Wednesday 25 October 2017

Keberpihakan Gereja Bagi Kaum Miskin dan Tertindas




Kanisius Teobaldus Deki
 
Tom VOX dari NCR [National Chatolic Reporter][1] pernah mengajukan beberapa pertanyaan berupa angket untuk orang-orang Katolik beberapa waktu lalu. Sebagian angketnya berbunyi: “Sebutkan tiga persoalan pokok yang menurut anda mesti dibahas oleh konsili umum yang akan datang dari Gereja Katolik Roma, jelaskan dalam satu-dua kalimat mengenai alasannya”. Selain responden NCR, berikut ini beberapa hal yang menurut saya perlu mendapat perhatian serius.

Kemiskinan dan ketertindasan adalah masalah pokok yang melanda dunia, khususnya manusia yang berdiam di belahan bumi Selatan atau kerap disebut “Dunia Ketiga”.[2] Ketika semangat kapitalisme melanda dunia dan sanggup menguasainya, maka pihak-pihak yang tidak sanggup bertarung menjadi korban yang terobyektivasi oleh pelbagai kepentingan negara-negara maju.[3] Apa yang dibuat oleh Gereja melawan neo kolonialisme seperti ini?

Dalam konteks lokal, di Manggarai, Flores Barat, muncul semangat kapitalisme baru yang mengeksploitasi masyarakat petani melalui kebijakan-kebijakan pembangunan yang secara tegas tidak berpihak pada kebutuhan real masyarakat. Hal itu terungkap secara jelas pada kasus pembabatan tanaman rakyat di lahan-lahan yang secara sepihak diklaim sebagai lokasi hutan negara. Pertanyaan yang perlu dilontarkan, apa yang telah dilakukan oleh Gereja dalam membela keadilan bagi rakyat Manggarai yang tertindas?

Pilihan menjadi Kristen dan mengikuti Yesus adalah sebuah optio fundamentalis [pilihan mendasar] yang radikal.[4] Jika Gereja hendak menegaskan diri dan eksistensinya secara jelas, tandas dan tegas, maka ia berpihak pada kemiskinan dan ketertindasan umat-rakyat. Gereja sebagai umat Allah yang berziarah adalah pribadi-pribadi pembentuk komunitas yang berjalan dalam keadilan dan kesejahteraan yang dibangun di atas konstruksi kasih.[5] Melalui pelbagai cara, khususnya membangun kerja sama lintas jaringan, Gereja menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan bersama civil society [masyarakat madani]. Hirarki dan awam,[6] sebagai bagian dari Gereja, adalah nabi yang coba merefleksikan kebutuhan umat, menawarkan pelbagai alternatif pemecahan untuk mengatasi multikesulitan dan serentak menjadi pembela bila anak-anak Allah ditindas.[7] Ketika Gereja bungkam terhadap pelbagai praksis ketidakadilan dan tindak kekerasan atas umat Allah, maka yang terjadi ialah rasa tidak percaya dan ragu yang bermuara akhir pada perasaan hampa dan tidak meletakkan harapan pada Gereja lagi.[8]

Di sini dibutuhkan sebuah perjuangan yang dilandasi sikap demokratis dalam membangun jaringan. Kita perlu belajar dari eklesiologi millennium pertama yang mengutamakan prinsip kesepadanan, kolegialitas, solidaritas dan subsidiaritas.[9] Persekutuan sejati Gereja lokal dibangun untuk menjawabi tantangan-tantangan aktual sekaligus mengindahkan konteksnya. Teologi Pembebasan yang dibangun di berbagai kawasan, khususnya gema yang ditampilkan oleh Amerika Latin membawa pesan yang mendalam bahwa Gereja, baik sebagai institusi maupun sebagai umat Allah sanggup menciptakan perubahan dalam kehidupan manusia.[10] Keberpihakan yang radikal dan solidaritas yang dihayati bukan sekedar membagi makanan, melainkan sebuah aksi nyata yang dilancarkan terkait dengan struktur-struktur yang menindas.

Itulah sebabnya, kolaborasi tidak sehat antara pemerintah dan pejabat Gereja mesti dihindari. Implikasinya, 1] Ekaristi yang hidup adalah sebuah moment dimana hidup dirayakan, bukan hanya dalam ruangan atau gedung Gereja maupun Kapela, tetapi nyata dalam kehidupan yang luas. Yesus memberikan makanan kepada orang lapar, menyembuhkan orang buta dan orang lumpuh, mereka yang mengalami berbagai penderitaan, membebaskan orang yang kerasukan roh jahat, melepaskan stigma sosial bagi mereka yang tereliminasi dari pergaulan masyarakat dan bahkan membangkitkan orang mati. Itu semua adalah kenyataan aktual di mana Yesus menghadirkan diriNya secara utuh, penuh bagi mereka yang dilayaniNya. “Ekaristi Yesus” adalah moment memberikan segalanya, hidupNya bagi orang yang dilayaniNya. Dan Yesus sebagai Ekaristi karenanya hidup di dalam diri orang-orang yang sungguh percaya padaNya.

2] Tidak perlu dibangun gedung Gereja yang megah, katedral dan mewah, kapela yang indah kalau iman umat bukan menjadi pusat perhatian. Iman yang hidup mesti menjadi orientasi, karena untuk itulah Gereja ada dan perlu. Umat Allah kerap terlalu dihadang oleh administrasi yang [karena terlampau ditekankan] dikira sebagai bagian yang lebih penting sine qua non [syarat mutlak] dari pelayanan Gereja. Iman yang hidup itu mesti menjiwai orang-orang miskin dan tertindas sehingga terbangun rasa solidaritas di antara mereka dalam menjawabi tantangan bersama. Iman yang hidup mesti meresapi kaum kapitalis dan pengambil kebijakan di pemerintahan supaya mereka tidak memandang kemiskinan rakyat sebagai “lahan” untuk meraup keuntungan. Iman yang hidup merupakan sebuah imperative bagi semua orang Kristen supaya di antara mereka terdapat kasih yang jujur dan saling menghormati sebagai sesama anak Allah.


[1] Bdk. Tom Vox, “Blue Print of Vatican III”, NCR. Edisi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Yoseph Maria Florisan, dalam: Georg Kirchberger dan John Prior [eds.], Op. Cit., hh. 155-203.
[2] Dunia Ketiga [D3] ialah dunia bekas jajahan, dan yang kemudian merdeka tetapi masih membawa akibat-akibat dari penjajahan masa lalu seperti kemiskinan, keterpecahan, penindasan dan ketergantungan. Dengan kata lain, Dunia Ketiga adalah dunia yang sedang membangun di tengah dunia yang cenderung monolitik. Karena itu kelihatannya dia sedang dijajah secara baru tetapi serentak sedang bangkit melawan penjajahan baru itu dengan membangun kepercayaan diri yang baru untuk bisa memberikan alternative baru. Bdk. Yoseph Suban Hayon, Teologi Asia,  Maumere: STFK Ledalero, 1999, h. 2. Ungkapan D3 pertama kali dinyatakan oleh Alfred Sauvy, demokrat Prancis tahun 1952. Ia berbicara dalam majalah Brasil tentang 3 dunia. Dalam artikel “Trais mundes una Planete” yang terbit 14 Agustus 1951 dalam majalah “L ‘Observateur Politique, Economique et Litteraire” dia berbicara secara eksplisit tentang D3. D3 digunakan untuk negara-negara yang sedang berkembang, miskin yang terbanyak berada di bumi belahan Selatan. Itu berarti suatu realitas luas yang merangkum AmLat, Asia, Afrika dan Oceania [terkecuali: Australia dan New Zealand]. D3 merupakan realitas jamak, poliandrik, realitas yang sama: pemiskinan, penindasan, penjajahan, kebergantungan. Sejak tahun 1970-an arti ini diperluas: kaum imigran, buruh di seluruh dunia dan kelompok-kelompok minoritas miskin di negara-negara maju. Bdk. Yoseph Suban Hayon, Teologi Dunia Ketiga,  Maumere: STFK Ledalero, 1999, h. 4.
[3] Secepat kilat Amerika Serikat memasuki tahap baru imperiumnya. Ia bahkan tidak hanya menguasai dan menjajah perekonomian dunia dan media serta memiliterisasi perekonomian dan pemerintahannya sendiri, kini ia menjajah sumber-sumber daya bumi yang lebih penting dengan maksud mengendalikan melalui militerisasi angkasa raya [starwars]. Bdk. Paul Kenedy, Menyiapkan Diri Menghadapi Abad ke-21, terjemahan S. Maimoen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995, hh. 434-488.
[4] Istilah optio fundamentalis digunakan untuk menunjuk pilihan dasar atau sikap dasar manusia. Kalangan teolog menggunakan istilah ini untuk melukiskan perwujudan kebebasan dalam proses menjadi diri manusia [freedom of being]. Tindakan manusia untuk menjadi diri dapat digolongkan ke dalam optio fundamentalis sebab optio ini merupakan arah hidup dalam pribadi manusia. William Chang, Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta: Kanisius,  2001, h. 73.
[5] Bdk. 1 Kor 4:21.
[6] Terdapat anggapan yang keliru tentang Gereja yang hanya dilekatkan pada hirarki sehingga seolah-olah kaum awam mencuci tangan dari setiap problem yang dihadapi Gereja. Semangat “menggantungkan diri”dan : “tunggu dari atas” adalah mentalitas yang tidak relevan [out of date] dan harus dienyahkan dari konsep kita tentang Gereja pada masa kini.
[7] Allah tidak tahan menyaksikan penderitaan orang Israel di Mesir [Kel 1:1-22]. Itulah sebabnya Ia mengutus Musa dan Harun untuk membebaskan mereka dari ketertindasan serta kemelaratan dan membawa mereka ke “tanah terjanji” [Kel 3:9-10].
[8] Masyarakat Manggarai, khususnya mereka yang tanamannya dibabat oleh kebijakan Pemkab Manggarai pada zaman Drs. Anton Bagul Dagur menjadi bupati, kerap mengungkapkan rasa kekecewaan yang mendalam ketika mereka merasa tidak dibela oleh Gereja [yang dimaksud baik hirarki maupun awam].
[9] Bdk. Kis 2:41-47.
[10] Uraian yang memadai tentang Teologi Pembebasan dapat dibaca dalam buku Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation, Maryknoll: Orbis Books, 1973.

No comments:

Post a Comment