Sebuah Studi Dengan
Membaca Pemikiran Stephen B. Bevans
Untuk Membangun
Teologi Kontekstual Berbasis Budaya[1]
Kanisius Teobaldus Deki, M.Th[2]
I. PENGANTAR
Ada dua hal yang mendasari analisis ini.
Pertama, semakin gencarnya studi yang
membangun analisis berbasis nilai-nilai budaya dewasa ini. Hal ini terlihat
dalam banyak publikasi ilmiah yang menyentuh ranah budaya. Dalam budaya
Manggarai bisa disebutkan tiga kelompok.[3]
Kelompok pertama diwakili oleh penelitian etnografis Wilhelmus van Bekkum,[4]
Jillis Verheijen[5]
dan Stef de Graff.[6]
Ketiganya berasal dari Serikat Kalam Allah dan merupakan orang asing.
Kelompok kedua, usaha membangun studi
oleh orang-orang local sendiri. Bisa disebutkan di sini Doroteus Hemo[7]
dengan karyanya yang spektakuler untuk studi pembuka tentang Kebudayaan Orang
Manggarai. Selain itu, kehadiran Dami N. Toda[8]
dalam studi kritis tentang budaya, khususnya menelisik sejarah Manggarai dan
budayanya. Selanjutnya, Petrus Janggur,[9] Antony
B. Dagur[10]
dan Adrianus Nggoro[11]
melengkapi studi Doroteus Hemo.
Studi-studi yang dilakukan dua kelompok
di atas masih belum melakukan analisa korelatif antara budaya dengan hal-hal
lain. Robert Lawang,[12] Kanisius
T. Deki,[13]
Max Regus, Boni Hargens,[14] Yohanes
Servatius Lon,[15]
Rikard Rahmat dengan kawan-kawan[16]dan
Bonefasius Jehandut[17] berusaha
keluar dari dialektika dan paradigma studi etnografis ke studi kritis antropologis-sosiologis
pertautan budaya dengan aspek atau nilai-nilai lain, misalnya hubungan antara
budaya dan agama, budaya dan politik serta tatanan sosial lainnya.
Kedua, ada arus yang
cukup kuat dalam gereja Katolik untuk membangun usaha inkulturasi iman Kristen
dengan budaya tertentu sejak Konsili Vatikan II digemakan. Usaha ini tentu
sangat positif. Karena dengan jalan ini, budaya lokal terakui oleh gereja
sebagai medium untuk mengekspresikan imannya. Dokumen seperti Evangelisasi Baru[18]
menyatakan hal itu secara tegas dan tandas.[19]
Tulisan ini lebih merupakan studi awal bagaimana
membangun kerangka teologi kontekstual dalam menghubungkan nilai budaya,
khususnya ritus-ritus, dengan iman Kristen. Fokus dari tulisan ini ialah
bagaimana format praktis yang bisa dipakai sebagai guideline dalam usaha inkulturasi iman Kristen.
II. RITUS ORANG
MANGGARAI
2.1. Pengertian[20]
Dalam
bahasa latin, “ritus” berarti tatacara keagamaan, upacara agama, seremoni, adat, kebiasaan. Kata latin itu
mengasalkan kata inggris: rite, dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ritus.
Adjectivanya ritual, baik dalam Inggris dan Indonesia.
Menurut A. Nijk, ritus muncul karena adanya kesadaran akan kekosongan (lacunae, hiatus), ada sesuatu yang
hilang, tak terumuskan, tapi orang harus “melakukan sesuatu tanpa tahu bagaimana caranya”. Maka,
orang pun “melakukan sesuatu” secara coba-coba. Apa yang tadi ada di wilayah kesadaran dan perasaan coba
diwujudkan dengan melakukan sesuatu. Percobaan pertama
diulang, dan diulang. Tindakan repetitif sering disertai
devosi yang kuat. Maka, jadilah ritus.
Sedangkan
menurut Ronald L. Grimes, ritus merupakan suatu tipe
perilaku yang secara jelas dan sengaja dibedakan dari “perilaku biasa” yang menunjukkan suatu
aturan khusus dalam ruang dan waktu. Ritus adalah
serangkaian tindakan yang secara luas dikenal oleh anggota
budayanya sebagai “klasik”, “normatif”, “esensial” untuk
pemahaman yang semestinya tentang relasi dengan diri sendiri,
dunia, dan Yang Ilahi.
Selain ritus, bentuk adjektif, “ritual”,
dipahami secara mirip oleh Ronald L. Grims, Roy Rappoport, Catherine Bell dan
Gerard Lukken.
Ronald
L. Grimes mendefenisikan “ritual” sebagai suatu perpaduan dari beberapa jenis tindakan, mis. nyanyi, drama, tari. Mirip dengan
Ronald, Roy Rappoport mengartikan ritual sebagai suatu
bentuk atau struktur yang ditampilkan melalui rangkaian tindakan dan ucapan formal yang tidak dibuat
oleh para pelakunya. Cirinya adalah formal (invariant, stylized, repetitif,
stereotip, terikat waktu tertentu dan tempat khusus), performatif (tak sekedar cara untuk
mengungkapkan sesuatu, tapi ritual itu sendiri adalah aspek
dari apa yang sedang diungkapkan; beda drama [perlu audiences yang melihat] dengan ritual [perlu congregations yang berpartisipasi]), dan
mujarab (tak
hanya mengkomunikasikan, tapi juga memberi dampak, suatu kemujaraban yang tak
bersumber dari pengalaman inderawi dan tak merujuk pada pengaruh material).
Menurut Catherine Bell ritual/ritus/ritualisasi bukan terdiri dari
tindakan-tindakan unik yang hanya terjadi dalam konteks ritus, tapi
suatu cara bertindak, yang berbeda dengan cara-cara
bertindak lainnya, ada tipe kontras (mis. perayaan Ekaristi =
bukan seperti ritual makan-minum biasa). Perbedaan itu dikuatkan melalui aneka
strategi sosial:
periode, materi, lokasi. Tujuan: [1] membedakan cara “ini”
dengan cara “itu”, [2] menegaskan nilai-nilai yang ada dari
pembedaan itu, [3] memberi partisipan suatu “pengalaman” dari
pembedaan itu berdasarkan pada hakikat realitasnya (ada hirarki perilaku: lebih
tinggi, lebih suci).
Gerard Lukken berpendapat tak cukup hanya mengatakan bahwa
ritual mengandung
unsur simbol (things), tindakan simbolik (acts), dan bahasa
simbolik (words), tapi perlu lihat makna ritual dari
ciri-ciri fungsionalnya: [1] penyembuhan dan penyaluran
(memberi kelegaan, pembebasan yang tak harus mencari
sendiri caranya; khususnya ketika menghadapi situasi krisis:
kematian, bencana; tapi juga saat kegembiraan: untuk
mengelola dan menyalurkan emosi); [2] penghubung dengan masa lalu (selalu
bersifat lama, sudah ada, ingatan masa kecil: kini dihadirkan kembali); [3] etis
(sumbangan untuk tindakan non-ritual: diajak keluar dari diri sendiri dan aktif
dalam komunitas); [4] sosial (ungkapkan diri dalam cara yang dapat dimengerti
orang lain, menentukan identitas kolektif, komunitas perlu ritual supaya
sungguh menjadi komunitas); [5] permohonan (aspek invokatif, mengundang
kekuatan di luar diri kita untuk menolong); [6] ekspresif (meski warisan
sifatnya, ritual juga mengekspresikan diri kita; menolong kita untuk memberi
wajah bagi pengalaman kita dan untuk memahami diri sendiri).
2.2. Pembagian Ritus
Ritus
selalu berhubungan dengan kepercayaan. Ritus
adalah suatu tindakan, biasanya dalam bidang keagamaan, yang bersifat
seremonial dan tertata. Ritus terbagi menjadi tiga golongan besar:[21]
- Ritus peralihan, umumnya mengubah status sosial seseorang, misalnya pernikahan, pembaptisan, atau wisuda.
- Ritus peribadatan, di mana suatu komunitas berhimpun bersama-sama untuk beribadah, misalnya umat Muslim salat berjamaah, umat Yahudi beribadat di sinagoga atau umat Kristen menghadiri Misa
- Ritus devosi pribadi, di mana seseorang melakukan ibadah pribadi, termasuk berdoa dan melakukan ziarah, misalnya seorang Muslim atau Muslimah menunaikan ibadah Haji.
Dalam
Kekristenan
ritus memiliki makna yang lebih khusus -- dalam hal ini ritus berarti suatu
liturgi tertentu. Misalnya, dalam keyakinan Katolik, sakramen yang dinamakan pengurapan
orang sakit secara tradisional dikenal sebagai ritus terakhir,
karena kerap diselenggarakan bagi seseorang menjelang ajalnya.[22]
Dalam
tata guna Kristiani, ritus dapat pula berarti keseluruhan dari suatu tradisi
liturgis yang biasanya berpusat pada suatu lokasi tertentu. Misalnya Ritus
Latin atau Romawi, Ritus Byzantium, dan Ritus Suryani. Ritus-ritus seperti ini
mencakup berbagai sub-ritus. Misalnya, Ritus Byzantium memiliki variasi Yunani,
Rusia, dan variasi-variasi berbasis etnis lainnya.
Di
Amerika
Utara, para pengikut Freemasonry dapat memilih untuk bergabung dengan Ritus
Skotlandia atau Ritus York, dua kesatuan khusus yang menawarkan
peningkatan derajat bagi mereka yang telah menjalani tiga tahapan dasar.[23]
2.3. Ritus Orang
Manggarai[24]
Ritual
orang Manggarai dapat dilihat dari jenis dan waktu pelaksanaannya, yakni: 1)
ritual yang berkaitan dengan proses awal kehidupan manusia, yaitu: kehamilan,
masa nifas dan menopausme; 2) ritual yang berkaitan dengan kelangsungan hidup
dan interaksi sosial, yaitu: mata pencaharian, penyakit, perkawinan, syukuran
dan selamatan, sumbangan sosial; dan 3) ritual yang berhubungan dengan transisi
antara kehidupan dunia dan akhirat, yaitu kematian.[25]
Selain
tiga point itu, sebenarnya orang Manggarai punya relasi yang intens dengan
“dunia seberang” melalui ritus-ritus khusus. Munculnya ritus teing hang dalam upacara penti, misalnya, merupakan salah satu bukti keberlanjutan
relasi antara manusia, leluhur, pencipta dan alam semesta.
Berikut
ini merupakan ulasan menyangkut segala tata upacara ritual orang Manggarai
dalam seluruh siklus hidupnya.[26]
2.3.1. Ritus awal
kehidupan Manusia
Pada
masa kehamilan ada dua ritus yakni rono
réneng (rono: mencuci rambut dengan air santan kelapa, réneng: air kelapa
muda) dan cimo/cikop le’as (cimo/cikop: membetulkan, le’as: punggung wanita bagian bawah). Pertama, Ritus rono réneng ini bertujuan untuk menyucikan seorang ibu hamil dari
dosa yang pernah dilakukannya dan mengusir segala roh jahat agar janin yang
berada dalam rahimnya bertumbuh sehat dan lahir tanpa cacat. Kedua, ritus cimo/cikop le’as bertujuan untuk membersihkan kandungan
seorang ibu yang mengalami abortus
spontaneous (keguguran) dan memohon kepada Tuhan dan leluhur agar peristiwa
yang sama tidak terjadi lagi.
Pada
masa persalinan, diadakan ritus teing
ngasang (teing: memberi, ngasang:
nama) dan cear cumpe (cear: membongkar, cumpe: tempat persalinan). Ritus ini dibuat sekaligus dengan maksud
memberikan identitas kepada sang bayi dan ibunya dapat kembali menjalankan
aktivitasnya.
Dalam
masa menopause, ibu menjalankan ritus dopo
wing (dopo: berhenti, wing: usia reproduksi). Tujuan dari
ritus ini adalah mendoakan agar anak yang pernah dilahirkan dalam berkembang
dan hidup dengan baik.
2.3.2. Ritual
berkaitan kelangsungan hidup
Ada beberapa pembagian dalam bidang ini.
- Ritual berhubungan dengan mata pencaharian yakni lea sose (lea: membelah, sose: bambu). Ritual ini berhubungan dengan usaha petani membuka kebun bersama dalam satu hamparan tanah ulayat. Selain itu ada upacara dara ni’i (dara: darah hewan, ni’i: benih, bibit) yang dimaksudkan agar segala jenis benih dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan harapan. Selanjutnya upacara Kalok/Cepa (kalok/cepa: siram air) suatu upacara pada saat padi berumur dua bulan. Padi disiram dengan air agar hujan turun terus menerus, dibebaskan dari hama dan segala penyakit. Penti weki (penti: kumpul, weki: orang) yakni upacara yang dilakukan sebagai tanda syukuran atas penyelenggaran Ilahi selama satu tahun. Adapun penti ini terbagi menjadi dua yakni penti mese dan penti koe.
- Ritual berkaitan dengan penyakit atau sakit ada tiga yakni peler (pemberian persembahan), kando nipi (kando : buang, nipi: mimpi) dan takung ceki (takung: memberikan sesajian, ceki: nenek moyang). Upacara Peler dilakukan karena adanya tindakan yang merugikan alam oleh orang yang sakit, misalnya, membunuh ular tapi tidak sampai mati. Upacara Kando nipi dibuat karena orang yang sakit tidak mengingat orang tua atau leluhur yang sudah meninggal melalui tata upacara yang lazim. Sedangkan upacara takung ceki dibuat dengan maksud agar Tuhan dan leluhur menyembuhkan orang yang sedang sakit dari penderitaannya.
- Ritus Perkawinan. Dalam bagian ini ada beberapa tahapan yang perlu dilalui yakni rekak (perkenalan), pongo (ikat), wagal/nempung, dan podo (antar) yang mempunyai dua acara khas yakni: gerep ruha (injak telur) dan pentang pitak.
2.3.4. Ritual
Kematian
Kematian memiliki banyak ritual, di antaranya:
haeng nai (haeng: dapat, nai:
nafas), po’e woja agu latung (po’e: menahan, woja: padi, latung:
jagung), ancem peti (ancem: tutup, peti: peti mayat), tekang
tana-rampi boa (tekang: menggali,
tana: tanah, rampi: menggaruk tanah, boa:
kubur), tokong bako/lami loce (tokong/lami: menjaga, loce: tempat pembaringan sebelum mayat
dikuburkan), saung ta’a (saung: daun, ta’a: hijau) dan paka di’a
(paka:sifat, di’a: baik).
III. MEMBACA KONSEP
STEPHEN B. BEVANS SEBAGAI MODEL
3.1. Studi Awal
Dalam literature Indonesia, karya Steven
Bevans bukanlah publikasi pertama yang membahas tentang teologi kontekstual.
Publikasi pertama yang membangun kesadaran ini ialah terjemahan atas karya
Robert J. Schreiter, Constructing Local
Theology pada tahun 1985 oleh Stephen Suleeman.[27]
Buku ini memicu lahirnya pergerakan pemikiran tentang hirauan terhadap budaya
local dalam berteologi.
Buku Constructing
Local Theology membahas: teologi local, menyusun peta teologi local, studi
tentang budaya, teologi dan konteksnya, tradisi dan jati diri Kristen, agama
rakyat dan agama resmi dan sinkretisme dan system-sistem keagamaan berganda.
3.2. Biografi dan
Karya Stephen B. Bevans
Stephen Bevans adalah Profesor Misi
dan Budaya. Dia adalah seorang
imam Katolik Roma dari Serikat Sabda Ilahi, misionaris internasional,
dan selama sembilan tahun (1972-1981)
bekerja sebagai misionaris di Filipina. Dia mengajar di fakultas CTU selama 26 tahun.
Publikasinya antara lain: Models of
Contextual Theology (2002), Constants in Context: A Theology of
Mission for Today (2004, with Roger Schroeder), Evangelization and
Freedom (2009, with Jeffrey Gros), An Introduction to Theology
in Global Perspective (2009, Prophetic Dialogue: Reflections
on Christian Mission Today (with Roger Schroeder, 2011). In 2012
Steve edited Mission and Culture: The Louis J. Luzbetak Lectures.
Dia adalah mantan
presiden American Society of
Missiology (2006) dan anggota purna bakti dewan direksi Teologi Masyarakat Katolik
Amerika (2007-2009). Pada Maret 2012 Steve
adalah bagian dari delegasi resmi Vatikan untuk perakitan
Komisi Misi dan Penginjilan Dunia
di Manila, Filipina. Dia telah mengajar
dan memberi kuliah di
Inggris, Australia, Selandia
Baru, Meksiko, Italia, Irlandia, Taiwan,
Ghana, Thailand, dan
Hong Kong.
Dua karyanya
teranyarnya, Models of Contextual Theology (2002) dan Constants in
Context: A Theology of Mission for Today (2004, ditulis bersama
Roger Schroeder), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Yoseph Florisan dan telah diterbitkan oleh Penerbit Ledalero.
3.4. Model-model
Teologi Kontekstual[28]
Stephen B. Bevans memulai uraiannya
dengan penekanan bahwa teologi kontekstual sebagai imperative teologis. Dalam
bagian ini dijelaskan tentang kontekstualisasi sebagai sesuatu yang baru
sekaligus tradisional dan penjelasan tentang alasan dan factor
internal-eksternal mengapa dewasa ini teologi mesti kontekstual.
Adapun persoalan dalam teologi
kontekstual menyangkut metode teologi (antara lain bentuk mana yang perlu
diambil teologi, siapa yang berteologi dan akhirnya, dapatkah seorang yang
berasal dari sebuah konteks tertentu berteologi secara kontekstual?). Selain
itu, muncul persoalan menyangkut kiblat dasar teologi, persoalan menyangkut
criteria ortodoksi. Lalu, persoalan-persoalan menyangkut jati diri,
religiositas kerakyatan dan perubahan sosial. Akhir dari pembahasan ini
dimasukkan pilihan indigenisasi, kontekstualisasi dan inkulturasi.
Stephen B. Bevans lalu memperdalam
penjelasannya dengan menampilkan model-model teologi kontekstual dengan
terlebih dahulu mendefinisikan “model” dengan bereferensi pada Ian G. Barbour
dan A. Dulles. Pertama, Ian G.
Barbour mendefinisikan model sebagai representasi simblois dari segi-segi yang
dipilih menyangkut tingkah laku dari suatu system majemuk untuk maksud-maksud
tertentu.[29]
Kedua, Dulles mengartikan model
sebagai sebuah kasus yang dirancang secara agak sederhana dan artificial, yang
dirasa berfaedah dan memberi terang untuk menghadapi rupa-rupa kenyataan yang
lebih majemuk dan beraneka ragam.[30]
Uraian buku ini kemudian membahas secara
khusus model-model teologi kontekstual secara detail, antara lain: model terjemahan, model antropologis, model
praksis, model sintesis, model transcendental dan model budaya tandingan.
Adapun yang menjadi skema tetap dari
pembahasan setiap model berisi tentang garis besar model (terminology,
pengandaian, tinjauan atas model, diagram) dan contoh-contoh model dari
beberapa ahli.
IV. MODEL
TERJEMAHAN RITUS ORANG MANGGARAI
4.1. Konsep
Dasar Model
Steven B. Bevans menjelaskan bahwa
evangelisasi ke dalam budaya baru sering menggunakan metode ini sebagai
andalan.[31]
Robert Schreiter juga menandaskan hal yang sama, khususnya dalam upaya
pembaharuan teks-teks liturgi Katolik agar mengindahkan budaya setempat.[32]
Pertama
nian,
terjemahan yang dimaksud ialah terjemahan atas makna, bukan melulu kata-kata
dan tata bahasa. Sebuah terjemahan yang baik ialah upaya menangkap makna dan
jiwa dari sebuah teks. Kedua,
terjemahan harus bersifat idiomatic berupa padanan fungsional atau dinamis.
Ketiga, model
terjemahan menekankan bahwa ada “sesuatu” yang mesti “dicekokkan ke dalam”
bahasa yang lain. Selalu ada sesuatu dari luar yang mesti dicocokkan dengan apa
yang ada di dalam, selalu ada sesuatu yang diberikan, ada yang diterima.[33]
Pengandaian kunci dari model terjemahan
adalah pewartaan hakiki agama Kristen bersifat adi-budaya atau adi-kontekstual.
Para praktisi model berbicara tentang “intisari injil”. Adapun metafora
dasarnya berusaha menyingkap makna kiasan bernas dan sekam: ada bernas Injil
yang dikelilingi oleh sekam budaya yang dapat ditampi, dibuang dan bersifat
tidak hakiki.[34]
Itulah sebabnya model ini memiliki
langkah taktis pertama melucuti sesuatu (system berpikir dan pola hidup) dari
bungkusan budayanya dalam rangka menemukan bernas injil.
4.2. Kerangka
Terjemahan Ritus Orang Manggarai
Model Terjemahan disandingkan dengan
Tradisi Kristen. Tradisi ini terkesplisitasi pada isi dan hakikat iman dan bagaimana
iman itu diekspresikan. Perbandingan ini dimunculkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan
penuntun. Target yang mau dicapai dalam studi ini ialah bagaimana implementasi
ritus di hadapan iman Kristen.
4.2.1. Esensi
Ritus
Pertanyaan paling awal dalam bagian ini
ialah: “Apa esensi dari ritus?” Ambil missal: “Apa nilai paling hakiki dari
ritus Ce’ar Cumpe[35]
dalam budaya Manggarai?” Pertanyaan ini membimbing upaya penterjemahan ke
dalam ritus sakramen Pembaptisan dalam tradisi iman Katolik.
Bandingkan skema berikut ini:
Urutan Acara
|
Esensi Ritus
|
|
Ce’ar
Cumpe
|
Sakramen Permandian
|
|
1)
Pemberian Nama dan Pembaptisan
|
·
Nama menunjukkan identitas
·
Nama menunjukkan status
·
Penyatuan anak dengan klan dan leluhur
·
Penyampaian harapan
·
Permohonan dan perlindungan
|
·
Nama diasalkan pada orang kudus Kristen
·
Pembaptisan sebagai tanda untuk masuk dalam
keluarga Allah.
·
Tanda sebagai anggota Gereja
·
Pengakuan iman orang tua
·
Permohonan dan perlindungan
|
2)
Korban
|
·
Hewan yang dinyatakan lewat darah & pembacaan
usus dan hati
|
·
Kristus
|
4.2.2. Tujuan
Ritus
Di sini, pertanyaan yang harus diajukan
ialah “Untuk apa ritus ini dibuat?” Pertanyaan ini nantinya berkenaan dengan
maksud dan orientasi yang terbangun dalam ritus itu. Dalam contoh ritus Cear Cumpe di atas, adapun maksud dari
diadakannya ritus itu ialah agar anak memunyai nama dan identitas. Nama ini
tidak sekedar penanda tetapi serentak membuat persambungan secara sosial ketika
dihubungkan dengan status “ata one”
atau “ata pe’ang”.
Selain itu, upacara ini juga bertujuan
untuk memohon restu, baik dari Tuhan, leluhur maupun sesama (orang tua,
saudara, klan). Relasi sosial dalam ritus ini tidak saja terhubung dengan
manusia yang masih hidup, tetapi juga Yang Maha Tinggi (Mori agu Ngaran) dan para leluhur.
Bandingkan skema berikut ini:
Urutan
Acara
|
Tujuan
Ritus
|
|
Ce’ar Cumpe
|
Sakramen
Permandian
|
|
1. Permintaan
|
·
Permohonan restu dan perlindungan
|
·
Penebusan dan pemeliharaan
|
2. Tanda
|
·
Pembacaan hewan yang dinyatakan tanda usus dan
hati
|
·
Kristus
|
4.2.3. Pelaksanaan Ritus
Ritus terkait dengan peristiwa dan masa
tertentu dalam siklus hidup manusia. Dalam contoh ritus Cear Cumpe dan permandian, kedua ritus ini menandai inisiasi
manusia ke dalam kelompok baru, entah sebagai orang Manggarai, maupun sebagai
orang Kristen.[36]
Intinya ialah ritus-ritus ini memberikan
maksud dan memiliki makna tertentu bagi manusia yang memercayainya. Karena itu,
setiap tahapan dalam kehidupan orang Manggarai diawali dengan ritus-ritus itu,
sebagaimana juga dalam tradisi Kristen.
Bandingkan
skema berikut ini:
|
Waktu Pelaksanaan Ritus
|
|
Ce’ar
Cumpe
|
Sakramen Permandian
|
|
1. Hari
|
·
5-7 hari sesudah anak lahir
|
·
Bisa sesegera mungkin, bisa juga ditunda
sampai anak itu berumur 2-3 tahun, bahkan bisa juga saat dia sudah dewasa
|
2. Keyakinan tentang Waktu
|
·
Tidak ada pilihan hari yang dianggap paling
baik, asal saja sudah sesuai dengan waktu yang ditentukan (misalnya ke-5 atau
ke-7).
|
·
Umumnya dilakukan pada hari Minggu dengan
keyakinan bahwa hari Minggu adalah Hari Tuhan.
|
4.3. Penilaian Kritis
Ada beberapa catatan kritis yang perlu
dikemukakan. Pertama, dalam
inkulturasi iman Kristen, model ini paling banyak digunakan. Namun, ada kesan
bahwa inkulturasi dititik-beratkan pada iman Kristen sebagai patokan, dan
budaya hanya mengikuti iman itu. Dalam arti ini, terjemahan harafiah masih
menjadi kenyataan umum.
Kedua, efek yang
muncul ialah bahwa iman Kristen merasa superior atas budaya. Iman Kristen
sebagai “yang terbaik” dan yang lain hanyalah adaptasi untuk memahami iman
Kristen.
Ketiga, hingga saat
ini, belum sampai pada titik subtitusi model, melainkan hanya pada tahap
komplementer. Ambil misal, walaupun ritus Cear
Cumpe memiliki makna yang kaya sama seperti ritus Pembaptisan, namun belum
ada keberanian pada Gereja Lokal untuk menambahkan unsur iman pada ritus Cear Cumpe sebagai ritus Permandian a la Gereja Lokal Keuskupan Ruteng.
Tentu kenyataan ini berefek pada pendobelan hal yang sama (baik dalam esensi,
maksud atau tujuan dan waktu pelaksanaan) dan membawa akibat pada pembengkakan
biaya.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Terjemahan ritus budaya Manggarai ke
dalam iman Kristen sebagai sebuah upaya inkulturasi merupakan langkah awal
untuk masuk ke dalam pemertahanan budaya dan iman ke dalam kehidupan orang
Manggarai. Terjemahan itu lebih merupakan terjemahan atas makna dari budaya
orang Manggarai. Itu berarti penterjemah sekaligus menjadi interpretator yang
berusaha memahami isi dari budaya dan membuat sandingan dengan iman Kristen.
Langkah pertama yang harus dilakukan
oleh teolog, petugas pastoral dan pengambil kebijakan hirarki ialah berani
untuk memelajari budaya orang Manggarai dengan hati dan budi. Harus ada
keberanian untuk keluar dari pengandaian-pengandaian yang telah dipengaruhi
oleh konsep lama yang melihat keyakinan-keyakinan budaya sebagai bentuk yang
perlu ditobatkan.
Justru sikap sebaliknya yang harus
diperlihatkan yakni gereja harus bertobat secara metodologis untuk membangun
kerangka pastoral berbasis budaya, tentu nilai-nilai yang masih relevan dan
tetap menjadi ciri serta penanda identitas orang Manggarai.[37]
Dengan jalan ini, pemertahanan iman-budaya dapat dilakukan karena Gereja Lokal
menyembah Allah dari kedirian mereka sebagai orang berbudaya.
5.2. Rekomendasi
Ada dua hal yang harus ditampilkan
sebagai rekomendasi. Pertama, proses
belajar tiada henti untuk tidak hanya melihat budaya dalam konsep sesuatu yang
biasa dan tidak ada yang perlu di dalami lagi (taken for granted). Proses belajar ini akhirnya melahirkan
perspektif baru tentang budaya.
Kedua, peran
Perguruan Tinggi dalam ranah ini sangat penting. Petugas pastoral yang belajar
pendidikan teologi-pastoral harus juga melek budaya. Mereka tidak hanya fasih
berbicara-mewartakan iman akan Yesus, melainkan juga lancar membahasakan isi
nilai budaya yang relevan dan actual dengan ajaran Yesus. Dengan demikian, iman
memiliki basis dalam budaya dan budaya dibahasakan melalui iman. Keduanya akan
hidup berdampingan seraya saling menberi dan menerima (take and give). Semoga!***
Ruteng, 08 Mei
2013
Mengenang hari
kematian P. Dr. Yoseph Suban SVD,
Guru dan Teolog
Kontekstual
DAFTAR PUSTAKA
BUKU, KAMUS, DOKUMEN, MANUSKRIP,
ARTIKEL
A. Nggoro, Kebudayaan Manggarai Selayang Pandang. Ende: Nusa Indah, 2005.
Antony Bagul Dagur, Kebudayaan
Manggarai sebagai salah satu Khasanah
Kebudayaan Nasional. Surabaya:
Ubhara Press, 1997.
Avery Dulles, Models of Revelation. New York: Doubleday, 1983.
Barbour, Myths, Models and Paradigms: A Comparative Study in Science and
Religion. New York: Harper and Row, 1974.
Bonefasius Jehandut, Uskup Wilhelmus van Bekkum dan Dere Serani. Jakarta:
Nera Pustaka, 2012.
Doroteus Hemo (a), Ungkapan Bahasa Daerah
Manggarai. Ruteng: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan,
1990.
______, Sejarah
Daerah Manggarai. Ruteng, 1988.
______, Pola
Penguasaan Pemilikan Tanah dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional
Daerah Nusa Tenggara Timur. Kupang:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradsional Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-
nilai Budaya Daerah, 1990.
Jilis AJ. Verheien, Kamus Manggarai-Indonesia
1. S.Gravenhage: Koninklikj
Instituut
voor Taal-Land-en Volkenkunde, 1967.
______, 15 Jilid Manggarai Text. Ruteng: Regio
SVD Ruteng, 1970-1990.
______, Manggarai dan Wujud Tertinggi. Seri
LIPI-RUL, 1999.
______, Kamus Indonesia-Manggarai 2. S.
Graventage: Martinus Nijhoff, 1967.
______, Pulau Komodo Tanah,
Rakyat dan Bahasanya, Terjemahan: Achadiati Ikram
Jakarta: Balai Pustaka,
1987.
______, ”Inheems Kerkzang in de Manggarai” dalam: Pastoralia No. II, Ende, 1938.
Kanisius
Teobaldus Deki, Tradisi Lisan Orang Manggarai. Jakarta: Parrhesia, 2011.
______, “Mori Jari Dedek” dalam: Jurnal Missio, Vol 1, No. 2 Juli 2009.
______, “Menggagas Teologi Pertanian di Manggarai-Sebuah
Pendekatan Biblis”
Jurnal Missio, Vol 3, No. 1 Januari 2011.
______, “Ritus
Kelahiran Orang Manggarai sebagai Bentuk Inisiasi Individu ke
Dalam Masyarakat”, Jurnal Missio, Vol 4, No. 1 Januari 2011.
______, Ritus
Teing Hang Orang Manggarai: Sebuah Studi Awal Untuk Mencari
Pertautannya dengan Inkulturasi Iman Kristen” dalam: Jurnal Missio, Vol 5,
No. 1 Januari 2013.
______, “Membaca Peta
Konflik di Manggarai: Upaya Telusuran Berposisi Pada Teori
Fungsionalisme Struktural dan Teori
Konflik”, dalam: Jurnal Missio, Vol. 6
No.2, Juli-Desember 2007.
______, “Dari Reformulasi ke Konteks Teologi” dalam: Flores Pos, edisi 11 Mei 2009. ______, “Memperkenalkan Teologi
Relasi” dalam: Menjadi Abdi Menghalau
Gelap Budi
Menyingsing Fajar Pengetahuan. Maumere: Ledalero, 2008.
______, Agama Katolik Berpijak dan
Terlibat-Telaah Teologi Pastoral Dalam Konteks
Manggarai
dan NTT. Jakarta: Parrhesia, 2012.
______, “Kain Songke dan Bahasa Penanda
Inkulturasi di Manggarai” dalam: Flores
Pos,
edisi 18 Februari 2012.
Lawang. R. M.Z., Konflik
Tanah di Manggarai, Flores Barat. Jakarta: UI Press, 1999.
Max Regus & Kanisius Deki (eds.) Gereja Menyapa Manggarai. Jakarta: Parrhesia
Institute, 2011.
Piet Go, Evangelisasi Baru. Malang: Dioma, 1992.
Rikard Rahmat, et. al., Gereja Itu Politis- Dari Manggarai Flores untuk Indonesia. Jakarta:
JPIC OFM, 2012.
Stef de Graaff (a), “Ritus Pertanian Orang Manggarai”, Manuskrip. Ruteng: 1987.
______, “Perkawinan
Manggarai”, Manuskrip (Ruteng: 1989).
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero, 2002.
Toda. Dami N., Manggarai
Mencari Pencerahan Historiografi. Ende: Nusa Indah, 1999.
Petrus Janggur, Tombo Turuk-Cerita Rakyat Manggarai. Ruteng, 1995/1996.
_______, Butir-butir Adat Manggarai Jilid 1. Ruteng,
2005.
_______, Butir-butir Adat Jilid 2. Ruteng, 2010.
Yohanes Servatius Lon, ”God is Mori Kraeng and Ine Rinding Wie in
Manggarai”, dalam:
Jurnal Missio, Vol. 1, No. 1, Januari
2009.
_______, ”The Controversy of ”Belis” in
Manggarai, dalam: Jurnal Missio, Vol.
1,
No. 2, Juli
2009.
_______, ”Language Genocide and Language Policy in Indonesia”, dalam: Jurnal Missio,
Vol.
2, No. 1, Januari 2010.
_______, ”The Ritual Bola Kaba Bakok in
Manggarai , West Flores and Its Significances
for the Manggaraian People”, dalam: Jurnal
Missio, Vol. 4, No.1, Januari 2011.
W. van Bekkum, “Litursche Erneuerung im der
Mission” dalam: Liturgische Jahrbuch.
Munster/Westfalen, 1956/1957.
_______,“Warloka-Todo-Pongkor”, dalam: Cultureel Indie, No. VI, Juli/Agustus,
Leiden, 1945.
_______, “Geschiedenis van Manggarai, West
Flores” dalam: Cultureel Indie, No.
VIII,
Mai/Juni, Leiden, 1946.
_______, “Manggaraische Kunst” dalam: Mededelingen No. LVIII, Afdeling Volkenkunde
no. XXI, Koninklijke Vereniging
“Indische Institute” te Amsterdam, 1946.
_______, “Megalithkultur
in der Manggarai” (West Flores) dalam: Etnologica
Tome II,
1952.
_______, “Kita
Membutuhkan Kebaktian Yang Sesuai Dengan Bangsa-bangsa Asia”,
dalam: Bentara, Tahun IX, No. XIV, 15 desember 1956, Ende, 1956.
_______, “Kongres
Pastoral Liturgi Internasional Pertama” dalam: Bentara, tahun IX No.
XVIII, 1 Desember 1956, Ende, 1956.
INTERNET
http://diosdias.wordpress.com/2007/02/20/ritus-mitos-simbol-dan-teologi-liturgi/. Diakses 8 Mei 2013.
[1] Makalah dipresentasikan dalam Seminar
Program Studi Pendidikan Teologi, Aula Missio, 31 Mei 2013.
[2] Dosen Program Studi Pendidikan Teologi,
Penulis dan peneliti budaya Manggarai.
[3] Tanpa menafihkan penulis atau peneliti lain,
di bagian ini, kami hanya menulis para pengarang/penelitian yang hasil
kajiannya sudah kami baca.
[4] W. van Bekkum (a), “Litursche Erneuerung im
der Mission” dalam: Liturgische Jahrbuch. Munster/Westfalen, 1956/1957. (b)
“Warloka-Todo-Pongkor”, dalam: Cultureel
Indie, No. VI, Juli/Agustus, Leiden, 1945. (c) “Geschiedenis van Manggarai,
West Flores” dalam: Cultureel Indie, No.
VIII, Mai/Juni, Leiden, 1946. (d) “Manggaraische Kunst” dalam: Mededelingen No. LVIII, Afdeling Volkenkunde no. XXI,
Koninklijke Vereniging “Indische Institute” te Amsterdam, 1946. (d)
“Megalithkultur in der Manggarai” (West Flores) dalam: Etnologica Tome II, 1952. (e) “Kita Membutuhkan Kebaktian Yang
Sesuai Dengan Bangsa-bangsa Asia”, dalam: Bentara,
Tahun IX, No. XIV, 15 desember 1956, Ende, 1956. (f) “Kongres Pastoral Liturgi
Internasional Pertama” dalam: Bentara,
tahun IX No. XVIII, 1 Desember 1956, Ende, 1956.
[5] Jilis AJ. Verheien (a), Kamus
Manggarai-Indonesia 1 (S.Gravenhage: Koninklikj Instituut voor Taal-Land-en
Volkenkunde, 1967), (b) 15 Jilid Manggarai Text (Ruteng: Regio SVD Ruteng,
1970-1990), (c) Manggarai dan Wujud Tertinggi (Seri LIPI-RUL, 1999), (d) Verheijen. Jillis. A., Kamus Indonesia-Manggarai 2 (S. Graventage:
Martinus Nijhoff, 1967). (e) Pulau Komodo Tanah, Rakyat dan Bahasanya,
Terjemahan: Achadiati Ikram (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), (f) ”Inheems
Kerkzang in de Manggarai” dalam: Pastoralia
No. II, Ende, 1938.
[6] Stef de Graaff (a), “Ritus Pertanian Orang
Manggarai”, Manuskrip (Ruteng: 1987),
(b) “Perkawinan Manggarai”, Manuskrip
(Ruteng: 1989).
[7] Doroteus Hemo
(a), Ungkapan Bahasa Daerah Manggarai. Ruteng:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990. (b) Sejarah Daerah Manggarai.
Ruteng, 1988. (c) Pola Penguasaan Pemilikan Tanah dan Penggunaan Tanah
Secara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur. Kupang: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradsional Proyek
Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah, 1990.
[9] Petrus Janggur (a), Tombo Turuk-Cerita Rakyat Manggarai (Ruteng, 1995/1996), (b), Butir-butir Adat Manggarai Jilid 1
(Ruteng, 2005), (c) Butir-butir Adat
Jilid 2 (Ruteng, 2010).
[10] Antony Bagul
Dagur, Kebudayaan Manggarai sebagai salah satu Khasanah Kebudayaan
Nasional. Surabaya: Ubhara Press, 1997.
[11] A. Nggoro, Kebudayaan Manggarai Selayang Pandang (Ende: Nusa Indah, 2005).
[13] Kanisius Teobaldus Deki (a) Tradisi Lisan Orang Manggarai (Jakarta:
Parrhesia, 2011), (b) “Mori Jari Dedek” dalam: Jurnal Missio, Vol 1, No. 2 Juli 2009. (c) “Menggagas Teologi Pertanian di Manggarai-Sebuah
Pendekatan Biblis” Jurnal Missio, Vol 3, No. 1 Januari 2011. (d)
“Ritus Kelahiran Orang Manggarai
sebagai Bentuk Inisiasi Individu ke Dalam Masyarakat”, Jurnal Missio, Vol 4, No. 1 Januari 2011. (e) Ritus Teing Hang
Orang Manggarai: Sebuah Studi Awal Untuk Mencari
Pertautannya dengan Inkulturasi Iman Kristen” dalam: Jurnal Missio, Vol 5, No. 1 Januari 2013. (f) “Membaca Peta
Konflik di Manggarai: Upaya Telusuran Berposisi Pada Teori Fungsionalisme
Struktural dan Teori Konflik”, dalam: Jurnal
Missio, Vol. 6 No.2, Juli-Desember 2007. (g) “Dari Reformulasi ke Konteks
Teologi” dalam: Flores Pos, edisi 11
Mei 2009. (h) Memperkenalkan Teologi Relasi” dalam: Menjadi Abdi Menghalau Gelap Budi Menyingsing Fajar Pengetahuan
(Maumere: Ledalero, 2008), p. 330. (i) Agama Katolik Berpijak dan
Terlibat-Telaah teologi Pastoral Dalam Konteks Manggarai dan NTT (Jakarta:
Parrhesia, 2012). (j) “Kain
Songke dan Bahasa Penanda Inkulturasi di Manggarai” dalam: Flores Pos, edisi 18 Februari 2012.
[14] Gereja
Menyapa Manggarai (Jakarta: Parrhesia Institute, 2011).
[15] Yohanes Servatius Lon (a), ”God is Mori Kraeng and Ine Rinding Wie in
Manggarai”, dalam: Jurnal Missio,
Vol. 1, No. 1, Januari 2009. (b) ” The Controversy of ”Belis” in Manggarai,
dalam: Jurnal Missio, Vol. 1, No. 2,
Juli 2009. (c) ”Language Genocide and
Language Policy in Indonesia”, dalam: Jurnal Missio, Vol. 2, No. 1, Januari 2010. (d) ”The Ritual Bola Kaba Bakok in Manggarai , West Flores and Its Significances
for the Manggaraian People”, dalam:
Jurnal Missio, Vol. 4, No.1, Januari 2011.
[16] Rikard Rahmat, et. al., Gereja Itu Politis- Dari Manggarai Flores untuk Indonesia (Jakarta:
JPIC OFM, 2012)
[17] Bonefasius Jehandut, Uskup Wilhelmus van Bekkum dan Dere Serani (Jakarta: Nera Pustaka,
2012).
[18] Uraian yang cukup lengkap sebagai komentar
tentang hal ini: Piet Go, Evangelisasi
Baru (Malang: Dioma, 1992).
[19] Istilah evangelisasi baru, muncul ketika
Paus Yohanes Paulus II memberikan surat ensiklik “Redemptoris Missio (RM)” atau “Misi dari Sang Penyelamat“, yang
diberikan pada tanggal 7 Desember 1990, yang merupakan ulang tahun ke-25 dari
dokumen “Ad Gentes” atau “Dekrit tentang kegiatan missioner Gereja“.
Dengan demikian, istilah evangelisasi baru adalah merupakan suatu rangkaian
dari dokumen Vatikan II, khususnya “Ad Gentes“,
“Lumen Gentium” dan sinode-sinode,
yang membahas tentang evangelisasi berdasarkan surat apostolik “Evangelii Nuntiandi” (EN /
Evangelisasi di dunia modern), yang dibuat oleh Paus Paulus VI pada 8 Desember
1975. Hal ini diperkuat oleh surat apostolik “Tertio Millennio Adveniente (TMA)“, yaitu surat yang
berisi persiapan tahun Yubelium Agung 2000.
[20] Diadaptasi dari: http://diosdias.wordpress.com/2007/02/20/ritus-mitos-simbol-dan-teologi-liturgi/. Diakses 8 Mei 2013.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Max Regus dan Kanisius T Deki (eds.), Gereja Menyapa Manggarai (Jakarta:
Parrhesia, 2011), pp. 49-196
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Asli ditulis dalam bahasa Inggris,
diterbitkan oleh Orbis Books, Marynoll, New York, 1985.
[28] Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), pp. 1-48
[29] Barbour, Myths, Models and Paradigms: A Comparative Study in Science and Religion
(New York: Harper and Row, 1974), p. 6
[30] Avery Dulles, Models of Revelation (New York: Doubleday, 1983), p. 30.
[31] Stevans Bevans, Op. Cit., p. 63.
[32] Robert Schreiter, Op. Cit., pp. 14-15.
[33] Stevans Bevans, Op. Cit., p. 67-68.
[35] Kanisius Teobaldus Deki, “Ritus Cear Cumpe sebagai
Ritus Iniasiasi Individu ke Dalam Masyarakat” dalam: Jurnal Missio, vol. 4, no. 1, 2012.
[36] Kanisius T. Deki, “Ritus Kelahiran Orang Manggarai sebagai Bentuk Inisiasi
Individu ke Dalam Masyarakat”, Jurnal Missio, Vol 4, No. 1 Januari 2011, pp. 31-45
[37] Kanisius T. Deki, “Dari
Reformulasi ke Konteks Teologi” dalam: Flores
Pos, edisi 11 Mei 2009. Bdk. Kanisius T. Deki “Memperkenalkan Teologi
Relasi” dalam: Menjadi Abdi Menghalau
Gelap Budi Menyingsing Fajar Pengetahuan (Maumere: Ledalero, 2008), p. 330.
Bdk. Kanisius T. Deki, “Kain
Songke dan Bahasa Penanda Inkulturasi di Manggarai” dalam: Flores Pos, edisi 18 Februari 2012.
Apa koe fungsi dari setiap prosesi acara kematian.. Mulai dari 1. Torok seng wae luu 2. Upacara ela haeng nai 3. Poe woja latung 4. Ancem peti 5.lengka saung taa 6. Teing hang 40 malam 7. Kelas.
ReplyDeleteOm minta tolong jelaskan Ke 7 prosesi berikut. 🙏
Tentang hal ini ada pada Buku Kami: Ritus-ritus adat orang Manggarai (Bappeda Kab. Manggarai 2018).
ReplyDelete