Kanisius Teobaldus Deki
Iman dan kebudayaan sebenarnya
bukanlah dua hal yang bertentangan. Iman terkait dengan budaya manusia. Dalam
dimensi budaya, iman menjadi salah satu bagian yang terkait dengan esensi
manusia sebagai homo religiosus [mahkluk rohani]. Dewasa ini, kita
membutuhkan sebuah gereja yang multibudaya. Beberapa implikasi yang dapat
dicermati kembali menurut saya sebagai berikut:
Pertama, agama (dalamnya iman coba dipahami dan dihayati) berada pada kultur tertentu. Ia terkait dengan cara-cara
kultur itu menghadirkan nilai-nilai kepada manusia pemilik kebudayaan itu. Iman
kristiani yang kita hayati berhubungan erat dengan kebudayaan para pengembara
Israel, situasi sosial-politik, dan religiositas kerakyatan mereka. Pasca
kehadiran Yesus Kristus, iman kristiani yang sama berada dalam kerangka misi
mesianik Yesus di tengah orang Israel yang rindu menantikan kehadiranNya. Kita
menjadi sadar bahwa kekristenan yang coba diperkenalkan kepada bangsa lain
adalah kepercayaan yang erat dihubungkan dengan konteks budaya orang Israel
zaman Yesus dan Jemaat Perdana. Perjumpaan dengan peradaban baru memberi warna
lain bagi kekristenan yang didominasi oleh kultur Eropa. Iman orang Eropa
inilah yang coba diwartakan ke seluruh dunia. Ketika praksis iman tidak
diadaptasikan ke konteks lokal, maka akan terjadi epistemological-break of faith (keretakan epistemologi iman).
Iman orang lokal cenderung diorientasikan ke budaya Barat.
Kedua, Kenyataan ini membawa
kita pada kesadaran perlunya sebuah konstruksi teologis yang dibangun di atas
relasi yang menghubungi elemen-elemen yang terdapat dalam iman dan budaya kita.
Kesadaran akan hadirnya banyak nilai kristiani di dalam budaya-budaya lokal
merupakan kritik atas pelbagai tuduhan yang tidak seimbang terhadap
religiositas kerakyatan yang diwarnai oleh unsur-unsur budaya lokal.
Ketiga, Hal ini lebih
dimungkinkan lagi oleh arah perkembangan refleksi para pemikir tentang
kebudayaan sangat positif. Dalam konteks Manggarai ada pemikiran untuk
mempertemukan konsep asli tentang Tuhan dengan apa yang disampaikan oleh agama
Kristen. Tentang hal ini lebih jelas coba dibingkai dalam teori
Kulturkreislehre[1]
dalamnya membahas tentang Wujud
Tertinggi dan Uhrmonotheismus.
Konsep atau gagasan tentang adanya Wujud Tertinggi
bukan merupakan suatu perkembangan baru suatu suku dalam teori kulturkreiselehre,
sangat tepat. Salah satu contohnya, konsep ini mendapat tempat dalam gagasan Wujud
Tertinggi orang Manggarai. Konsep tentang
adanya Mori agu Ngaran, Mori Jari Dedek, parn awo- kolepn
sale, awangn etan-tanan wa, serta semua ungkapan tentang Wujud Tertinggi
bukanlah suatu perkembangan pengaruh agama (wahyu-institusional) atau budaya
pada zaman ini. Konsep-konsep itu telah lahir dari pengalaman iman agama primal
mereka akan adanya Wujud Tertinggi.
Gagasan tentang adanya Wujud
Tertinggi lahir sejak zaman dahulu ketika orang Manggarai masih dalam tahap
perkembangan yang sangat sederhana. Gagasan ini berkembang seturut atau seirama
dengan perkembangan manusia Manggarai yang mempunyai sistem-sistem yang khas. Karena itu, kalau Wilhelm Schmith
mengatakan bahwa Wujud Tertinggi merupakan bentuk yang sudah sangat tua dan
bukan bentuk perkembangan yang baru, bila diaplikasikan ke dalam kebudayaan dan
agama primal orang Manggarai, hal itu adalah benar.
Ide tentang Wujud Tertinggi dan Perkembangannya sangat mendarat dalam
kebudayaan-kebudayaan manusia. Sudah
dikatakan pada uraian terdahulu bahwa teori kulturkreislehre dari
Wilhelm Schmith berkeyakinan bahwa Wujud Tertinggi bukan merupakan perkembangan
baru tetapi merupakan bentuk kebudayaan yang sudah sangat tua. Namun, bentuk
kebudayaan yang sudah sangat tua itu tetap mengalami perkembangan sejalan
dengan lajunya perkembangan zaman. Meskipun tidak ada perubahan yang sangat
mendasar pada bentuk aslinya, Wujud Tertinggi telah mengalami perubahan pada
sebutan untuk mengungkapkannya.
Pengaruh masuknya agama Katolik menyebabkan adanya
penyingkatan sebutan untuk Wujud Tertinggi. Kalau sejak zaman dahulu Wujud Tertinggi selalu disebut dengan
ungkapan yang panjang, maka pada zaman sekarang ungkapan itu jarang digunakan,
kecuali dalam acara-acara yang khusus, semisal upacara-upacara adat. Pengaruh
agama Katolik juga merembes masuk, sehingga untuk menyebut Wujud Tertingginya,
orang Manggarai menggunakan kata atau ungkapan ‘Mori Kraeng’. Menurut
hemat saya ungkapan ini meskipun sudah sanggup mewakili sebutan untuk Wujud
Tertinggi namun muatannya kurang padat.
Namun dalam kenyataannya, sangat sulit untuk menyebut atau mengungkapkan yang
asli.
Wujud Tertinggi orang Manggarai terungkap dalam
lambang-lambang, terutama metafor-metafor yang dibuat untuk memudahkan setiap
orang Manggarai mengenal dan mengerti tentang Wujud Tertingginya.
Metafor-metafor itu biasanya berupa kosmos: bumi, langit, matahari, sungai dan
sebagainya. Semua ungkapan yang digunakan memperlihatkan betapa keterbatasan
bahasa menyebabkan sulitnya mengungkapkan tentang Mori agu Ngaran, Jari agu
Dedek, parn awo kolepn sale dan ungkapan lainnya.
Hadirnya teori kulturkreislehre dari Wilhelm
Schmith sebenarnya memperteguh dan membenarkan tentang eksistensi dari Wujud
Tertinggi yang telah ada sejak zaman dahulu di Manggarai. Benar bahwa konsep
atau gagasan tentang Wujud Tertinggi bukan merupakan hal yang baru dalam
fenomen kebudayaan, terungkap dalam penghayatan dan kepercayaan akan adanya
Wujud Tertinggi itu.
Mori agu Ngaran merupakan pelindung dan penjaga serta pemberi segala sesuatu kepada
manusia. Keyakinan inilah yang melahirkan gagasan untuk menyembah Mori agu
Ngaran dengan segala bentuk upacara adat. Sebagai manusia, orang Manggarai
percaya bahwa oleh karena kedekatan antara Sang Pencipta dan manusia melalui
penyembahan atau ritus-ritus adat, mereka akan bersatu dalam kebahagiaan kelak.
Upacara adat yang dibuat secara khusus untuk
mengungkapkan kepercayaan akan Wujud Tertinggi, seperti upacara kelahiran,
perkawinan dan pembukaan lahan baru, menyatakan secara tegas bahwa Mori agu
Ngaranlah yang mengasal segala sesuatu, menciptakan, memelihara dan
akhirnya memanggil untuk bersatu kembali secara erat pada akhir hidup sesudah
kematian.
Akhirnya harus dikatakan bahwa dengan hadirnya teori
kultukreislehre dari Wilhem Schmith, tentang Wujud Tertinggi, menyokong
eksistensi kehidupan agama primal Manggarai. Pada zaman sekarang teori ini
tetap berlaku justru untuk mengantisipasi kekeliruan yang terjadi akibat
deviasi konsep tentang Wujud Tertinggi.
Konsep atau gagasan tentang Wujud Tertinggi orang Manggarai bukanlah akibat
dari pewartaan agama Katolik, melainkan sudah ada sebelum agama Katolik masuk
ke Manggarai awal abad XX yang lalu.
[1] Bdk. Ansel Doredae, Kuliah Antropologi
Budaya (Maumere: STFK Ledalero, 1993), hh. 15-17. Hans Daeng, Antropologi (Ende: Nusa Indah, 1978).
No comments:
Post a Comment