Catatan Pilkada ke-5
Kanisius
Teobaldus Deki
Gema Pilkada Manggarai sudah terdengar sejak
beberapa waktu lalu. Semua menyiapkan diri untuk menghadapi moment penting ini.
Pertanyaan substansial diajukan: “Akankah Pilkada tahun 2020 ini membawa perubahan
dan kemajuan yang berefek pada tercapaianya kesejahteraan rakyat?” Pertanyaan
mahapenting ini harus diajukan. Karena jika jawabannya "tidak memberi efek" pada
kesejahteraan masyarakat, maka Pilkada hanya merupakan sebuah tipuan terencana
yang legal.
Menariknya, untuk mencapai kemenangan,
kandidat dan para pendukung berusaha keras dengan pelbagai cara untuk memeroleh
kemenangan diajang Pilkada ini. Ada banyak usaha untuk meyakinkan pemilih agar
memberikan dukungan politik, khususnya pada pemilihan di 9 Desember 2020. Namun,
kerap kali, keinginan yang besar untuk meraih kekuasaan kerap membuat banyak
orang lupa diri, termasuk menghalalkan segala cara supaya bisa menang.
Ketika secra resmi pada 23-24 September 2020
dua paslon ditetapkan sebagai calon dan penarikan nomor urut untuk kertas
suara, sesungguhnya gong pertarungan baru ditabuh secara resmi. Pendaftaran yang
dilakukan pada 5-6 September 2020 kini diterima dan dinyatakan secara sah. Siapapun
yang bekerja dalam tim Pilkada, kini dengan sigap menaikkan daya kerja dan
juang untuk kemenangan pasangan masing-masing.
Kendati semua kandididat dan timnya berharap
akan menang, satu harapan bersama yang tak boleh alpa dari kesadaran kita
adalah munculnya sebuah situasi Pilkada tanpa kekerasan, darah dan air mata. Sebuah
Pilkada yang tidak disimbolkan pada kope
(parang) sebagai tanda perang.
Kope dalam
Budaya Manggarai
Dalam kultur agraris Manggarai, kope memiliki arti yang sangat penting. Kope adalah alat kerja untuk menebas
pohon atau membersihkan rumput di kebun. Kope
juga alat untuk meruncingkan kayu pagar kebun, membelah bambu dan memotong tali
temali supaya binatang tak memasuki area kebun. Kope yang sama menjadi salah satu perkakas untuk membangun rumah.
Dalam mempertahankan
diri, kope menjaga pemilik dan
keluarganya dari aneka serangan, baik binatang buas (motang puar) pun sesama manusia yang menjadi musuh ataupun yang
datang ingin mencelakai orang ataupun benda (purak mukang wajo kampong). Itulah sebabnya, kope menjadi barang penting di setiap rumah orang Manggarai. Melihat
berbagai keperluan, ada banyak jenis kope.
Ada kope untuk berkebun ada juga kope untuk mempertahankan diri. Kelewang, banjar, lombong nio adalah
jenis-jenis kope yang dipersiapkan
untuk memertahankan diri.
Arti figurative
juga dinyatakan dalam kope. Dalam pengertian
itu, kope adalah simbol kejantanan
pria. Bagi pria yang impoten ataupun tidak memiliki anak ketika menikah kerap
didengar istilah atau sebutan “toe manga
kopen” (tidak memiliki kejantanan atau tidak mampu memproduksi). Kope dalam ungkapan itu memiliki makna
yang sangat mendalam. Ketidakmampuan menghasilkan kehidupan merupakan sebuah
kenyataan yang sangat tidak diinginkan, oleh sipapun.
Dalam arti figurative
inilah kita bisa paham tentang sebuah acara mendulang dana sosial jelang
pernikahan yang disebut “kumpul kope”.
Dalam acara ini orang yang diundang ingin menyumbangkan sejumlah dana bagi
orang yang akan menikah. Ada pengumpulan kekuatan, khususnya finansial, agar
orang ini menyelesaikan urusan pernikahannya dengan baik.
Tatkala ada
peperangan (raha, rampas) kope memainkan peran strategis sebagai
senjata selain korung (tombak). Dali kope (mengasah parang) lalu selek kope adalah aktivitas mempersiapkan
senjata dan pengenaan senjata sebelum menuju medan pertempuran. Di zaman dahulu
para peserta yang akan bertempur melakukan lilik
compang (mengelilingi mesbah
persembahan kampung) sebanyak 7 kali.
Kope tidak hanya menjadi simbol dalam
dunia pertanian dan militer, tetapi juga dihubungkan dengan alat pampang wakar (penjaga jiwa) dalam ritual Paka Di’a (Pesta Kenduri). Saat itu, pihak Anak Rona memberikan kope
kepada anak wina secara resmi. Anak wina (pihak penerima gadis)
memberikan wali kepada anak rona
(pihak pemberi gadis).
Dari banyak
arti yang dipempatkan pada kope, selek
kope memiliki banyak makna. Selek kope
ke kebun merupakan sebuah harapan agar ada hasil dari kebun itu. Seperti lagu
Manggarai ciptaan musisi Felix Edon: weri
woja ako woja, weri latung gok latung (menanam padi akan menuai padi,
menanam jagung akan memanen jagung). Ketika ada orang selek kope menuju sebuah pertarungan politik, kendati benar dalam
kultur masa lampau, namun menggelisahkan jika membayangkan akibatnya. Itu makanya
dibahas saat ini.
Tidak Selek Kope=Pilkada
Damai
Kekerasan massal
di Manggarai Raya yang terjadi di masa lampau menyebabkan kematian banyak orang.
Catatan penelitian P. Dr. Hubert Muda SVD dan P. Adam Satu SVD MA (2001:9) mempresentasikan
kekerasan kolosal yang berakibat kematian di Coal-Sama (1936, 1939, 1966, 1987,
1991, 1993), Taga- Mena (1935, 1958, 1967, 1979, 1982), Dimpong Rembong-Nggawut
(1939, 1963, 1971, 1984, 1988, 1999), Dalo-La’o (1935, 1956, 1983, 1990, 1993,
1999), Wangkung-Popo (1976, 1990, 1993), Tontong Kedel (1982, 1988, 2001). Dalam
perang ini kope memainkan peran
penting. Kopelah alat yang membunuh
dan menghilangkan nyawa dari lawan tanding.
Pilkada sebagai
sebuah event politik bertujuan meraih kekuasaan pada level daerah. Ada sebuah
ruang pertarungan di sini. Namun tentu tak bisa paralelkan apalagi disamakan
dengan raha rumbu tanah (perebutan
tanah). Pilkada yang bermartabat adalah perang gagasan tentang rencana
pembangunan untuk 5 tahun yang akan datang. Pertanyaan kuncinya adalah “Akan
dibawa ke mana nasib rakyat selama 5 tahun ini?” Jika pertanyaan itu diajukan,
itu berarti mempertanyakan apa yang hendak dilakukan oleh kandidat sebagai
sebuah bentuk implementasi program pembangunan.
Sebagai sebuah
perang gagasan, konsep-konseplah yang dikedepankan. Show of forcenya ada pada ide-ide cemerlang yang secara gamblang
dapat dilihat oleh masyarakat pemilih. Misalnya, inovasi pada pembangunan ada
pada infrastruktur sebagai lokomotifnya. Logikanya, infrastruktur jalan yang
baik akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Maka, jalan yang jelek sebaliknya akan
memperlambat pertumbuhan ekonomi. Nah, sekarang lihat ke kenyataannya. Apakah jalan-jalan
kita sudah baik? Apakah sudah ada konektivitas antar kampung? Jika belum,
munculkan inovasi infrstruktur macam mana yang mau dibangun. Dialektika semacam
ini akan memberikan wawasan sekaligus mencerahkan masyarakat pemilih sehingga
menentukan pilihan dengan elegan.
Pilkada
sebagai sebuah ajang meraih kekuasaan memiliki potensi konflik yang besar. Itulah
sebabnya, selek kope disaat seperti
ini, sangat tidak dianjurkan karena berpotensi menyulut kekerasan fisik yang
berakibat fatal: luka dan kematian. Secara inplisit selek kope saat ini mengatakan: saya sudah siap tempur, dengan cara
apapun saya harus menang, termasuk kekerasan. Hendaknya kandidat tidak
mempertontonkan kope di khalayak
ramai, demikianpun tim kerja pun pendukung. Jika ada kelompok masyarakat ingin
mengerahkan dukungan kepada kandidat tertentu, jauhkan kope sebagai simbol dukungan. Karena kope harat (parang tajam)
yang salah digunakan akan membawa petaka yang tak cukup hanya disesali.
Berselancar di
dunia yang kemajuannya super cepat seperti era digital saat ini, membawa kita
kepada kesadaran untuk mulai menemukan simbol-simbol baru perjuangan
pembangunan. Tema-tema konektivitas, kerja sama, inovasi, teknologi, potensi
daerah, usaha riil, pertanian organik, anak-anak stunting, lapangan kerja, pendidikan, kesehatan dasar adalah focus yang
harusnya menjadi inti kampanye. Tampilan fisik para kandidatpun tanpa ada
simbol kekerasan seperti kope. Karena,
pada galibnya, perjuangan kita di Pilkada kali ini, bukan demi kita sendiri,
tetapi demi generasi masa depan Manggarai yang lebih baik. Mari bangun Pilkada
damai tanpa selek kope! Siapapun
pemenangnya, rakyat tidak boleh jadi korban kekerasan.***
Mantul Abang.
ReplyDeleteTerima kasih Ite sudah membaca.
DeleteKeren
ReplyDeleteTerima kasih Ite sudah membaca.
DeleteLuar biasa. semoga para pembaca benar-benar paham. Terimakasih kaka untuk edukasinya.
ReplyDeleteAmin Ite.
DeleteLuar biasa kk... Kajian politik berpijak sosio original cultural Manggarai ini setidaknya mampu mengubah mindset pemilih rational di Pilkada 2020 Ini. Salam demokrasi untuk Pak Ketua Perindo DPC Manggarai...
ReplyDeleteTerima kraeng Bius. Tanah ini bukan hanya milik kita, tetapi juga milik generasi masa depan. Mari kita jaga dan rawat bersama.
DeleteTerima kasih sudah mencerahkan kae. Sebuah ulasan utk membangun sebuah wawasan berpikir yg elegan dlm proses demokrasi, apapun judul hajatannya. Memberikan gambaran demokrasi yg modern dan bermartabat.🙏
ReplyDelete