Tuesday 24 October 2017

Pengakuan Iman atas Kebudayaan





Kanisius Teobaldus Deki
 
Iman dan kebudayaan sebenarnya bukanlah dua hal yang bertentangan. Iman terkait dengan budaya manusia. Dalam dimensi budaya, iman menjadi salah satu bagian yang terkait dengan esensi manusia sebagai homo religiosus [mahkluk rohani]. Dewasa ini, kita membutuhkan sebuah gereja yang multibudaya. Beberapa implikasi yang dapat dicermati kembali menurut saya sebagai berikut:

Pertama, agama (dalamnya iman coba dipahami dan dihayati) berada pada kultur tertentu. Ia terkait dengan cara-cara kultur itu menghadirkan nilai-nilai kepada manusia pemilik kebudayaan itu. Iman kristiani yang kita hayati berhubungan erat dengan kebudayaan para pengembara Israel, situasi sosial-politik, dan religiositas kerakyatan mereka. Pasca kehadiran Yesus Kristus, iman kristiani yang sama berada dalam kerangka misi mesianik Yesus di tengah orang Israel yang rindu menantikan kehadiranNya. Kita menjadi sadar bahwa kekristenan yang coba diperkenalkan kepada bangsa lain adalah kepercayaan yang erat dihubungkan dengan konteks budaya orang Israel zaman Yesus dan Jemaat Perdana. Perjumpaan dengan peradaban baru memberi warna lain bagi kekristenan yang didominasi oleh kultur Eropa. Iman orang Eropa inilah yang coba diwartakan ke seluruh dunia. Ketika praksis iman tidak diadaptasikan ke konteks lokal, maka akan terjadi  epistemological-break of faith (keretakan epistemologi iman). Iman orang lokal cenderung diorientasikan ke budaya Barat.

Kedua, Kenyataan ini membawa kita pada kesadaran perlunya sebuah konstruksi teologis yang dibangun di atas relasi yang menghubungi elemen-elemen yang terdapat dalam iman dan budaya kita. Kesadaran akan hadirnya banyak nilai kristiani di dalam budaya-budaya lokal merupakan kritik atas pelbagai tuduhan yang tidak seimbang terhadap religiositas kerakyatan yang diwarnai oleh unsur-unsur budaya lokal.

Ketiga, Hal ini lebih dimungkinkan lagi oleh arah perkembangan refleksi para pemikir tentang kebudayaan sangat positif. Dalam konteks Manggarai ada pemikiran untuk mempertemukan konsep asli tentang Tuhan dengan apa yang disampaikan oleh agama Kristen. Tentang hal ini lebih jelas coba dibingkai dalam teori Kulturkreislehre[1] dalamnya membahas tentang Wujud Tertinggi dan Uhrmonotheismus. 

Konsep atau gagasan tentang adanya Wujud Tertinggi bukan merupakan suatu perkembangan baru suatu suku dalam teori kulturkreiselehre, sangat tepat. Salah satu contohnya, konsep ini mendapat tempat dalam gagasan Wujud Tertinggi orang Manggarai. Konsep tentang  adanya Mori agu Ngaran, Mori Jari Dedek, parn awo- kolepn sale, awangn etan-tanan wa, serta semua ungkapan tentang Wujud Tertinggi bukanlah suatu perkembangan pengaruh agama (wahyu-institusional) atau budaya pada zaman ini. Konsep-konsep itu telah lahir dari pengalaman iman agama primal mereka akan adanya Wujud Tertinggi.

Gagasan tentang adanya Wujud Tertinggi lahir sejak zaman dahulu ketika orang Manggarai masih dalam tahap perkembangan yang sangat sederhana. Gagasan ini berkembang seturut atau seirama dengan perkembangan manusia Manggarai yang mempunyai sistem-sistem  yang khas. Karena itu, kalau Wilhelm Schmith mengatakan bahwa Wujud Tertinggi merupakan bentuk yang sudah sangat tua dan bukan bentuk perkembangan yang baru, bila diaplikasikan ke dalam kebudayaan dan agama primal orang Manggarai, hal itu adalah benar.

Ide tentang Wujud Tertinggi dan Perkembangannya sangat mendarat dalam kebudayaan-kebudayaan manusia. Sudah dikatakan pada uraian terdahulu bahwa teori kulturkreislehre dari Wilhelm Schmith berkeyakinan bahwa Wujud Tertinggi bukan merupakan perkembangan baru tetapi merupakan bentuk kebudayaan yang sudah sangat tua. Namun, bentuk kebudayaan yang sudah sangat tua itu tetap mengalami perkembangan sejalan dengan lajunya perkembangan zaman. Meskipun tidak ada perubahan yang sangat mendasar pada bentuk aslinya, Wujud Tertinggi telah mengalami perubahan pada sebutan untuk mengungkapkannya. 

Pengaruh masuknya agama Katolik menyebabkan adanya penyingkatan sebutan untuk Wujud Tertinggi. Kalau sejak zaman dahulu  Wujud Tertinggi selalu disebut dengan ungkapan yang panjang, maka pada zaman sekarang ungkapan itu jarang digunakan, kecuali dalam acara-acara yang khusus, semisal upacara-upacara adat. Pengaruh agama Katolik juga merembes masuk, sehingga untuk menyebut Wujud Tertingginya, orang Manggarai menggunakan kata atau ungkapan ‘Mori Kraeng’. Menurut hemat saya ungkapan ini meskipun sudah sanggup mewakili sebutan untuk Wujud Tertinggi  namun muatannya kurang padat. Namun dalam kenyataannya, sangat sulit untuk menyebut atau mengungkapkan yang asli.

Wujud Tertinggi orang Manggarai terungkap dalam lambang-lambang, terutama metafor-metafor yang dibuat untuk memudahkan setiap orang Manggarai mengenal dan mengerti tentang Wujud Tertingginya. Metafor-metafor itu biasanya berupa kosmos: bumi, langit, matahari, sungai dan sebagainya. Semua ungkapan yang digunakan memperlihatkan betapa keterbatasan bahasa menyebabkan sulitnya mengungkapkan tentang Mori agu Ngaran, Jari agu Dedek, parn awo kolepn sale dan ungkapan lainnya. 

Hadirnya teori kulturkreislehre dari Wilhelm Schmith sebenarnya memperteguh dan membenarkan tentang eksistensi dari Wujud Tertinggi yang telah ada sejak zaman dahulu di Manggarai. Benar bahwa konsep atau gagasan tentang Wujud Tertinggi bukan merupakan hal yang baru dalam fenomen kebudayaan, terungkap dalam penghayatan dan kepercayaan akan adanya Wujud Tertinggi itu.

Mori agu Ngaran merupakan pelindung dan penjaga serta pemberi segala sesuatu kepada manusia. Keyakinan inilah yang melahirkan gagasan untuk menyembah Mori agu Ngaran dengan segala bentuk upacara adat. Sebagai manusia, orang Manggarai percaya bahwa oleh karena kedekatan antara Sang Pencipta dan manusia melalui penyembahan atau ritus-ritus adat, mereka akan bersatu dalam kebahagiaan kelak.

Upacara adat yang dibuat secara khusus untuk mengungkapkan kepercayaan akan Wujud Tertinggi, seperti upacara kelahiran, perkawinan dan pembukaan lahan baru, menyatakan secara tegas bahwa Mori agu Ngaranlah yang mengasal segala sesuatu, menciptakan, memelihara dan akhirnya memanggil untuk bersatu kembali secara erat pada akhir hidup sesudah kematian. 

Akhirnya harus dikatakan bahwa dengan hadirnya teori kultukreislehre dari Wilhem Schmith, tentang Wujud Tertinggi, menyokong eksistensi kehidupan agama primal Manggarai. Pada zaman sekarang teori ini tetap berlaku justru untuk mengantisipasi kekeliruan yang terjadi akibat deviasi konsep tentang  Wujud Tertinggi. Konsep atau gagasan tentang Wujud Tertinggi orang Manggarai bukanlah akibat dari pewartaan agama Katolik, melainkan sudah ada sebelum agama Katolik masuk ke Manggarai awal abad XX yang lalu.




[1] Bdk. Ansel Doredae, Kuliah Antropologi Budaya (Maumere: STFK Ledalero, 1993), hh. 15-17. Hans Daeng, Antropologi (Ende: Nusa Indah, 1978).

No comments:

Post a Comment