Friday, 27 October 2017

Membangun Kerukunan Sosial (Antar Agama) dari Perspektif Katolik






Kanisius Teobaldus Deki, S.Fil. M.Th

Pendahuluan
Dalam hal agama dan aliran kepercayaan, Negara Indonesia sangat plural. Pluralitas keyakinan ini dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945 yang sangat mengedepankan kebebasan memeluk agama bagi setiap warganya. Negara Indonesia juga mengakui fakta pluralisme agama dalam masyarakat Indonesia. Dan negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya. Pengakuan ini dieksplisitkan dalam sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang Mahaesa" dan dalam Pembukaan UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2. Pengakuan akan adanya Tuhan ini memberi landasan bagi pengakuan akan pluralisme agama dan kepercayaan, dan pengakuan akan kebebasan dalam menganut agama dan menjalankan ibadah bagi setiap warga negara.
Sejak semula, para foundator bangsa telah mengantar kita kepada pemahaman akan kerukunan antara umat beragama dan penghargaan akan perbedaan sebagai kekayaan. Dalam UUD pasal 29 ayat 1 dan 2 dikatakan: “Negara berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa (ayat 1) dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (ayat 2). Rumusan-rumusan di atas menunjukkan bahwa di negeri ini semua agama berkedudukan sama di mata hukum. Maka, pemerintah dan negara berperan penting untuk menjamin agar hak warga negara berkaitan dengan kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadat tidak ditindas dan dihalangi oleh kelompok lain.
Menanggapi fakta keberagaman ini, dan begitu banyak persoalan yang ditimbulkan konflik antaragama, bagaimana perspektif  Katolik membentuk kehidupan bersama yang mengaraskan diri pada peciptaan kehidupan yang rukun, harmonis dan damai? Bagimana perspektif Katolik menciptakan tatanan kehidupan sosial yang saling menghargai dalam kehidupan yang dialogis? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan dalam kerangka mencari dasar filosofis, teologis dan sosiologis serta praktis dalam membangun kehidupan bersama di tengah masyarakat.

Pandangan Kitab Suci
Bangsa Israel sejak awal telah hidup bersama dengan bangsa lain. Bahkan pluralitas menjadi kenyataan mereka tatkala mereka tinggal dan hidup bersama dengan bangsa Mesir dan sekitarnya. Teks-teks berikut bisa mewakili keyakinan umat Perjanjian Lama tentang kehidupan bersama yang dilumuri fakta penghargaan akan pluralitas.
Kitab Imamat 19:18: “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang- orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri;  Akulah TUHAN.” Kitab Amsal 25:21 "Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia  minum air.”
Kitab Ulangan 10:18: “Ia membela hak para janda dan yatim dan menunjukkan kasih-Nya kepada orang asing dengan memberikan makanan dan pakaian kepada mereka.” Bahkan Ulangan 27:19 menulis: “Terkutuklah orang yang memperkosa hak orang asing,  anak yatim dan janda. Dan seluruh bangsa itu haruslah berkata: Amin!”
Jelang kehidupan-Nya di dunia berakhir, Yesus memberikan kepada para murid-Nya apa yang Dia sebut “perintah baru” (Yoh 13:34). Diulangi tiga kali, perintah itu sederhana namun sulit: “Saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh 15:12). Ajaran untuk saling mengasihi telah menjadi ajaran sentral dari pelayanan Juruselamat. Perintah besar kedua adalah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:39). Yesus bahkan mengajarkan, “Kasihilah musuhmu” (Mat 5:44).
Untuk bisa mengasihi sesama, kasih itu mengalir dari kasih kepada Allah. Matius 22: 17-18 berkata, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama”. Ya, mengasihi Allah berarti mencintai hal-hal yang dicintainya. Ulangan 10:18 memberitahu kita bahwa Allah ‘memberikan keadilan bagi anak yari kasih tim dan janda, dan mencintai orang asing, memberinya makanan dan pakaian’. Yesus mengajak kita untuk mengasihi orang asing, termasuk mereka yang berbeda dengan kita.
Yesus menasehati: “Kasihilah sesamamu sebagaimana kamu mengasihi dirimu sendiri”. Nasihat ini disampaikan Yesus dengan mengisahkan kebaikan seorang Samaria saat menolong seorang pria yang terkujur tak berdaya di tengah jalan (Lukas 10: 30-36). Yesus mengajarkan kita bahwa orang-orang di sekitar kita adalah sesama kita, bukan musuh. Jadi, berbuat baiklah kepada siapapun yang memerlukan pertolongan.
Selain itu, Yesus bersabda: “Perbuatlah kepada orang lain seperti apa yang ingin mereka perbuat kepadamu”. Pernyataan ini disebut juga the golden way (jalan emas). Matius 7: 12 mengatakan bahwa apapun yang kita ingin orang lain lakukan untuk kita, lakukan jugalah kepada mereka. Yesus tidak mengatakan agar kita sengaja melakukan beberapa hal untuk orang lain demi mendapatkan perlakuan yang sama. Tetapi Yesus lebih menekankan agar kita melakukan sesuatu yang pantas kita lakukan kepada orang lain.
Hal terberat dalam kehidupan adalah bagaimana mengasihi orang yang telah berbuat jahat kepada kita. Tetapi Yesus bersabda: ”Kasihilah musuhmu”.
Dalam Matius 5: 43-48 dijelaskan tentang bagaimana kita harus mengasihi musuh kita dan lebih memilih untuk berdoa untuk keselamatan mereka. Kita hanya melakukan hal yang sia-sia apabila kita hanya membalas kebaikan dengan kebaikan. Oleh karena itu, kita harus meneladani Yesus yang telah menunjukkan kasih-Nya bagi kita orang berdosa. Kristus telah mati bagi kita untuk dapat diperdamaikan dengan Allah.
Orang yang berhasil mengasihi adalah orang sedang berjalan di jalan Tuhan. Jauhkahlah dirimu dari sikap mementingkan diri sendiri dan mengarah pada kepedulian kepada orang lain. Sama seperti Yesus yang telah meninggalkan tahta kerajaan-Nya demi menjadi serupa dengan manusia (Filipi 2: 4-8). Kerendahan hati diperlukan pengikut-pengikut Yesus untuk mampu mengerjakan pekerjaan Yesus di dunia, yakni menjadi hamba untuk melayani orang lain.
Surat Roma 12:20:  “Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya.” Surat Roma 12:21. “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalah kanlah  kejahatan dengan kebaikan!”

Dialog Antar Agama Dalam Dokumen Gereja
Gereja Katolik sangat menaruh perhatian kepada kerukunan hidup antar umat beragama. Hal itu dapat kita baca dalam dokumen – dokumen Gereja secara khusus dalam Konsili Vatikan II. Dokumen Pernyataan tentang hubungan Gereja dengan Agama – Agama bukan Kristen (Nostrae Aetate) menyatakan pada pendahuluan bahwa: “Semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal, sebab Allah menghendaki segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi. Semua juga mempunyai satu tujuan terakhir yakni Allah, yang yang menyelenggarkan”. Selain dari pada itu dokumen pernyataan tentang kebebasan beragama (Dignitatis Humanae), no. 6: “Pada hakekatnya termasuk tugas setiap kuasa sipil: melindungi dan mengembangkan hak-hak manusia yang tak dapat diganggu-gugat. Maka kuasa sipil wajib melalui hukum-hukum yang adil serta upaya-upaya lainnya yang sesuai, secara berhasil-guna menanggung perlindungan kebebasan beragama semua warga negara dan menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan dan mengembangkan hidup keagamaan”.
Konsili Vatikan II dapat dikatakan sebagai titik tolak dari hidup Gereja yang dialogis. Ini tidak berarti bahwa sebelumnya Gereja sangat tidak dialogis. Dialog sebagaimana yang dicetuskan oleh Konsili Vatikan II mempunyai akar pada Tradisi hidup Gereja. Sikap dialogis Gereja sebelum Konsili Vatikan II tampak dalam kesaksian para Bapa Gereja, para misionaris, dan ajaran para paus masa lampau yang menunjukkan sikap positif terhadap agama-agama lain. Memang ajaran yang menunjukkan sikap positif terhadap agama-agama lain itu bersifat sporadis, tersebar, dan kurang menjadi sikap dasar yang menonjol. Sikap Gereja seringkali kebalikannya, yakni eklusivisme, triumphalisme, dan sebagainya. Akibatnya Gereja sebelum Konsili Vatikan II tampak tertutup dan kurang memandang positif agama-agama.
Angin segar yang ditiupkan oleh Konsili Vatikan II membuat dialog umat beragama menjadi unsur integral dalam perutusan Gereja. Dalam dokumen-dokumen Konsili dan post Konsili Vatikan II, dialog agama menempati posisi penting. Redemptoris Missio 55 menyatakan bahwa dialog antar agama merupakan bagian dari misi penginjilan Gereja; dialog tidak bertentangan dengan tugas perutusan Gereja.
Dialog merupakan bentuk tugas perutusan yang otentik. Bersama dengan pewartaan yang merupakan komunikasi pesan Injil, dialog dengan cara dan kedudukannya sendiri, menjadi unsur penentu dari kegiatan perutusan Gereja. Dialog dan pewartaan diarahkan untuk mengkomunikasikan kebenaran yang menyelamatkan kepada semua orang.
Melihat tempat dialog dalam keseluruhan tugas perutusan Gereja, siapakah yang berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam dialog? Paus Yohanes Paulus II (alm.) menegaskan bahwa Gereja Lokal-lah yang pertama-tama harus memiliki komitmen untuk membangun dialog dengan umat beragama lain di tempatnya masing-masing. Tidak ada Gereja Lokal satu pun yang dapat menghindarkan diri dari kewajiban ini. Sejauh tanggung jawab dialog ada pada Gereja Lokal, maka umat beriman sendiri yang harus terlibat dalam dialog agama-agama.
Masa depan dialog agama-agama pertama-tama terletak pada kaum awam. Ini berarti dibutuhkan barisan imam yang tangguh, yang tahu mendampingi kaum awam sebagai saudara-saudara seiman, yang ada di tengah-tengah umat sebagai orang-orang yang sungguh beriman. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang memiliki amanat perutusan untuk menjalin kerja sama dan berdialog dengan sesamanya dari agama-agama lain guna meningkatkan kesejahteraan sosial dan kehidupan masyarakat sekitarnya (Apostolicam Actuositatem 14). Perhatian khusus harus diberikan kepada kaum muda yang hidup dalam masyarakat yang pluralistis ini.
            Demikian juga dalam KHK 1983, kan. 748, ditegaskan bahwa: “Semua orang wajib mencari kebenaran dalam hal-hal yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya, dan berdasarkan hukum Ilahi mereka wajib dan berhak memeluk dan memelihara kebenaran yang mereka kenal”. Selain itu, “tak seorang pun boleh memaksa orang untuk memeluk iman katolik melawan hati nuraninya”. Bagaimana relevansinya kanon ini dalam membangun kerukunan hidup antar umat beragama? Dalam alam kebebasan itu manusia dapat menentukan imannya berdasarkan hati nuraninya yang bebas dari segala paksaan dan tekanan. Semua usaha manusia dalam mencari Allah yang diimaninya akan terwujud sebuah perdamaian jika diiringi dengan praktek hidup sehari-hari dalam dialog antar umat beragama.

Bentuk-bentuk Dialog yang Dapat Dikembangkan
Kongregasi Evangelisasi Bangsa-bangsa dan Dewan Kepausan Untuk Dialog Antaragama mengeluarkan dokumen dengan judul Dialog dan Pewartaan. Dalam dokumen ini dinyatakan bentuk-bentuk dialog (art. 42) sbb:

a) Dialog Kehidupan
Dialog ini diperuntukkan bagi semua orang dan merupakan level dialog yang paling mendasar. Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat yang plural dialog kehidpan ini sangat dibutuhkan. Aneka pengalaman, entah suka maupun duka, gembira maupun sedih dialami bersama. Dalam tingkatan dialog ini manusia dari setiap agama hidup dan bekerja sama, dan setiap orang memperkaya dirinya dengan pengantaraan mengamati. Dialog kehidupan memang sudah terlaksana dalam masyarakat Indonesia, seperti silahturahmi pada hari raya, kerja bakti membersihkan lingkungan, dan sebagainya.

b) Dialog Karya
Yang dimaksudkan dengan dialog karya adalah kerja sama yag lebih intens dan mendalam dengan penganut-penganut agama lain. Sasaran yang hendak diraih yakni pembangunan dan peningkatan martabat mausia. Bentuk dialog ini kerap berlangsung dalam kerangka kerja sama organisasi-organisasi internasional maupun nasional di mana agama-agama bersama-sama menghadapi masalah dunia. Jadi pelbagai macam pemeluk agama dapat melaksanakan proyek-proyek pembangunan dalam meningkatkan kehidupan keluarga dan nilai-nilainya, membantu rakyat dari kemiskinan, dan proyek-proyek kemanusiaan lainnya. Gereja secara konkret dan resmi terlibat dalam dialog karya ini. Sekurang-kurangnya ada dua sekretariat yang pelaksanaan kerjanya meminta kerja sama dengan penganut agama lain. Dua sekretariat itu adalah; The Pontifical commission for Justice and Peace dan Dewan Kepausan Cor Unum. Gereja juga mendesak umatnya untuk mengusahakan dialog karya, sebuah dialog yang ditumpukkan tidak pada agama melainkan pada kerja sama dalam kaya-karya.

c) Dialog Pandangan Teologis
Dialog ini dikhususkan bagi para teolog atau siapa saja yang mempunyai kemampuan untuk itu. Dalam dialog ini orang diajak menggumuli, memperdalam dan memperkaya warisan-warisan keagamaan masing-masing. Dialog semacam ini jelas membutuhkan visi yang mantap. Dalam dialog pandangan teologis tidak boleh ada pretensi, kecuali untuk saling memahami pandangan teologis masing-masing agama dan penghargaan terhadap nilai-nilai rohani masing-masing.

d) Dialog Pengalaman Iman
Dialog ini dimaksudkan untuk saling memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani masing-masing pribadi. Dalam dialog ini, pribadi-pribadi yang berakar dalam tradisi keagamaan masing-masing berbagi pengalaman doa, kontemplasi, dan meditasi, bahkan pengalaman iman dalam arti yang lebih mendalam.

Tantangan-tantangan dalam Usaha Membangun Dialog Antar Agama
Melihat bentuk-bentuk dialog sebagaimana disebutkan di atas, dapat kita ketahui bahwa tidaklah setiap dialog cocok bagi setiap orang atau setiap situasi. Tiap bentuk dialog mempunyai pelaku, tempat, dan waktunya. Dialog agama adalah suatu hal yang tidak mudah dijalankan. Dialog selalu mengandaikan adanya keterbukaan dari tiap-tiap pihak yang berdialog. Dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman akan agama yang seimbang. Dialog tidak akan berjalan apabila muncul faktor-faktor sosial politik, dan beban ingatan traumatis akan konflik sejarah, pemahaman yang salah tentang agama lain, sikap merasa diri paling sempurna yang memunculkan sikap agresif dan defensif, permasalahan zaman ini seperti materialisme, sekularisme, sikap acuh tak acuh terhadap kehidupan beragama, dan munculnya sekte-sekte fundamentalis, juga sikap tidak toleran yang kerap kali diperparah oleh faktor politik, ekonomi, ras, etnis, dan aneka kesenjangan lainnya.
Dalam dialog karya terkadang bantuan kemanusiaan dicurigai sebagai bentuk proseletisme. Dialog kehidupan seperti silahturahmi pada hari raya kadang tidak berjalan karena adanya golongan agama yang ‘mengharamkan’ kelompok lain yang tidak seagama. Dalam dialog pengalaman iman harus dihindari sikap yang menjurus pada sinkretisme, ada pun dialog pandangan teologis hendaknya dilakukan oleh orang yang ahli. Di dalamnya butuh kesabaran mendengarkan orang lain yang menyampaikan ajaran agama yang berbeda dengan ajaran agamanya sendiri.

Penutup
Walaupun terdapat sejumlah tantangan dalam membangun dialog antar agama, keterlibatan Gereja dalam membangun dialog harus tetap kokoh dan tidak goyah. Disadari bahwa untuk menciptakan suasana kondusif di tengah masyarakat plural, dialog merupakan salah satu unsur esensial. Gereja Indonesia telah mencetuskan dirinya sebagai Gereja Abdi, yang digunakan Tuhan untuk membangun kerajaanNya. Kerajaan itu dipercaya mulai tumbuh dalam masyrakat, karenanya Gereja melayani, menyambut baik, mendukung dan ikut terlibat memajukan dialog yang bertujuan merukunkan kaum beriman. Kendati menyusuri lorong gelap, Gereja harus berjuang merealisasi perannya sebagai tanda dan sarana keselamatan bagi semua dengan terus berusaha menjalin dialog membangun Kerajaan Allah. Sebuah panggilan yang mendesak dilaksanakan, meskipun tidak gampang.
Dialog kristiani berlandaskan kasih. Kasihlah yang harus menyata pada pola pikir, pola berbahasa dan pola tindak. Dengan kasih sebagai bahasa universal dan laku setiap manusia akan menciptakan tatanan kehidupan yang dikehendaki Allah.

Referensi:

Alkitab. Jakarta: LBI, 2001.

Dokumen Konsili Vatikan II , ter. R. Hardawiryana, SJ, Dokpen KWI, Jakarta: Obor, 1993.

Ignatius Haryanto dan Pax Benedanto, Terbuka terhadap Sesama Umat Beragama: Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja tentang Agama yang Inklusif, Komisi Kerawam KWI, Jakarta: Kanisius, 2004.

Jacques Dupuis, A Theological Commentary: Dialog and Proclamation. New York: Orbis Book, 1993.

Kampschulle, Theodore, Situasi HAM di Indonesia: Kebebasan Beragama dan Aksi Kekerasan, Mission, (tanpa tahun).

Kirchberger Georg, Dialog dan Pewartaan. Maumere: LPBAJ, 1999.

Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Obor, 1992.

Kongregasi Evangelisasi Bangsa-Bngsa dan Dewan Kepausan Untuk Dialog Antaragama, Dialog dan Pewartaan-Refleksi dan Orientasi Mengenai Dialog Antaragama dan Pewartaan Injil Yesus Kristus. Maumere: LPBAJ, 1991.

Sumartana, Th., dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Intefidei, 2001.




No comments:

Post a Comment