Ritus-Ritus Adat Manggarai
Penulis: Dr. Maksimus Regus, Dr. Hubertus Muda, Kanisius Teobaldus Deki, S.Fil., M.Th, Antonius Mbukut, S.Fil., M.Th, Odilia Jayanti Mahu, S.Pd., M.Pd, Yohanes Mario Vianey, SS, M.M, Kordianus Larum, S.Ak., M.Ak dan Melky Sobe, S.Fil.
Penerbit : Lembaga Nusa Bunga Mandiri dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Manggarai, 2024.
Jumlah Halaman: xi + 326
Ukuran Buku: 18cm x 24cm.
Apa yang tersaji dalam pembahasan ritus
secara keseluruhan dalam buku ini memang dilihat sebagai sebuah ”ritus keagamaan” orang Manggarai
sebab pada dasarnya ritus adalah ”agama dalam tindakan”.[1]
Karena itu Ritus–ritus adat agar dimengerti secara utuh dan harus juga dibaca
dalam terang ”mitos” tentang ritus –ritus adat. Ritus-ritus adalah pengulangan
atau penghadiran kembali dari ”perbuatan
dan realitas asali” yang dinyatakan dalam mitos.
Mitos dan Ritus adalah dua fenomen
agama asli yang sama-sama penting. Mitos dihayati lewat upacara ritual dimana
manusia bisa meniru,mengulangi dan menghasilkan kembali apa yang telah
dilaksanakan ”in illo tempore” oleh
makhluk adikodrati dan dengan demikian manusia bersatu kembali dengan yang
ilahi itu dan dengan berpartisipasi secara simbolis dalam ”keadaan asali”
makhluk-makhluk ilahi itu manusia memperoleh keselamatan. Dengan demikian ”mitos” memiliki fungsi
eksistensial, fungsi legitimatif ritus yang dilaksanakan manusia. Kegiatan-
kegiatan manusia, seksualitasnya, perkawinan, pekerjaan, persaudaraan,
solidaritas antar-manusia mendapat pendasarannya pada mitos.
Kalau ”Ritus” adalah ”agama dalam
tindakan” maka ”mitos” adalah ”agama dalam hakikatnya”. Mitos memiliki nilai
vital bagi manusia karena menghadirkan kembali peristiwa primordial ”in illo
tempore” sebuah jangkauan waktu tak terbatas masa lampau yang tidak diketahui
manusia. Dengan pengulangan kembali peristiwa asali itu diyakini akan hadir
kembali kekuatan asali primordial yang membawa kesejahteraan bagi manusia
dewasa ini. Jadi untuk menjadi manusia yang sadar akan tanggungjawab sosial
yang tinggi, tolok ukur tanggungjawab itu adalah meniru kata dan tindak laku (dicta dan gesta) dan mengulangi kembali tindakan-tindakan mereka baik
dalam kegiatan fisik sederhana maupun dalam kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Fenomenologi
Agama mengatakan bahwa semua
agama memiliki kelompok ritual yang memperingati masa peralihan Individu
dari satu status sosial ke status sosial yang lain. Ada ritus penerimaan, ritus
inisiasi,dan ritus yang mengawal seluruh tapak kehidupan manusia.Pada ritus
penerimaan misalnya ada tahap perpisahan, ada tahap peralihan, ada tahap
penggabungan. Pada ritus perpisahan misalnya indidvidu dipisahkan dari satu
kelompok, tempat atau status tertentu.Dan pada tahap peralihan ia disucikan dan
menjadi subyek bagi agenda-agenda perubahan, sedangkan pada tahap penggabungan
individu diresmikan menjadi secara resmi menjadi anggota pada suatu tempat,
kelompok atau status yang baru. Ada pula jenis ritus yang dikenal sebagai ritus intensifikasi yang terpusat pada pada upacara Tahun Baru, ritus
perburuan dan ritus pertanian yang mengarah pada pembaharuan atau meningkatkan
kesuburan, ketersediaan hasil buruan dan panenan.
Ada pula ritus yang bertujuan ”mengontrol prilaku manusia” dalam
situasi yang dianggap sebagai krisis. Ritus ini dimaksudkan agar menjamin
perpindahan dari situasi berkabung misalnya ke situasi sosial yang normal dari
orang-orang yang ditinggalkan agar mereka hidup biasa kembali sebagaimana
layaknya setiap hari. Ritus ini dilaksanakan agar calon-calon yang sah menjaga
prilakunya sehingga dapat diterima secara umum untuk jabatan-jabatan yang lebih
terhormat. Ritus sebagai ”kontrol sosial” bermaksud mengontrol perilaku
individu demi dirinya sendiri sebagai individu ataupun demi individu bayangan.
Ritus ini memang mengontrol prilaku, keadaan hati, perasaan dan nilai-nilai
dalam kelompok demi kepentingan komunitas secara menyeluruh.
Ada pula ritus yang mengarah kepada ”transformasi keadaan” dalam diri
manusia atau alam.Ritus kadang-kadang dijalankan secara intens lewat
pantangan-pantangan untuk menjamin transformasi yang cepat dan menyeluruh
seperti yang diinginkan oleh pelaku ritus. Dalam ritus yang sama ini terkadang
tujuannya juga dalah mencegah perubahan yang tidak diinginkan. Perubahan yang
dimaksudkan adalah perubahan kecil, sebuah koreksi untuk memulihkan keseimbangan
dan status quo, melestarikan gerakan sistem dalam ikatan persekutuan, atau
menyangkut perubahan sistim yang radikal, tercapainya tingkat keseimbangan baru
atau kwalitas baru dalam persekutuan.Melalui ritus ini orang masuk dalam relasi
baru dengan dunia dan komunitas,memperoleh kesempatan-kesempatan baru, bisa
terkena juga bahaya-bahaya baru, serta tanggungjawab baru pula yang diterima
secara sadar.
Ritus-Ritus Adat Manggarai adalah ritus keagamaan
yang memiliki fungsi yang penting bagi masyarakat
Manggarai. Fungsi sosial itu dapat kita lukiskan sebagai berikut:
Pertama, adalah perayaan syukur kepada Tuhan yang dikenal sebagai ”Ine Wie Ame Mane”. Ritus pelbagai jenis ini adalah syukur lewat torok atau doa yang menjadi bagian utama dari sebuah ritus.
Doa dan torok mereka menyatakan iman mereka akan Tuhan yang peduli, Tuhan yang
terlibat, Tuhan yang dekat, sedekat siang dan malam, Tuhan sebagai pribadi yang
”toe nggeru deu toe lelo tadang”,
yang belaskasihnya berlimpah-limpah ”kembus
neho wae teku, mboas neho wae woang”. Manusia bersyukur karena mereka
mengalami kesejahteraan hidup, kedamaian, kecukupan, bahkan kelimpahan”.
Doa selama ritus adalah ungkapan hati
nurani manusia Manggarai untuk menghadirkan kembali ”kesejahteraan atau
keselamatan primordial” itu ketengah-tengah kehidupan mereka.Pada saat
kesejahteraan primordial itu hadir tidak boleh ada satu anggota keluargapun
yang tidak hadir. Doa ritual itu
bermakna sebagai kebutuhan manusia akan keselamatan ”hic et nunc” atau
keselamatan yang dekat bukan keselamatan yang jauh. Teriakan bersama-sama itu
dinamika Cako-wale) merupakan ritus keagamaan agar terjadi inkarnasi
atau hadirnya kembali keselamatan primoridial bagi seluruh komunitas orang
Manggarai. Dengan demikian ritus-ritus adat merupakan saat menghadirkan kembali
benih-benih inkarnatif keselamatan primordial yang didambakan semua orang
Manggarai.
Kedua, Ritus mempertegas kembali jatidiri orang Manggarai lewat torok yang
mengajak orang Manggarai untuk ”wetik dia wekim, tanda di’a rangam, kawe di’a
wakem, tuluk di’a pu’um, cau di’a waum”.
Dalam doa yang sangat sering
kedengaran di rumah gendang bahwa kita ini ”berbapa sama dan beribu tunggal” ada
keinginan besar untuk membangun orang Manggarai sebagai ”ata manga culit”
atau yang berkarakter, bermartabat.Dalam doa sering kedengaran agar keluarga
bertumbuh berkembang dan dijauhkan dari bahaya misalnya anggota keluarga
dikenal sebagai perusak masyarakat lalu digelar sebagai ”hi nos bike golo, hi ndasing bike laing, hi
pijang bike niang”.
Saat kembali ke ”mbaru gendang” atau
ke Rumah Induk sekaligus meneguhkan ”sense of community atau imagined
community” yang teguh dan mendalam sehingga harmoni keluarga selalu saja
diperbaharui setiap tahun. Peristiwa kembali ke rumah Induk ini merupakan
pengukuhan identitas diri dan identitas kelompok. Saat kembali ke rumah Induk
ini melibatkan juga kesadaran akan hak dan kewajiban anggota keluarga besar
yang berpuncak pada akan primat manusia seutuhnya.Kembali ke rumah Induk dengan
kesadaran terhadap kebanggaan keluarga besar memang berbasis pada primat
manusia diatas segala-galanya.
Ketiga, Kesadaran berkeluarga diatas
diteguhkan dan diungkapkan lewat sikap
atau prilaku menghilangkan silang sengketa”, pertikaian atau perpecahan yang
masih membebani keluarga besar. Solusi damai yang ditawarkan disamping berasal
dari leluhur yang sama melainkan karena ada talenta-talenta sosial bahkan
prinsip hidup yang mengatakan ”sale-sale
awot ca kali jaong, ho’o kali mabru
aruk mai taung, ongko niang lodok ongko neki co’o, neo lonto telo natas labar
cama, ema agu anak ca kali bantang, ase agu kae ca kali tae”.
Ritus mendorong memudahkan terjadinya
resolusi konflik kultural dalam keluarga karena ada kesadaran akan turunan
darah yang sama dan talenta sosial yang membawa kedamaian hidup. Pada saat itu
damai diperoleh setelah mereka saling mengaku salah, saling mengampuni yang
merupakan dua tahap sebelum rekonsiliasi atau damai bersama.
Keempat, Apa yang kita temukan pada tujuan ketiga itu diperteguh dan dikuatkan oleh
tujuan keempat yaitu hadirnya yaitu
kebijaksanaan leluhur yang sejak awal
memiliki daya tarik misterius karena amat lantang menyebut manusia sebagai
putera suku, putra matahari, putra angkasa dan dengan demikian memiliki
kewajiban etis-religius yaitu saling
mendukung dan bermusyawarah, agar tidak berbenang kusut dan agar hidup dengan
penuh keharmonisan.Isi dari ”kearifan leluhur”
mau mengatakan bahwa jatidiri manusia yang benar itu adalah manusia
sebagai ”ata dite” toe ”ata bana”.
Kita pada dasarnya baik dan harus berbuat baik agar hidup menjadi baik, di
dalam dunia yang fana ini dan menuju ke tujuan yang mahabaik, yaitu ”sang
pemilik” yang terkuat, termulia,
pencipta dan perias jagat raya. Mengapa
”kita”? Karena kita berasal dari asal yang sama, berdiam di bumi yang
sama, hidup dalam kebersamaan atau kekitaan dan bergerak ke tujuan yang sama yaitu
persekutuan dengan Yang Ilahi, sang Dewa jagat raya.Kearifan leluhur ini secara
intrinsik membenarkan refleksi para filsuf kontemporer yang melihat manusia
sebagai ”sesama” atau menurut Luijpen
William A. (1969: 261)”to exist is to
co-exist”.[2]
Kearifan leluhur menyatakan bahwa dalam segala aspeknya yang manusiawi manusia
niscaya berada bersama. Ada bersama bersifat esensial pada manusia dan manusia
adalah ”kita”. Jangan heran kalau orang Manggarai yakin ritus-ritus adat itu
mengusung persaudaraan:
Manik mata woko lonto cama,
Manik pelet woko lonto pedek,
Manik lelo woko lonto leok,
Manik porong woko lonto mongko,
Manik ninik woko lonto cimping.
Menyimak empat tujuan dan fungsi ritus adat orang Manggarai satu
persatu dengan segala implikasinya apalagi kalau dihubungkan dengan kehadiran
keluarga besar di dalam ”mbaru gendang”
sebagai representasi citra ilahi maka seluruh proses ritus keagamaan ini mengandung makna ”sakralitas, spiritualitas dan moralitas”
yang mendalam.
Kita telah membaca manusia Manggarai
lewat ”sastra lisannya”. Kita sadar bahwa ”sastra lisan” itu tidak hanya
sekedar sarana komunikasi melainkan juga sarana untuk menjelaskan jatidiri dan
martabat orang Manggarai. Torok dan goet (local wisdom) merupakan sebuah
narasi kontekstual yang melukiskan siapakah orang Manggarai itu.Sangat disadari
bahwa ”tradisi lisan” (local wisdom) itu sendiri bersifat sosial, bahasa
tutur/lisan dalam pengamatan kita di atas ini memang bukan saja ”to tell´
melainkan juga ”to do”. Kata-kata menjadi alat untuk bertindak. Jadi lewat
”kearfian leluhur” (local wisdom)
memang terbaca peringkat baik peringkat sistemik maupun peringkat kontekstual.
Kearifan lokal Manggarai dimaknai sebagai sebuah sistim yang ditentukan oleh
nilai-nilai sosial kemasyarakatan.
Hasil penelusuran kebijaksanaan hidup
ritus-ritus adat Manggarai dapat dijadikan ”muatan lokal” bagi pengajaran budi
pekerti karena ”goet dan torok” memang dimaknai sebagai kebijakan sikap (indigenous wisdom). Upaya-upaya seperti
ini penting agar warisan agung masa lampau tidak punah sebagaimana disinyalir
sebuah terbitan yang mengambil judul umum ”the vanishing cultures of the
world”. Akhir-akhir ini ada banyak orang Manggarai yang mulai berkutat dengan
budaya Manggarai secara umum agar
Manggarai tidak dimasukan ke dalam kategori ”the vanishing cultures”.
Hal ini adalah bagian dari perjuangan utuh manusia Manggarai dalam rangka
memurnikan dan memajukan kebudayaan Manggarai.
Kami sangat yakin bahwa kebudayaan itu
bukan terutama kultur material, walaupun tidak bisa disangkal pentingnya,
budaya itu adalah soal hati, soal bahasa, soal kata-kata. Sastra lisan
ritus-ritus adat yang baru kita simak bukan saja obyek penelitian kita
melainkan ”mediasi”. Mediasi antara manusia dengan manusia disebut komunikasi
dan dalam komunikasi itu ada ”tanggungjawab, empati, kepekaan, ada
konfidentialitas, ada refleksi dan saling percaya”.
Mediasi antara manusia dengan dunia
sekitar disebut ”referensi”, antara manusia dengan diri sendiri disebut
”pengenal diri”. Dalam narasi ”ritus-ritus adat” hadirlah manusia Manggarai
yang berbudi bahasa. Budi itu tidak hanya bermenung mengenai ”ratio” melainkan
juga ”kesadaran etis”. ”Ritus-ritus adat yang pepak makna ” memiliki citra
mediasi yang disebut ”referensi, komunikasi dan pengenalan diri”. Kalau ”budi”
menunjukan dimensi personal maka bahasa menyatakan dimensi sosial di mana
manusia itu berada.
Ritus Adat Manggarai[1]
Sumber
kajian perayaan ritus-ritus adat ini berasal dari tiga bahan baku pokok: pertama,
refleksi atas pengalaman dan pengamatan pribadi penulis sendiri mengenai
beberapa ritus adat Manggarai. Kedua studi kepustakaan yang
berbicara mengenai narasi-narasi kemanusiaan baik tersirat maupun tersurat dari
sumber-sumber itu. Khusus mengenai Ritus-ritus Adat Manggarai sumber utama
berasal dari Jilis A.Verheyen SVD: Manggarai dan Wujud Tertinggi”, Jakarta:
LIPI, RUL, 1990; Max Regus dan Kanisius T.Deki: Gereja Menyapa Orang Manggarai,
Jakarta:Perrhesia, 2011), Dorotheus Hemo, et.al., Pola Penguasaan Tanah dan
Penggunaan Tanah secara tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur, Kupang:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Daerah, 1990),
Rm.Dr.Martin Chen dan Charles Suwendi (editor), Iman, Budaya & Pergulatan
Sosial”, Refleksi Yubileum 100 Tahun Gereje Katolik Manggarai, OBOR, Jakarta
2011. Adrianus Nggoro, Kebudayaan Manggarai Selayang Pandang (Ende: Nusa Indah,
2005) dan Petrus Janggur, Butir-butir Adat Manggarai (Ruteng: Yayasan Siri
Bongkok, 2012). Namun ekologi pikiran yang dibangun dari data-data yang
diperoleh dari ketiga sumber ini merupakan tanggungjawab penulis.
Ketiga:
hadirnya pergeseran paradigma penelitian sosial dengan ciri khas sebagai berikut: pertama,
budaya lokal dalam diri tokoh-tokoh adat dengan narasi-narasi lokalnya adalah
”hulu” bukan lagi ”hilir” seperti pada masa lampau. Narasi lokal dalam
ritus-ritus adat Manggarai adalah tuan rumah bagi penafsiran budaya Manggarai
baik ”auto-interpretasi” maupun ”hetero-interpretasi”. Bangunan penulisan jenis
apapun harus bertolak dari dialog serius dengan tokoh-tokoh adat Manggarai
karena mereka adalah autoritas, referensi dan subyek yang harus didengar dengan
hati.Sumber –sumber luar atau asing hanyalah ”kesaksian, kritik atau gaungnya
semata”. Jadi pemanfaatan kisah penuturan lisan yang menyimpan narasi-narasi
kemanusiaan Manggarai dalam kemasan budaya yang sangat kaya harus dihormati.
Narasi-narasi kemanusiaan hadir di dalam tradisi lisan mereka dan harus kita
simak apa yang tersembunyi dalam lapisan metafora. Konsekwensinya pendekatan
metodologis tidak hanya membutuhkan ”penguasaan bahasa” melainkan juga
kesabaran dan kepekaaan membeda-bedakan fenomena kultural dan para
informannya.Sudah sangat disadari pentingnya peneleitian dan penggalian
sumber-sumber asli yang audi-oral seluas-luasnya sehingga dapat ditemukan apa
yang disebut kebenaran fakta material Wharheit), ataukah idealisasi fiksional
Dichtung). Singkatnya narasi lokal adalah referensi, guru atau sumber tempat
para peneliti menlaksanakan proses ”listening to the culture” untuk
memahami budaya lokal Manggarai.
Ciri khas kedua pergeseran paradigma
penelitian sosial adalah hadirnya ”dekolonisasi metodologi”. Yang dimaksudkan
adalah bebasnya seorang peneliti dari ”arogansi kepentingan” misalnya demi
legitimasi kekuasaan seperti pada masa lampau.Nyali kolonial atau gairah
menjajah tidak boleh lagi menguasai atau mempengaruhi citra sebuah penelitian
sosial.
Sasaran penelitian Kami adalah mencari
dan menemukan nilai-nilai sosio-spiritual dalam entitas ritus dan praksis
”ritus-ritus Adat” Manggarai di antara orang Manggarai. Kami menggunakan metode
penelitian kwalitatif yang berperspektif kajian budaya. Prosedur penelitian
diperoleh melalui proses pemahaman makna terhadap praktek ritus-ritus adat yang ditentukan oleh dimensi kedalaman data
bukan banyaknya data.[2]
Ritual orang Manggarai dapat dilihat dari jenis dan waktu
pelaksanaannya, yakni: 1) ritual yang berkaitan dengan proses awal kehidupan manusia,
yaitu: kehamilan, masa nifas dan menopausme; 2) ritual yang berkaitan dengan
kelangsungan hidup dan interaksi sosial, yaitu: mata pencaharian, penyakit,
perkawinan, syukuran dan selamatan, sumbangan sosial; dan 3) ritual yang
berhubungan dengan transisi antara kehidupan dunia dan akhirat, yaitu kematian.[3]
Selain tiga point itu, sebenarnya orang Manggarai punya
relasi yang intens dengan “dunia seberang” melalui ritus-ritus khusus.
Munculnya ritus teing hang dalam upacara penti, misalnya, merupakan salah
satu bukti keberlanjutan relasi antara manusia, leluhur, pencipta dan alam
semesta.
Berikut ini merupakan ulasan menyangkut segala tata upacara
ritual orang Manggarai dalam seluruh siklus hidupnya.[4]
Ritus
Awal Kehidupan Manusia
Pada masa kehamilan ada dua ritus yakni rono réneng (rono: mencuci rambut dengan air santan kelapa, réneng: air kelapa muda) dan cimo/cikop
le’as (cimo/cikop: membetulkan, le’as: punggung wanita bagian bawah). Pertama, Ritus rono réneng ini bertujuan untuk menyucikan seorang ibu hamil dari
dosa yang pernah dilakukannya dan mengusir segala roh jahat agar janin yang
berada dalam rahimnya bertumbuh sehat dan lahir tanpa cacat. Kedua, ritus cimo/cikop le’as bertujuan untuk membersihkan kandungan
seorang ibu yang mengalami abortus
spontaneous (keguguran) dan memohon kepada Tuhan dan leluhur agar peristiwa
yang sama tidak terjadi lagi.
Pada masa persalinan, diadakan ritus teing ngasang (teing:
memberi, ngasang: nama) dan cear cumpe
(cear: membongkar, cumpe: tempat persalinan). Ritus ini
dibuat sekaligus dengan maksud memberikan identitas kepada sang bayi dan ibunya
dapat kembali menjalankan aktivitasnya.
Dalam masa menopause, ibu menjalankan ritus dopo wing (dopo: berhenti, wing: usia reproduksi). Tujuan dari ritus ini adalah mendoakan agar anak yang pernah dilahirkan dalam berkembang dan hidup dengan baik.
Ritus Berkaitan Kelangsungan Hidup
Ada
beberapa pembagian dalam bidang ini.
1. Ritual berhubungan dengan
mata pencaharian yakni lea sose (lea: membelah, sose: bambu). Ritual ini berhubungan dengan usaha petani membuka
kebun bersama dalam satu hamparan tanah ulayat. Selain itu ada upacara dara ni’i (dara: darah hewan, ni’i:
benih, bibit) yang dimaksudkan agar segala jenis benih dapat tumbuh dan
berkembang sesuai dengan harapan. Selanjutnya upacara Kalok/Cepa (kalok/cepa:
siram air) suatu upacara pada saat padi berumur dua bulan. Padi disiram dengan
air agar hujan turun terus menerus, dibebaskan dari hama dan segala penyakit. Penti weki (penti: kumpul, weki:
orang) yakni upacara yang dilakukan sebagai tanda syukuran atas penyelenggaran
Ilahi selama satu tahun. Adapun penti ini terbagi menjadi dua yakni penti mese dan penti koe.
2. Ritual berkaitan dengan
penyakit atau sakit ada tiga yakni peler
(pemberian persembahan), kando nipi (kando : buang, nipi: mimpi) dan takung ceki
(takung: memberikan sesajian, ceki:
nenek moyang). Upacara Peler
dilakukan karena adanya tindakan yang merugikan alam oleh orang yang sakit,
misalnya, membunuh ular tapi tidak sampai mati. Upacara Kando nipi dibuat karena orang yang sakit tidak mengingat orang tua
atau leluhur yang sudah meninggal melalui tata upacara yang lazim. Sedangkan
upacara takung ceki dibuat dengan
maksud agar Tuhan dan leluhur menyembuhkan orang yang sedang sakit dari
penderitaannya.
3. Ritus Perkawinan. Dalam bagian ini ada beberapa tahapan yang perlu dilalui yakni rekak (perkenalan), pongo (ikat), wagal/nempung, dan podo (antar) yang mempunyai dua acara khas yakni: gerep ruha (injak telur) dan pentang pitak.
Ritus Kematian
Kematian memiliki banyak ritual, di antaranya: haeng nai (haeng: dapat, nai:
nafas), po’e woja agu latung (po’e: menahan, woja: padi, latung:
jagung), ancem peti (ancem: tutup, peti: peti mayat), tekang
tana-rampi boa (tekang: menggali,
tana: tanah, rampi: menggaruk tanah, boa:
kubur), tokong bako/lami loce (tokong/lami: menjaga, loce: tempat pembaringan sebelum mayat
dikuburkan), saung ta’a (saung: daun, ta’a: hijau) dan paka di’a
(paka: sifat, di’a: baik).
[1]
Bdk. Max Regus dan Kanisius T Deki (eds.), Gereja
Menyapa Manggarai (Jakarta: Parrhesia, 2011), pp. 49-196
[2] Ignas Kleden ”Penelitian Dan kemampuan Ilmu-Ilmu sosial:
Pelajaran dari Seminar Orientasi Sosial Budaya”, Prisma ,No 1, Januari 1984, hal. 61
[3]
Ibid.
[4]
Ibid.
Foto: Berkumpul bersama keluarga dalam melangsungkan
upacara adat merupakan moment yang membahagiakan: tua-muda,
laki-laki-perempuan, semuanya memberikan kisah tersendiri (sumber: nik).
Kerangka Pembahasan
Dalam mengemukakan dimensi makna dari tradisi budaya ini
kami mengambil semua ritus utama mulai dari ritus kelahiran, ritus kebun, ritus
pembangunan rumah, ritus perkawinan, ritus kematian hingga ritus teing hang. Di antara ritus-ritus itu
juga ditampilkan ritus penyembuhan, penolakan bala dan normalisasi kehidupan
dari kemalangan dan dosa. Pengambilan ini dimaksudkan sebagai sebuah gambaran
yang mempresentasikan makna hidup orang Manggarai dalam siklus kehidupannya.
Selain itu, dalam ulasan, fokus kami ialah bagaimana isi torok dan tempatnya dalam tata upacara
sebuah ritus. Itulah sebabnya ditemukan adanya perbedaan titik berat penekanan.
Pada bagian tertentu dijelaskan seperlunya, namun di bagian lain dibuat
penjelasan sedetail mungkin. Dengan demikian torok yang menjadi sentrum senantiasa ada dalam sebuah struktur
yang utuh.
Demikian halnya dengan terjemahan, kami tidak menerjemahkan semua teks torok, melainkan hanya sebagian saja, yang bisa mewakili isi teks lain. Itupun bukanlah terjemahan tekstual yang ketat. Kami juga memasukkan beberapa teks dari bahasa Manggarai yang agak berbeda juga struktur khusus dengan maksud adanya sebuah pola perbandingan antara satu kebiasaan yang sama di daerah Manggarai yang berbeda. [1]
[1] Naskah-naskah ini dikerjakan tahun 2004 dan
bersama tim dilanjutkan tahun 2009 dan pernah dimuat sebagai bab dalam buku
kami: Gereja Menyapa Manggarai (Jakarta: Parrhesia Institute, 2011).
Naskah ini kemudian dikoreksi kembali melalui penelitian lanjutan tahun 2017.
Untuk bahan bandingan lihat. Adrianus Nggoro, Kebudayaan Manggarai Selayang Pandang (Ende: Nusa Indah, 2005) dan
Kanisius Teobaldus Deki, Tradisi Lisan Orang Manggarai (Jakarta:
Parrhesia Institute, 2011). Publikasi bandingan sejenis lih. Jeff Hill dan
Peggy Daniels, Life Events and Rites of
Passage (Detroit: Omnigraphics, 2008). Sumber lain kami nyatakan di akhir
setiap bab yang membahas ritus serta pada Bibliografi.
Foto:
Di setiap kampung, busana adat dalam melangsungkan upacara adat sudah
dinyatakan. Busana yang indah, semarak, agung menjadi ciri dari upacara adat
(sumber: nik).
[1]
Mariasusay Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hal. 88
[2] Bdk. Muda Hubert,
”Bentuk-Bentuk Manifestasi Wujud Tertinggi Dalam Masyarakat Ngadha Flores” dalam: Bulletin
Candraditya, Tahun 1, no.2.
Ledalero. 1988.
Comments
Post a Comment