“Seseorang yang gemar membaca akan mempunyai pandangan yang luas, membuatnya
menjadi manusia yang utuh, sedangkan orang yang gemar
berdiskusi membuat orang harus siap memberikan
jawaban atau
mengajukan pertanyaan, dan orang yang gemar menulis
membuatnya menjadi mansia yang cermat”
(Francis Bacon, 22
Januari 1561-9 April 1626, filsuf Inggris, penulis, pengacara dan ilmuwan)[2]
A
|
da adagium yang
menyatakan “reading is the window to the world” (Membaca adalah jendela menuju
dunia). Pepatah ini benar dan tak tersangkali. Tak dapat dipungkiri, membaca
memberikan ruang kepada manusia untuk menjelajahi dunia walau dari sebuah
tempat duduk saja. Kita bisa mengenal hutan Amazon yang membentang sepanjang Brasil
dan Negara Amerika Selatan dari buku-buku perjalanan Carl May yang dikemas
dalam pelbagai novelnya. Atau kita dapat mengetahui seluk beluk wilayah
tertentu di belahan lain bumi ini hanya dari sebuah ensiklopedi. Kita merasa
seolah-olah sedang berjalan di tembok raksasa China hanya dengan mempelajari
buku sejarah yang secara detail melaporkan proses pembuatan, ukuran lebar,
tinggi dan panjangnya.
Tak
perlu kita berada di lokasi kejadian runtuhnya sebuah bangunan bersejarah,
banjir bandang yang menimpa wilayah masyarakat, tsunami di Jepang, kegoncangan
sebuah pemerintahan. Masih banyak peristiwa dan kenyataan yang tak mengharuskan
kita menjadi saksi mata. Kita dapat merasakan peristiwa dan kejadian itu seolah
nyata (dengan pelibatan seluruh diri: pikiran, perasaan dan tindakan). Semua
itu dapat dan mungkin melalui membaca berita, ulasan serta penjelasan tentang
hal itu melalui bacaan. Membaca lalu menjadi sebuah pilihan selain untuk
mengetahui sesuatu tetapi lebih dari itu untuk mengais makna kehidupan, belajar
dari bacaan untuk membaca kehidupan kita sendiri.
Tulisan
ini menitikberatkan analisisnya pada dialektika itu. Di satu pihak, menampilkan
manfaat dari pembacaan, di lain pihak memampukan kita untuk membaca kenyataan
kehidupan kita sendiri, memberi makna atasnya, lalu berupaya menjadikan hidup
kita lebih baik.
Bagi
banyak orang, membaca memiliki banyak manfaat yang terus meningkatkan kehidupan mereka. Hidup mereka menjadi
lebih baik dalam beberapa cara, berikut: mental, spiritual dan sosialitas. Juga, jika kita mengembangkan kebiasaan membaca kita akan menjadi lebih percaya diri dan percaya diri dalam kemampuan untuk memahami dan mengerti semua jenis informasi.
Pertama, Keterpesonaan
Cerdas. Ternyata membaca membantu kita dalam hampir setiap bidang cerdas. Mereka yang membaca memiliki IPK yang lebih tinggi, intelijen lebih tinggi, dan pengetahuan umum yang luas. Dalam tulisan Anne E. Cunningham What Reading Does for the Mind, dia menemukan bahwa membaca, secara
umum, membuat kita cerdas dalam banyak bidang.
Kedua, Membaca mengurangi stres. Membaca dapat membantu kita keluar dari stress yang kerap melanda kehidupan
kita. Melalui aktivitas membaca kita dapat memperoleh banyak cara untuk keluar
dari pelbagai masalah. Saat ini, begitu banyak buku yang menyajikan cara
terbaik untuk menghadapi masalah-masalah aktual kita.
Ketiga, Ketenangan yang lebih besar. Membaca dapat menenangkan. Banyak bacaan yang menyajikan inspirasi bagi
kita. Upaya dari penulis-penulis bermuara pada bagaimana pokok pikirannya
berguna bagi pembaca. Ketenangan adalah salah satu hasil real dari membaca bila
kita terlibat aktif di dalamnya.
Keempat, Perluasan berpikir analitis. Cunningham dalam studinya telah menemukan bahwa berpikir analitis didorong
oleh membaca. Pembaca meningkatkan pengetahuan umum mereka, dan yang lebih
penting mampu membaca dengan pola cepat dan menghubungkan satu hal dengan hal
lain.
Kelima, Peningkatan kosa kata. Bukan
rahasia lagi bahwa dengan membaca kita meningkatkan kosa kata dan ejaan. Apakah
Anda tahu bahwa membaca meningkatkan kosa kata Anda lebih daripada berbicara
atau pengajaran langsung?
Keenam, Peningkatan memori. Membaca
membantu kita untuk memiliki memori yang bagus. Hal ini disebabkan karena
dengan membaca kita digiring ke dalam ide tertentu dan terlibat dengan ide itu.
Ketujuh, Peningkatan kemampuan menulis. Pengalaman pribadi saya memperlihatkan hal ini. Saya sering membaca, di
mana dan kapan saja dan karena itu saya bisa menulis buku. Untungnya ialah
selain terjadi penambahan kosa kata ada juga perluasan ide yang menakjupkan.
Rumusannya ialah makin banyak membaca makin sanggup untuk menulis secara baik
dan benar.
Membangun Minat & Budaya Baca
Tentang
kegelisahan tersebab kian memudarnya niat membaca pada semua generasi di
Indonesia, seorang seniman kawakan kita Taufiq Ismail pernah menulis:
”Mengapa
para penumpang di gerbong kereta api Jakarta-Surabaya tidak membaca novel, tapi
menguap dan tertidur miring? Mengapa di dalam angkot di Bandung, penumpang
tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap rokok? Mengapa di halaman kampus
yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya, tapi main
gaple? Kenapa di kapal Makassar-Banda Naira penumpang tidak membaca kumpulan
buku puisi, tapi main domino? Kenapa susah mendapat calon pegawai tamatan S-1
yang mampu menulis proposal yang bagus atau rencana kerja yang baik? Kenapa di
ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Manado pengantar pasien tidak
membaca buku drama, tapi asyik main SMS? Mengapa jumlah total pengarang di
Indonesia hanya cocok untuk negara berpenduduk 20 juta, bukan 200 juta?”[4]
Pertanyaan
tersebut akan terasa kontras dengan sebuah pernyataan, berikut ini: ”Saya ingin
membaca lima judul buku sehari jika tidak terpaksa harus pergi ke sekolah”. Pernyataan ini disampaikan oleh Millie,
anak berusia dua belas tahun warga Amerika. Dia dapat membaca cepat sekali. Dia
telah selesai membaca buku Markham
Real American Romance sejumlah 13 jilid dalam seminggu.
Jawaban atas
seluruh pertanyaan Taufiq Islmail dan kunci kesuksesan Millie, tidak lain
adalah: minat baca. Maka kita dapat melihat bahwa jarak minat baca berbanding
lurus dengan jarak kemajuan sebuah bangsa. Bahkan dapat dikatakan bahwa kunci
utama untuk keluar dari kemiskinan dan menuju menjadi bangsa yang makmur adalah
dengan membangkitkan minat baca masyarakat. Akar kemiskinan, yang menerpa
sebagian rakyat Indonesia, adalah karena masih tingginya tingkat melek aksara
dan sangat payahnya minat baca sebagian besar masyarakat. Kita tidak akan
menemukan sebuah kenyataan di belahan bumi manapun ada orang berilmu dan luas
pengetahuannya tapi hidupnya miskin, kecuali atas dasar pilihan hidup.
Mengapa seseorang tidak memiliki minat baca? Jawabannya
ada tiga macam: 1) karena memang sudah warisan dari orang tua. Mulai dari
kakek-nenek memang tidak suka membaca dan itu sudah ada dalam DNA anda sampai
hari ini. Sifat ini diteruskan
dari generasi ke generasi berikutnya dan anda mewarisinya. Inilah yang disebut
dengan determinisme genetis.
2) Anda tidak sedang membaca, karena memang sejak kecil dibesarkan oleh orangtua
yang tidak pernah mendekatkan diri anda dengan bacaan. Saya tidak sedang
membaca memang tidak diberi teladan oleh orang tua malah orang tua Anda selalu
mengatakan bahwa membaca itu perbuatan yang hanya buang waktu saja. Pengasuhan
anda, pengalaman masa kanak-kanak anda pada dasarnya membentuk kecenderungan
pribadi dan susunan karakter anda. Itulah sebabnya anda tidak senang membaca. Inilah yang disebut
dengan determinisme psikis. 3) Sedangkan determinisme
lingkungan pada dasarnya mengatakan bahwa anda tidak senang membaca
karena atasan atau bawahan, teman-teman, dan guru atau dosen ada juga yang tidak
senang membaca; di samping itu juga di rumah, di kantor, di sekolah tidak
disediakan perpustakaan; serta tidak ada peraturan perusahaan yang mengharuskan
anda untuk membaca; situasi ekonomi yang kurang mendukung dan tidak adanya
kebijakan nasional tentang minat baca. Seseorang atau sesuatu di lingkungan
andalah yang bertanggungjawab atas tidak adanya minat baca pada diri anda.
Sesungguhnya upaya menumbuhkan motivasi membaca dapat bersumber dari empat dimensi manusia (mental, emosional,
spiritual, dan fisik). Dengan menghidupkan satu atau lebih dimensi manusia
tersebut seseorang dapat termotivasi dalam membaca. Keempat dimensi tersebut
apabila diartikulasikan ke dalam bentuk kegiatan manusia maka akan seperti
berikut: Visualisasi (visualitation)
untuk dimensi mental; Tanggung jawab (responsibility)
untuk dimensi spiritual; Kenyamanan dan kesukaan (excited) untuk dimensi emosional; Gerakan (move) untuk dimensi fisik.
Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan memotivasi diri untuk membaca yang
tidak terbatas. Semakin besar upaya untuk menyalakan sumber pemicu motivasi
semakin besar motivasi yang dihasilkan. Akan tetapi untuk memulainya, langkah
yang paling awal dan paling penting adalah melakukan penyadaran.
Dari Kata-Kata Mengais Makna Kehidupan
Bacaan selalu
menghadirkan kata-kata. Tanpa kata tak mungkin sebuah arti terurai. Dari
pernyataan ini buku pada gilirannya bisa menjadi agen perubahan untuk
menciptakan masyarakat membaca (reading society) sebagai salah satu pilar utama menuju masyarkat belajar (learning society). dua hal ini harus
dipertegas:
Pertama, Masyarakat membaca.
Masyarakat yang maju mempunyai kebiasaan membaca. Kebiasaan ini mendorong
mereka untuk mencari tahu sesuatu berdasarkan yang seharusnya atau sebenarnya.
Jika ini menjadi sebuah habitus
(kebiasaan yang sudah mendarah-daging), maka masyarakat itu mempunyai pemahaman
tentang sesuatu berdasarkan substansinya (inti, hakikat terdalam). Itu berarti
meninggalkan kebiasaan menangkap sesuatu berdasarkan fenomena semata atau peripheral saja. Penemuan sesuatu
berdasarkan hakikatnya mengarahkan masyarakat untuk memiliki basis pertahanan
rasional dan menjadikannya stand point
dalam menyatakan sesuatu secara benar dan adekuat.
Kedua, melalui proses ini
masyarakat akan terbiasa dalam proses belajar yang terus menerus ( a continuing process learning) sehingga
dalam segala hal mereka akan mendasarkan dirinya pada pengetahuan yang benar,
bukan serta merta hanya pada anggapan berbasis intuisi dan terkaan belaka.
Ketiga,
bertitik-pijak pada argumentasi yang terbangun di atas, maka membaca menjadi
jalan untuk semakin menemukan kedalaman hidup. Kedalaman itu makin terbangun
oleh karena kita mengais maknanya terus menerus. Penelusuran makna oleh kaisan
yang berkelanjutan bermuara pada penemuan hidup yang sejati.
Apa yang terbaca
dalam dan melalui tulisan merujuk pada penemuan kesejatian hidup manusia melalui
alur pembacaan teks menuju konteks.[5] Teks dengan kesejarahannya sendiri memberikan makna tersendiri yang
disandingkan dengan konteks, tempat di mana manusia menemukan kepenuhan
hidupnya (fully life). Keseriusan
membaca teks membawa pembiasaan untuk membaca kenyataan hidup melalui penemuan
makna yang terkais. Itulah sebabnya membaca buku ini sangat direkomendasikan
untuk siapa saja yang ingin memiliki kepenuhan hidup dalam kesejatiannya.***
[1] Penulis buku Tradisi
Lisan Orang Manggarai-Membidik Persaudaraan Dalam Bingkai Sastra (Parrhesia
Institute, 2011), co-Editor buku: Menjadi
Abdi - Menghalau Gelap Budi Menyingsing Fajar Pengetahuan (Ledalero, 2008),
Gereja Menyapa Manggarai-Menghirup
Keutamaan Tradisi, Menumbuhkan Kasih, Menjaga Harapan (Parrhesia, 2011).
Saat ini menjadi dosen STKIP St. Paulus Ruteng & Project Coordinator for
Journal MISSIO.
[2] Bryan Bevan, The Real Francis Bacon, England:
Centaur Press, 1960, hal. 71. Ross Jackson, The Companion to Shaker of the
Speare: The Francis Bacon Story, England: Book Guild Publishing, 2005.
Fulton Anderson, Francis Bacon: His career and his thought, Los Angeles,
1962.
[3]
Anne E. Cunningham and
Keith E. Stanovich, Journal
of Direct Instruction, Vol. 1, No. 2, hal. 137–149. Reprinted with permission from
The American Federation of Teachers. American Educator, Vol. 22, No. 1–2, pp. 8–15. Address correspondence to Anne
E. Cunningham and Keith
E. Stanovich at acunning@socretes.berkeley.edu.
[5] Secara etimologis istilah
“konteks”berasal dari bahasa Latin- con-texere yaitu menenun atau
menganyam. Jadi teologi kontekstual bukanlah sejumlah kebenaran abstrak yang
tidak dipengaruhi oleh zamannya melainkan suatu keprihatinan iman yang sedang
mencari pemahaman di tengah pengalaman serta realitas politik, sosial dan
religius. Dengan kata lain, ia menggambarkan teologi yang mengindahkan
pengalaman manusia, lokasi sosial, kebudayaan dan perubahan kebudayaan secara
sungguh-sungguh, meski juga berusaha menjaga keseimbangan. Bdk. Steven Bevans, Model-Model Teologi
Kontekstual, terj. Yosef Maria Florisan, Maumere: Ledalero, 2002, hal. 49.
Betul.. Membaca membuat kita cerdas dalam banyak bidang..
ReplyDelete