Servulus, demikian kami biasa menyapa, masih melayani orang-orang yang berobat. Sejak beliau pensiun dari jabatan sebagai Ketua STKIP Santu Paulus (kelak menjadi UNIKA Santu Paulus) dan Provinsial SVD Ruteng, kegiatan harian Om Tuan adalah melayani umat yang datang berobat, khususnya untuk berbagai jenis penyakit yang sulit sembuh.

Pada hari itu Om Tuan akan menjadi pengkotbah dalam sebuah perayaan ekaristi dengan menggunakan daring, Zoom Meeting. Enu Wiwin menjadi operator untuk beliau. Hari itu saya datang karena ada ingatan yang kuat untuk bertemu sekaligus membawa ole-ole roti buatan kami. Sempat kami bercerita tentang roti itu. Beliau menerimanya dengan rasa senang. “Saya suka makan roti”, katanya singkat. Lalu saya pamit pulang. Enu Wiwin terus menyertai beliau.

Minggu, 31 Januari 2021 saya mendapat informasi dari Dr. Marsel Payong, salah seorang dosen senior di STKIP Santu Paulus. Pak Marsel menyampaikan bahwa Pater dalam kondisi sakrat maut. Semua keluarga diminta untuk berdoa. Dalam sekejab saya menginformasikan berita itu kepada semua keluarga. Barulah tersadar bahwa beliau sedang dirawat di Rumah Sakit Komodo, Labuan Bajo.

Mestinya pada hari Senin, 1 Februari 2021, saya bersama Rm. Dr. Max Regus Pr menuju Labuan Bajo untuk sebuah pekerjaan dengan salah satu perusahaan. Fokusnya audit sumber daya manusia perusahaan itu. Cuaca Ruteng beberapa hari sangatlah ekstrim. Ditambah kabar di banyak tempat ada bencana longsor dan banjir. Akhirnya kami meminta rescheduling dengan pihak perusahaan. Mereka juga setuju. Padahal dalam rencana kami, sebagai mantan murid, akan menjumpai beliau di Rumah Sakit.

Sepanjang malam saya susah tidur. Saya bangun lalu mengerjakan sesuatu di laptop. Hingga menjelang pagi karena terus tak bisa tidur saya berbisik lirih, “Om Tuan, saya mau berjaga bersama Ite”, lalu saya tertidur. Rupanya Tuhan sudah memiliki rencana untuk Om Tuan Servulus. Ketika masih terlelap saya diberitahu istri, “Om Tuan sudah tidak ada”. Beliau mangkat pada 1 Februari 2021, pkl. 05.30.

Motivator yang Handal

Tatkala saya dan saudara Fransiskus Lajur menginjakkan kaki pertama di Biara Ordo Karmel Maumere, berita itu sampai ke telinganya. Sebagai seorang paman sekaligus Ketua Sekolah STFK Ledalero, beliau datang bertemu. Kepala Biara (Prior) kami cukup terkejut melihat beliau datang. Kiranya ada sebuah kunjungan yang tak teragendakan namun begitu mendesak. Setelah basa-basi ternyata beliau datang mencari kami. “Oh baik Pater, silahkan”, kata Prior mengijinkan. Kami lalu berkeliling di Kota Maumere.

Waktu tiba di depan toko buku Nusa Indah, Om Tuan berhenti sejenak. Kami lalu masuk toko buku. Beliau membeli 2 kamus Bahasa Inggris, kami diberi masing-masing satu eksemplar. “Belajar yang baik supaya kamu dua jadi orang pintar”, harapnya. Begitulah sosok Om Tuan yang selalu memotivasi.

Pada waktu saya hendak ke Israel, saya ke Ledalero menjumpai beliau. Waktu itu saya menginformasikan berita itu dengan senang hati. “Nana boleh berbahagia dapat kesempatan ke sana. Ini ada beberapa kaset yang bisa didengar sebagai persiapan bahasa”, ujarnya sambil menyerahkan setumpukkan kaset pita. Waktu sampai di kamar saya membuka kaset-kaset itu di walkman. Betapa saya terkejut, saya mendapat pelajaran bahasa Inggris dengan pengantar pelajaran itu bahasa Italia! Saya lalu sadar Om Tuan ingin memberi pelajaran dengan kemampuan maksimal. Tentu, ada maksud di balik pemberian kaset-kaset itu. Saya harus memiliki kemampuan berbahasa asing yang melampaui standar.

Ketika mengikuti perkuliahan yang diberikan Om Tuan: Pengantar Kitab Suci Perjanjian Lama, Kritik Para Nabi dan Analisa Naratif, ketelitian menjadi kata kunci. Kertas ujian mahasiswa diperiksa kata per kata. Sebagai dosen, Om Tuan berusaha memberikan perbaikan untuk setiap jawaban mahasiswa. Ada sebuah perhatian serius terhadap pekerjaannya. Ia tidak sekedar memberikan penilaian, ia juga membangun penyempurnaan dari jawaban yang telah diberikan mahasiswa.

Motivasi yang kuat itulah menggerakkan saya untuk mengunjungi Ecole Biblique Yerusalem. Saya ingin melihat tempat Om Tuan Servulus belajar Kitab Suci selama tahun 1987-1989. Saya juga mengunjungi museum tulisan kuno, termasuk teks-teks kitab suci dari Qumran yang dipajang secara apik di sana.

Kelak ketika hidup sekampus bersama beliau di STKIP Santu Paulus dari tahun 2005, saya melihat kepribadiannya yang selalu memotivasi muncul sebagai kekuatan. Bahkan motivasi itu harus ditanggungnya dengan membiayai banyak anak tak mampu dari berbagai kampong dan keluarga. Motivasi pada akhirnya tidak hanya sebuah ungkapan kata-kata, ia berbuah pada tindakan nyata, melakukan aksi yang mewujudkan kata-kata itu!

Beliau juga memotivasi para dosen. Saat tahun 2005 kami masuk sebagai pengajar, mayoritas dosen masih berijazah S-1. Hanya beberapa orang saja yang S-2 dan S-3. Dalam setiap pertemuan, beliau selalu memiliki optimisme yang besar untuk membangun kampus yang besar dan berkualitas. Hingga dirinya menyelesaikan tugas sebagai Ketua STKIP Santu Paulus, semua dosen sudah berijazah S-2, system kampus berbasis on-line, gedung-gedung baru dibangun.

 

 

Opus Caritatis Pax

Pada tahun 1976-1980 Om Tuan belajar kitab suci di Roma hingga meraih gelar Licentiat di Institut Biblicum Roma dengan judul tesis “Peripateia Kata Pneuma (Rom 8:2b)- Imperative Category of Christian Existence”.  Usai belajar, Om Tuan kembali ke Ledalero untuk mengajar bidang Kitab Suci. Setelah sekian tahun mengajar, Om Tuan kembali pergi belajar di Ecole Biblique Yerusalem tahun 1987-1989. Tahun 1990-1994 dia menulis disertasi doktoratnya dengan judul “The Spirit of God in Ezekiel”.[1] Namun disertasi ini tak sempat dipertahankannya karena dirinya keburu dipanggil pulang kembali ke Ledalero.

Dalam sebuah perbincangan pribadi, saya bertanya mengapa tidak menyelesaikan studi doktorat. Pertanyaan ini dijawab langsung oleh Om Tuan. Pertama, tema yang diangkatnya memang termasuk baru dalam pewacanaan studi kitab suci Perjanjian Lama. Konsep tentang Roh Kudus baru muncul ketika Perjanjian Baru. Tema itu membutuhkan waktu pendalaman yang lama. Kedua, bersamaan dengan penantian untuk ujian, datanglah perintah dari Provinsial Ende saat itu untuk pulang. Ada soal internal di Ledalero kala itu. Konflik antar beberapa pihak yang dinilai bisa berdampak negative bagi perjalanan kampus. Om Tuan Servulus didapuk menjadi Ketua STFK Ledalero. Jadilah demikian, Om Tuan kembali dan taat pada perintah atasannya.

Selama dirinya menjadi Ketua STFK Ledalero, bukan saja konflik yang berhasil diredam dan dilakukan rekonsiliasi, tetapi juga pembangunan gedung kampus. Gempa tektonik tahun 1992 meluluhlantakkan kampus STFK Ledalero. Semua bangunan hancur berkeping-keping. Selama sekian tahun mahasiswa belajar di barak-barak sederhana yang terbuat dari bambu. Kami termasuk mengalami belajar di barak. Lalu pihak Yayasan, SVD dan Sekolah membangun gedung-gedung baru yang megah, besar dan mentereng. Kami menyelesaikan studi di gedung-gedung baru itu.

Ketika STKIP Santu Paulus Ruteng mengalami prahara, P. Servulus dimintai bantuan melakukan pembenahan oleh Mgr. Eduardus Sangsun SVD, Pembina Yayasan sekolah. Kala itu perseteruan sulit dibendung. Yayasan berkonflik dengan pihak Sekolah. Masalah pokoknya adalah adanya temuan korupsi peningkatan status sekolah itu menjadi universitas. Selain itu masih ada juga masalah-masalah lain yang mendesak untuk diatasi.

Ketika akhir tahun 2003 P. Servulus datang ke Ruteng, berbagai aksi penolakan dilakukan. Para dosen mengundurkan diri, mahasiswa diberhentikan. Pengrusakan kampus dilakukan. Aksi mogok menjadi kenyataan harian. Bahkan saking menguatnya demonstrasi, mahasiswa menarik dosen dari dalam ruang kelas, termasuk P. Servulus. Namun Pater Servulus menyikapi situasi dengan caranya sendiri. Ia tidak membenci mereka yang menolaknya. Ia bahkan berusaha mencari jalan keluar agar semua pihak yang bertikai dapat berdamai kembali.

Dalam sebuah wawancara dengan salah seorang dosen senior, Bapa Alfons Sene, konflik itu memang membutuhkan actor penyelesai dari luar. Ketika saya bertanya, mengapa Uskup Eduardus Sangsun tidak mengangkat dosen-dosen yang ada sebagai Ketua, Bapa Alfons mengatakan bahwa mereka bagian dari konflik. “Bapa uskup tahu, kita butuh penengah, butuh orang yang lebih berkompeten, lebih berintegritas mengurus sekolah ini. Semua karakter itu ada pada beliau”, ujarnya.

Ia juga mengayomi dosen-dosen yang masih menolaknya dan memiliki praduga kepadanya. Ia  melakukan itu dengan cinta kasih. Ia mengamini apa yang dikatakan Paus Pius XII dalam Ensiklik Urbi Arcano, 14,686, yang mengatakan “Opus Caritatis Pax” yang bisa diterjemahkan: Perdamaian adalah buah cinta kasih. Pernyataan Paus Pius XII ini merujuk pada gagasan Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae (II-II, q.29. art. 3) yang berkata: “Perdamaian sejati dan abadi lebih merupakan persoalan cinta kasih daripada keadilan, karena fungsi keadilan hanyalah sekedar menghapuskan rintangan-rintangan menuju perdamaian. Namun, perdamaian itu sendiri adalah sebuah tindakan dan hasil dari cinta kasih semata-mata” (Pius XII, Ensiklik Urbi Arcano, 14).[2]

Karena kesediaannya berkorban bagi banyak orang, konflikpun berlalu. Pihak-pihak yang bertikai menerima kenyataan bahwa konflik tidak menciptakan kemajuan. Konflik meluluh-lantakkan banyak hal, termasuk nilai dan karakter. Kajian-kajian P. Servulus di masa itu berusaha mengembalikan prinsip ajaran Katolik yang melandasi pendirian STKIP Santu Paulus. Ia selalu kembali ke pola dasariah: Yesus sebagai guru dan pendidik.[3] Pola itu dikembangkannya dalam system pendidikan kampus, pencapaian sumber daya manusia dan relasi inter-antar personal.

Dalam masa periode kedua kepemimpinannya, P. Servulus dipercayai oleh kongregasi SVD untuk menjadi Provinsial. Pekerjaan ini tidaklah mudah. Kongregasi ini mulai kelimpungan dengan berbagai soal yang berat. Usaha-usaha dalam bidang ekonomi mereka terpuruk. P. Servulus lalu berhenti sebagai Ketua STKIP Santu Paulus walaupun masa jabatannya masih tersisa beberapa tahun. Dirinya masih mengajar beberapa mata kuliah. Ia berfokus membangun kongregasinya.

Pengabdian yang Total

Pada suatu waktu P. Servulus dikejutkan dengan munculnya sebuah surat dari Kampus. Isinya singkat, dirinya tidak lagi menjadi pengajar di sekolah yang sudah diselamatkannya. Surat itu dihantar oleh seorang staf dari yayasan. Ketika membaca surat itu hatinya gundah. Bukan isi surat yang membuat dirinya masgul, melainkan cara mereka memperlakukan dirinya.

“Etikalah yang membuat kita disebut manusia”, katanya. Dirinya sungguh sadar apa yang telah dilakukannya atas lembaga itu merupakan pelayanan yang diterima dari Tuhan. Namun respek terhadap semua pihak yang telah membuat sekolah itu berjalan kembali dalam kesuksesan adalah bagian dari etika. “Ketika orang tidak lagi memiliki etika, apa bedanya dengan orang yang tidak berpendidikan?”, komentarnya suatu kali saat saya mengunjungi beliau di komunitasnya.

Bisa jadi P. Servulus tidak butuh dihargai dengan sebuah acara perpisahan yang mewah. Ia hanya ingin menegaskan, etika adalah buah dari sebuah pendidikan, yang seharusnya dilakonkan oleh pihak-pihak yang ada di lembaga itu.

P. Servulus tidak banyak menulis buku, sejauh yang saya tahu, selain sebuah buku yang dieditnya.[4] Sedangkan artikelnya tersebar di banyak buku kumpulan tulisan termasuk Jurnal Missio. Banyak bahan kuliahnya dalam bentuk diktat. “Suatu saat saya akan menerbitkannya menjadi buku”, katanya suatu kali.

Rupanya itu tidak lagi bisa dilakukannya. Penyakit gula yang menggerogotinya membuat matanya bermasalah. Berkali-kali ia dirawat berkaitan dengan matanya ini. Pengalaman sebagai orang sakit lalu mendorongnya untuk merawat orang-orang sakit. Ia memiliki karunia menyembuhkan. Banyak orang lalu datang kepadanya setiap hari. Beliau menerimanya dengan hati yang tulus. Mereka didoakan lalu sembuh. “Kami sangat berterima kepada Pater Servulus. Kami pernah meminta bantuan doa beliau, kami sembuh”, ujar Yohanes Jeharut, salah seorang pasiennya. Banyak orang memiliki kesan yang sama.

Ia juga melayani perayaan ekaristi bagi siapa saja yang membutuhkannya. Ia datang bertemu keluarga-keluarga, memberikan peneguhan dan kekuatan. Ia hadir untuk menjadi sumber kegembiraan bagi sesamanya. Ia imam yang sederhana. Ketika ada trend, imam-imam muda dalam kongregasinya memiliki mobil sendiri, ia tetap bergantung pada sopir biara yang setia mengantarnya ke mana saja ia melayani.

Kesederhanaan dan kesahajaan hidup menjadi bagian dari kepribadiannya. Imam pertama yang ditahbiskan di Paroki St. Gregorius Borong tahun 1973 ini, kemudian kembali merayakan Pesta Pancawindu Imamat dalam kesederhaan di tempat itu.

Interaksi yang intens dengan banyak orang inilah yang bisa jadi P. Servulus tertular Covid-19. Bersamaan dengan itu, sakit gula yang sudah menahun, bisa jadi membuka peluang bagi dirinya untuk terinveksi. Hingga pada 16 Januari 2021 pihak SVD membawa P. Servulus ke Labuan Bajo untuk mendapat perawatan yang intensif. Dalam perawatan itulah kondisinya bertambah parah, didukung oleh usia yang kian lanjut, P. Servulus menghembuskan nafas terakhir.

P. Servulus lahir di Rekas, 23 Desember 1944. Anak Guru Utung ini, adik kandung dari P. Yan Mendjang SVD, mantan rector UNIKA Widya Mandira Kupang, kakak kandung dari Sr. Maria Columba SSpS, mantan Provinsial SSpS Kalimantan. Beliau mangkat pada usia 77 tahun. Selamat Jalan Om Tuan, bahagia bersama para kudus di Surga!***



[1] Kanisius Teobaldus Deki, Menjadi Abdi Menghalau Gelap Budi Menyingsing Fajar Pengetahuan (Maumere: Ledalero, 2009), hal. 546-547.

[2] Pius Pandor, Ex Latina Claritas (Jakarta: Obor, 2010), hal. 215.

[3] Kanisius Teobaldus Deki, Op.cit., hal. 179-202.

[4] Servulus Isaak (ed.), Mencari Keadilan (Ende: Nusa Indah, 1985).