Thursday 26 October 2017

Ways Reading Makes You Better at Life Dari Kata-Kata Mengais Makna Kehidupan




Kanisius Teobaldus Deki, M.Th[1]

“Seseorang yang gemar membaca akan mempunyai pandangan yang luas, membuatnya menjadi manusia yang utuh, sedangkan orang yang gemar
berdiskusi membuat orang harus siap memberikan jawaban atau
mengajukan pertanyaan, dan orang yang gemar menulis
membuatnya menjadi mansia yang cermat”
(Francis Bacon, 22 Januari 1561-9 April 1626, filsuf Inggris, penulis, pengacara dan ilmuwan)[2]

A
da adagium yang menyatakan “reading is the window to the world” (Membaca adalah jendela menuju dunia). Pepatah ini benar dan tak tersangkali. Tak dapat dipungkiri, membaca memberikan ruang kepada manusia untuk menjelajahi dunia walau dari sebuah tempat duduk saja. Kita bisa mengenal hutan Amazon yang membentang sepanjang Brasil dan Negara Amerika Selatan dari buku-buku perjalanan Carl May yang dikemas dalam pelbagai novelnya. Atau kita dapat mengetahui seluk beluk wilayah tertentu di belahan lain bumi ini hanya dari sebuah ensiklopedi. Kita merasa seolah-olah sedang berjalan di tembok raksasa China hanya dengan mempelajari buku sejarah yang secara detail melaporkan proses pembuatan, ukuran lebar, tinggi dan panjangnya.
Tak perlu kita berada di lokasi kejadian runtuhnya sebuah bangunan bersejarah, banjir bandang yang menimpa wilayah masyarakat, tsunami di Jepang, kegoncangan sebuah pemerintahan. Masih banyak peristiwa dan kenyataan yang tak mengharuskan kita menjadi saksi mata. Kita dapat merasakan peristiwa dan kejadian itu seolah nyata (dengan pelibatan seluruh diri: pikiran, perasaan dan tindakan). Semua itu dapat dan mungkin melalui membaca berita, ulasan serta penjelasan tentang hal itu melalui bacaan. Membaca lalu menjadi sebuah pilihan selain untuk mengetahui sesuatu tetapi lebih dari itu untuk mengais makna kehidupan, belajar dari bacaan untuk membaca kehidupan kita sendiri.
Tulisan ini menitikberatkan analisisnya pada dialektika itu. Di satu pihak, menampilkan manfaat dari pembacaan, di lain pihak memampukan kita untuk membaca kenyataan kehidupan kita sendiri, memberi makna atasnya, lalu berupaya menjadikan hidup kita lebih baik.



Menimbang Manfaat Membaca[3]
Bagi banyak orang, membaca memiliki banyak manfaat yang terus meningkatkan kehidupan mereka. Hidup mereka menjadi lebih baik dalam beberapa cara, berikut: mental, spiritual dan sosialitas. Juga, jika kita mengembangkan kebiasaan membaca kita akan menjadi lebih percaya diri dan percaya diri dalam kemampuan untuk memahami dan mengerti semua jenis informasi.

Pertama, Keterpesonaan Cerdas. Ternyata membaca membantu kita dalam hampir setiap bidang cerdas. Mereka yang membaca memiliki IPK yang lebih tinggi, intelijen lebih tinggi, dan pengetahuan umum yang luas. Dalam tulisan Anne E. Cunningham What Reading Does for the Mind, dia menemukan bahwa membaca, secara umum, membuat kita cerdas dalam banyak bidang.
Kedua, Membaca mengurangi stres. Membaca dapat membantu kita keluar dari stress yang kerap melanda kehidupan kita. Melalui aktivitas membaca kita dapat memperoleh banyak cara untuk keluar dari pelbagai masalah. Saat ini, begitu banyak buku yang menyajikan cara terbaik untuk menghadapi masalah-masalah aktual kita.
Ketiga, Ketenangan yang lebih besar. Membaca dapat menenangkan. Banyak bacaan yang menyajikan inspirasi bagi kita. Upaya dari penulis-penulis bermuara pada bagaimana pokok pikirannya berguna bagi pembaca. Ketenangan adalah salah satu hasil real dari membaca bila kita terlibat aktif di dalamnya.
Keempat, Perluasan berpikir analitis. Cunningham dalam studinya telah menemukan bahwa berpikir analitis didorong oleh membaca. Pembaca meningkatkan pengetahuan umum mereka, dan yang lebih penting mampu membaca dengan pola cepat dan menghubungkan satu hal dengan hal lain.
Kelima, Peningkatan kosa kata. Bukan rahasia lagi bahwa dengan membaca kita meningkatkan kosa kata dan ejaan. Apakah Anda tahu bahwa membaca meningkatkan kosa kata Anda lebih daripada berbicara atau pengajaran langsung?
Keenam, Peningkatan memori. Membaca membantu kita untuk memiliki memori yang bagus. Hal ini disebabkan karena dengan membaca kita digiring ke dalam ide tertentu dan terlibat dengan ide itu.
Ketujuh, Peningkatan kemampuan menulis. Pengalaman pribadi saya memperlihatkan hal ini. Saya sering membaca, di mana dan kapan saja dan karena itu saya bisa menulis buku. Untungnya ialah selain terjadi penambahan kosa kata ada juga perluasan ide yang menakjupkan. Rumusannya ialah makin banyak membaca makin sanggup untuk menulis secara baik dan benar.

Membangun Minat & Budaya Baca
Tentang kegelisahan tersebab kian memudarnya niat membaca pada semua generasi di Indonesia, seorang seniman kawakan kita Taufiq Ismail pernah menulis:
”Mengapa para penumpang di gerbong kereta api Jakarta-Surabaya tidak membaca novel, tapi menguap dan tertidur miring? Mengapa di dalam angkot di Bandung, penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap rokok? Mengapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya, tapi main gaple? Kenapa di kapal Makassar-Banda Naira penumpang tidak membaca kumpulan buku puisi, tapi main domino? Kenapa susah mendapat calon pegawai tamatan S-1 yang mampu menulis proposal yang bagus atau rencana kerja yang baik? Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Manado pengantar pasien tidak membaca buku drama, tapi asyik main SMS? Mengapa jumlah total pengarang di Indonesia hanya cocok untuk negara berpenduduk 20 juta, bukan 200 juta?”[4]
Pertanyaan tersebut akan terasa kontras dengan sebuah pernyataan, berikut ini: ”Saya ingin membaca lima judul buku sehari jika tidak terpaksa harus pergi ke sekolah”. Pernyataan ini disampaikan oleh Millie, anak berusia dua belas tahun warga Amerika. Dia dapat membaca cepat sekali. Dia telah selesai membaca buku Markham Real American Romance sejumlah 13 jilid dalam seminggu.
Jawaban atas seluruh pertanyaan Taufiq Islmail dan kunci kesuksesan Millie, tidak lain adalah: minat baca. Maka kita dapat melihat bahwa jarak minat baca berbanding lurus dengan jarak kemajuan sebuah bangsa. Bahkan dapat dikatakan bahwa kunci utama untuk keluar dari kemiskinan dan menuju menjadi bangsa yang makmur adalah dengan membangkitkan minat baca masyarakat. Akar kemiskinan, yang menerpa sebagian rakyat Indonesia, adalah karena masih tingginya tingkat melek aksara dan sangat payahnya minat baca sebagian besar masyarakat. Kita tidak akan menemukan sebuah kenyataan di belahan bumi manapun ada orang berilmu dan luas pengetahuannya tapi hidupnya miskin, kecuali atas dasar pilihan hidup.
Mengapa seseorang tidak memiliki minat baca? Jawabannya ada tiga macam: 1) karena memang sudah warisan dari orang tua. Mulai dari kakek-nenek memang tidak suka membaca dan itu sudah ada dalam DNA anda sampai hari ini. Sifat ini diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya dan anda mewarisinya. Inilah yang disebut dengan determinisme genetis. 2) Anda tidak sedang membaca, karena memang sejak kecil dibesarkan oleh orangtua yang tidak pernah mendekatkan diri anda dengan bacaan. Saya tidak sedang membaca memang tidak diberi teladan oleh orang tua malah orang tua Anda selalu mengatakan bahwa membaca itu perbuatan yang hanya buang waktu saja. Pengasuhan anda, pengalaman masa kanak-kanak anda pada dasarnya membentuk kecenderungan pribadi dan susunan karakter anda. Itulah sebabnya anda tidak senang membaca. Inilah yang disebut dengan determinisme psikis. 3) Sedangkan determinisme lingkungan pada dasarnya mengatakan bahwa anda tidak senang membaca karena atasan atau bawahan, teman-teman, dan guru atau dosen ada juga yang tidak senang membaca; di samping itu juga di rumah, di kantor, di sekolah tidak disediakan perpustakaan; serta tidak ada peraturan perusahaan yang mengharuskan anda untuk membaca; situasi ekonomi yang kurang mendukung dan tidak adanya kebijakan nasional tentang minat baca. Seseorang atau sesuatu di lingkungan andalah yang bertanggungjawab atas tidak adanya minat baca pada diri anda.
Sesungguhnya upaya menumbuhkan motivasi membaca dapat bersumber dari empat dimensi manusia (mental, emosional, spiritual, dan fisik). Dengan menghidupkan satu atau lebih dimensi manusia tersebut seseorang dapat termotivasi dalam membaca. Keempat dimensi tersebut apabila diartikulasikan ke dalam bentuk kegiatan manusia maka akan seperti berikut: Visualisasi (visualitation) untuk dimensi mental; Tanggung jawab (responsibility) untuk dimensi spiritual; Kenyamanan dan kesukaan (excited) untuk dimensi emosional; Gerakan (move) untuk dimensi fisik. Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan memotivasi diri untuk membaca yang tidak terbatas. Semakin besar upaya untuk menyalakan sumber pemicu motivasi semakin besar motivasi yang dihasilkan. Akan tetapi untuk memulainya, langkah yang paling awal dan paling penting adalah melakukan penyadaran.


Dari Kata-Kata Mengais Makna Kehidupan

Bacaan selalu menghadirkan kata-kata. Tanpa kata tak mungkin sebuah arti terurai. Dari pernyataan ini buku pada gilirannya bisa menjadi agen perubahan untuk menciptakan masyarakat membaca (reading society) sebagai salah satu pilar utama menuju masyarkat belajar (learning society). dua hal ini harus dipertegas:
Pertama, Masyarakat membaca. Masyarakat yang maju mempunyai kebiasaan membaca. Kebiasaan ini mendorong mereka untuk mencari tahu sesuatu berdasarkan yang seharusnya atau sebenarnya. Jika ini menjadi sebuah habitus (kebiasaan yang sudah mendarah-daging), maka masyarakat itu mempunyai pemahaman tentang sesuatu berdasarkan substansinya (inti, hakikat terdalam). Itu berarti meninggalkan kebiasaan menangkap sesuatu berdasarkan fenomena semata atau peripheral saja. Penemuan sesuatu berdasarkan hakikatnya mengarahkan masyarakat untuk memiliki basis pertahanan rasional dan menjadikannya stand point dalam menyatakan sesuatu secara benar dan adekuat.
Kedua, melalui proses ini masyarakat akan terbiasa dalam proses belajar yang terus menerus ( a continuing process learning) sehingga dalam segala hal mereka akan mendasarkan dirinya pada pengetahuan yang benar, bukan serta merta hanya pada anggapan berbasis intuisi dan terkaan belaka.
Ketiga, bertitik-pijak pada argumentasi yang terbangun di atas, maka membaca menjadi jalan untuk semakin menemukan kedalaman hidup. Kedalaman itu makin terbangun oleh karena kita mengais maknanya terus menerus. Penelusuran makna oleh kaisan yang berkelanjutan bermuara pada penemuan hidup yang sejati.
Apa yang terbaca dalam dan melalui tulisan merujuk pada penemuan kesejatian hidup manusia melalui alur pembacaan teks menuju konteks.[5] Teks dengan kesejarahannya sendiri memberikan makna tersendiri yang disandingkan dengan konteks, tempat di mana manusia menemukan kepenuhan hidupnya (fully life). Keseriusan membaca teks membawa pembiasaan untuk membaca kenyataan hidup melalui penemuan makna yang terkais. Itulah sebabnya membaca buku ini sangat direkomendasikan untuk siapa saja yang ingin memiliki kepenuhan hidup dalam kesejatiannya.***


[1] Penulis buku Tradisi Lisan Orang Manggarai-Membidik Persaudaraan Dalam Bingkai Sastra (Parrhesia Institute, 2011), co-Editor buku: Menjadi Abdi - Menghalau Gelap Budi Menyingsing Fajar Pengetahuan (Ledalero, 2008), Gereja Menyapa Manggarai-Menghirup Keutamaan Tradisi, Menumbuhkan Kasih, Menjaga Harapan (Parrhesia, 2011). Saat ini menjadi dosen STKIP St. Paulus Ruteng & Project Coordinator for Journal MISSIO.
[2] Bryan Bevan, The Real Francis Bacon, England: Centaur Press, 1960, hal. 71. Ross Jackson, The Companion to Shaker of the Speare: The Francis Bacon Story, England: Book Guild Publishing, 2005. Fulton Anderson, Francis Bacon: His career and his thought, Los Angeles, 1962.
[3] Anne E. Cunningham and Keith E. Stanovich, Journal of Direct Instruction, Vol. 1, No. 2, hal. 137–149. Reprinted with permission from The American Federation of Teachers. American Educator, Vol. 22, No. 1–2, pp. 8–15. Address correspondence to Anne E. Cunningham and Keith
E. Stanovich at acunning@socretes.berkeley.edu.
[5] Secara etimologis istilah “konteks”berasal dari bahasa Latin- con-texere yaitu menenun atau menganyam. Jadi teologi kontekstual bukanlah sejumlah kebenaran abstrak yang tidak dipengaruhi oleh zamannya melainkan suatu keprihatinan iman yang sedang mencari pemahaman di tengah pengalaman serta realitas politik, sosial dan religius. Dengan kata lain, ia menggambarkan teologi yang mengindahkan pengalaman manusia, lokasi sosial, kebudayaan dan perubahan kebudayaan secara sungguh-sungguh, meski juga berusaha menjaga keseimbangan.  Bdk. Steven Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, terj. Yosef Maria Florisan, Maumere: Ledalero, 2002, hal. 49.

1 comment: