Thursday, 5 May 2016

UPAYA PEMERTAHANAN BUDAYA LOKAL MANGGARAI DALAM MENGHADAPI ARUS GLOBALISASI[1]



Kanisius Teobaldus Deki M.Th[2]

       I.            PENDAHULUAN
Lahirnya revolusi industri pada abad ke-18 membawa dampak yang luas bagi kehidupan manusia. Hari demi hari perjuangan manusia ditandai dengan pelbagai usaha eksperimentasi untuk menguasai alam. Jika pada zaman dahulu manusia bergantung sepenuhnya pada kemurahan alam, maka sejak zaman pencerahan, manusia berubah haluan untuk memahami alam dan kemudian menaklukkannya. Secara khusus hal ini diakui oleh Alexis Carrel yang menegaskan betapa ilmu pengetahuan memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan hidup manusia.[3] Karena itu tidaklah mengherankan kalau penemuan-penemuan baru menjadi titik awal untuk berlangkah pada penemuan lainnya. Dari sejarah, kita dapat melihat bahwa ekspansi bangsa – bangsa Eropa ke Asia dan Afrika dimungkinkan oleh penemuan alat navigasi seperti kompas. Penemuan mesiu, seni cetak[4] dan mesin uap menyebabkan manusia mencari daerah koloni yang baru. Salah satu tokoh yang berhasil menemukan Amerika adalah Columbus. Sejak saat itu pula, arus perpindahan dari Eropa ke Amerika semakin deras sehingga penduduk asli Amerika tersingkir dan kebanyakan menjadi budak orang-orang Eropa.
Dalam perjalanan kemudian, manusia hidup pada zaman yang ditandai oleh kemajuan gemilang berkat teknologi yang semakin canggih dan perkembangan ilmu pengetahuan yang kian pesat. Teknologi selalu berkembang untuk membantu kelangsungan hidup manusia. Dan manusia juga terseret dalam arus teknologi untuk menciptakan terus tanpa henti.
Kini, zaman kita ditandai oleh perubahan dan kemajuan dalam banyak bidang kehidupan masyarakat. Perubahan mencolok itu terjadi berkat perkembangan sains dan teknologi, khususnya komunikasi dan informasi, yang membuat dunia ini menjadi bagaikan sebuah desa global (global village). Kenyataan ini membawa begitu banyak dampak dalam segala lini kehidupan: ekonomi, politik, budaya, sosial, dll yang melahirkan globalisasi.[5]
Tak dapat dipungkiri, globalisasi sebagai mainstream system dan praktik hidup manusia modern menjadi trend yang sulit dihindari. Globalisasi dalam seluruh alurnya lalu menghadirkan decak kagum di satu pihak oleh karena pelbagai kemudahan dan kehebatan system yang terbangun dalam bidang ekonomi, politik dan teknologi. Namun di sisi lain menghadirkan kekuatiran yang tak berkesudahan ketika begitu banyak nilai tergerus dan bahkan kehilangan identitasnya. Arus globalisasi yang begitu kuat menghempaskan pola, system dan praktik nilai yang terdapat dalam budaya dan agama.
Tak bisa diingkari bahwa salah satu dampak negatif dari gelombang besar Globalisasi adalah homogenisasi budaya (cultural homogenization). Muncul dan merebaknya gejala ‘Mc Donaldization’ atau ‘Manhattanization’ sangat jelas kelihatan, terutama dikota-kota besar dan metropolitan.  
Pertanyaan yang menguat terlontar ialah “Akankah budaya dan manusia pemiliknya akan tercaplok ke dalam arus besar globalisasi lalu kehilangan jati dirinya? Apakah nilai-nilai luhur budaya akan tererosi secara sistematis menuju lautan kepunahan? Adakah cara untuk mempertahankan nilai-nilai budaya dalam seluruh aspeknya?”
Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar tentunya lahir dari rahim kepedualian akan lestarinya nilai-nilai budaya sehingga dengan demikian, manusia pemiliknya tidak kehilangan jati dirinya, identitasnya. Makalah ini lebih merupakan sebuah studi pembuka (opening study) untuk memancing sebuah riset yang lebih serius sekaligus membangun strtaegi pemertahanan nilai budaya. Dalam konteks ini, saya akan mempresentasikan tentang upaya pemertahanan nilai dalam budaya Manggarai.
Harus diakui bahwa bahan ini merupakan rintisan. Masih terbuka studi-studi lanjutan yang lebih mendalam dan serius.

    II.            BELAJAR DARI PENGALAMAN
Ada tiga kenyataan yang perlu dikedepankan sebagai contoh mutakhir untuk memulai telaahan ini.
 Pertama, menyimak pengalaman hidup sehari-hari orang Manggarai, sudah sangat kurang kaum muda yang terlibat dalam permainan caci, menyertakan diri dalam tarian sae, ndundu ndake, danding dan tarian tradisional lainnya.
Kedua, adanya usaha kongkrit untuk mengembangkan (menghidupkan) tarian dan lagu-lagu daerah. Berita yang dimuat di metronews.com sungguh membesarkan hati. Dalam berita itu, yang diberi judul: Konser Etnik Jazz Nestorman Universalkan Budaya Lokal, dinarasikan tentang upaya yang dilakukan Ivan Nestorman dengan kawan-kawan membangkitkan minat terhadap seni budaya lokal.[6]
Dikisahkan, Layar merah panggung di gedung OMK Kota Larantuka, NTT, Sabtu (27/4) malam, lambat laun dibuka. Gemericik suara seruling meliuk-liuk di tengah rithm gitar akustik. Auman rythm gitar Bass setia memandu nada-nada, selaras hentakan drum. Angin, satu nomor lagu dari Pulau Rinca, Kabupaten Manggarai Barat, mulai mengalun di gedung serba guna itu. Ribuan penonton mulai menggoyangkan kepala.  Pria berambut gimbal mengenakan kaos merah bersarung motif Lamalera, duduk menghadap mic yang ditata melengkung. 
Lagu Angin mengisahkan desiran angin yang lembut di Pulau Rinca, selalu memberi spirit bagi umat manusia untuk menatap dunia, demikian tutur pria gimbal itu. Ivan Nestorman (gitar/vocal), Andre de Roma (drum), Vinsen (keyboard/sintesizer), Yansen (Flute) Yosi (Bass), Dedy (guitar). Laki-laki Flores ini membentuk Lamalera Band, memadukan konsep musik Jazz dengan lagu-lagu tradisional Flores Timur. Aliran musik jenis ini sangat jarang didengar kuping orang Flores dan Indonesia pada umumnya, yang masih menyukai musik pop dan dangdut. Beruntung, lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu lokal Flores yang sudah sangat mengakar, lalu diaransemen ulang dalam konsep jazz.    
"Kita boleh hidup di era globalisasi, teknologi canggih boleh saja mengisi seluruh nafas hidup manusia. Tetapi jangan pernah lupa budaya lokal. Nilai budaya yang membentuk karakter anak bangsa," ujar Nestorman usai menyanyikan lagu Lamalera, Piring Matahari.  Di Gedung OMK malam itu, Ivan Nestorman menggaet Trie Utami. Perempuan berperawakan kecil yang akrab disapa Mba I'I,  membawakan lagu-lagu khas Flores Timur yang terkenal dengan irama dolo-dolo, menyanyikan lagu Doan Kae, lagu rakyat Flores Timur yang sudah mengakar.
Sentuhan-sentuhan musik tradisi setempat dipadu Sentuhan konsep Jazz yang kental, sangat menghidupkan suasana. Tidak terasa, 30 nomor lagu dibawakan malam itu, selalu diiringi tari-tarian penonton. Mereka larut dalam tarian massal setempat yakni dolo-dolo, ja'i dan rokotenda. Sesekali penonton berdecak kagum dengan "rumitnya" nada-nada Jazz yang dimainkan personel Lamalera Band di tengah lantunan lagu berirama Jazz kental dalam bahasa asing.  
Ivan Nestorman, memang nekad. Kendati bergelut di industri musik nasional, tetapi nekad meramu musik yang tidak biasa. Nestorman sadar, musiknya ibarat menjual es di kutub. Tetapi satu hal yang ingin dia sampaikan, memperkenalkan budaya lokal Indonesia di kancah music dunia.
"Saat ini, ada genre musik yang disebut world music, musik lokal 'diamplopi' dengan musik yang lebih bisa diterima secara universal. NTT punya dolo-dolo dan musik sasando, namun kekayaan budaya bangsa ini yang saya kemas
Untuk dicintai secara universal. Maka saya kira konsep jazz bisa jadi pilhan universal," ujar Nestorman. Trie Utami, usai konsernya, menjelaskan, budaya yang dikemas dalam musik ini akan meluruskan budaya, kemanusiaan dan tradisi.
"Berbagi musik, kita berbagi keindahan, tetapi lebih dari itu, Flores dan NTT harus kembali kepada tradisi. Karena itu adalah berlian yang sangat luar biasa, membentuk karakter nusantara," ujar Mba I'I. Sementara, Frengki Letor, salah satu penikmat musik Nestorman mengatakan, saat ini banyak lagu modern yang asal modern. Konsep jazz yang ditampilkan Ivan bernuansa etnik jazz, bisa diterima. "Saya pribadi sangat merasakan keindahan jaZZ saat dimainkan grup Ini. Mudah-mudahan melalui Ivan dan Kawan-kawan, budaya NTT pada umumnya bisa juga dicintai secara universal," ujar Letor.
Ketiga, makin gencarnya diskusi tentang tema budaya lokal. Dapat disebutkan satu contoh Diskusi Panel yang dilakukan sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Dies Natalis Universitas Diponegoro ke 55 yang mengangkat tema “Transformasi Kearifan Budaya Lokal Menghadapi Tantangan Global” beberapa waktu lalu. Seminar ini diprakarsai Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (KK-AIPI) bekerjasama dengan Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang.[7]
Memang sudah banyak yang mengumandangkan pentingnya menumbuh-suburkan kembali kearifan budaya lokal. Misalnya tentang Kawruh-Kalang dan Petungan Jawa, Hasta-Kosala-Kosali  dan Tri Hita Karana Bali, Pela Gandong Ambon, dan lain-lain. Namun kenyataannya kearifan budaya lokal yang sangat kaya dan beragam di tanah air kita cenderung mandek, stagnan, karena kurang greget untuk mentransformasikannya sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Kebanyakan lantas berhenti sekadar sebagai regressive identity dan tidak berkembang menjadi progressive identity.

 III.            GLOBALISASI DAN BUDAYA LOKAL
3.1. Globalisasi[8]
Globalisasi adalah terminologi baru tetapi eksistensinya telah ada sejak lama. Gejala globalisasi telah muncul pada abad ke-19 sebagai rekaan demokrasi sosial gaya lama.[9] Gejala ini muncul sejak petualangan dan pedagang Eropa menjelajahi dunia. Era merkantilis pertengahan abad ke-19 dengan dukungan transportasi laut boleh dikatakan sebagai awal globalisasi. Saat itu perdagangan dan perekonomian dunia telah dibuka dan dikuasai oleh negara maju Eropa. Negara-negara maju ini kemudian berusaha sedapat mungkin menguasai pasar dengan mencari sumber bahan mentah untuk menjawabi kebutuhan pasar Eropah. Efek paling negatif ialah munculnya kolonialisme yang melahirkan koloni-koloni di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Australia. Perdagangan didukung penuh oleh negara asal karena keuntungannya bisa membiayai pembangunannya.
Di abad ke-21 ini globalisasi telah memiliki wajah dan akibat baru. Meski sangat sulit membuat ekspansi militer untuk menjajah negara lain, kolonialisasi tetap dijalankan melalui sistem ekonomi yang hanya menguntungkan negara-negara maju. Munculnya teknologi baru, lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF, World Bank, Japan Bank) serta kesepakatan-kesepakatan kerja sama internasional (APEC, WTO) membungkam suara lemah kaum Dunia Ketiga[10] dengan lilitan utang yang kian besar. Globalisasi melumpuhkan seluruh sistem negara berkembang dan membawa ke dalam pengaruh negara maju.[11]

3.2. Budaya Lokal
3.2.1. Pengertian Budaya
Menurut E.B. Taylor, seorang antropolog, kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, kesusilaan dan hukum, adat-istiadat dan setiap kecakapan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[12]
Lowie, seorang ahli lain menambahkan unsur pewarisan yang berlangsung dari zaman lampau, melalui pelbagai bentuk pendidikan, entah formal maupun informal.[13] Pernyataan Lowie didukung oleh Keesing yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan tingkah laku yang diperoleh melalui pelajaran bermasyarakat [The behavior acquired through social learning]. Sedangkan Kluckhohn memandang kebudayaan sebagai keseluruhan cara hidup suatu bangsa, warisan masyarakat yang diperoleh individu melalui kelompoknya [The total life way of a people, the social legacy the individual acquires from his group]. Lebih lanjut Kluckhohn menjelaskan bahwa kebudayaan adalah cara berpikir, cara merasa, cara meyakini dan menanggap. Kebudayaan adalah pengetahuan yang dimiliki warga kelompok yang diakumulasi [dalam ingatan manusia, buku-buku dan obyek-obyek] untuk digunakan di masa depan.[14] Beberapa pendapat lain mengatakan bahwa kebudayaan adalah seluruh warisan masyarakat [total social heredity], atau lebih sempit lagi tradisi [tradition] ataupun adat-istiadat.
Berbagai pendapat antropolog di atas masing-masing memiliki pendasaran tersendiri yang tentu juga menunjukkan kekhasan horison dan perspektif. Meskipun demikian, terdapat banyak unsur yang sama, khususnya bentuk dan isi kebudayaan serta cara bagaimana kebudayaan itu diwariskan, dilestarikan dan diteruskan. Terdapat beberapa ciri kebudayaan yang dapat dirangkum dari pengertian-pengertian itu sebagai berikut:
Pertama, kebudayaan berciri stabil. Kebudayaan adalah tradisi, sistem, cara. Istilah-istilah ini mengandung pengertian ketetapan, kesetabilan. Sebenarnya kebudayaan selalu merupakan sistem yang tetap, stabil. Ia adalah penyesuaian diri yang lama dengan situasi konkrit alam sekitarnya. Alam yang konkrit ini juga berarti hubungan dengan kelompok-kelompok lain dalam arti lingkungan sosial. Jadi, kebudayaan disebabkan dan dibentuk oleh dua faktor utama yakni: manusia yang berakal budi dan lingkungan sosial di mana ia hidup.
Kedua, kebudayaan bersifat dinamis, bisa berubah. Kebiasaan manusia akan hidup biasanya tetap, tetapi kenyataan sosial cenderung berubah. Misalnya sistem pemerintahan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaruh yang datang dari luar dan sebagainya. Hal ini berpengaruh pada perubahan kebudayaan juga. Tentang perubahan ini dapat dikatakan bahwa semakin besar isolasi terhadap pengaruh luar maka perubahan juga semakin lamban, demikan juga sebaliknya. Kebudayaan bersifat dinamis. Ia adalah warisan masyarakat, tetapi itu sesuatu yang belum final, melainkan tetap in statu fieri [dalam proses berubah], yang berada dalam “proses menjadi” terus menerus [in continuing process]. Itu artinya, menurut Herkovits, kebudayaan bukan saja suatu rencana, melainkan juga perencanaan [not only a plan, but also a planning].
Ketiga, kebudayaan merupakan milik masyarakat. Kebudayaan tidak pernah menjadi milik individu semata. Kebudayaan selalu memiliki karakter sosial sebagai milik bersama masyarakat. Masyarakat dapat dipahami sebagai “kelompok individu yang berorganisasi secara tetap dan yang mengikuti cara hidup bersama serta mempunyai kesadaran akan hubungannya dengan golongannya [group consciousness]”. Dengan kata lain, unsur-unsur yang mempersatukan setiap anggota masyarakat adalah cara hidup bersama dan kesadaran akan hubungannya dengan golongannya.


3.2.2. Pengertian Budaya Lokal[15]
Kata “local” merupakan terjemahan kata latin “locus” yang berarti tempat. Budaya Lokal adalah budaya asli dari suatu kelompok masyarakat tertentu, dalam tempat tertentu. Pertama nian, pada hakikatnya, kebudayaan selalu terikat dengan batas-batas fisik dan geografis yang jelas. Misalnya, budaya Manggarai merujuk pada suatu tradisi yang berkembang di Manggarai. Oleh karena itu, batas geografis telah dijadikan landasan untuk merumuskan definisi suatu kebudayaan lokal.
Kedua, dalam proses perubahan sosial budaya telah muncul kecenderungan mencairnya batas-batas fisik suatu kebudayaan. Hal itu dipengaruhi oleh faktor percepatan migrasi dan penyebaran penduduk ke wilayah lain dan pengaruh media komunikasi secara global sehingga tidak ada budaya local suatu kelompok masyarakat yang masih sedemikian asli.
Menurut Hildred Geertz dalam bukunya Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, di Indonesia saat ini terdapat lebih 300 dari suku bangsa yang berbicara dalam 250 bahasa yang berbeda dan memiliki karakteristik budaya lokal yang berbeda pula.[16]
Ketiga, wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis dan iklim yang berbeda-beda. Misalnya, wilayah pesisir pantai Jawa yang beriklim tropis hingga wilayah pegunungan Jayawijaya di Provinsi Papua yang bersalju. Perbedaan iklim dan kondisi geografis tersebut berpengaruh terhadap kemajemukan budaya lokal di Indonesia.
Setiap suku bangsa tersebut tumbuh menjadi kelompok masyarakat yang disatukan oleh ikatan-ikatan emosional serta memandang diri mereka sebagai suatu kelompok masyarakat tersendiri. Selanjutnya, kelompok suku bangsa tersebut mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama dengan didukung oleh suatu kepercayaan yang berbentuk mitos-mitos yang hidup di dalam masyarakat.
Keempat, pluralitas budaya lokal di Indonesia tercermin dari keragaman budaya dan adat istiadat dalam masyarakat. Suku bangsa di Indonesia, seperti suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, Flores, Timor, Bali, Sasak, Papua, dan Maluku memiliki adat istiadat dan bahasa yang berbeda-beda. Setiap suku bangsa tersebut tumbuh dan berkembang sesuai dengan alam lingkungannya. Misalnya, perbedaan bahasa dan adat istiadat antara suku bangsa Sikka dengan Lio, Ngadha dengan Manggarai.
Menurut James J. Fox, di Indonesia terdapat sekitar 250 bahasa daerah, daerah hukum adat, aneka ragam kebiasaan, dan adat istiadat. Namun, semua bahasa daerah dan dialek itu sesungguhnya berasal dari sumber yang sama, yaitu bahasa dan budaya Melayu Austronesia. Di antara suku bangsa Indonesia yang banyak jumlahnya itu memiliki dasar persamaan sebagai berikut.[17]
1.      Asas-asas yang sama dalam bentuk persekutuan masyarakat, seperti bentuk rumah dan adat perkawinan.
2.      Asas-asas persamaan dalam hukum adat.
3.      Persamaan kehidupan sosial yang berdasarkan asas kekeluargaan.
4.      Asas-asas yang sama atas hak milik tanah.

 IV.            UPAYA PEMERTAHANAN BUDAYA LOKAL MANGGARAI

4.1. Status Quaestionis
Pada saat orang Manggarai dikepung oleh pelbagai nilai globalisasi dalam multiwajah dan berciri menindas, dan terkoyaknya banyak sendi kehidupan yang dulu menjadi titik pijak kehidupan bersama, maka muncul kesadaran untuk kembali ke dalam nilai-nilai local, yang diaraskan pada kebudayaan Manggarai.
Kesadaran ini berdimensi ganda. Di satu pihak ia menjadi sebuah kebutuhan untuk mendasarkan kembali pijakan yang benar dalam pembangunan kehidupan yang lebih bermatabat dan berkarakter. Di lain pihak, ia menjadi sebuah imperative yang mendesak untuk dilakukan mengingat kerentanan nilai-nilai eksternal yang terlanjur terakui sebagai pilihan nilai yang lebih baik walaupun belum relevan dan tidak kontekstual.
Ditopang oleh kesadaran kritis semacam ini, melihat pertautan antara perilaku orang Manggarai yang kian tidak berciri karakter budaya Manggarai, dan kemendesakkan sebuah upaya untuk melakukan intervensi yang harus, maka menurut hemat saya, peran stakeholder untuk melakukan pemertahanan adalah sebuah jibaku untuk menyelematkan orang Manggarai dari hempasan nilai asing sekaligus sebuah gerakan kembali (coming back) ke jati dirinya.

4.2. Peran Stakeholder (Parapihak)
4.2.1. Lembaga Agama
Orang Manggarai menerima kekristenan dalam budaya mereka. Penerimaan itu tidak serentak membuat mereka berpaling secara total dari budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya karena adanya kondisi “saling menerima nilai”. Hal itu terbukti ketika kehidupan Orang Manggarai masih diwarnai oleh praktik-praktik ritus-ritus adat-istiadat dalam memaknai hidup mereka.[18]
Gereja melakukan pemertahanan budaya Manggarai dari beberapa segi. 1) Dalam bidang bahasa dan lagu: penggunaan bahasa Manggarai dalam lagu-lagu (Dere Serani), penterjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa Manggarai, pemakaian bahasa Manggarai dalam ekaristi, tradisi kepok dalam ekaristi. 2) Tarian: tarian-tarian tradisional dimodifikasi untuk digunakan saat perayaan ekaristi. 3)Wujud material kebudayaan: penggunaan kain songke dalam ekaristi setiap Minggu ke-3 dalam bulan.

4.2.2. Lembaga Pendidikan
Upaya pemertahanan yang dapat dilkukan lembaga pendidikan antara lain: 1) Muatan lokal tentang budaya Manggarai sebagai mata pelajaran wajib. 2) Pementasan tarian, perlombaan menyanyikan lagu bahasa Manggarai, keikutsertaan dalam karnaval yang mempertontonkan permainan caci dan peragaan busana adat Manggarai.3) Festival budaya. 4) Kajian budaya.

4.2.3. Lembaga Pemerintah
Lembaga Pemerintah melakukan pemertahanan dengan jalan: 1) Kebijakan pembangunan yang mengihraukan budaya lokal, baik dari segi prinsip maupun tindakan. 2) Implementasi pembangunan yang nyata mendukung pelestarian budaya Manggarai seperti bangunan, festival budaya Manggarai (tarian, lagu dan caci). 3) Muatan lokal budaya Manggarai sebagai mata pelajaran wajib di sekolah. 4) Perkuat pengembangan pariwisata dan semua sektor yang mendukungnya (infrastruktur dan destinasi).
5) Memberikan perhatian untuk sanggar-sanggar budaya melalui dukungan dana APBD. 6) Membuat sayembara penulisan lagu daerah, puisi bahasa daerah dan caci. 7) Memelihara situ-situs purbakala dan membangun museum budaya Manggarai. 8) Mewajibkan PNS mengenakan busana seragam berbahan kain songke pada hari tertentu.

4.2.4. Lembaga Seni (Sanggar)
Sanggar memiliki peran yang sangat sentral dalam pemertahanan budaya Manggarai. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain:  Pewarisan tarian dan lagu asli Manggarai. Modifikasi tarian dan lagu sesuai dengan jiwa aslinya. Pelestarian benda-benda seni seperti perlengkapan busana tarian, alat permainan caci, alat musik, dll. Melakukan pementasan secara berkala melalui festival budaya.

4.2.5. Lembaga Adat
Lembaga Adat melalukan pemertahanan budaya lokal dengan cara: 1) Melakukan ritus-ritus budaya sesuai musimnya selaras dengan maksud dan tujuan (kelahiran, pembukaan kebun, pemanenan, pembangunan rumah, dll). 2) Menggalakkan kembali acara penti (syukuran) di setiap golo/kampung. 3) Mementaskan caci, sae, ndundu ndake pada acara-acara besar komunitas adat.
4) Menyertakan anak-anak dalam upacara adat agar mereka juga memahami torok-torok (doa asli Manggarai), mengenali susunan ritus-ritus dan mengetahui peran ritus dalam kehidupan manusia. 5) Mewariskan kemampuan bercerita, baik sil-silah (tombo nunduk) maupun dongeng (tombo turuk) kepada generasi penerus.
6) Membawa anak-anak ke pentas caci supaya mereka sejak kecil juga mencintai permainan caci.
4.2.6. Lembaga Penelitian, Akademisi dan Prodi Sendratasik
Pemertahanan budaya dapat dilakukan melalui analisis dalam sebuah kajian ilmiah. Karena itu, lembaga penelitian dan para akademisi dapat melakukan: 1) Penelitian unsur-unsur budaya Manggarai sehingga dapat dipublikasikan. 2) Kajian itu menjadi dasar untuk pembangunan karakter manusia Manggarai. 3) Kajian itu menjadi isi dari muatan lokal sebagai pelajaran wajib di sekolah (Dasar-Menengah).
4) Kajian itu menjadi referensi bagi pemerintah dalam membangun Manggarai berbasis budaya lokal. 5) Kajian-kajian yang dipublikasikan dapat memancing refleksi berkelanjutan ( a continuing reflection) bagi masyarakat Manggarai untuk memperdalam pengetahuan budayanya dan memperkenalkan Manggarai pada orang berbudaya lain.[19] 6) Mendorong pemerintah, lembaga agama, lembaga adat, lembaga pendidikan dan sanggar-sanggar untuk membuat festival budaya.
7) Membangun bengkel teater sebagai wadah untuk mengeksprsikan bakat dan kemampuan di bidang seni. 8) Membangun Sanggar Seni Kampus. 9) Menjadi tutor, fasilitator dan narasumber di bidang seni.

    V.            PENUTUP
Kebudayaan ada dalam dua tegangan yang saling bersentuhan. Pertama, ada pergeseran tentang apa yang disebut asli dan tiruan. Kedua, dinamisme dalam budaya itu sendiri. Kita, sebagai manusia pemilik budaya, ada dalam ruang alternatif untuk mempertahankan unsur-unsur positif kebudayaan dan menjadikannya sebagai fundasi nilai bagi kehidupan.
Melestarikan budaya dan melakukan pemertahanan terhadap nilai-nilainya membawa kita kepada kesadaran kritis untuk berbuat sesuatu. Kegiatan “Festival Budaya” sebagai actus humanus dari Prodi Sendrasik, FKIP, Unwira adalah tanda nyata dari apresiasi yang tak kunjung pupus dari manusia pencinta budaya yang tak mau kehilangan jati dirinya. Sedangkan kegiatan “Seminar Budaya” ini adalah ekspresi  reorientasi untuk membangun budaya yang memiliki landasan kokoh dalam dasar-dasar logis dengan kiblat hasilkan visi baru. Viva Prodi Sendrasik, Viva budaya Manggarai!




 VI.            BACAAN PENDALAMAN

BUKU

Alexis Carrel, Manusia Misteri, diterjemahkan oleh Kania Roesli. Bandung:
Remaja Karya, 1987.

Antony Giddens, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta: Gramedia, 1999.

Barzilai, Gad. Communities and Law: Politics and Cultures of Legal Identities.
            University of Michigan Press, 2003.

Boritt, Gabor S. Lincoln and the Economics of the American Dream. University of
Illinois Press, 1994.

Clyde Kluckhohn, “Mirror for Man” terjemahan Parsuadi Suparlan dalam: Parsuadi
            Suparlan [ed.], Manusia, Kebudayaan Dan Lingkungannya. Jakarta:
Rajawali, 1984.

Deki, Kanisius Teobaldus. Tradisi Lisan Orang Manggarai. Jakarta: Parrhesia, 2011.

________, Satu Abad Gereja Katolik Manggarai: Perjumpaan Transformatif Agama-
            Budaya, Flores Pos, 19 Januari 2012.

________, Belajar dari Kearifan Lokal, Pos Kupang, 22 Februari 2012.

________, Agama Katolik Berpijak dan Terlibat. Jakarta: Parrhesia, 2012.

________,“Makna dan Tujuan Hidup Manusia-Sebuah Filsafat Manusia
Menurut Sokrates”, Bahan Kuliah Filsafat Manusia (Ruteng: STIPAS St. Sirilus
2007.

Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1984.

Hicks. David, “Change, Adjustments, and Persistence in Generalized Exchange. 
A Case Study from Indonesia [Manggarai]” dalam: Anthropos 83, 1988.

Hemo. Doroteus, Ungkapan Bahasa Daerah Manggarai. Ruteng: Departemen
            Pendidikan dan Kebudayaan, 1990.

__________, Sejarah Daerah Manggarai. Ruteng, 1988.

__________, Pola Penguasaan Pemilikan Tanah dan Penggunaan Tanah Secara
            Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur. Kupang: Departemen Pendidikan
            dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradsional Proyek
            Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah, 1990.

Ian Chalmers, Konglomerasi: Negara dan Modal dalam Industri Otomotif Indonesia.
            Jakarta: Gramedia, 1996.

Louis Luzbetak, “Kerasulan dan Kebudayaan”, disadur dan diterjemahkan oleh
Josef Glinka dalam: Seri Buku Pastoralia, Seri IX/7/1984. 
Maumere: Ledalero, 1984.
Lowie, The History of Ethnological Theory. New York: Rinehart, 1937.
Max Spoor (ed.),  Globalisation, Poverty and Conflict- A Critical Development Reader.
            New York: Kluwer Academic Publisher, 2004.

Yoseph Suban Hayon, Kuliah Teologi Asia. Maumere: STFK Ledalero, 1999.


INTERNET



www.kebudayaanlokal.org. Diakses 2 Mei 2013.




(Dipublikasikan pertama oleh: Jurnal Missio, Vol. V. No. 2 Thn 2013).


[1] Dipresentasikan dalam Seminar yang diselenggarakan Program Studi Sendratasik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang di Aula MCC Ruteng, 3 Mei 2013.
[2] Dosen STKIP St. Paulus Ruteng, Project Coordinator Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, penulis buku Tradisi Lisan Orang Manggarai (Parresia Institute 2011), co-editor buku Gereja Menyapa Manggarai (Parresia Institute 2011). E-mail: kanisius_2009@yahoo.com.
[3] Alexis Carrel, Manusia Misteri, diterjemahkan oleh Kania Roesli (Bandung: Remaja Karya, 1987), p. 244: “Ilmu pengetahuan telah menguasai materi, memberikan manusia kekuatan untuk mentransformasikan dirinya. Ilmu pengetahuan telah menyingkirkan beberapa mekanisme rahasia hidup manusia dan telah pula memperlihatkan kepada manusia bagaimana cara mengubah gerak mekanisme itu, cara mencetak tubuh dan jiwanya menurut pola yang terakhir dari keinginan-keinginannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, umat manusia dengan bantuan ilmu pengetahuan telah menjadi pengatur nasibnya sendiri”.
[4] Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1984), p. 3.
[5] Kanisius Teobaldus Deki, “Makna dan Tujuan Hidup Manusia-Sebuah Filsafat Manusia Menurut Sokrates”, Bahan Kuliah Filsafat Manusia (Ruteng: STIPAS St. Sirilus 2007), p. 1.
[8] Sebuah uraian yang memadai tentang pengaruh globalisasi dapat dilihat dalam:Max Spoor (ed.),  Globalisation, Poverty and Conflict- A Critical Development Reader, New York: Kluwer Academic Publisher, 2004.
[9] Antony Giddens, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: Gramedia, 1999, hal. 32-33.
[10] Istilah “dunia ketiga” disebut juga dunia alternatif, dunia bekas jajahan dan yang kemudian merdeka tetapi masih tetap membawa akibat-akibat dari penjajahan masa lalu seperti kemiskinan, keterpecahan, penindasan dan ketergantungan. Dunia ketiga merupakan dunia yang sedang membangun. Dia ingin membangun dengan caranya sendiri, tetapi “ruang” untuk itu sangat terbatas di tengah dunia yang cenderung “monolitik”. Ungkapan Dunia Ketiga pertama kali dinyatakan oleh Alfred Sauvy, demokrat Prancis tahun 1952. Ia menulis dalam majalah Brasil tentang 3 dunia. Dalam artikel “Trais mundes una Planete” yang terbit 14 Agustus 1951 dalam majalah “L ‘Observateur Politique, Economique et Litteraire” dia berbicara secara eksplisit tentang Dunia Ketiga. Dunia Ketiga digunakan untuk negara-negara yang sedang berkembang, miskin yang terbanyak berada di bumi belahan Selatan. Itu berarti suatu realitas luas yang merangkum AmLat, Asia, Afrika dan Oceania (terkecuali: Autralia dan New Zealand). Dunia Ketiga merupakan realitas jamak, poliandrik, realitas yang sama: pemiskinan, penindasan, penjajahan, kebergantungan. Sejak tahun 1970-an arti ini diperluas: kaum imigran, buruh di seluruh dunia dan kelompok-kelompok minoritas miskin di negara-negara maju. Dunia Ketiga dapat dipakai dalam berbagai pengertian: 1] Politis: kelompok non blok, kelompok alternatif yang secara formal lahir tahun 1955. 2] sosio-ekonomis: dunia yang miskin, belum berkembang, termasuk negara Utara yang berkembang. 3] geografis: dunia Selatan. 4] demografis: “two-third-world” penduduk 2/3 dunia. 5] Teologis: “from the underside of history”: orang-orang dari bagian bawah sejarah, anak-anak Yakub yang mencari makanan di Mesir hanya untuk menemukan dirinya yang kemudian diperbudak lagi, Gereja-Umat Allah: kelompok alternatif, gereja sebagai kekuatan ketiga, mereka yang termasuk dalam EATWOT lebih menyukai penggunaan istilah Dunia Ketiga daripada 2/3 dunia.  Kebangkitan Dunia Ketiga menuju pengertian yang baru sebagai “satu kekuatan sejarah” yang sedang bertumbuh dan berkembang, yang menantang aturan atau ketakteraturan internasional dewasa ini. Ia sedang  bangkit melawan eksploitasi Barat, meledaknya kelas-kelas yang dieksploitasi, budaya-budaya yang dipinggirkan dan ras-ras yang dienyahkan. Mereka meledak dari timbunan reruntuhan sejarah menuju civilisasi, modernisasi dan liberalisasi. Bdk. Yoseph Suban Hayon, Kuliah Teologi Asia, Maumere: STFK Ledalero, 1999, hal. 1-2.
[11] Bdk. Ian Chalmers, Konglomerasi: Negara dan Modal dalam Industri Otomotif Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1996, hal. 327-346.
[12] Louis Luzbetak, “Kerasulan dan Kebudayaan”, disadur dan diterjemahkan oleh Josef Glinka dalam: Seri Buku Pastoralia, Seri IX/7/1984 [Maumere: Ledalero, 1984], p. 19: [That complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, customs and any other capabilities and habits acquired as member of society].
[13] Lowie, The History of Ethnological Theory [New York: Rinehart, 1937] sebagaimana dikutip oleh Louis Luzbetak, Ibid., p. 20: [The sum total of what an individual acquires from his society-those beliefs, customs, artistic norms, food-habits, and crafts which come to him not by his own creative but as a legacy from the past, conveyed by formal and informal education].
[14] Clyde Kluckhohn, “Mirror for Man” terjemahan Parsuadi Suparlan dalam: Parsuadi Suparlan [ed.], Manusia, Kebudayaan Dan Lingkungannya [Jakarta: Rajawali, 1984], p. 78.
[16] Bdk. www.kebudayaanlokal.org. Diakses 2 Mei 2013.
[17] Ibid.
[18] Kanisius T. Deki, Satu Abad Gereja Katolik Manggarai: Perjumpaan Transformatif Agama-Budaya, Flores Pos, 19 Januari 2012.

[19] Misalnya karya yang dihasilkan penulis sendiri: Tradisi Lisan Orang Manggarai (Jakarta: Parrhesia, 2011). Dalam kerja sama dengan Max Regus, Gereja Menyapa Manggarai (Jakarta: Parrhesia, 2011).

17 comments:

  1. Gagah pak.
    Pebangunan dan kehiduapan itu ibarat dua sisi mata uang.
    Karena itu, keseapan baik secara pribadi maupn manajemen kepemerintahan sanagt dibutuhkan.
    Menunjuang hal itu, harus diakui bahwa manggarai mempunyai kekayaan yang berdaya saing, namun persoalannya adalah cara kita mengembangkan itu.
    Kita cepat terpelosok dalam budaya global,yang melupakan kakayaan kita.
    Dan tulisan ini, kembali menggugah kekayaan kearifan/ local wisdom sebagai jembatan untuk menyadang, mampu bersaing di kanca global

    ReplyDelete
  2. Saya sangat mengapresiasi kepada bapak atas postingan artikel ini, dimana saya bisa mengetahui tentang globalisasi di kalangan masyarakat masa kini. Globalisasi memang dapat membawa perubahan bagi manusia, yaitu di bidang ekonomi, teknologi, dan politik. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa perubahan ini dapat berdampak positif maupun negatif . Dengan perkembangan ini banyak orang yang tidak bisa menyusaikan dangan perubahan yang ada bahkan banyak yang terjerumus ke hal- hal yang negatif.
    Dewasa ini memang tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa kaum muda sekarang lebih khusus di wilayah manggarai , yang banyak dipengaruhi oleh budaya asing tentang bagaimana busana manggarai yang sebenarnya. Tetapi dengan perkembangan zaman, banyak kaum muda yang terpengaruhi dengan budaya luar khususnya dalam hal berbusana.
    Globalisasi tidak bisa disalahkan tetapi tergantung kita yang menerima globalisasi tersebut. Sebagai orang berpendidikan kita tidak boleh dipengaruhi oleh globalisasi tetapi kita yang harus bisa menyusaikan dengan globalisasi tersebut. Yang menjadi pertanyaannya apakah hanya orang yang berpendidikan saja yang bisa menyusaikan dengan perkembangan yang ada? Menurut realita yang terjadi di masyarakat sekarang, yang banyak membuat ulah di masyarakat adalah justru orang yang yang berpendidikan, misalnya penggunaan narkoba, miras, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain- lain.
    Sebagai orang manggarai banyak hal yang kita harus lakukan untuk mempertahankan kebudayaan dalam melawan arus globalisai terutama dalam hal budaya. Yaitu menjunjung tinggi nilai- nilai budaya manggrai, tarian-tarian tradisional seperti: trian congkasae, ndudundake, danding, dan sanda , dan juga benda-benda budaya seperti: songke, balibelo, sapu,kebaya , ngong, gendang, dan lain- lain. Dengan menjaga dan melestarikan budaya yang kita miliki, maka budaya manggarai akan tetap eksis di mata masyarakat dunia.
    Terima kasih kepada Bapak yang telah memposting artikel yang sangat menarik ini. Mudah- mudahan budaya manggarai akan tetap abadi di masyarakat manggarai maupun dimata dunia.
    DELVIRA ANSEDI

    ReplyDelete
  3. Saya sangat mengapresiasi kepada bapak atas postingan artikel ini, dimana saya bisa mengetahui tentang globalisasi di kalangan masyarakat masa kini. Globalisasi memang dapat membawa perubahan bagi manusia, yaitu di bidang ekonomi, teknologi, dan politik. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa perubahan ini dapat berdampak positif maupun negatif . Dengan perkembangan ini banyak orang yang tidak bisa menyusaikan dangan perubahan yang ada bahkan banyak yang terjerumus ke hal- hal yang negatif.
    Dewasa ini memang tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa kaum muda sekarang lebih khusus di wilayah manggarai , yang banyak dipengaruhi oleh budaya asing tentang bagaimana busana manggarai yang sebenarnya. Tetapi dengan perkembangan zaman, banyak kaum muda yang terpengaruhi dengan budaya luar khususnya dalam hal berbusana.
    Globalisasi tidak bisa disalahkan tetapi tergantung kita yang menerima globalisasi tersebut. Sebagai orang berpendidikan kita tidak boleh dipengaruhi oleh globalisasi tetapi kita yang harus bisa menyusaikan dengan globalisasi tersebut. Yang menjadi pertanyaannya apakah hanya orang yang berpendidikan saja yang bisa menyusaikan dengan perkembangan yang ada? Menurut realita yang terjadi di masyarakat sekarang, yang banyak membuat ulah di masyarakat adalah justru orang yang yang berpendidikan, misalnya penggunaan narkoba, miras, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain- lain.
    Sebagai orang manggarai banyak hal yang kita harus lakukan untuk mempertahankan kebudayaan dalam melawan arus globalisai terutama dalam hal budaya. Yaitu menjunjung tinggi nilai- nilai budaya manggrai, tarian-tarian tradisional seperti: trian congkasae, ndudundake, danding, dan sanda , dan juga benda-benda budaya seperti: songke, balibelo, sapu,kebaya , ngong, gendang, dan lain- lain. Dengan menjaga dan melestarikan budaya yang kita miliki, maka budaya manggarai akan tetap eksis di mata masyarakat dunia.
    Terima kasih kepada Bapak yang telah memposting artikel yang sangat menarik ini. Mudah- mudahan budaya manggarai akan tetap abadi di masyarakat manggarai maupun dimata dunia.
    DELVIRA ANSEDI

    ReplyDelete
  4. Saya sangat mengapresiasi kepada bapak atas postingan artikel ini, dimana saya bisa mengetahui tentang globalisasi di kalangan masyarakat masa kini. Globalisasi memang dapat membawa perubahan bagi manusia, yaitu di bidang ekonomi, teknologi, dan politik. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa perubahan ini dapat berdampak positif maupun negatif . Dengan perkembangan ini banyak orang yang tidak bisa menyusaikan dangan perubahan yang ada bahkan banyak yang terjerumus ke hal- hal yang negatif.
    Dewasa ini memang tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa kaum muda sekarang lebih khusus di wilayah manggarai , yang banyak dipengaruhi oleh budaya asing tentang bagaimana busana manggarai yang sebenarnya. Tetapi dengan perkembangan zaman, banyak kaum muda yang terpengaruhi dengan budaya luar khususnya dalam hal berbusana.
    Globalisasi tidak bisa disalahkan tetapi tergantung kita yang menerima globalisasi tersebut. Sebagai orang berpendidikan kita tidak boleh dipengaruhi oleh globalisasi tetapi kita yang harus bisa menyusaikan dengan globalisasi tersebut. Yang menjadi pertanyaannya apakah hanya orang yang berpendidikan saja yang bisa menyusaikan dengan perkembangan yang ada? Menurut realita yang terjadi di masyarakat sekarang, yang banyak membuat ulah di masyarakat adalah justru orang yang yang berpendidikan, misalnya penggunaan narkoba, miras, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain- lain.
    Sebagai orang manggarai banyak hal yang kita harus lakukan untuk mempertahankan kebudayaan dalam melawan arus globalisai terutama dalam hal budaya. Yaitu menjunjung tinggi nilai- nilai budaya manggrai, tarian-tarian tradisional seperti: trian congkasae, ndudundake, danding, dan sanda , dan juga benda-benda budaya seperti: songke, balibelo, sapu,kebaya , ngong, gendang, dan lain- lain. Dengan menjaga dan melestarikan budaya yang kita miliki, maka budaya manggarai akan tetap eksis di mata masyarakat dunia.
    Terima kasih kepada Bapak yang telah memposting artikel yang sangat menarik ini. Mudah- mudahan budaya manggarai akan tetap abadi di masyarakat manggarai maupun dimata dunia.
    DELVIRA ANSEDI

    ReplyDelete
  5. JUDUL ARTIKEL
    ( UPAYA PEMERTAHANAN BUDAYA LOKAL MANGGARAI DALAM MENGHADAPI ARUS GLOBALISASI )

    Terimakasih kepda pa nik deki yang telah membuat artikel ini, karena artikel ini sangat bagus untuk menumbuhkan minat yang besar bagi kaum mudah orang manggarai untuk mengembangkan dan melestarikan kebudayaan lokal manggarai ,sebab saat ini seperti yang dijelaskan dalam artikel yaitu pengalaman hidup sehari-hari orang Manggarai, sudah sangat kurang kaum muda yang terlibat dalam permainan caci, menyertakan diri dalam tarian sae, ndundu ndake, danding dan tarian tradisional lainnya.
    Ada hal yang sangat bagus dan menarik perhtian kaum muda dan menumbuhkan minat kaum muda orang manggarai dalam mempertahankan budaya lokalnya dari artikel ini yaitu :UPAYA PEMERTAHANAN BUDAYA LOKAL MANGGARAI. Seperti yang dijelaskan dalam artikel ada beberapa pihak yang terlibat dalam upaya pemertahanan budaya lokal manggarai yaitu :
    1. Lembaga Agama
    2. Lembaga Pemerintah
    3. Lembaga Pendidikan
    4. Lembaga Seni (Sanggar)
    5. Lembaga Adat
    6. Lembaga Penelitian, Akademisi dan Prodi Sendratasik
    7. lembaga Pemerintah
    Dari beberapa pihak diatas kami sebagi orang muda manggarai belajar dan melestarikan budaya lokal manggarai dari lembaga-lembaga yang terlibat dalam upaya pemeratahan budaya lokal manggarai. Lembaga-lembaga yang diatas yang saya kutip dari artikel sangat membantu kami dalam mengembangkan dan melestarikan budaya lokal manggarai.
    Kata-kata dibawah ini yang digaris bawahi sangat menyentuh saya sebagai kaum muda orang manggarai yang juga bertanggung jawab untuk mempertahankan dan melestarikan budaya lokal manggrai, sebagai manusia pemilik budaya, ada dalam ruang alternatif untuk mempertahankan unsur-unsur positif kebudayaan dan menjadikannya sebagai fundasi nilai bagi kehidupan.
    Melestarikan budaya dan melakukan pemertahanan terhadap nilai-nilainya membawa kita kepada kesadaran kritis untuk berbuat sesuatu.

    Nama : Frida Nilda
    Kelas : III B
    NPM : 13.31.3079

    ReplyDelete
  6. Judul Artikel : Upaya Pemertahanan Budaya Lokal Manggarai dalam Menghadapi Arus Globalisasi
    Saya sangat tertarik dengan judul artikel “Upaya Pemertahanan Budaya Lokal Manggarai dalam Menghadapi Arus Globalisasi”. Setelah saya membacanya, saya juga menemukan jawaban atas beberapa pertanyaan yaitu “Akankah budaya dan manusia pemiliknya akan tercaplok ke dalam arus besar globalisasi lalu kehilangan jati dirinya? Apakah nilai-nilai luhur budaya akan tererosi secara sistematis menuju lautan kepunahan? Adakah cara untuk mempertahankan nilai-nilai budaya dalam seluruh aspeknya?”
    Dari artikel tersebut dapat saya simpulkan bahwa dengan adanya arus globalisasi akan memberikan dampak , baik itu positif maupun negatif yang tentunya mempengaruhi perkembanagan budaya lokal Manggarai. Kini, zaman kita ditandai oleh perubahan dan kemajuan dalam banyak bidang kehidupan masyarakat. Dengan adanya perubahan tersebut akan berakibat besar terhadap gaya hidup manusia. Selain itu, kenyataannya bahwa kehidupan manusia ditandai oleh kecendrungan membangun cara dan pandangan hidupnya.
    Budaya lokal Manggarai bakal terancam , bukan saja secara moral, melainkan juga secara ontologis. Maksudnya kehilangan jati diri dan harga diri sebagai ata Manggarai. Salah satu contoh erosi adat istiadat Manggarai saat ini adalah “wangkas morad ata pecing curup adak ,tongka (jubir). Kita harus menyadari bahwa kebudayaan(budaya lokal) menggenggam bagi perkembangannya di masa depan.
    Saya sangat bangga dengan Ivan Nestorman yang kendati bergelut di industri musik nasional, tetapi nekad meramu musik yang tidak biasa. Nestorman sadar, musiknya ibarat menjual es di kutub. Tetapi satu hal yang ingin dia sampaikan, memperkenalkan budaya lokal Indonesia di kancah music dunia. Saya sebagai seorang calon guru, melihat sosok Ivan Nestorman sebagai contoh bahwa budaya lokal harus dipertahankan. Saya awali langkah tersebut tentunya dengan memperkenalkan kepada peserta didik saya nanti berkaitan dengan budaya lokal Manggarai yang harus dijaga dan dilestarikan.
    Dengan itu, maka kebudayaan tidak hanya didukung secara individual semata. Kebudayaan dalam arti sebenarnya hanya dapat diandalkan pada kehidupan manusia sebagai kebersamaan. Kebersamaan itu pula yang menjadi penjamin terjadinya pengalihan cara dan pandangan hidup generasi demi generasi.

    Nama : Yuditha Menti Hoban
    Kelas : III B
    NPM : 13.31.3089

    ReplyDelete
  7. Judul Artikel : Upaya Pemertahanan Budaya Lokal Manggarai dalam Menghadapi Arus Globalisasi
    Saya sangat tertarik dengan judul artikel “Upaya Pemertahanan Budaya Lokal Manggarai dalam Menghadapi Arus Globalisasi”. Setelah saya membacanya, saya juga menemukan jawaban atas beberapa pertanyaan yaitu “Akankah budaya dan manusia pemiliknya akan tercaplok ke dalam arus besar globalisasi lalu kehilangan jati dirinya? Apakah nilai-nilai luhur budaya akan tererosi secara sistematis menuju lautan kepunahan? Adakah cara untuk mempertahankan nilai-nilai budaya dalam seluruh aspeknya?”
    Dari artikel tersebut dapat saya simpulkan bahwa dengan adanya arus globalisasi akan memberikan dampak , baik itu positif maupun negatif yang tentunya mempengaruhi perkembanagan budaya lokal Manggarai. Kini, zaman kita ditandai oleh perubahan dan kemajuan dalam banyak bidang kehidupan masyarakat. Dengan adanya perubahan tersebut akan berakibat besar terhadap gaya hidup manusia. Selain itu, kenyataannya bahwa kehidupan manusia ditandai oleh kecendrungan membangun cara dan pandangan hidupnya.
    Budaya lokal Manggarai bakal terancam , bukan saja secara moral, melainkan juga secara ontologis. Maksudnya kehilangan jati diri dan harga diri sebagai ata Manggarai. Salah satu contoh erosi adat istiadat Manggarai saat ini adalah “wangkas morad ata pecing curup adak ,tongka (jubir). Kita harus menyadari bahwa kebudayaan(budaya lokal) menggenggam bagi perkembangannya di masa depan.
    Saya sangat bangga dengan Ivan Nestorman yang kendati bergelut di industri musik nasional, tetapi nekad meramu musik yang tidak biasa. Nestorman sadar, musiknya ibarat menjual es di kutub. Tetapi satu hal yang ingin dia sampaikan, memperkenalkan budaya lokal Indonesia di kancah music dunia. Saya sebagai seorang calon guru, melihat sosok Ivan Nestorman sebagai contoh bahwa budaya lokal harus dipertahankan. Saya awali langkah tersebut tentunya dengan memperkenalkan kepada peserta didik saya nanti berkaitan dengan budaya lokal Manggarai yang harus dijaga dan dilestarikan.
    Dengan itu, maka kebudayaan tidak hanya didukung secara individual semata. Kebudayaan dalam arti sebenarnya hanya dapat diandalkan pada kehidupan manusia sebagai kebersamaan. Kebersamaan itu pula yang menjadi penjamin terjadinya pengalihan cara dan pandangan hidup generasi demi generasi.

    Nama : Yuditha Menti Hoban
    Kelas : III B
    NPM : 13.31.3089

    ReplyDelete

  8. NAMA : GABRIELA RATNASARI JEBARUS
    NPM : 13.31.3071
    KELAS : III B
    UPAYA PEMERTAHANAN BUDAYA LOKAL MANGGARAI DALAM MENGHADAPI ARUS GLOBALISASI[1]


    Kanisius Teobaldus Deki M.Th [2]

    KOMENTAR SAYA :
    Dalam tulisan tentang “ Upaya Pemertahanan Budaya Lokal Manggarai Dalam Menghadapi Arus Globalisasi” Saya sangat tertarik dengan ungkapan sudah sangat kurang kaum mudah terlibat dalam permainan caci, menyertakan diri dalam tarian tradisional. Dalam hal ini alangkah baiknya tokoh-tokoh masyarakat harus mendorong anak-anak mudah dalam mennjaga, meningkatkan dan mempertahankan budaya-budaya Manggarai
    Seiring dengan kian pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, arus globalisasi juga semakin menyebar ke segenap penjuru dunia. Penyebarannya berlangsung secara cepat dan meluas, tak terbatas pada negara-negara maju dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi juga melintasi batas negara-negara berkembang dan miskin dengan pertumbuhan ekonomi rendah singkatnya di Provinsi kita khususnya di daerah Manggarai. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan derasnya arus globalisasi merupakan dua proses yang saling terkait satu sama lain.


    Keduanya saling mendukung. Tak ada globalisasi tanpa kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga berjalan lambat jika masyarakat tidak berpikir secara global.
    Semua golongan, suka atau tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa globalisasi merupakan sebuah virus mematikan yang bisa berpengaruh buruk pada pudarnya eksistensi budaya-budaya lokal atau sebuah obat mujarab yang dapat menyembuhkan penyakit-penyakit tradisional yang berakar pada kemalasan, kejumudan, dan ketertinggalan. Karena globalisasi diusung oleh negara-negara maju ( Barat ) yang memiliki budaya berbeda dengan negara-negara berkembang, maka nilai-nilai Barat bisa menjadi ancaman bagi kelestarian nilai-nilai lokal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia lebih khusus juga daerah Manggarai.
    Bagi Indonesia khususnya daerah Manggarai,merasuknya nilai-nilai Barat yang menumpang arus globalisasi ke kalangan masyarakat Manggarai merupakan ancaman bagi budaya asli yang mencitrakan lokalitas khas daerah-daerah di negeri ini. Kesenian-kesenian daerah Manggarai seperti caci.tarian sanda dan tarian traisional lainnya. Inilah masalah terbesar budaya lokal di era kekinian. Ketika gelombang globalisasi menggulung wilayah Indonesia, kekuatannya ternyata mampu menggilas budaya-budaya lokal
    Karena itu, di era kontemporer sekarang ini, ujian terbesar yang dihadapi budaya lokal adalah mempertahankan eksistensinya di tengah terpaan globalisasi. Strategi-strategi yang jitu dalam menguatkan daya tahan budaya lokal perlu dirumuskan. Kerja sama antara kaum tokoh-tokoh adat dan kaum mudah harus diperhatikan dan dilestarikan agar terjaminnya mempertahankan budaya lokal dari arus globalisasi yang menyebar disegala arah kehidupan.

    “JADILAH ANAK MUDA PEDULI BUDAYA”
    “TABE…. MORI SEMBENG ITE”

    ReplyDelete
  9. menurut saya artikel bapak sangat menarik dan mengerti akan pentingnya kebudayaan.Karena kebudayaan dan manusia memiliki kaitan yang sangat erat.Keduanya saling mengandaikan.Satu akan mati tanpa yang lain dan sebaliknya.Manusia akan mengalami kepunahan,tanpa sistem kebudayaan.Kebudayaan memberikan kelengkapan dan kesempurnaan hidup suatu komunitas sosial.Suatu masyarakat akan kehilangan identitas manakala kehilangan kebudayaan sebagai sumber nilai da moral kehidupan setiap hari.Aturan kehidupan dan taat kelola sosial tersimpan dalam ruang kebudayaan suatu masyarakat.Oleh karena itu,saya berharap agar kita semua bersama sama tetap menjaga kebudayaan kita agar kita tetap memprkokoh kerukunan,kekeluargaan,dan persatuan di anggota masyakat.
    *KEBUDAYAAN ADALAH TANGGUNG KITA BERSAMA AGAR TETAP TERJAGA**(IRENE PRIANDARINI ARIANI)

    ReplyDelete
  10. menurut saya artikel bapak sangat menarik dan mengerti akan pentingnya kebudayaan.Karena kebudayaan dan manusia memiliki kaitan yang sangat erat.Keduanya saling mengandaikan.Satu akan mati tanpa yang lain dan sebaliknya.Manusia akan mengalami kepunahan,tanpa sistem kebudayaan.Kebudayaan memberikan kelengkapan dan kesempurnaan hidup suatu komunitas sosial.Suatu masyarakat akan kehilangan identitas manakala kehilangan kebudayaan sebagai sumber nilai da moral kehidupan setiap hari.Aturan kehidupan dan taat kelola sosial tersimpan dalam ruang kebudayaan suatu masyarakat.Oleh karena itu,saya berharap agar kita semua bersama sama tetap menjaga kebudayaan kita agar kita tetap memprkokoh kerukunan,kekeluargaan,dan persatuan di anggota masyakat.
    *KEBUDAYAAN ADALAH TANGGUNG KITA BERSAMA AGAR TETAP TERJAGA**(IRENE PRIANDARINI ARIANI)

    ReplyDelete
  11. menurut saya artikel bapak sangat menarik dan mengerti akan pentingnya kebudayaan.Karena kebudayaan dan manusia memiliki kaitan yang sangat erat.Keduanya saling mengandaikan.Satu akan mati tanpa yang lain dan sebaliknya.Manusia akan mengalami kepunahan,tanpa sistem kebudayaan.Kebudayaan memberikan kelengkapan dan kesempurnaan hidup suatu komunitas sosial.Suatu masyarakat akan kehilangan identitas manakala kehilangan kebudayaan sebagai sumber nilai da moral kehidupan setiap hari.Aturan kehidupan dan taat kelola sosial tersimpan dalam ruang kebudayaan suatu masyarakat.Oleh karena itu,saya berharap agar kita semua bersama sama tetap menjaga kebudayaan kita agar kita tetap memprkokoh kerukunan,kekeluargaan,dan persatuan di anggota masyakat.
    *KEBUDAYAAN ADALAH TANGGUNG KITA BERSAMA AGAR TETAP TERJAGA**(IRENE PRIANDARINI ARIANI)

    ReplyDelete
  12. menurut saya artikel bapak sangat menarik dan mengerti akan pentingnya kebudayaan.Karena kebudayaan dan manusia memiliki kaitan yang sangat erat.Keduanya saling mengandaikan.Satu akan mati tanpa yang lain dan sebaliknya.Manusia akan mengalami kepunahan,tanpa sistem kebudayaan.Kebudayaan memberikan kelengkapan dan kesempurnaan hidup suatu komunitas sosial.Suatu masyarakat akan kehilangan identitas manakala kehilangan kebudayaan sebagai sumber nilai da moral kehidupan setiap hari.Aturan kehidupan dan taat kelola sosial tersimpan dalam ruang kebudayaan suatu masyarakat.Oleh karena itu,saya berharap agar kita semua bersama sama tetap menjaga kebudayaan kita agar kita tetap memprkokoh kerukunan,kekeluargaan,dan persatuan di anggota masyakat.
    *KEBUDAYAAN ADALAH TANGGUNG KITA BERSAMA AGAR TETAP TERJAGA**(IRENE PRIANDARINI ARIANI)

    ReplyDelete
  13. Belis, Kegelisahan yang Tak Teratasi?
    Menurut saya berbicara tentang belis,apalagi yang berkaitan dengan artikel yang telah saya baca bahwa belis merupakan kewajiban yang harus diberi oleh pihak laki-laki dan harus diterima oleh pihak perempuan .Berbicara tentang belis yang harus diberi oleh pihak laki-laki ingin menunjukkan bahwa ia menghargai orang tua dari pihak perempuan yang telah membesarkannya dan menyekolakannya,bukan berarti pihak laki –laki lmembeli atau membayar jasa kedua orang tua dari pihak perempuan tersebut. Belis tidak harus dilihat dari besar jumlah uang yang akan diberihkan,melainkan nilai sosial yang akan berkaitan dengan aspek yang menyatahkan bahwa perempuan perlu dihargai dan perlu menghargai rahim dan air susu ibu dari pihak perempuan .
    Belis membuktikan bahwa kedua calon mempelai telah siap untuk menjalani sebuah ikatan yang akan dilakukan melalui acara adat yang akan menyatuhkan kedua keluarga besar dari kedua bela pihak .Belis hanyalah sebagai alat bukti untuk melalui sebuah tantangan dalam mencapai hubungan perkawinan ,sedangkan yang paling utama untuk memperoleh atw mencapai sebuah hubungan adalah cinta dari kedua mempelai.Belis juga adalah sebuah bentuk dukungan dari kedua keluarga besar sebagai tanda untuk meminang mempelai wanita yang nantinya akan menjadi nggota keluarga baru dari pihak laki laki.Terlibatnya keluarga besar dalam sebuah perkawinan adalah sebagai bukti cinta kasih dan ekspresi kegembiraan.
    Otonomitas diri perempuan
    Saya sebagai seorang perempuan berpendapat sama dengan artikel ini yang mengutarahkan bahwa kebiasaan kita orang Manggarai adalah apabila seorang perempuan yang sudah sudah melalui jenjang pendidikan tinggi maka,akan memperoleh belis mahal karena itu merupakan sebuah kekeliruan dan praktis belis yang salah.
    Untuk mengatasi kegelisaan ini kita perlu memahami teori yang telah di lampirkan dalam artikel ini bahwa belis adalah bentuk penghargaan dan sesuatu yang wajib tanpa harus dengan harga yang nominal tinggi.sedangkan orang tua adalah tim sukses dalam mendukung sebuah hubungan dan pesta adalah bentuk rasa terimakasih dan ekspresi kegembiraan .Keutamaan dalam menjalin sebuah hubungan adalah cinta,kejujuran dan restu orang tua.
    Nama : Felsiana Oktaviani Mbohong
    Kelas : III B PGSD
    NPM :.13.31.3104

    ReplyDelete
  14. UPAYA PEMERINTAHAN BUDAYA LOKAL MANGGARAI DALAM MENGHADAPI ARUS GLOBALISASI

    Menurut apa yang telah saya baca berkaitan dengan pengalaman hidup orang Manggarai bahwa sangat kurang partisipasi dari kaum muda berkaitan dengan kegiatan – kegiatan yang berkaiatan dengan budaya manggarai contohnya tarian adat dan nyayian lagu-lagu daerah .Saya beranggapan bahwa itu disebabkan oleh kurangnya kesadaran dari kaum mudah untuk mengimplementasi budaya Manggarai yang telah mereka peroleh melalui,yang pertama lingkungan keluarga,lingkungan masyarakat dan yang terahkir lembaga pendidikan. Yang kedua usaha dari berbagai macam pihak untuk mendorong semangat kaum muda dilakukan oleh salah seorang kaum mudah flores timur tersebut adalah bentuk ajakan bagi kami selaku generasi penerus untuk membuka hati dan pikiran bahwa sebenarnya lagu –lagu tradisional bisa diaransememen menjadi lagu modern tanpa mengurangi makna dari lagu tersebut.Arus globalisasi yang hadir di tengah – tengah kehidupan kita saat ini adalah sebagai bentuk tantangan yang merusak pola pikir dan tingkah laku dari seseorang apalagi berkaitan dengan musik atau lagu daerah .
    Globalisasi adalah terminologi baru. Dinegara – negara maju globalisa sangat di butuhkan karena dapat memperoleh keuntungan .Globalisasi memiliki wajah dan akibat baru.Teknologi baru , lembaga – lembaga keuangan baru memiliki utang yang besar.globalisasi melumpuhkan sistem negara berkembang dan negara maju.
    Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan ,kepercayaan,kesenian,kesusilaan dan hukum,adat - istiadat dan kebiasaan yang diperoleh masyarakat.Masuknya arus globalisasi dalam kebudayaan Manggarai membawa dua dampak yaitu dampak positife dan dampak negative. Sebenarnnya kebudayaan itu milik masyarakat dan memiliki karakter sosial.Masyarakat adalah kelompok individu yang berorganisasi yang memiliki kesadaran .Menurut saya ,upaya mempertahankan budaya Manggarai adalah cara tersendiri untuk meluputkan budaya ini dari campur tangan arus glabalisasi.Kesadaran kita untuk kembali kedalam nilai lokal adalah jalan pertama untuk mempertahankan budaya kita. Anggapan ini dikarenakan oleh pemikiran yang menyatakan bahwa kebudayaan kita harus dijaga dari globalisasi.Dilain pihak globalisasi menjadi sebuah kebutuhan dalam pembangunan .

    Peran para pihak :
    1. Lembaga agama
    Menurut saya lembaga agama juga mempunyai peran penting dalam mempertahankan arus globalisasi di daerah Manggarai dengan cara diadakannya berbagai macam kegiatan positive seperti pembentukan OMK,ajang pencarian bakat,dan pemeran budaya lokal.
    2. Lembaga pendidikan
    Dalam lembaga pendidikan tidak mengurangi apa yang telah di lakukan oleh lembaga agama maka berbagai kegiatan juga harus dilakukan seperti lomba budaya,pameran festival kesenian daerah.
    3. Lembaga pemerintahan
    Mendukung dalam menyalurkan dana untuk melancarkan kegiatan yang dilaksanahkan oleh lembaga – lembaga diatas dan memberikan dukungan berupa keamanan dari pihak kepolisian.
    4. Lembaga sanggar tari
    Membuka daftar pelatihan bagi kaum muda yang ingin bergabung dalam sanggar tari tanpa dipungut biaya. Jangan memilih / membedahkan antar kaum mudah yang ingin bergabung.
    5. Lembaga adat
    Membenarkan atau meluruskan apa yang menjadi kesalahan dari kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh lembaga – lembaga yang melaksanahkan kegiatan tersebut.ikut berpartisipasi dalam kegiatan seperti memberi dukungan dalam rupa hadir dalam pelatihan.


    Nama felsiana oktaviani mbohong
    Kelas 3 b pgsd
    Npm 13.31.3104

    ReplyDelete
  15. “RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI”

    Trimakasih banyak pa, saya sangat mengapresiasasi artikel ritus teing hang orang manggarai yang memiliki begituh banyak pembekalan bagi diri saya sendiri memperkuat keyakinan akan relasi antara leluhur yang telah meninggal dengan keluarga yang ditinggalkan.
    Artikel ini mengarahkan keyakinanan pembaca terhadap pengawasan dan kedekatan roh leluhur. Ini mungkin mustahil tapi percaya atu tidak percaya kajian dalam artikel ini mengupas lebih jauh hubungan antara leluhur dan keluarga yaang ditinggalkan serta dampakya.
    Hal ini dibuktikan dengan pengalaman pembaca, yang pada awalnya meragukan bahkan memandang “teing hang“ leluhur ini sebagai pola lelucon semata, dan menaanggapi dampak kelalain teing hang dengan sikap acuh tak acuh.
    Sikap ini nyatanya membawa dampak yang sangat luar biasa bagi diri saya, dalam rentan waktu saya merasa hidup dalam kebimbangan dan tak punya tujuan, hidup dalam kecemasan dan kegelisaan tiada batas, bahkan selalu diteror oleh mimpi-mimpi buruk dan di kejar oleh orang-orang yang wajahnya cukup asing tuk dideskripsikan dengan rupa manusia.
    Teing hang mungkin sangat sederhana dan mudah dilakukan tetapi jika dilakukan-nya tidak dengan kepercayan dan keiklasan maka tidak akan menghasilkan apapun bagi pemberi sesajian. Tulisan ini memperkuat upaya mempertahankan aset budaya kita.

    ReplyDelete
  16. Nama: Gisela Srinarti Awut
    Kelas : III B PGSD
    Npm : 13.31.3074


    UPAYA PEMERATAAN BUDAYA LOKAL
    MANGGARAI DALAM MENGHADAPI
    ARUS GLOBALISASI

    KOMENTAR:
    Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kaum muda sekarang lebih khusus Manggarai sudah dipengaruhi oleh budaya luar mulai dari hal kecil sampai hal besar. Globalisasi tidak bisa disalahkan tatapi tergantung kita menerima globalisasi tersebut. Kita tidak boleh dipengaruhi oleh globalisasi melainkan kita yang mempengaruhi globalisasi tersebut.
    Trimaksih kepada Bapak karna telah memaparkan artikel yang begitu menarik unruk dibaca. Saya pun merasa bahwa budaya Manggarai patut untuk dipertahankan eksistensinya.

    ReplyDelete
  17. Nama: Gisela Srinarti Awut
    Kelas : III B PGSD
    Npm : 13.31.3074


    UPAYA PEMERATAAN BUDAYA LOKAL
    MANGGARAI DALAM MENGHADAPI
    ARUS GLOBALISASI

    KOMENTAR:
    Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kaum muda sekarang lebih khusus Manggarai sudah dipengaruhi oleh budaya luar mulai dari hal kecil sampai hal besar. Globalisasi tidak bisa disalahkan tatapi tergantung kita menerima globalisasi tersebut. Kita tidak boleh dipengaruhi oleh globalisasi melainkan kita yang mempengaruhi globalisasi tersebut.
    Trimaksih kepada Bapak karna telah memaparkan artikel yang begitu menarik unruk dibaca. Saya pun merasa bahwa budaya Manggarai patut untuk dipertahankan eksistensinya.

    ReplyDelete