Kanisius Teobaldus Deki
Peneliti Budaya Manggarai
081238575433
Dalam budaya orang Manggarai perkawinan tidak hanya menjadi
urusan privat dua individu tetapi juga dua keluarga besar dari kelompok
masyarakat yang berbeda. Perkawinan mengikat-satukan dua keluarga besar dengan
segala konsekuensinya. Sebagai tanda pemersatu, belis menjadi symbol penguat
yang secara resmi diakui oleh masyarakat dan menjadi bagian tak terpisahkan
dari prosesi perkawinan itu. Dalam kenyataan ditemukan praktik-praktik
menyimpang pemberian belis yang menimbulkan masalah bagi pengantin pun anggota
keluarganya. Bagaimana konsep belis orang Manggarai adalah fokus kajian dalam
artikel ini.
1 1.
Pengantar
Perkawinan sejatinya melahirkan
kehidupan yang bahagia. Setidaknya itulah yang menjadi harapan dan muara akhir
dari tindakan mempersatukan pria dan wanita dalam satu ikatan permanen. Namun
untuk sampai pada tahapan itu, perkawinan memiliki etape-etape tersendiri yang
sudah terkonstruksi secara sosial, budaya pun agama.
Pelbagai analisis, misalnya
atropologis, perkawinan dilihat sebagai tindakan natural untuk memperbanyak
keturunan dalam pemenuhan kebutuhan sosio-ekonomis.[1] Secara
sosiologis perkawinan diarahkan untuk melahirkan individu dan masyarakat.[2] Dalam konsep
agama Kristen melalui Kitab Hukum Kanonik (Kan. 1096 dan 1135) dinyatakan
sebagai kebersamaan seluruh hidup (totius
vitae consortium).[3]
Dalam perspektif kebudayaan, perkawinan
memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia. Untuk mencapai tujuannya,
perkawinan memiliki tahapan-tahapan yang memiliki makna dan arti tertentu bagi manusia
pemilik budaya itu. Di tengah kemajemukan nilai yang terbangun oleh karena
makna-makna proses perkawinan, salah satu hal penting yang sering menjadi
tilikan ialah soal mahalnya biaya perkawinan.
Usaha menilik biaya perkawinan kemudian
dikerucut dalam aspek-aspek utama, semisal belis,
mas kawin atau sering disebut mahar.[4] Terkait besarnya
biaya belis ini, ada suara-suara sumbang yang terekspresi dalam macam-macam
pendapat baik secara langsung, dalam acara peminangan maupun secara tidak
langsung melalui pewacanaan media sosial.[5]
Kajian ini lebih merupakan sebuah studi
awal (opening study) bagi kajian yang
lebih luas dan mendalam tentang konsep belis dan penerapannya dalam budaya
orang Manggarai. Sebagai studi awal tentu menjadi titik mulai untuk menemukan
tonggak-tonggak penting bagi analisis yang lebih konprehensif dan holistic.
Untuk menemukan data ada dua cara yang ditempuh yakni pembacaan atas hasil
studi pendahulu dan jajak pendapat melalui media sosial (facebook) yang dilakukan beberapa waktu lalu.
2 2. Jajak Pendapat Media Sosial
2.1.
Mula Kisah
Jajak pendapat ini lahir secara sadar
ketika ada tiga situasi berikut ini: Pertama,
sering sekali sebuah prosesi perkawinan orang Manggarai terganggu oleh urusan
belis (paca). Paca yang lengkap dan banyak dianggap sebagai sebuah kehebatan.
Sebaliknya jika jumlahnya kurang atau tidak memenuhi target kesepakatan menjadi
sebuah awal malapetaka. Kedua, ada
komentar-komentar lepas orang non Manggarai yang mengatakan belis perempuan
Manggarai sangat mahal.[6] Ketiga, ketika media sosial kian
menjamur dan arus informasi sangat deras mengalir menjangkaui semua orang,
pelbagai pendapat dapat diutarakan sedemikian bebas termasuk
keberatan-keberatan terhadap adanya belis dalam perkawinan.[7]
Menghadapi kenyataan ini, saya lalu
terpanggil memanfaatkan media sosial ini untuk mengetahui tanggapan masyarakat
luas secara sistematis terkait adanya belis dalam perkawinan pada budaya
Manggarai. Pertanyaan-pertanyaan diajukan dalam dua soal lalu di-share ke lima akun face book yang berbeda[8]:
Tabe
gula ase-kae (selamat pagi saudara-saudariku), saya
mau minta pendapat Anda: 1) Apa nilai dasar belis/paca orang Manggarai menurut Anda? 2) Apa masalah yg ada dalam
belis (konsep? deviasi konsep? interpretasi? bentuk? nominal?) Atas partisipasi
dite (kalian), terima kasih. Tabe (Salam).
2.2.
Hasil Jajak Pendapat
2.2.1.
Jumlah yang Ikut Berpendapat
Sejak
tanggal 25 Agustus 2014, ketika pendapat ini diposting di face book, setiap hari ada yang memberikan komentar. Ketika pooling untuk sementara ditutup tanggal
08 Oktober 2014, berikut adalah hasilnya seperti dinyatakan dalam table 1:
Tabel 1
Jumlah responden yang ikut dalam Jajak Pendapat
No
|
Kode Akun
|
Jumlah Melihat
|
Jumlah Menyukai
|
Jumlah Komentar
|
1
|
NTD
|
980
|
412
|
102
|
2
|
SC
|
24
|
3
|
7
|
3
|
IASP
|
33
|
1
|
2
|
4
|
MDKL
|
18
|
3
|
2
|
5
|
PMR
|
24
|
8
|
18
|
Total
|
1079
|
427
|
131
|
Dalam
tulisan ini, kajian lebih lanjut diarahkan berdasarkan pandangan responden yang
memberikan pendapat yakni 131 pendapat.
2.2.2. Masalah Belis
Dari 131 orang yang terlibat memberikan pendapat melalui komentar,
baik yang singkat maupun panjang, sebanyak 110 responden yang melihat belis
sebagai masalah yang harus segera diatasi. Hanya 21 orang yang tidak menganggap
belis sebagai masalah. Lihat diagram 2 berikut ini:
Dapat
dikatakan bahwa 83% pengguna face book
yang ikut dalam pooling pendapat ini
berpendapat bahwa belis itu sebuah masalah yang penting untuk segera
ditanggapi. Hanya 17% yang melihatnya bukan sebagai masalah. Itu berarti,
menurut versi dari pengguna face book,
pembicaraan tentang belis menjadi sebuah isu mendesak untuk dikembangkan dan
didalami.
Untuk
membahas tentang belis, perlulah terlebih dahulu menguraikan secara singkat
perkawinan orang Manggarai yang berfokus pada tujuan perkawinan, bentuk-bentuk
dan prosesi perkawinan. Dalam kajian Petrus Janggur, adapun tujuan perkawinan
dalam tata adat masyarakat Manggarai dapat dilihat dalam tiga aspek ini:
3.1.
Tujuan Perkawinan
Dalam budaya Manggarai, perkawinan memiliki
beberapa tujuan antara lain: Pertama, untuk
mendapat keturunan (kudut beka weki oné-beka salang pé’ang). Anak
sebagai hasil keturunan dilihat sebagai berkat dari Mori Jari Dedek (Allah Pencipta) sehingga kelahiran merupakan
kenyataan untuk memperbanyak anggota suku. Penggambaran hal itu diungkap dalam go’et: “émé wakak betong asa-manga wakén nipu taé”
(bambu yang tua mati, mesti diganti dengan bambu tunas-tunas muda) atau “émé
muntung pu’u gurung-manga wungkutn te ludung”. Dalam upacara peresmian
perkawinan adat (wagal atau nempung) harapan untuk memperoleh
keturunan diungkapkan dalam doa mendapatkan keturunan yaitu “ra’ok lobo
sapo-rénték lobo kécép, borék cala bocél-ta’i cala wa’i” (duduk berhimpun
di atas tungku api-duduk berderet-deret bagaikan tutupan periuk, membuang air
besar mengenai betis-buang air besar mengenai kaki). Arti dari pernyataan ini
ialah agar pengantin baru mendapat banyak keturunan. Hal mana diidamkan dalam konteks
masyarakat agraris yang membutuhkan banyak tenaga kerja.
Kedua, perkawinan diarahkan untuk membangun woe nelu (perhubungan antara keluarga anak rona [pemberi gadis] dan anak wina [penerima gadis]) dan menambah
eratnya jalinan keluarga besar. Bahkan terdapat perkawinan politis untuk
mendamaikan kedua wilayah adak[10]
(pemerintahan).[11]
Ketiga, perkawinan dalam
budaya orang Manggarai bertujuan “kudut ita le mosé di’as isé wina-rona”
(untuk saling membahagiakan pria dan wanita). Sedari awal leluhur orang
Manggarai mengakui hubungan suami isteri selain mengasihi dan tetap setia satu
sama lain mendatangkan kebahagiaan dan kesejateraan.
3.2.
Bentuk Perkawinan
Bentuk
perkawinan adat masyarakat Manggarai ada tiga yaitu Perkawinan cangkang (perkawinan
antarklén/suku), Perkawinan tungku dan Perkawinan cako (perkawinan
intraklén/suku).
Pertama, perkawinan cangkang.
Perkawinan cangkang bertujuan membentuk kekerabatan baru (woé nelu
weru atau iné-amé weru). Dengan demikian terjadilah perluasan
hubungan kekeluargaan dan nama suku tersebut semakin dikenal oleh suku-suku
lainnya. Lazimnya zaman dulu perkawinan cangkang terjadi antar kampong atau
antar ke-dalu-an, asal tidak terjadi dengan pihak yang diharamkan atau
tidak dengan pihak yang seketurunan (toé neki ceki-toé remong empo).
Perkawinan jenis ini sangat dilarang oleh pihak Gereja Katolik Manggarai.
Kedua, perkawinan tungku.
Perkawinan tungku bertujuan untuk melestarikan hubungan kekeluargaan
yang telah terbentuk sejak lama agar tidak terputus. Perkawinan tungku menurut
tradisi Manggarai bermacam-macam. Ada perkawinan tungku cu atau disebut
juga tungku dungka. Perkawinan antara anak laki-laki dari saudari dengan
anak gadis dari saudara. Selain itu ada pula yang disebut tungku sa’i atau
juga disebut tungku ulu. Ada pula yang disebut tungku canggot dan
bahkan ada yang disebut tungku anak de dué dan ada pula yang disebut tungku
salang manga. Ada pula yang disebut tungku néténg nara dan bahkan
ada yang disebut tungku dondot (sudah ada perkawinan tungku sebelumnya
lalu disusul lagi dengan perkawinan tungku yang berikutnya.) Untuk
mengetahui dengan jelas apakah itu perkawinan tungku atau tidak penting
sekali dibuat turuk empo (silsilah keturunan) dari orangtua kedua calon
mempelai.
Ketiga, perkawinan cako.
Perkawinan cako sebenarnya masih berhubungan dengan tungku.Tungku Salang atau kerap disebut Tungku Manga
Sa’i yakni perkawinan antar cucu atau cece. Dalam perkawinan cako
pemuda berasal dari keturunan sulung (wae tu’a) dan gadis berasal dari turunan bungsu [wae koe].
Perkawinan cako baru dapat terjadi setelah lima empo (lima generasi
keturunan). Perkawinan cako didahului oleh suatu upacara yang disebut baro
kamping morin. Perkawinan cako ini dapat
terjadi apa yang disebut cako cama asé-ka’é atau cako cama wa’u dan
ada pula yang disebut cako cama salang.
Selain perkawinan Tungku dan Cangkang,
ada juga beberapa jenis perkawinan yang mirip dengan Tungku. Pertama,
perkawinan Lobo Pa’a atau disebut juga Toko r[l]ener (tidur
dengan tindih-menindih). Perkawinan jenis ini terjadi bila dua orang pria kakak
beradik menikahi dua orang perempuan kakak beradik. Meskipun ini bukanlah
gejala yang umum namun perkawinan ini terdapat di beberapa tempat di Manggarai.
Kedua, perkawinan Duluk atau disebut juga Kempeng Kabo,
yakni perkawinan yang dilangsungkan antara satu pria dengan dua orang gadis
yang beradik-kakak. Ketiga, perkawinan Lili. Perkawinan Lili
terjadi jika seorang pria menikahi janda kakak atau adiknya sendiri. Dan keempat,
perkawinan Tinu Lalo yakni seorang pria menikahi adik dari istri yang
meninggal. Alasan yang paling kuat dari perkawinan Tinu Lalo adalah
memberikan perlindungan, pertolongan dan jaminan masa depan kepada anak-anak
yang telah ditinggalkan oleh ibu mereka.
3.3.
Tahapan Perkawinan[12]
Terdapat setidaknya empat tahap perkawinan dalam adat orang
Manggarai. Pertama : membawa barang bukti cinta dari pihak pemuda kepada
pihak wanita (ba pangkang). Hal ini terjadi kalau anak gadis masih di
bawah umur atau masih ada dalam bangku sekolah. Pihak laki-laki (calon anak
wina) menemui pihak wanita (calon anak rona). Sebagai bukti cinta
pihak laki-laki membawa seekor kuda atau kerbau. Apabila anak gadis sudah
beranjak dewasa, pada saat ba pangkang dapat dilaksanakan juga penukaran
cincin (tukar kila) dan mengadakan perjanjian: Nanti pada kesempatan mau
menikah antara kedua insane itu, maka kuda atau kerbau bukti cinta tadi (jarang
ko kaba pangkang) diperhitungkan sebagai belis, mas kawin (paca).
Sebaliknya bila ternyata kedua insan tadi tidak mau melanjutkan hubungannya
dengan pernikahan maka kuda atau kerbau dikembalikan kepada pihak laki-laki.
Kedua, pengikatan,
masuk minta, masuk rumah, membawa sirih-pinang yang dalam bahasa adatnya
disebut dengan “pongo” atau “ba cepa” atau juga sering disebut “tuké
mbaru”. Tahap ini adalah tahap peresmian pertunangan. Dalam acara pongo kedua
belah pihak mempunyai wakil atau juru bicara/juru runding yang disebut tongka
atau paténg. Juru bicara dari pihak laki-laki disebut tongka téi atau
paténg téi sedangkan juru runding dari pihak wanita disebut tongka
tiba atau paténg tiba.
Hal pokok yang dibicarakan dalam acara pongo/ba cepa/
tuké mbaru adalah belis (Paca) yang berupa kuda dan kerbau
(wasé uwur agu wasé wunut) dan uang sebagai penyerta kuda dan kerbau
berikut jumlahnya. Misalnya ditetapkan 5 ekor kuda dan 3 ekor kerbau serta uang
lima puluh juta rupiah. Jika perundingan tentang belis disepakati maka
dapat ditentukan kapan pernikahan dilaksanakan. Sebelum mengakhiri upacara pongo,
mesti dirajut pembicaraan apa yang mesti dibuat bila salah satu dari kedua
insan itu pada suatu saat tidak mau menikahi pasangannya, dengan berbagai
alasan. Keputusannya biasanya begini : Bila anak gadis tidak mau menikahi
pasangannya maka belis yang sudah dikeluarkan oleh pihak laki-laki
dikembalikan dan ditambah seekor babi untuk memulangkan si pemuda kepada pihak
keluarganya. Babi itu dalam bahasa adatnya disebut “ela podo wa’u”.
Tetapi jika laki-laki yang tidak bersedia menikahi pasangannya maka belis yang
sudah dikeluarkannya dan sudah diterima pihak anak gadis tidak akan
dikembalikan lagi dan malah ditambah dengan seekor kuda atau kerbau sebagai
penutup rasa malu pihak keluarga wanita. Dalam bahasa adatnya disebut jarang
ko kaba cému ritak. Kesepakatan antara juru runding /tongka itu
diresmikan dalam “ela mbukut”. (seekor babi sebagai simbol pengikatan
kesepakatan adat pongo). Ela mbukut itu diberikan oleh anak
rona kepada anak wina. Upacara pongo bisa berjalan lancar,
bisa juga sebaliknya. Tergantung pendekatan kedua belah pihak sebelumnya, di
samping itu juga tergantung kelihaian juru runding berbicara soal adat.
Pongo cangkang dan pongo
tungku ataupun pongo cako berbeda-beda dilihat dari latar
belakangnya. Pongo cangkang dikarenakan seorang pemuda tertambat hatinya
oleh seorang gadis yang dipilih/ditemuinya di kampung lain atau klén
lain. Dalam bahasa kiasan adat dikenal ungkapan karena melihat sirih di depan
kampung “ita kala le pa’ang- tuluk pu’u batu mbaun”. Sedangkan pongo
tungku diadakan demi pertimbangan mencari kembali pokok/asal-usul
keturunan, dan mau menjalin kembali. Dalam kiasan adat dikatakan, karena tanta
sudah mendahului, maka menantu harus mengikutinya, ”inang olo-woté musi atau
alo dalo-pulu wungkut”. Pongo tungku lebih
mempertimbangkan keluhan anak-wina yang berkata : ”tidak ada tenaga
untuk membuat api/memasak atau untuk menimba air. Dalam kiasan adatnya
dikatakan : ”baro de inang, api toé caing-waé toé haéng”. Untuk
melengkapi keluhan ini biasanya anak wina membawa seekor kambing atau
anjing (acu la’it borék) dan pakaian untuk calon pengantin putri (towé
tabing) . Pongo cako hampir sama dengan pongo tungku. Karena
pintu rumah berhadapan dan satu halaman tempat bermain sehingga terjadilah
perpaduan cinta antara pemuda dan sang gadis. Dalam kiasan adatnya dikatakan “ali
mbaru dungka tau-ca natas baté labar itu mangan majak mata di nana-reju
mata diha enu”. Menurut adat Manggarai pongo cako atau perkawinan
cako dapat terjadi pada lapisan generasi yang ke- 4 atau ke-5, dstnya.
Dalam hal ini menurut adat biasanya akan ada tanda-tanda yang bakal muncul dari
pasangan yang hendak menikah itu. Tanda itu menurut adat adalah sebagai berikut
: Bila perkawinan cako itu direstui oleh para leluhur dan Tuhan sendiri
maka dari perkawinan itu akan memperoleh keturunan dan murah rejeki (ita le
di’a moséd). Tetapi bila tidak direstui atau belum tepat waktunya karena
masih terlalu dekat maka bila perkawinan sudah berjalan beberapa tahun,
keluarga cako itu tidak mendapat keturunan dan bahkan sering jatuh sakit
dan menyebabkan kematian di antara mereka. Maka di sini jelas sekali perkawinan
cako itu belum direstui Tuhan dan para leluhur. Perkawinan cako dapat
ditunda sampai generasi berikutnya. Selain itu perkawinan cako tidak
direstui Tuhan dan para leluhur karena dahulu para leluhur berpisah dan tinggal
berjauhan satu sama lain karena percecokan internal keluarga (biké haé wa’u).
Yang sering kita jumpai akhir-akhir ini adalah cako cama salang atau
cako cama anak wina. Hal ini tidak berhalangan karena menurut adat,
orangtua mereka berasal dari wa’u (suku) yang berbeda (toe neki cekis).
Mereka mempunyai hubungan hanya karena memiliki anak rona yang sama.
Karena itu ada yang menyebut “waé teku remong” (bertemu di air timba
karena satu anak rona).
Ketiga, peresmian
perkawinan. Dalam masyarakat Manggarai dikenal tiga jenis peresmian perkawinan.
Pertama, perkawinan masuk yang disebut dalam bahasa adatnya “pumpuk ulu-rami wa’i” atau ada pula
yang menyebutnya “tu’us wa-cangkem éta” bahkan ada pula yang menyebutnya
“donggo mata olo-donggé mata oné”. Peresmian jenis ini diadakan bagi
mereka yang tidak mampu atau karena sebabsebab lain yang sangat mendesak. Belis
dalam peresmian jenis ini tidak dibayar tuntas, paling tinggi hanya
membayar seekor kuda atau dua ekor babi pengganti kuda. Mengapa terjadi
peresmian jenis ini yang dilandasi oleh unsur “belas kasih” dari anak rona (tu’us
wa-cangkem éta). Pertama-tama karena ketidakmampuan orang miskin (momang
ata lénggé) melunasi belis. Selanjutnya orang tua pihak anak gadis
menghargai cinta anaknya dalam hal hubungannya dengan pemuda yang dicintainya
itu. Pihak laki-laki belum sempat menyediakan belis, tetapi karena
didesak terus maka peresmian dilaksanakan juga. Tetapi ada pula yang terjadi
karena keikhlasan orang tua pihak gadis. Anak mantu itu kelak sebagai penolong
bagi mereka di hari tuanya. Dan akhirnya si pemuda juga ingin tinggal bersma
orang tua isterinya karena tanah garapan disitu sangat subur bila dibandingkan
dengan tanah garapan di kampung asalnya. Selanjutnya menurut adat Manggarai, pasangan
ini tidak akan ada upacara podo (mengantar si isteri ke kampung
suaminya). Ia akan tetap tinggal di kampong isterinya. Kecuali bila rejeki
keluarga ada dan mereka minta urusan adat perkawinannya dibereskan, maka pihak anak
rona pasti menyambutnya dengan gembira dan melaksanakan upacara adat
seperti biasanya, yaitu umber atau wagal. Dan bila hal ini
terjadi, dan keluarga itu tetap tinggal di kampong anak rona, maka
bahasa adat “tu’us wa-cangkem éta, donggo mata olo-donggé mata oné”,
diganti dengan bahasa adat lain yang disebut “kawé woja wolé-latung coko”
atau juga sering disebut “long bombo-kawé mbaék”. Dengan demikian si
isteri dapat podo ke kampung suaminya atau bila tetap tinggal maka si
isteri dapat pergi-pulang ke kampung suaminya tanpa rintangan lagi.
Peresmian perkawinan yang kedua disebut umber. Di Kolang
Kecamatan Kuwus Kabupaten Manggarai Barat menyebutnya Pedeng Panté. Umber
atau pedeng panté ditandai dengan pembayaran/pemberian belis sebagian
kecil sesuai dengan kemampuan pihak anak wina. Umber ini ada yang
menyebutnya Cehi ri’i-wuka wancang-radi ngaung. Bila diterjemahkan
secara harafiah artinya peresmian perkawinan dapat dilaksanakan karena pihak anak
wina masuk dengan cara membuka alang-alang-membuka pelepah bambu-
menggunakan tangga dari kolong rumah, maksudnya meresmikan perkawinan itu
karena sebagian belis dapat dibayar. Dasarnya adalah keluarga yang baru
dibentuk itu bagaikan mata air yang tidak akan berhenti mengalirkan airnya dan
bukan jalan menuju ke pohon enau yang dapat berhenti mengeluarkan niranya.
Dalam bahasa adatnya dikatakan “bom salang tuak-maik salang waé teku tédéng”.
Maksudnya, dalam perjalanan hidup mereka kelak akan membayar segala tunggakan belisnya
dengan cara-cara adat yang berlaku hingga akhir hayat mereka.
Sesudah umber maka si isteri dapat dihantar ke kampong
suaminya (podo). Dengan demikian si isteri menjadi anggota suku (wa’u)
seturut suaminya. Sang isteri mengikuti ceki suaminya dan segala norma
adat yang berlaku dalam suku/ wa’u dari suaminya. Di sana sang isteri
dapat memperoleh segala warisan berdasarkan hak suaminya dalam suku itu. Dalam
urusan peresmian perkawinan adat yang disebut umber itu atau cehi
ri’i-wuka wancang-radi ngaung, sangat penting anak wina membawa
seekor kerbau yang disebut “kaba uté” atau ada yang menyebutnya “lébong”.
Kaba uté atau lébong itu akan dibunuh dan dagingnya diberikan
kepada “anak rona dari ibu” (anak rona sa’i/anak rona ulu”)
dan juga kepada seluruh anggota suku dari ayah (asé-ka’é de ema) bahkan
seluruh warga kampung (pa’ang olo-ngaung musi). Daging itu sebagai saksi
bahwa yang bersangkutan telah meresmikan perkawinannya menurut adat Manggarai
yang disebut umber itu.
Akhirnya peresmian perkawinan yang ketiga disebut wagal atau
nempung. Upacara ini paling lengkap. Belis dibayar tuntas
demikian pun uang sebagai penyerta belis dan upacara mendoakan hewan
kurban diadakan yang dalam bahasa adatnya disebut “cikat kina-wagak kaba,
ela lé-lancungsili” Maksudnya ada seekor babi yang didoakan dan ada pula kerbau
yang turut didoakan untuk kesejahteraan kehidupan keluarga yang dibentuk itu.
Selain itu ada pula acara sompo atau wéla héndéng (pengantin
perempuan diayubahagiakan dengan mengenakan pakaian adat dan bali-belo (mahkota
pada kepalanya) lalu dipersandingkan dengan suaminya dihadapan para tetua adat
dari pihak anak rona dan anak wina serta seluruh warga kampung (weki
pa’ang olo-ngaung musi). Sebelum babi didoakan ada pula pemberian wida (pemberian
berupa barang-barang seperti kain-kain songke, perhiasanperhiasan dsbnya).
Dalam bahasa adatnya disebut : lipa lecak dari anak rona dan wida
rampas dari semua tetua adat dalam kampung itu.
Pendoaan hewan kurban bertujuan untuk mengikat kedua pengantin
menjadi satu dan memohon rahmat dan berkat Tuhan untuk segala karya dan usaha mereka
dan untuk kesejahteraan keluarga di masa-masa mendatang. Mohon agar keluarga
baru ini dikarunia anak laki-laki dan perempuan serta murah rejeki. Mohon pula
kepada Tuhan dan para leluhur agar mereka dijauhkan dari segala macam
marabahaya yang dapat menggagu kelancaran perjalanan keluarga ini. Sangat diharapkan
agar keluarga baru ini tetap utuh dan hanya satu isteri dan satu suami (cawi
ného wuas-dolé ného ajos). Bagi keluarga yang mampu, pada waktu wagal atau
nempung biasanya dimeriahkan pula oleh permainan caci. Pertunjukkan
caci ini biasanya satu atau dua hari, sesuai dengan kesepakatan kedua
belah pihak yang berpesta itu. Seluruh rangkaian upacara wagal itu dapat
dijadikan saksi bagi kehidupan keluarga itu.
Keempat, bagian terakhir dari seluruh rangkaian peresmian perkawinan
adat masyarakat Manggarai adalah podo. Podo adalah acara
mengantar si isteri dari kampung asalnya ke kampung suaminya. Podo dilaksanakan
sesudah umber atau wagal/nempung. Pada waktu podo, anak
rona membawa semua barang-barang yang telah diberikan oleh orang tua pihak
perempuan kepada anak dan suaminya. Barangbarang itu adalah barang-barang yang
disebut “widang” atau “wida”. Barang-barang widang adalah
berupa barang-barang perlengkapan kamar tidur, barang-barang yang dipakai di
dapur dan pakaian-pakaian si anak perempuan dsbnya. Barang wida adalah
barang-barang yang diperoleh waktu upacara wagal atau nempung.
Barang-barang itu berupa kainkain adat yang disebut “lipa lecak dan wida
rampas”, barang-barang perhiasan dari emas dan perak yang dipakai oleh pengantin
perempuan dsbnya. Selain itu anak rona membawa pula seekor babi yang
disebut “ela péntang pitak” (babi yang dipakai dalam upacara
membersihkan si pengantin wanita dari segala lumpur/kotoran).
Upacara puncak dalam podo adalah upacara pentang
pitak yaitu upacara pembebasan isteri/pembersihan si isteri dari segala
keterikatannya dengan keluarga asalnya. Selain itu upacara ini meresmikan si
isteri masuk dalam lingkungan adat-istiadat suaminya. Untuk itu diadakan
penginjakan telur (gerep ruha) di depan pintu rumah adat (mbaru
gendang/ mbaru tembong) di kampung suaminya atau gerep ruha di
depan rumah suaminya. Dengan adanya upacara gerep ruha dan upacara péntang
pitak, si isteri resmi menjadi anggota suku (wa’u) suaminya dan mengikuti
segala tatanan kehidupan adat-istiadat suaminya (lut ceki de ronan).
Konsep tentang paca dalam budaya orang
Manggarai dapat dijelaskan dalam tiga hal berikut yakni pengertian, makna dan
tujuan, penentuan paca dan peran paca.
4.1.
Pengertian
Jillis Verheijen dalam kamusnya mengartikan paca sebagai emas kawin, pembayaran
pihak laki-laki kepada pihak pengantin wanita.[14] Paca dalam tradisi lazimnya diberikan dalam
bentuk hewan dan kemudian ketika orang Manggarai mengenal uang juga dalam
bentuk uang yang diistilahkan “pe’ang
tana agu one mbaru” atau “wa loce”
(apa yang ada di luar rumah berupa hewan dan dalam rumah berupa uang).
4.2.
Makna dan Tujuan
Paca dalam adat istiadat orang Manggarai memunyai tiga makna dan
tujuan. Pertama, merupakan bentuk
penghargaan terhadap tuka wing de ende
(rahim). Hanya perempuanlah yang memiliki rahim. Dalam rahim kehidupan manusia
pada awalnya terbentuk. Tidak akan ada manusia jika ia tidak bertumbuh dan
berkembang dalam rahim perempuan. Karena itu, penghargaan terhadap rahim
dinyatakan lewat paca.
Kedua, sarana pengukuhan kehidupan suami istri. Melalui paca secara resmi kehidupan suami-istri
dikukuhkan. Dalam banyak pernyataan, permintaan paca juga dimaksudkan untuk menghindari perceraian atau anggapan
yang menggampangkan perkawinan yang telah direstui.
Ketiga, sebagai bentuk tanda bahwa lelaki (dan keluarganya)
berkemampuan dan dapat bertanggungjawab menghidupkan istri dan anak. Paca sebagai symbol kemampuan memberikan
rasa aman kepada pihak wanita dan keluarganya.
4.3.
Penentuan Belis
Pada
zaman dahulu, pemberian paca disesuaikan dengan status sosial. Ada tiga
kelompok sosial dengan konsekuensinya masing-masing. Kelompok pertama, raja. Kelompok kedua, dalu. Ketiga, kelompok gelarang. Keempat masyarakat biasa.[15]
Konsekuensinya, besaran dan jumlah belis untuk keempat kelompok itu tidaklah
sama.
Dalam
perjalanan waktu, ada semacam adopsi otomatis terhadap tingkat sosial yang
baru. Pahun dalam kajiannya memperlihatkan bahwa makin tinggi pendidikan dan
kedudukan sosial seorang perempuan di Manggarai, makin banyak dan besar paca
yang diminta. Bahkan jika dinominalkan angka uang mencapau ratusan juta rupiah.
Hal mana dianggap sangat fantastic dan menakutkan para pria di Manggarai.[16]
Dalam
kenyataan, ruang kompromi dibuka lebar. Meskipun sudah diputuskan dalam upacara
pongo/tuké mbaru tentang jumlah paca
pada kenyataannya, karena factor-faktor ekstern, maka pihak yang berhak
menerima mas kawin (anak rona), memahami kedaan pihak pemberi mas kawin
(anak-wina). Hal ini sangat diperjelas dalam ungkapan adat: ”bom
salang tuak-maik salang waé” (bukan jalan air tuak yang hanya memberikan
airnya sesaat, tetapi sumber air yang senantiasa memberikan airnya sepanjang
masa). Ini berarti bahwa semua kekurangan atau “tunggakan” mas kawin atau belis
akan diperhitungkan kemudian. Ada pengandaian bahwa mas kawin itu tidak
akan hilang tetapi masih tersimpan baik di bawah naungan pohon teno. Pepatah
adat melansirnya secara padat dengan berkata “lé mbau teno”. Lé mbau teno
itu sendiri mengandung arti : belis atau paca akan diberikan
kepada pihak yang berhak menerimanya (anak-rona) menanti hasil kerja
suami-isteri sendiri.
Di
sinilah serentak diperlihatkan kelebihan dari proses perkawinan adat, dimana
pihak laki-laki (anak wina) secara resmi masuk minta/melalaui tahap pongo.
Bila tahap ini dilalui secara baik, akan tersibak pula harapan bahwa pihak anak
rona “mengasihi”(momang) anak wina. Hal ini bukan rekaan.
Tetapi ada pautan adat yang tersimpul dalam ungkapan “pasé sapu-sélék kopé,
weda rewatuké mbaru”.
Khusus
untuk peroslan wanita yang diculik atau dibawalarikan, sudah terdapat tata
aturan untuk pacanya. Dahulu hanya
laki-laki yang kaya dapat menculik (roko, wéndo) seorang gadis. Sebab
bila pihak keluarga si gadis menyusul atau mencarinya maka pada saat itu pihak
laki-laki harus melunasi belis atau mas kawin yang diminta oleh pihak
keluarga si gadis (anak rona).Terlebih bila si gadis sudah dipinang
pemuda lain, dan sebagaian belisnya sudah diterima oleh pihak keluarganya,
maka pihak laki-laki harus melunasi mas kawin secara tuntas, seberapa saja yang
dimintakan, mulai dari “belas gendang-biké nggong” sampai kepada “paca
wekinya”.
Dalam
kasus wanita yang sudah bersuami dibawa lari atau diculik oleh seorang
laki-laki (roko wina datawéndo wina data), pihak laki-laki harus berani
membayar belis dua kali lipat (tala tumpa), mengingat orang tua
si wanita yang diculik harus membayar atau mengembalikan mas kawin suaminya
yang pertama/yang ditinggalkannya.
4.4.
Peran Belis
Dalam
kehidupan sehari-hari, belis dimanfaatkan untuk urusan adat istiadat yang dapat
dinyatakan sebagai berikut:
Pertama, hewan yang diberikan pihak anak wina dipakai untuk
memenuhi kebutuhan keluarga besarnya. Misalnya, kerbau yang dibawa anak wina dipelihara ataupun dijual.
Kenyataan juga memperlihatkan bahwa tak jarang jarang ko kaba paca (kuda atau kerbau) yang dibawa dijual untuk
memenuhi kebutuhan keuangan dari acara perkawinan.
Kedua,
uangnya dipakai untuk menyelesaikan urusan perkawinan yakni seremoni adat
(memberi sejumlah uang kepada pihak anak
rona, keluarga dan konsumsi) dan perayaan pesta perkawinan (konsumsi,
tenaga kerja, gedung, dekorasi, music, dll).
Terdapat dua implikasi besar dari
konsep di atas untuk perkawinan orang Manggarai yakni berefek pada biaya dan posisi
perempuan dalam perkawinan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
5.1.
Perkawinan berefek pada Biaya
Perkawinan orang Manggarai, sebagaimana
perkawinan lainnya, juga berefek pada biaya. Biaya ini berfokus pada dua hal
yakni pertama, biaya untuk mengurus prosesi adat istiadat yang melibatkan
keluarga besar dan anak rona. Anak
rona sebagai pemberi ibu dari gadis akan mendapat tempat istimewa dalam tata
upacara adat perkawinan orang Manggarai. Selain mendapat kehormatan sebagai
pemberi restu dan berkat, dia juga akan mendapat sejumlah uang dan hewan yang
secara khusus disediakan untuk dirinya.
Demikianpun keluarga besar (ase-kae) dari pengantin akan mendapat
bagian dalam bentuk seng wai anak (har. anak telah dibelisi) dan kose number (har. penghapus keringat)
atau samo lime (har. mencuci tangan)
sebagai bentuk penghargaan karena telah berjerih lelah dalam urusan itu.
Selain itu, biaya dikerahkan untuk
menyelesaikan urusan perkawinan baik secara adat (tuke rewa-wee mbaru, nempung, dan podo) maupun nantinya secara gerejani yang diakhiri dengan resepsi
bersama.
5.2.
Posisi Perempuan dalam Perkawinan
Bagaimana posisi seorang perempuan
dalam perkawinan ini? Dalam banyak kenyataan anak gadis yang akan menikah tidak
memiliki otonomi dalam penentuan jumlah paca
kepada pihak calon suaminya. Semuanya sudah diatur dan ditentukan oleh keluarga
besar. Bahkan ada kecenderungan stand
point dari keluarga besar dibuat melalui kalkulasi matematis yang merujuk
pada perhitungan secara jelimet atas semua biaya yang akan dihabiskan dalam
prosesi perkawinan itu.
Lemahnya posisi perempuan diakibatkan
oleh dua factor. Pertama, rujukan
terhadap ibu. Makin besar paca yang telah diterima oleh sang ibu, demikianpun
yang akan dikenakan pada anak gadisnya. Kedua,
oleh karena menyandang status sosial tertentu, ada anggapan secara otomatis
bahwa anak gadis dilindungi, supaya jangan ada anggapan yang rendah dari
masyarakat terkait jumlah paca yang diambil.
Pelemahan posisi perempuan sedemikian
sistematis dalam budaya patrilineal sehingga secara otomatis dia hanya
mengikuti apa yang dimaksudkan oleh keluarga besar.
Mengikuti alur gagas yang berkembang
dalam kajian ini, ada dua catatan kritis yang menjadi titik sampai untuk
mencapai sebuah perkawinan yang betul membahagiakan orang Manggarai di masa
yang akan datang. Tiga catatan kritis berikut merupakan sebuah sedimentasi dari
semangat pembaharuan yang harus digemakan demi sebuah reformasi mental orang
Manggarai dalam budayanya.
6.1.
Mempertimbangkan Hakikat Perkawinan
Perkawinan antara seorang pria dan
wanita pada dasarkan diarahkan untuk mencapai kebahagiaan. Untuk mencapai
kebahagiaan itu, mula pertama yang harus diandalkan adalah cinta di antara
kedua mempelai. Cinta inilah yang harus menjadi titik sentral. Prosesi
perkawinan, entah sederhana atau meriah sekalipun, hanyalah jalan menuju
pemenuhan ikatan cinta antara kedua mempelai itu.
Dengan demikian, penentuan paca, pada gilirannya hanyalah sebuah
penegasan diperlukannya penghargaan atas rahim perempuan, tanda ikatan
penyatu-paduan kedua mempelai dan penegasan keyakinan bahwa keluarga memiliki
potensi untuk menghidupi secara ekonomis keluarganya nanti.
Jika jalan ini yang dipilih maka
pembangunan kesepakatan lewat dialog yang setara tanpa pemaksaan kehendak
adalah pilihan sikap yang tepat. Sehingga kedua mempelai yang didukung oleh
kedua keluarga besar memiliki kebahagiaan yang utuh dan total.
6.2.
Distingsi yang Tegas antara Belis dan Biaya Perkawinan
Dalam
pelbagai temuan lapangan, diperlihatkan bahwa tidak ada atau belum adanya
distingsi yang tegas antara paca
dengan biaya perkawinan. Itulah sebabnya, pemisahan dua hal besar ini harus
dilakukan demi pencapaian pemahaman tatkala ada penentuan angka atau jumlah
hewan maupun uang yang akan ditanggungkan anak
rona kepada anak wina.
Paca
sebagai sebuah penghargaan dan tanda kiranya tidak boleh dinyatakan dalam angka
nominal yang besar. Tetapi yang didiskusikan secara serius ialah bagaimana
acara resepsi perkawinan dilangsungkan. Biaya-biaya itulah yang dapat
ditanggung secara bersama sehingga salah satu pihak tidak menyatakan diri
sebagai penanggung beban (tukang pola
mendo) dalam prosesi perkawinan itu.
6.3.
Otonomitas Diri Perempuan
Perempuan
pada posisi ini harus bisa menegaskan dirinya secara otonom. Konsep-konsep
tentang emansipasi dan kesetaraan gender harus menjadi nyata dalam proses adat
semacam ini. Perempuanlah yang secara aktif menentukan apa yang menjadi pilihan
sikapnya sebelum acara adat weda rewa
tuke mbaru atau pongo
(peminangan) dimulai. Dia tidak boleh mengikuti begitu saja apa yang menjadi
kehendak keluarga besar atas dirinya.
Dalam
usaha menggalang dana, pihak laki-laki mengerahkan pelbagai cara yang wajar,
semisal sida laki (pemberian beban
kepada pihak saudari atau tanta) dan kumpul
kope (penggalangan dana missal). Makin besar biaya yang diminta pihak anak rona dan tidak sebanding dengan
kemampuan finanasial anak wina akan
melahirkan resistensi yang besar pasca perkawinan. Hal ini berefek pada pilihan
sikap keluarga besar pada anak perempuan yang sudah pindah ke keluarga atau
klan suaminya.
Penegasan
otonomi perempuan setidaknya juga untuk secara jelas dan terang benderang menentukan
langkah hidupnya bersama keluarga baru di tengah masyarakat. Saatnya itu harus
dilakukan sebagai sebuah semangat pembaharuan dalam area di mana keperempuanan
sebagai wanita dilecehkan secara sepihak oleh suatu sistem yang belum secara
benar menempatkan dirinya di posisi yang wajar dan adil.
Membahas tentang konsep belis orang
Manggarai tidak terlepas dari bagaimana pemahaman dan pandangan orang Manggarai
tentang perkawinan. Pada galibnya, perkawinan merupakan sesuatu sacral dan
diarahkan untuk mencapai kebahagiaan kedua mempelai, mempersatukan dua keluarga
besar dan memperoleh keturunan.
Belis tidak lebih dari sarana dan tanda
untuk menghargai rahim, mempersatukan ikatan perkawinan dan menjadi tanda bukti
bahwa keluarga besar memiliki kemampuan ekonomis yang baik. Khusus untuk tanda
yang terakhir ini, kiranya perlu dicermati secara sungguh bahwa kemampuan
ekonomi genetis dan berciri kelompok sosial mulai ditinggalkan. Setiap pribadi
sebenarnya memiliki potensi dan kemampuan yang bisa jadi lebih besar, oleh
pengalaman dan pendidikan, dibandingkan yang disebabkan oleh factor keturunan.
Karena itu, konsekuensi logisnya, mengukurkan kemampuan seseorang hanya
berdasarkan factor ekonomi komunal dan klan bukanlah tindakan yang rasional.
Kendati demikian, perkawinan membutuhkan tanda dan
symbol-simbol tertentu. Menghasilkan sebuah prosesi perkawinan yang sacral,
khidmat dan membahagiakan merupakan impian semua orang. Itulah sebabnya,
kesadaran akan mempersiapkan perkawinan dengan segala konsekuensinya, yang
dimulai dengan perencanaan yang matang, jauh lebih baik daripada menyalahkan
konsep budaya yang sudah ada. Jikapun merunut pada konsep baku, salah satu
sifat budaya adalah dinamis. Tak ada salahnya kita memperbaiki nilai-nilai
tertentu dalam budaya untuk memenangkan kehidupan yang leibuh bermutu dan
bermartabat.***
(Dipublikasikan pertama dalam: Hendrikus Midun dan Matheus Beny Mite, Peran Keluarga dan Pendidikan di Era Globalisasi (Malang:Dioma, 2016, hal. 208-225).
DAFTAR PUSTAKA
DOKUMEN DAN KAMUS
Dendy
Sugono, dkk., Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia, 2012.
Jillis Verheijen, Kamus
Manggarai-Indonesia. Leiden: Koninklijk
Institute Voor Taal-Land-En Volkenkunde, 1967.
Kartosiswoyo
(penterj.), Kitab Hukum Kanonik.
Jakarta: Obor, 1992.
BUKU
C.
Groenen, Perkawinan Sakramental.
Yogayakarta: Kanisius, 1993.
Bernard
Raho, Keluarga Berziarah Lintas Zaman.
Ende: Nusa Indah, 2003.
Jillis
Verheijen, Manggarai dan Wujud Tertinggi.
Jakarta: LIPI, 1989.
_______,
Manggarai Texts II. Ruteng: Regio SVD
Ruteng, 1977.
Kanisius
Teobaldus Deki, Tradisi Lisan Orang
Manggarai. Jakarta: Parrhesia Institute, 2011.
_______,
Belis, Kegelisahan yang tak teratasi?” dalam: Harian Umum Pos Kupang, 11 Februari 2016.
Petrus
Janggur, Butir-butir Adat Manggarai Jilid
2. Ruteng: Yayasan Siribongkok, 2011.
Peter
Hagul, “Dowry systems and extended family networks: a case study in Manggarai and
Nagekeo, Flores, Indonesia” dalam: Gavin
W. Jones, Terence H. Hull dan Maznah Mohamad (eds.), Changing Marriage Patterns in South Asia-Economic and socio-cultural
dimensions (London-New York: Rouledge, 2011, hal. 117-132.
Piet
Go, Hukum Perkawinan Gereja Katolik-Teks
dan Komentar. Malang: Dioma, 2003.
Robert Mirsel dan Eman Embu [eds.], Gugat!
Darah Petani Kopi Manggarai. Maumere:
Ledalero, 20014.
WEBSITE
Cellus
Pahun, “Belis di Manggarai Flores Barat-Neo Traficking atau Human Awards?”
dalam: http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/25/belis-di-manggarai-flores-barat-504084.html. Diakses 08 Oktober 2014.
Kanisius
T. Deki “Pendapat tentang Belis” melalui www.facebook.com.
https://www.facebook.com/groups/568645579820766/stipas crew- disingkat SC,
https://www.facebook.com/groups/572124902821918/ikatan alumni stkip st. paulus- disingkat IASP, https://www.facebook.com/groups/445002692184347/manggarai dalam kearifan lokal- disingkat MDKL dan https://www.facebook.com/nickteobald?fref=nf//Nick Teobald Decky-disingkat NTD dan https://www.facebook.com/groups/kongres.pmr/Kongres Pemuda Manggarai Raya-disingkat PMR)
WAWANCARA
Stanislaus
Jelatu, 65 tahun. Wawancara dibuat pada 09 Oktober 2014 di rumah kediamannya di
Jl. Limau-Tenda.
[1] Bdk. C. Groenen, Perkawinan Sakramental (Yogayakarta: Kanisius, 1993), hal. 26.
[2] Bdk. Bernard Raho, Keluarga Berziarah Lintas Zaman (Ende: Nusa Indah, 2003), hal. 61.
[3] Kartosiswoyo (penterj.), Kitab Hukum Kanonik (Jakarta: Obor,
1992). Bdk. Piet Go, Hukum Perkawinan
Gereja Katolik-Teks dan Komentar (Malang: Dioma, 2003), hal. 8.
[4] Dendy Sugono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
(Jakarta: Gramedia, 2012), hal. 164, 856 dan 884.
[5] Bdk. Peter Hagul, “Dowry systems and
extended family networks: a case study in Manggarai and Nagekeo, Flores,
Indonesia” dalam: Gavin W. Jones,
Terence H. Hull dan Maznah Mohamad (eds.), Changing
Marriage Patterns in South Asia-Economic and socio-cultural dimensions
(London-New York: Rouledge, 2011, hal. 117-132.
[6] Cellus Pahun, “Belis di Manggarai
Flores Barat-Neo Traficking atau Human Awards?” dalam: http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/25/belis-di-manggarai-flores-barat-504084.html. Diakses 08 Oktober 2014.
[7] Hal ini terangkum dalam Kanisius T.
Deki “Pendapat tentang Belis” melalui www.face book.com.
[8] (https://www.facebook.com/groups/568645579820766/stipas crew- disingkat SC, https://www.facebook.com/groups/572124902821918/ikatan alumni stkip st. paulus- disingkat
IASP, https://www.facebook.com/groups/445002692184347/manggarai dalam kearifan lokal- disingkat MDKL dan https://www.facebook.com/nickteobald?fref=nf//Nick Teobald Decky-disingkat NTD dan https://www.facebook.com/groups/kongres.pmr/Kongres Pemuda Manggarai Raya-disingkat PMR)
[9] Uraian pada bagian ini merujuk pada
Bdk. Jillis Verheijen, Manggarai dan
Wujud Tertinggi (Jakarta: LIPI, 1989), hal. 25, Petrus Janggur, Butir-butir Adat Manggarai Jilid 2
(Ruteng: Yayasan Siribongkok, 2011), hal. 51-54 dan Kanisius Teobaldus Deki, Tradisi Lisan Orang Manggarai (Jakarta:
Parrhesia Institute, 2011), hal. 72-75.
[10] Adak dapat dipahami sebagai
“Kerajaan” yang membawahi “Kedaluan” yakni pemerintahan provinsial otonom.
Robert Mirsel dan Eman Embu [eds.], Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai (Maumere: Ledalero, 20014), hal. 6.
Menurut Verheijen dalam kamusnya, Adak memiliki pengertian yang sangat
luas mencakupi hal-hal sebagai berikut: adat istiadat, budi bahasa, tegur-sapa,
upacara, pesta resmi yang penting dan bisa berarti baik. Jilis Verheijen, Kamus
Manggarai-Indonesia (Leiden:
Koninklijk Institute Voor Taal-Land-En Volkenkunde, 1967), hal.
2.
[11] Di zaman dahulu, melalui perkawinan
segala kesalahan, kekhilafan masa lalu dalam satu keluarga besar dimaafkan dan
mulai berdamai kembali. Hal ini nyata terlihat dalam perkawinan antara Ke-dalu-an
setelah berperang sekian lama atau bercekcok sekian lama. Bandingkan misalnya perkawinan
antara Ke-dalu-an Cibal dengan Ke-dalu-an Todo dan Pongkor zaman
dulu.
[12] Lihat Petrus Janggur, Op.cit., hal. 54-62
[13] Bdk. Jillis Verheijen, Manggarai Texts II (Ruteng: Regio SVD
Ruteng, 1977), hal. 99-145, Petrus Janggur, Op.cit.,
hal. 62-64
[14] Jillis Verheijen, Kamus
Manggarai-Indonesia, Op.cit., hal.
483.
[15] Wawancara dengan bapak Stanislaus
Jelatu, 65 tahun. Wawancara dibuat pada 09 Oktober 2014 di rumah kediamannya di
Jl. Limau-Tenda.
[16] Chellus Pahun, Loc. cit.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteTabe... Boleh bertanya?....Dri mana asal usul tradisi belis yg ada di Manggarai, apakah berasal dri mitos ataukah ini sebuah tradisi yg tidak tau berasal dri mana? Terimakash tabe
ReplyDeleteTradisi belis datang dari konsep tentang kehidupan orang Manggarai, bukan mitos atau tradisi yang diadopsi dari daerah lain.
Delete