Kanisius Teobaldus Deki
Pendidikan bertujuan agar manusia mampu
berpikir mandiri. Sokrates memperlihatkan dirinya sebagai seorang guru yang
baik. Apa yang ia katakan hampir selalu cocok dengan dengan apa yang ia buat.
Ia bahkan disebut sebagai “seorang
terbudaya”.[2] Bagi Sokrates
menjadi guru dengan ciri khas seperti inilah yang membedakan dirinya dengan
para guru yang lainnya pada masa ini. Secara khusus inilah juga yang membedakan
Sokrates dari kaum Sofis yang sangat terkenal dalam menyajikan diskusi-diskusi
meyakinkan tentang keberanian, walaupun mereka sendiri bukan orang-orang
berani. Tidak seperti kaum Sofis, selain tidak meminta bayaran kepada mereka
yang dididiknya, ia juga melibatkan dirinya dalam pertanyaan-pertanyaan
filosofis dan etis yang lebih fundamental. Ide besarnya yang inspiratif adalah
kita dapat mengetahui jalan yang benar untuk hidup hanya jika kita menggunakan
rasio kita dengan tepat.[3]
Apa yang menjadi kehebatan Sokrates justru dapat dilihat
dalam seluruh pembicaraannya dengan partner bicaranya (elenchus). Sangat
sering Sokrates memperlihatkan diri sebagai orang yang mengetahui segala
sesuatu dan karena itu tampaknya seakan-akan menghina teman bicaranya, atau
juga memperlihatkan diri sebagai yang tidak tahu apa-apa (lewat tetap diam atau
menunjukkan reaksi setuju), dan secara sarkastik menguji partner bicaranya.
Tidak heran sering partner bicaranya merasa sakit hati. Namun dalam situasi
seperti ini Sokrates memperlihatkan diri sebagai seorang guru sejati, pendidik
dan pedagog. Sokrates sama sekali tidak ingin menghina lawan bicaranya. Namun
jelas bahwa dengan itu pendengarnya pelan-pelan dibawa dan dibimbing oleh pembicaraannya.
Kita bisa melihat bahwa diskurs Sokrates ini justru membimbing pendengar kepada
keberanian untuk mengungkapkan dan memberikan penjelasan tentang dirinya
sendiri. Di sini jelas bagi kita bahwa Sokrates tidak hanya secara meyakinkan
berusaha menarik pendengarnya dengan argumen-argumen logis, dan membawa mereka
kepada suatu pengetahuan baru, tetapi juga meyakinkan mereka supaya mereka
dapat memberikan definisi dan mengungkapkan diri mereka serta bertindak
sendiri. Dalam pemahaman seperti ini jelas bahwa target utama Sokrates ialah
bukan hanya mengajak pendengar melainkan meyakinkan seseorang bahwa ia harus
memperhatikan dirinya dan orang lain. Ini berarti ia harus mengubah hidupnya
sendiri (konversi). Ini bukan soal mengubah keyakinan atau pendapat
seseorang, melainkan mengubah suatu corak hidup (life-style), relasi
seseorang dengan orang lain, dan relasi dengan diri sendiri. Tansformasi pada
akhirnya menjadi buah dari pendidikan yang berkualitas.
Dalam dialog yang dibangunnya bersama
mitra bicaranya, Sokrates menanamkan satu sikap optimisme. Ia menyadari bahwa
di dalam diri setiap mitra bicaranya telah ada potensi untuk mengetahui
sesuatu. Karena itu bagi Sokrates langkah yang paling tepat untuk menanggapi
potensi itu adalah melakukan proses penyadaran. Pendidik berusaha sedapat
mungkin menyadarkan murid-muridnya untuk memastikan bahwa dia sanggup
mengetahui sesuatu, bahwa di dalam dirinya tersimpan sangat banyak benih
pengetahuan. Tinggal saja pendidik berupaya membantu “mengeluarkannya” melalui berbagai
cara. Salah satu cara paling baku adalah memberikan motivasi kepada anak didik
untuk menggali sendiri pengetahuan itu. Tentu di sini, anak didik berjalan
bukan tanpa suatu bimbingan. Bimbingan bermaksud menolong anak didik untuk
menemukan dirinya sendiri, lalu kemudian menyadari kemampuan-kemampuan yang
dimilikinya.
Sokrates membimbing murid-muridnya
dengan berbagai pertanyaan kritis, yang terkadang sulit. Yang terkesan aneh
dari sikap Sokrates ialah bahwa ia tidak selalu memberikan jalan keluar, tidak
memberikan solusi yang instant (siap pakai). Berkali-kali ia malah
menyerahkan penyelesaian kepada mitra bicaranya. Sokrates bukannya tidak tahu
jawaban dari setiap soal yang diajukannya. Ia juga bukan ragu dengan kualitas
jawabannya. Namun ia mau menyadarkan mitra bicaranya agar ia sendiri menjawab
soal itu dengan kemampuannya. Di sini Sokrates sebenarnya ingin menyadarkan
mitra bicara untuk mandiri, berani berpikir sendiri dan sanggup menerima
konsekuensi yang diakibatkan oleh keputusannya. Bagi Sokrates, tahap tertinggi
keberhasilan suatu pendidikan adalah jika anak didik mampu untuk berpikir
sendiri dan sanggup untuk memutuskan sesuatu secara bertanggungjawab. Tugas
guru bukan hanya memberikan pengetahuan berupa informasi-informasi yang berasal
dari luar diri anak didik. Lebih jauh, sistem pendidikan yang dibangun oleh
Sokrates adalah membangun suatu formasi yang dimulai dari dalam diri anak didik
sendiri. Anak didiklah yang paling mengenal dirinya sendiri. Karena itu,
mestinya dia sendiri yang paling tahu apa yang terbaik bagi dirinya sendiri.
Pernyataan terkenal tradisi Delphoi yang diangkat dan dipopulerkan Sokrates know
thyself hanya berarti dalam proses
pendidikan jika sang murid betul mengenal dirinya yang dibangun melalui
refleksi yang terus-menerus.
Satu hal yang sangat mengagumkan dari pengajaran dan
sikap hidup Sokrates adalah soal keteladanan. Sokrates sangat konsekuen dengan
apa yang dikatakannya dengan apa yang dibuatnya. Dalam bagian terdahulu tulisan ini kita
bisa melihat cara hidup Sokrates. Pendidikan yang benar akhirnya melahirkan
suatu sikap yang integratif. Apa yang didapat dalam proses pendidikan harus
menjadi nyata dalam praxis hidup. Pendidikan tidak hanya bertujuan melahirkan
ide-ide yang muluk, namun hal yang utama adalah bagaimana antara apa yang
didapat memiliki korelasi dalam kehidupan konkrit. Sokrates mengajarkan
keutamaan-keutamaan yang harus dimiliki manusia. Puncak perjuangan Sokrates
terungkap nyata dalam keberaniannya untuk tidak taat kepada keinginan penguasa.
Ia tetap teguh dengan keyakinannya bahwa melalui pengajaran yang benar ia menolong
banyak kaum muda dan membawa mereka kepada kedewasaan cara berpikir.
Model pendidikan Sokrates memberikan catatan kritis bagi
pendidikan modern yang cenderung menyajikan segala sesuatu kepada murid dan
mereka hanya mengenyam apa yang sudah ada. Guru banyak kali mendikte sedangkan
murid pasif mendengarkan dan mencatat sebanyak mungkin. Jika hal ini terus
terjadi bukan tidak mungkin lembaga pendidikan menghasilkan out put yang
tidak kreatif dan selalu meminta petunjuk. Sistem seperti ini juga mengebiri
kemampuan bebas murid, mengsakralkan tradisi dan sulit membuat inovasi serta
reformasi, suatu sistem yang justru bertentangan dengan ajaran Sokrates yang
membangun basis atas kemampuan sendiri, menghargai pendapat pribadi dan
memberikan pertanggungjawaban atas setiap pernyataan dan sikap hidup. Dengan
demikian murid pada gilirannya mampu
menjadi seorang cendekiawan.[4]
Selaras dengan Sokrates, Y.B. Mangunwijaya[5] menulis bahwa
seorang cendekiawan pada akhirnya bukan hanya mereka yang memiliki ijasah
formal sebagai sarjana, tetapi sekaligus adalah seorang intelektual yang selalu mencari terus-menerus,
eksploratif tanpa henti, meningkatkan kemampuan berpikirnya tanpa jera; dengan
sikap hidup yang kritis, tidak begitu mudah percaya pada data dan informasi
serba gemerlapan dari penguasa atau kaum cerdik lainnya, tidak mudah ditipu
apalagi dibeli. Karena ketekunannya ia menggali dan menyaring di bawah
permukaan: apa dan mana yang benar. Seorang cendekiawan tidak mencari menang
melainkan kebenaran. Tidak mencari ketenaran melainkan berupaya sedemikian rupa
demi kepentingan banyak orang. Seorang cendekiawan tidak gentar terhadap
penguasa, kendati ia mesti arif berhati-hati dan berwaspada. Seorang
cendekiawan dari kodratnya adalah seorang yang bermoral dan membela moral dan
etika, dan cara memandang sesuatu tidak sempit tetapi secara holistik dan
multidimensional, tidak bersikap gampang-gampangan karena selalu eksploratif.[6]
Adalah suatu kenyataan dewasa ini yang hidup dalam era
teknologi modern, bahwa manusia tak mungkin bebas dari perambahan pendidikan
sains. Dalam alur pemikiran Sokrates kita bisa mengatakan bahwa tujuan
pengajaran sains dewasa ini mencakup tiga aspek hakikat sains yakni proses,
produk dan sikap, memberikan penekanan pada aspek teori dan praktek, serta
dirumuskan sedapat mungkin dengan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan
personal dan sosial (bonum commune dan bonum individuum). Tujuan
pengajaran sains dewasa ini mencakup tiga aspek hakikat sains, yaitu
mengembangkan pemahaman para peserta didik tentang alam, mengembangkan
keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk memperoleh atau mengolah
pengetahuan baru, dan mengembangkan sikap-sikap positif. Konsep-konsep tidak
seharusnya diajarkan secara utuh kepada para murid sebagai suatu pengetahuan
yang sudah jadi, yang tinggal diingat-ingat, melainkan perlu selalu diusahakan
agar para murid juga belajar bagaimana mendapatkan pengetahuan itu. Dalam
proses pencarian pengetahuan baru itu, para guru mempunyai kesempatan untuk
memperhatikan dan membimbing sikap serta prilaku murid.
Tetapi harus disadari bahwa hal itu tidak berarti
pengajaran bersifat informatif, di mana guru menyampaikan informasi kepada
murid dan murid kurang aktif terlibat dalam proses pencarian pengetahuan, para
guru tidak bisa membimbing sikap dan prilaku murid. Akan tetapi, dalam
pengajaran di mana para murid aktif berbuat dan berpendapat, karakter-karakter
pribadi murid akan terungkap. Semakin banyak murid melakukan aktivitas akan
semakin kelihatan watak dan kepribadiannya. Dengan demikian, semakin terbuka
pula kesempatan bagi para guru untuk membantu murid mengembangkan
kepribadiannya. Melalui interaksi dengan
guru dan sesama murid yang terus menerus dijaga, sikap dan perilaku para murid secara
bertahap akan berkembang.
Sokrates dalam perspektif pemikirannya justru melontar
keluar paradigma[7] pendidikan lama yang
hanya bertumpu pada guru dan tradisi baku yang sulit diubah. Sokrates beralih
kepada paradigma baru yang memberikan kesempatan kepada setiap murid untuk di satu pihak mandiri, namun di lain pihak
bertanggungjawab. Ia mau mengajak manusia pada zaman modern ini juga untuk
memberikan keluasan kepada setiap manusia untuk membedah diri sendiri melalui
refleksi-refleksi yang kritis, membangun keutamaan-keutamaan dan melaksanakan
itu dalam kehidupan yang konkret. Inilah yang kini dikenal dengan sebutan pendidikan
humaniora[8] yang berarti keseluruhan
unsur dalam pendidikan mencerminkan keutuhan manusia dan membantu agar manusia
menjadi lebih manusiawi.[9] Dengan demikian,
sasaran akhir pendidikan ialah manusia semakin menyadari apa yang menjadi makna
dan tujuan hidupnya sendiri. Kesadaran akan hal itu membuat ia berlangkah pasti
menuju kebahagiaan yakni hidup (jiwa) yang sempurna.***
[1] Makalah dipresentasikan di
Paroki Waelengga pada 6 Juli 2008.
[2] “Cultured person” atau “mousikos amer”. Dalam kebudayaan
Yunani istilah ini secara khusus digunakan untuk apa yang dikenal dengan nama
pengetahuan budaya (liberal arts). Konrad Kebung Beoang, Pharresia Dan
Persoalan Mengenai Etika (Jakarta: Obor, 1999), pp. 128,145.
[3] Menurut Leslie Stevenson, Sokrates
disebut “bapak filsafat” bukan karena kesimpulan yang dihasilkannya, namun karena
keberaniannya memulai penggunaan metode argumentasi rasional dan penyelidikan
dengan pikiran terbuka, sebuah jalan nondogmatis. Leslie Stevenson, Sepuluh
Teori Hakikat Manusia, diterjemahkan oleh Yudi Santoso dan Saut Pasaribu
(Yogyakarta: Bentang, 2001), pp. 134 – 135.
[4] Manusia memiliki akal budi dan
kebebasan sebagai suatu kemampuan dalam dirinya. Apakah artinya bila tidak digunakan secara tak
bertanggungjawab? Kita mengenal banyak orang terkemuka seperti Plato ataupun
Milton, tetapi mungkin kita tak tahu bahwa mereka tidak menggunakan suatu
bukumaupun tradisi dan mereka mengatakan bukan apa yang pikirkan tetapi apa
yang mereka pikirkan. Yosef Suban Hayon, “Di Manakah Terletak Nilai Manusia?”,
dalam Majalah VOX, (no. 19/1, tahun 1972), pp. 6-10.
[5] Y.B. Mangunwijaya lahir di Jawa
Tengah, 6 Mei 1929. Beliau adalah seorang rohaniwan, budayawan, arsitek yang
banyak menulis buku dan artikel tentang berbagai tema yang tersebar di berbagai
media massa. Bukunya berjudul “Burung-Burung Manyar” menjadi pemenang The
South East Asia Write Award, hadia Sastra Terbaik Indonesia untuk jenis
Novel, tanggal 30 Oktober 1983 di Thailand. Romo Mangun meninggal dunia di
Jakarta, 10 Februari 1999.
[6] Y.B. Mangunwijaya, Manusia
Pascamodern, Semesta, dan Tuhan-Renungan Filsafat Hidup Manusia Modern
(Yogyakarta: Kanisius, 1999), p. 135.
[7] Term “Paradigma” dimunculkan pertama kali oleh Thomas S.
Kuhn dalam bukunya berjudul: The Structure of Scientific Revolutions
(1962). Paradigma dapat dimengerti
sebagai cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau
praktek ilmiah. Konrad Kebung Beoang, “Filsafat Ilmu Pengetahuan” Manuskrip
(Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 1997), p. 71.
[8] Term “humaniora” berasal dari kata Latin “humanus” yang
berarti manusiawi (yang sesuai dengan kodrat manusia), insani, jasmani. W.J.S. Poerwadarminta el al., Kamus
Latin-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1969), p. 391.
[9] T. Sarkim, “Humaniora Dalam
Perspektif Pendidikan Sains” dalam Paul
Suparno et al. (ed.), Pendidikan Sains Yang Humanistis
(Yogyakarta: Kanisius-Universitas Sanata Dharma, 1998), p. 128.
No comments:
Post a Comment