Tuesday 24 October 2017

Kesadaran akan Otonomitas Diri[1]





Kanisius Teobaldus Deki
 
Ilmu pengetahuan modern membawa banyak dampak yang luas untuk agama dan Tuhan yang diperkenalkannya.[2] Kesadaran akan otonomitas diri muncul ke dalam pentas kehidupan manusia setelah sekian lama manusia hanya bergantung pada pemahaman keliru tentang rahmat Allah dan penyelenggaraan Ilahi (providentia Divina). Psikologi sebagai ilmu yang membahas aspek kejiwaan manusia menemukan jalan baru untuk menunjukkan bahwa manusia memiliki otonomi atas dirinya sendiri. Selain sebagai mahkluk sosial (ens sociale), ia juga makhluk yang berpribadi (persona).

Adalah Rene Descartes, seorang filsuf Prancis dan Francis Bacon coba meletakkan dasar empirisme. Bagi mereka, ilmu pengetahuan terdiri atas pengalaman terhadap kejadian, dan dari situ ditarik kesimpulan-kesimpulan yang menguasai kejadian-kejadian itu. Muncullah apa yang disebut sebagai diktum terkenalnya, “Dubium Methodicum” (Kesangsian Metodis). Melalui Dubium Methodicum ini, pengetahuan yang berasal dari tradisi mesti dibimbangkan. Hanya satu kenyataan yang tak bisa dibimbangkan yakni bahwa saya  sedang berpikir. Lahirlah pernyataan terkenal Descartes, “Cogito Ergo Sum” (Saya berpikir, jadi saya ada). Norma kebenaran ialah pikiranku sendiri. Dengan demikian, apa yang tak bisa dipikirkan maka dia “tak ada”, kecuali kalau kita menerima, daya pikiran manusia itu terbatas.[3] Itu berarti pengamatan manusiawi dicurigai. Sikap dasarnya adalah keraguan metodis dan “berpikir” berarti mengambil jarak dari dunia lain.[4]

Sejak gagasan ini disebarluaskan, efek yang paling kuat ialah bahwa manusia ternyata telah menjadi “pusat” dari kehidupan sendiri. Manusia yang rasional adalah mahkluk yang “ada” dan serentak “meng-ada”.

Pertanyaan tentang eksistensi manusia terus diajukan. Keraguan tentang peran agama dalam kehidupan manusia makin dilancarkan. Situasi zaman yang bobrok oleh keacuhan terhadap nilai-nilai moral-religius membawa malapetaka yang tak tersangkakan. Perpaduan yang tidak seimbang antara orientasi hidup religius dan profan menyebabkan manusia tereliminasi ke dalam situasi yang merendahkan kehidupan duniawi serentak mengagungkan kehidupan “nanti”(rohani). Lahirlah beberapa pemikir yang melihat bahwa agama dan Allah adalah ciptaan manusia.

Ludwig Feurbach (1804-1872) merumuskan kritik agamanya dalam Das Wesen der Christentums (Hakikat Agama Kristiani) dan Das Wesen der Religion (Hakikat Agama). Bagi Feurbach, agama berarti kesadaran akan Nan Tak Terbatas. Jika demikian adanya, maka agama berakar dalam diri manusia, yang ciri khasnya adalah kesadaran tak terbatas. Agama adalah hubungan manusia dengan jati dirinya yang tak terbatas. Agama Kristen adalah proyeksi hasrat manusia akan hidup kekal, kesejahteraan dan kebahagiaan. Manusia adalah awal, pusat dan akhir agama. Karena itu, agama memalingkan manusia dari dirinya sendiri dan dari tugas di dunia ini. Agama menjadi rintangan bagi ilmu, kemajuan dan pendidikan, pencerahan, kedewasaan dan kebebasan dan membuat moral menjadi perintah saja. Keadilan, kebaikan dan kasih mempunyai dasar dalam dirinya sendiri. Di dalamnya manusia tergantung dari alam semesta dan mengakui ketergantungan itu.[5]

Mengikuti alur pemikiran Feurbach, Karl Marx (1818-1883), membuat sebuah pertanyaan sebagai berikut:  “Mengapa orang menciptakan Agama?” Menurut Marx, agama adalah khayalan orang yang mencari pegangan hidup, yang tidak ada di dunia ini. Tetapi karena agama dianggap sesuatu yang real (padahal sesungguhnya bukan, dia hanya semu), maka ternyata agama menjadi candu bagi rakyat dan “meninabobokan” rakyat. Kritik terhadap agama pada gilirannya adalah kritik terhadap hukum, dan kritik teologi tidak lain adalah kritik politik. Sebab, agama adalah sesuatu yang superstruktur dalam struktur masyarakat. Kritik Marx diarahkan pada agama Kristen yang menganjurkan matiraga dan karenanya meremehkan perjuangan. Melalui agama, kaum kapitalis [pemodal] melumpuhkan kaum proletar (pekerja).

Friederich Nietzsche (1844-1900) memaklumkan kematian Allah dengan menandaskan bahwa jika manusia ingin menjadi “super”maka gagasan Allah harus ditiadakan. Allah-lah yang menyebabkan manusia menjadi kerdil, tak berdaya dan kehilangan otonomitas dirinya. Menurut Nietzsche, agama berasal dari rasa takut terhadap nenek moyang dan alam. Semangat kristiani karenanya, adalah semangat para budak.

Berbeda dengan Feurbach, Marx dan Nietzsche yang memandang agama sebagai penghalang bagi perkembangan manusia, Sigmund Freud (1856-1933) melihat agama [dan dalamnya ada Allah] sebagai tempat pelarian. Agama adalah ilusi, proyeksi dari keinginan infantile akan dunia yang ideal.  Ayah diproyeksikan sebagai seorang ayah yang bertugas untuk menghibur dan melindungi anaknya yang tak mampu berdikari. Karena itu, kebaktian religius adalah sebuah proses paksaan. Orang tidak tahu mengapa ia harus melakukan itu, tetapi ia harus melakukannya, jangan-jangan ia mengalami kecelakaan sebagai hukuman dari Allah. Ini semua berawal dari Oedipus Kompleks, yakni pengaruh kejiwaan “alam-bawah-sadar” manusia.

Beberapa tokoh pemikir yang memiliki pengaruh yang besar atas agama telah ditampilkan bagian terdahulu. Tokoh-tokoh lain membuat analisis mereka berdasarkan ide-ide yang dilontarkan Feurbach, Marx, Nietzsche dan Freud. Menjadi jelas bagi kita bahwa melalui pemikir-pemikir ini, identitas kemanusiaan kita sebagai mahkluk yang memiliki otonomitas menjadi terang benderang. Manusia ternyata memiliki kekuatan yang terkandung di dalam esensi dan eksistensinya. Bagaimana memanfaatkan daya dan energi yang ada, itulah yang menjadi tugas dan tanggung jawab manusia sebagai mahkluk yang tak hanya rasional tetapi juga religius.

Berada pada zaman high tech seperti sekarang ini, dimana kita tidak hanya bergerak pada jalur komunikasi verbal tapi juga melalui jalan audiovisual dan maya (internet, handphone, dsb), membuat manusia menjadi “lupa diri” bahwa sebenarnya kecanggihan teknologi apapun memiliki keterbatasan. Sikap “lupa diri” itulah yang membawa manusia pada “penyembahan terknologi”yang serentak mendewakan hasil ciptaannya sendiri. Bahwa manusia memiliki kemampuan yang hebat, itu tak perlu disangkal. Tetapi, kesadaran bahwa manusia memiliki keterbatasan itu perlu terus didengungkan. Ketika ketidakseimbangan (unbalance) tak dihiraukan,  manusia akan masuk dunia baru yakni “dunia stress” yang menjadikan hasil iptek sebagai sembahan baru.[6]


[1] Uraian yang cukup memadai tentang pandangan para filsuf berkaitan dengan Tuhan, baca: Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terjemahan Zainul Am (Yogyakarta: Bandung, 2001), hh. 233-280.
[2] Hal ini menjadi kuat sejak zaman Renaissance dan Humanisme yang dilanjutkan dengan zaman Aufklärung [Terang Budi, Pencerahan] dan memuncak pada Revolusi Prancis [1750-1815].
[3] Bdk. Helwig, Op. Cit., h. 192.
[4] Gerben Heitink, Teologi Praktis (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 105.
[5] Bdk. Tom Jacobs, Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 27.
[6] Pernah pesawat Televisi digambarkan sebagai “Tabernakel Baru” yang menjadi sembahan baru manusia modern. Hal ini dilontarkan sebagai kritikan terkait dengan kecenderungan manusia modern yang lebih mementingkan acara televisi daripada kebaktian ritual keagamaan: doa, misa, dsb.

No comments:

Post a Comment