Kanisius Teobaldus Deki
Tom VOX dari NCR [National Chatolic Reporter][1] pernah
mengajukan beberapa pertanyaan berupa angket untuk orang-orang Katolik beberapa
waktu lalu. Sebagian angketnya berbunyi: “Sebutkan tiga persoalan pokok yang
menurut anda mesti dibahas oleh konsili umum yang akan datang dari Gereja
Katolik Roma, jelaskan dalam satu-dua kalimat mengenai alasannya”. Selain
responden NCR, berikut ini beberapa hal yang menurut saya perlu mendapat perhatian
serius.
Kemiskinan dan ketertindasan adalah masalah pokok
yang melanda dunia, khususnya manusia yang berdiam di belahan bumi Selatan atau
kerap disebut “Dunia Ketiga”.[2] Ketika
semangat kapitalisme melanda dunia dan sanggup menguasainya, maka pihak-pihak
yang tidak sanggup bertarung menjadi korban yang terobyektivasi oleh pelbagai
kepentingan negara-negara maju.[3] Apa yang
dibuat oleh Gereja melawan neo kolonialisme seperti ini?
Dalam konteks lokal, di Manggarai, Flores Barat,
muncul semangat kapitalisme baru yang mengeksploitasi masyarakat petani melalui
kebijakan-kebijakan pembangunan yang secara tegas tidak berpihak pada kebutuhan
real masyarakat. Hal itu terungkap secara jelas pada kasus pembabatan tanaman
rakyat di lahan-lahan yang secara sepihak diklaim sebagai lokasi hutan negara. Pertanyaan
yang perlu dilontarkan, apa yang telah dilakukan oleh Gereja dalam membela
keadilan bagi rakyat Manggarai yang tertindas?
Pilihan menjadi Kristen dan mengikuti Yesus adalah
sebuah optio fundamentalis [pilihan mendasar] yang radikal.[4] Jika Gereja hendak
menegaskan diri dan eksistensinya secara jelas, tandas dan tegas, maka ia
berpihak pada kemiskinan dan ketertindasan umat-rakyat. Gereja sebagai umat
Allah yang berziarah adalah pribadi-pribadi pembentuk komunitas yang berjalan
dalam keadilan dan kesejahteraan yang dibangun di atas konstruksi kasih.[5] Melalui pelbagai cara,
khususnya membangun kerja sama lintas jaringan, Gereja menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari perjuangan bersama civil society [masyarakat madani].
Hirarki dan awam,[6] sebagai bagian dari
Gereja, adalah nabi yang coba merefleksikan kebutuhan umat, menawarkan pelbagai
alternatif pemecahan untuk mengatasi multikesulitan dan serentak menjadi
pembela bila anak-anak Allah ditindas.[7] Ketika Gereja bungkam
terhadap pelbagai praksis ketidakadilan dan tindak kekerasan atas umat Allah,
maka yang terjadi ialah rasa tidak percaya dan ragu yang bermuara akhir pada
perasaan hampa dan tidak meletakkan harapan pada Gereja lagi.[8]
Di sini dibutuhkan sebuah
perjuangan yang dilandasi sikap demokratis dalam membangun jaringan. Kita perlu
belajar dari eklesiologi millennium pertama yang mengutamakan prinsip
kesepadanan, kolegialitas, solidaritas dan subsidiaritas.[9] Persekutuan sejati
Gereja lokal dibangun untuk menjawabi tantangan-tantangan aktual sekaligus
mengindahkan konteksnya. Teologi Pembebasan yang dibangun di berbagai kawasan,
khususnya gema yang ditampilkan oleh Amerika Latin membawa pesan yang mendalam
bahwa Gereja, baik sebagai institusi maupun sebagai umat Allah sanggup
menciptakan perubahan dalam kehidupan manusia.[10] Keberpihakan yang
radikal dan solidaritas yang dihayati bukan sekedar membagi makanan, melainkan
sebuah aksi nyata yang dilancarkan terkait dengan struktur-struktur yang
menindas.
Itulah sebabnya, kolaborasi tidak
sehat antara pemerintah dan pejabat Gereja mesti dihindari. Implikasinya, 1]
Ekaristi yang hidup adalah sebuah moment dimana hidup dirayakan, bukan hanya
dalam ruangan atau gedung Gereja maupun Kapela, tetapi nyata dalam kehidupan
yang luas. Yesus memberikan makanan kepada orang lapar, menyembuhkan orang buta
dan orang lumpuh, mereka yang mengalami berbagai penderitaan, membebaskan orang
yang kerasukan roh jahat, melepaskan stigma sosial bagi mereka yang
tereliminasi dari pergaulan masyarakat dan bahkan membangkitkan orang mati. Itu
semua adalah kenyataan aktual di mana Yesus menghadirkan diriNya secara utuh,
penuh bagi mereka yang dilayaniNya. “Ekaristi Yesus” adalah moment memberikan
segalanya, hidupNya bagi orang yang dilayaniNya. Dan Yesus sebagai Ekaristi
karenanya hidup di dalam diri orang-orang yang sungguh percaya padaNya.
2] Tidak perlu dibangun gedung
Gereja yang megah, katedral dan mewah, kapela yang indah kalau iman umat bukan
menjadi pusat perhatian. Iman yang hidup mesti menjadi orientasi, karena untuk
itulah Gereja ada dan perlu. Umat Allah kerap terlalu dihadang oleh
administrasi yang [karena terlampau ditekankan] dikira sebagai bagian yang
lebih penting sine qua non [syarat mutlak] dari pelayanan Gereja. Iman
yang hidup itu mesti menjiwai orang-orang miskin dan tertindas sehingga
terbangun rasa solidaritas di antara mereka dalam menjawabi tantangan bersama.
Iman yang hidup mesti meresapi kaum kapitalis dan pengambil kebijakan di
pemerintahan supaya mereka tidak memandang kemiskinan rakyat sebagai “lahan”
untuk meraup keuntungan. Iman yang hidup merupakan sebuah imperative bagi semua
orang Kristen supaya di antara mereka terdapat kasih yang jujur dan saling
menghormati sebagai sesama anak Allah.
[1] Bdk. Tom Vox, “Blue
Print of Vatican III”, NCR. Edisi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Yoseph
Maria Florisan, dalam: Georg Kirchberger dan John Prior [eds.], Op. Cit.,
hh. 155-203.
[2]
Dunia Ketiga [D3] ialah dunia bekas jajahan, dan yang kemudian merdeka tetapi
masih membawa akibat-akibat dari penjajahan masa lalu seperti kemiskinan,
keterpecahan, penindasan dan ketergantungan. Dengan kata lain, Dunia Ketiga
adalah dunia yang sedang membangun di tengah dunia yang cenderung monolitik.
Karena itu kelihatannya dia sedang dijajah secara baru tetapi serentak sedang
bangkit melawan penjajahan baru itu dengan membangun kepercayaan diri yang baru
untuk bisa memberikan alternative baru. Bdk. Yoseph Suban Hayon, Teologi Asia, Maumere: STFK Ledalero, 1999, h. 2. Ungkapan
D3 pertama kali dinyatakan oleh Alfred Sauvy, demokrat Prancis tahun 1952. Ia
berbicara dalam majalah Brasil tentang 3 dunia. Dalam artikel “Trais mundes una
Planete” yang terbit 14 Agustus 1951 dalam majalah “L ‘Observateur
Politique, Economique et Litteraire” dia berbicara secara eksplisit tentang
D3. D3 digunakan untuk negara-negara yang sedang berkembang, miskin yang
terbanyak berada di bumi belahan Selatan. Itu berarti suatu realitas luas yang
merangkum AmLat, Asia, Afrika dan Oceania [terkecuali: Australia dan New
Zealand]. D3 merupakan realitas jamak, poliandrik, realitas yang sama:
pemiskinan, penindasan, penjajahan, kebergantungan. Sejak tahun 1970-an arti
ini diperluas: kaum imigran, buruh di seluruh dunia dan kelompok-kelompok
minoritas miskin di negara-negara maju. Bdk. Yoseph Suban Hayon, Teologi
Dunia Ketiga, Maumere: STFK
Ledalero, 1999, h. 4.
[3] Secepat kilat Amerika Serikat memasuki tahap baru
imperiumnya. Ia bahkan tidak hanya menguasai dan menjajah perekonomian dunia
dan media serta memiliterisasi perekonomian dan pemerintahannya sendiri, kini
ia menjajah sumber-sumber daya bumi yang lebih penting dengan maksud
mengendalikan melalui militerisasi angkasa raya [starwars]. Bdk. Paul
Kenedy, Menyiapkan Diri Menghadapi Abad ke-21, terjemahan S. Maimoen.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995, hh. 434-488.
[4] Istilah optio
fundamentalis digunakan untuk menunjuk pilihan dasar atau sikap
dasar manusia. Kalangan teolog menggunakan istilah ini untuk melukiskan
perwujudan kebebasan dalam proses menjadi diri manusia [freedom of being].
Tindakan manusia untuk menjadi diri dapat digolongkan ke dalam optio
fundamentalis sebab optio ini merupakan arah hidup dalam pribadi
manusia. William Chang, Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta:
Kanisius, 2001, h. 73.
[6] Terdapat anggapan
yang keliru tentang Gereja yang hanya dilekatkan pada hirarki sehingga
seolah-olah kaum awam mencuci tangan dari setiap problem yang dihadapi Gereja.
Semangat “menggantungkan diri”dan : “tunggu dari atas” adalah mentalitas yang
tidak relevan [out of date] dan harus dienyahkan dari konsep kita
tentang Gereja pada masa kini.
[7] Allah tidak tahan menyaksikan penderitaan orang Israel di
Mesir [Kel 1:1-22]. Itulah sebabnya Ia mengutus Musa dan Harun untuk
membebaskan mereka dari ketertindasan serta kemelaratan dan membawa mereka ke
“tanah terjanji” [Kel 3:9-10].
[8] Masyarakat
Manggarai, khususnya mereka yang tanamannya dibabat oleh kebijakan Pemkab
Manggarai pada zaman Drs. Anton Bagul Dagur menjadi bupati, kerap mengungkapkan
rasa kekecewaan yang mendalam ketika mereka merasa tidak dibela oleh Gereja [yang
dimaksud baik hirarki maupun awam].
[9] Bdk. Kis 2:41-47.
[10] Uraian yang memadai
tentang Teologi Pembebasan dapat dibaca dalam buku Gustavo Gutierrez, A
Theology of Liberation, Maryknoll: Orbis Books, 1973.
No comments:
Post a Comment