Saturday, 26 September 2020

Disfungsi Lembaga Adat Dalam Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Manggarai

 

Persawahan "Lodok" Manggarai.

Kanisius Teobaldus Deki


Dalam masyarakat agraris Manggarai terdapat Tu’a Golo yang berperan sebagai kepala wilayah yang mencakupi kampung [golo], tanah, hutan dan air. Selain Tu’a Golo, terdapat Tu’a Teno yang diberi wewenang untuk secara khusus mengurus pembukaan lahan kebun yang baru dan pembagiannya yang merata untuk semua masyarakat komunal. Dalam penelitian yang dibuat oleh Maria Ruwiastuti dan team (“Sistem Penguasaan Asli dan Politik Hukum Tanah di Manggarai Tengah”, 1994) tentang persoalan tanah, kenyataan ini melahirkan gagasan yang dikenal luas dalam filosofi kehidupan orang Manggarai yang membahasakan kesatuan antara tanah dan kehidupan mereka yakni, “gendangn one, lingkon pe’ang” [yang secara harfiah diartikan sebagai rumah di dalam, tanah di luar]. Dalam proses pembukaan lahan pertanian yang baru [lingko] dan pembagiannya, Tu’a Teno terlebih dahulu mengundang [siro] semua suku [panga] yang ada dalam wilayah kampung untuk mengadakan “lonto leok” [bermusyawarah] supaya mengatur pembagian tanah secara adil dan bijaksana kepada semua warga.

Lingko biasanya dibedakan atas beberapa jenis. Menurut penelitian Ruwiastuti pembagian lingko bisa dilihat dari jenis hewan yang dikorbankan. Pertama, Lingko Randang atau Lingko Rame yaitu sebidang tanah garapan yang dibuka dengan melakukan upacara adat dengan hewan korban yang besar berupa seekor kerbau atau babi merah [éla rae]. Bidang tanah yang dibuka dengan babi merah disebut lingko wina [lingko perempuan] dan yang dibuka dengan kerbau disebut lingko rona [lingko lelaki]. Lingko rame biasanya dikunjungi setiap tahun untuk mengadakan upacara penti. Kedua, Lingko Saungcué yaitu ladang garapan yang dibuka dengan membunuh seekor babi tanpa memandang warna bulunya. Mereka yang menggarapnya mempunyai kewajiban untuk mempersembahkan seekor ayam di lahan garapan itu setiap tahunnya (“Sengketa Tanah di Manggarai: Temuan, Pendapat, Analisis dan Rekomendasi Berdasarkan Penelitian Lapangan yang Dilakukan di Manggarai Tengah pada bulan Oktober-November 1994”). Selain pembagian dengan menelisik hewan yang dikorbankan, Lingko Randang [atau disebut juga Lingko Rame] memiliki ukuran yang sangat luas sehingga semua warga masyarakat golo mendapat bagiannya dalam tanah persekutuan komunal itu. Sedangkan Lingko Saungcuè [disebut juga Lingko Kina] memiliki ukuran yang lebih kecil dan warga yang tidak mendapat bagian dalam lingko itu dialihkan ke lingko yang baru dengan tetap memperhatikan asas keadilan. Robert Lawang dalam kajiannya “Konflik Tanah di Manggarai Flores Barat (1999)” mengakui adanya pembagian jenis lingko. Selain lingko rame, ada juga lingko yang disebut sebagai Lingko bon yakni kebun biasa yang dibagikan kepada mereka yang tidak mendapat bagian dalam lingko rame. Lingko rame selalu memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan rumah gendang, kampung dan warga kampung seluruhnya. Dalam arti inilah ungkapan “gendangn one, lingkon pe’ang” mengungkapkan analogi suami-istri [rona-wina]. Rumah gendang adalah suami untuk lingko yang adalah istri. Karena itu mengambil sebuah lingko identik dengan merebut istri. Konsekuensinya, pemilik lingko akan berusaha melalui pelbagai cara mempertahankannya.

Biasanya lingko dikelolah dengan mekanisme yang tetap dan jelas. Beberapa mekanisme itu antara lain: Pertama, Lodok. Lodok adalah pembagian tanah garapan dengan satu titik pusat dan daripadanya ditarik jari-jari yang membatasi bidang garapan dari setiap warga yang mengerjakan kebun. Pada titik pusat lodok ditanami pohon waru [haju Teno] yang dibentuk menyerupai gasing sehingga disebut mangka [gasing]. Setiap garis jari-jari berakhir pada batas yang disebut cicing. Mekanisme kedua adalah membuka lahan pertanian baru dengan cara yang sama seperti lodok namun ukuran lahannya lebih kecil. Lahan jenis ini disebut neol. Akhirnya, mekanisme yang ketiga disebut tobok, yaitu membuka kebun baru di luar batas lingko. Tobok diperuntukkan bagi mereka yang tidak mendapat bagian pada lingko.

Dari struktur dan mekanisme tradisional yang ada sebenarnya tidak ada  indikasi pencaplokan tanah antar kampung atau komunitas. Tu’a-tua Golo dan Tu’a-tu’a Teno setiap kampung saling menghormati dan mengakui perbatasan lingko masing-masing dengan batas-batas alamiah seperti sungai, gunung atau kawasan hutan keduanya. Setiap Tu’a Teno mengetahui dengan persis batas-batas lingkonya sehingga jikalau terjadi soal dengan batas-batas lingko akan dengan mudah diselesaikan dalam rumah Gendang.

Sejak Manggarai diklaim dan akhirnya dijajah oleh pihak luar [Goa-Tallo, Bima dan Belanda], identitas kemanggaraian mulai luntur lalu pudar sejalan dengan perkembangan yang multidimensional. Perubahan-perubahan itu menyata dalam hal-hal berikut ini. Pertama, Kehadiran penjajah selalu melegitimasi secara sepihak kekuasaan dalam masyarakat serentak meniadakan eksistensi penguasa lokal. Kedua, Penjajah juga menempatkan hukum, peraturan dan undang-undangnya secara sepihak, mengatasi hukum, peraturan dan undang-undang masyarakat asli Manggarai yang sebelumnya sudah memiliki perangkat hukum. Ketiga, Ketika Indonesia merdeka, peran dan fungsi pemerintahan lokal adat [Tu’a Golo, Tu’a Teno] tidak diakui sepenuhnya dan tidak diberi tempat yang selayaknya. Peran mereka dikesampingkan.

Efek yang timbul dari perubahan-perubahan dan pergeseran kekuasaan ini ialah tidak berfungsinya lembaga-lembaga adat dengan seluruh elemennya secara yuridis. Lembaga-lembaga itu menjadi disfungsi oleh kehadiran peraturan dan hukum baru di satu pihak, tetapi tetap dilihat memiliki pengaruh yang besar di pihak lain. Secara hukum, institusi pemerintahan adat tidak diakui perannya, tetapi dalam kenyataan justru banyak segi kehidupan masyarakat berkaitan dengan aplikasi real hukum atau peraturan adat.

Berkaitan dengan pola penguasaan atas tanah, pemerintah [Goa-Tallo, Bima dan Belanda] secara sepihak membuat peraturan untuk kepemilikan tanah tanpa menghiraukan pembagian yang telah dibuat oleh Tu’a Teno sebagaimana termaktub dalam tata laksana peraturan adat lingko. Ketika terjadi pergeseran kekuasaan dari Tu’a Golo ke Gelarang di zaman Goa-Tallo dan Bima, dan Dalu di zaman Belanda, peran dan pengaruh Tu’a Golo terhadap warganya dipangkas. Mereka yang sebenarnya memiliki kekuasaan atas “gendangn one, lingkon pe’ang” hanya menjadi kepala kampung yang berada di bawah kekuasaan Gelarang dan Dalu. Padahal, sengketa-sengketa tanah yang ada bertitik pangkal pada lokasi yang dibagi dengan menggunakan hukum adat yang tidak digubris oleh Gelarang ataupun Dalu. Hingga disaat Indonesia sudah merdeka pun penyelesaian masalah sengketa tanah tetap tidak menyentuh basis persoalan. Masalah-masalah sengketa tanah dibawa ke Pengadilan Negeri [PN] yang hanya memiliki produk hukum nasional [penyeragaman] yang tidak bereferensi kepada hukum adat [konteks lokal]. Mengapa referensi kepada hukum adat penting dilakukan? Hukum adat inilah yang membidani kelahiran sebuah lingko, pengakuan akan eksistensinya [penetapan tapal batas dan peta serta status yang jelas atasnya] dan keberlangsungannya di masa depan.

Ketika muncul kesadaran akan pentingnya intervensi hukum adat dalam penyelesaian konflik, institusi adat justru mengalami kesulitan dalam mengakomodasi persoalan yang ada. Kerusakan yang ditimbulkan oleh pengaruh pemerintahan kolonial terhadap institusi adat sudah sangat parah sehingga keterjalinan pengetahuan masyarakat pemiliknya juga terputus. Hal ini berakibat pada putusnya jalinan relasi pengetahuan lisan dan pewarisannya kepada setiap generasi baru. Persoalan muncul ketika setiap generasi tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang kepemilikan tanah lingko yang diwariskan secara lisan turun temurun. Akibatnya ada banyak pengetahuan tentang batas yang berbeda. Terdapat kenyataan, bahkan dalam satu wilayah persekutuan adat, pengetahuan tentang batas-batas tanah lingko tidak sama. Maka amat mungkin muncul berbagai klaim fiktif oleh generasi kemudian yang pada akhirnya memunculkan konflik horizontal.

Meskipun kita berada pada posisi dilematis berhadapan dengan pertanyaan tentang eksistensi lembaga adat dan peran yang dimainkan oleh fungsionaris adat yang kian lemah, namun ada kemestian untuk mencari titik temu antara esensi kehadirannya dengan masyarakat yang terakui oleh keberadaannya. Ada dialektika antara lembaga adat dan pengakunya. Terbanyak masyarakat Manggarai masih bereferensi pada tata aturan yang dimainkan aturan adat yang dikeluarkan oleh lembaga adat khususnya dalam kaitan dengan penguasaan dan pengelolaan tanah. Ada dua sikap yang bisa dipilih. Pertama, hukum positif (negara) di bidang agraria diberlakukan tanpa adaptasi yang kreatif atas masyarakat Manggarai. Argumentasi logis yang dikonstruksi atasnya karena Manggarai adalah bagian dari wilayah NKRI. Karena itu mutlak berlaku tata aturan negara atasnya (termasuk lembaganya), tanpa kompromi. Jika alur pemikiran ini yang menjadi main stream, maka penerapan hukum akan tetap tak mencapai harapan.

Kedua, terbangunnya kembali sistem lembaga adat yang mengembangkan suatu proses kreatif untuk mencapai eksistensinya yang kian terkikis oleh kemajuan zaman. Lembaga adat yang teradaptasi ini kemudian menegaskan jati dirinya dalam penemuan kembali rumusan tata aturan hakiki dari sistem penguasaan dan pengelolaan atas tanah di Manggarai seraya mempertautkannya dengan hukum positif. Bila jalan pikiran ini yang menjadi kiblat, maka masyarakat yang bereferensi pada hukum adat akan mendapat perspektif pencerahan karena hukum adat mereka tetap diterima persis ketika mereka sadar bahwa mereka adalah bagian dari NKRI. Persoalan akan tetap  muncul ketika eksistensi masyarakat dipertanyakan, tatkala eksistensi yang dilekatkan pada matra adat-istiadat, tempat jati diri diperjelas dan dipertegas itu, ditolak oleh sebuah sistem baru atas nama negara. Persoalan yang mungkin tak pernah selesai jika tak ada kesadaran antara lembaga adat dan negara untuk saling menerima dan memberi secara kreatif.***

 

(Dipublikasi pertama oleh: PILAR, September 2007)


1 comment: