Kanisius Teobaldus Deki
Ilmu pengetahuan modern membawa banyak dampak yang
luas untuk agama dan Tuhan yang diperkenalkannya.[2]
Kesadaran akan otonomitas diri muncul ke dalam pentas kehidupan manusia setelah
sekian lama manusia hanya bergantung pada pemahaman keliru tentang rahmat Allah
dan penyelenggaraan Ilahi (providentia Divina). Psikologi sebagai ilmu
yang membahas aspek kejiwaan manusia menemukan jalan baru untuk menunjukkan
bahwa manusia memiliki otonomi atas dirinya sendiri. Selain sebagai mahkluk sosial (ens
sociale), ia juga makhluk yang berpribadi (persona).
Adalah Rene Descartes, seorang
filsuf Prancis dan Francis Bacon coba meletakkan dasar empirisme. Bagi mereka,
ilmu pengetahuan terdiri atas pengalaman terhadap kejadian, dan dari situ
ditarik kesimpulan-kesimpulan yang menguasai kejadian-kejadian itu. Muncullah
apa yang disebut sebagai diktum terkenalnya, “Dubium Methodicum” (Kesangsian
Metodis). Melalui Dubium Methodicum ini, pengetahuan yang berasal dari
tradisi mesti dibimbangkan. Hanya satu kenyataan yang tak bisa dibimbangkan
yakni bahwa saya sedang berpikir.
Lahirlah pernyataan terkenal Descartes, “Cogito Ergo Sum” (Saya
berpikir, jadi saya ada). Norma kebenaran ialah pikiranku sendiri. Dengan
demikian, apa yang tak bisa dipikirkan maka dia “tak ada”, kecuali kalau kita
menerima, daya pikiran manusia itu terbatas.[3] Itu berarti pengamatan
manusiawi dicurigai. Sikap dasarnya adalah keraguan metodis dan “berpikir”
berarti mengambil jarak dari dunia lain.[4]
Sejak gagasan ini
disebarluaskan, efek yang paling kuat ialah bahwa manusia ternyata telah
menjadi “pusat” dari kehidupan sendiri. Manusia yang rasional adalah mahkluk
yang “ada” dan serentak “meng-ada”.
Pertanyaan tentang eksistensi
manusia terus diajukan. Keraguan tentang peran agama dalam kehidupan manusia
makin dilancarkan. Situasi zaman yang bobrok oleh keacuhan terhadap nilai-nilai
moral-religius membawa malapetaka yang tak tersangkakan. Perpaduan yang tidak
seimbang antara orientasi hidup religius dan profan menyebabkan manusia
tereliminasi ke dalam situasi yang merendahkan kehidupan duniawi serentak
mengagungkan kehidupan “nanti”(rohani). Lahirlah beberapa pemikir yang melihat
bahwa agama dan Allah adalah ciptaan manusia.
Ludwig Feurbach (1804-1872) merumuskan
kritik agamanya dalam Das Wesen der Christentums (Hakikat Agama
Kristiani) dan Das Wesen der Religion (Hakikat Agama). Bagi Feurbach,
agama berarti kesadaran akan Nan Tak Terbatas. Jika demikian adanya, maka agama
berakar dalam diri manusia, yang ciri khasnya adalah kesadaran tak terbatas. Agama adalah hubungan
manusia dengan jati dirinya yang tak terbatas. Agama Kristen adalah proyeksi
hasrat manusia akan hidup kekal, kesejahteraan dan kebahagiaan. Manusia adalah
awal, pusat dan akhir agama. Karena itu, agama memalingkan manusia dari dirinya
sendiri dan dari tugas di dunia ini. Agama menjadi rintangan bagi ilmu,
kemajuan dan pendidikan, pencerahan, kedewasaan dan kebebasan dan membuat moral
menjadi perintah saja. Keadilan, kebaikan dan kasih mempunyai dasar dalam
dirinya sendiri. Di dalamnya manusia tergantung dari alam semesta dan mengakui
ketergantungan itu.[5]
Mengikuti alur pemikiran
Feurbach, Karl Marx (1818-1883), membuat sebuah pertanyaan sebagai berikut: “Mengapa orang menciptakan Agama?” Menurut
Marx, agama adalah khayalan orang yang mencari pegangan hidup, yang tidak ada
di dunia ini. Tetapi karena agama dianggap sesuatu yang real (padahal
sesungguhnya bukan, dia hanya semu), maka ternyata agama menjadi candu bagi
rakyat dan “meninabobokan” rakyat. Kritik terhadap agama pada gilirannya adalah
kritik terhadap hukum, dan kritik teologi tidak lain adalah kritik politik.
Sebab, agama adalah sesuatu yang superstruktur dalam struktur masyarakat.
Kritik Marx diarahkan pada agama Kristen yang menganjurkan matiraga dan
karenanya meremehkan perjuangan. Melalui agama, kaum kapitalis [pemodal]
melumpuhkan kaum proletar (pekerja).
Friederich Nietzsche (1844-1900)
memaklumkan kematian Allah dengan menandaskan bahwa jika manusia ingin menjadi
“super”maka gagasan Allah harus ditiadakan. Allah-lah yang menyebabkan manusia
menjadi kerdil, tak berdaya dan kehilangan otonomitas dirinya. Menurut
Nietzsche, agama berasal dari rasa takut terhadap nenek moyang dan alam.
Semangat kristiani karenanya, adalah semangat para budak.
Berbeda dengan Feurbach, Marx
dan Nietzsche yang memandang agama sebagai penghalang bagi perkembangan
manusia, Sigmund Freud (1856-1933) melihat agama [dan dalamnya ada Allah]
sebagai tempat pelarian. Agama adalah ilusi, proyeksi dari keinginan infantile akan
dunia yang ideal. Ayah diproyeksikan
sebagai seorang ayah yang bertugas untuk menghibur dan melindungi anaknya yang
tak mampu berdikari. Karena itu, kebaktian religius adalah sebuah proses
paksaan. Orang tidak tahu mengapa ia harus melakukan itu, tetapi ia harus
melakukannya, jangan-jangan ia mengalami kecelakaan sebagai hukuman dari Allah.
Ini semua berawal dari Oedipus Kompleks, yakni pengaruh kejiwaan
“alam-bawah-sadar” manusia.
Beberapa tokoh pemikir yang
memiliki pengaruh yang besar atas agama telah ditampilkan bagian terdahulu.
Tokoh-tokoh lain membuat analisis mereka berdasarkan ide-ide yang dilontarkan
Feurbach, Marx, Nietzsche dan Freud. Menjadi jelas bagi kita bahwa melalui
pemikir-pemikir ini, identitas kemanusiaan kita sebagai mahkluk yang memiliki
otonomitas menjadi terang benderang. Manusia ternyata memiliki kekuatan yang
terkandung di dalam esensi dan eksistensinya. Bagaimana memanfaatkan daya dan
energi yang ada, itulah yang menjadi tugas dan tanggung jawab manusia sebagai mahkluk
yang tak hanya rasional tetapi juga religius.
Berada pada zaman high tech
seperti sekarang ini, dimana kita tidak hanya bergerak pada jalur komunikasi
verbal tapi juga melalui jalan audiovisual dan maya (internet, handphone, dsb),
membuat manusia menjadi “lupa diri” bahwa sebenarnya kecanggihan teknologi
apapun memiliki keterbatasan. Sikap “lupa diri” itulah yang membawa manusia
pada “penyembahan terknologi”yang serentak mendewakan hasil ciptaannya sendiri.
Bahwa manusia memiliki kemampuan yang hebat, itu tak perlu disangkal. Tetapi,
kesadaran bahwa manusia memiliki keterbatasan itu perlu terus didengungkan.
Ketika ketidakseimbangan (unbalance) tak dihiraukan, manusia akan masuk dunia baru yakni “dunia
stress” yang menjadikan hasil iptek sebagai sembahan baru.[6]
[1] Uraian yang cukup memadai tentang
pandangan para filsuf berkaitan dengan Tuhan, baca: Karen Amstrong, Sejarah
Tuhan, terjemahan Zainul Am (Yogyakarta: Bandung, 2001), hh. 233-280.
[2] Hal ini menjadi kuat sejak zaman Renaissance
dan Humanisme yang dilanjutkan dengan zaman Aufklärung [Terang Budi,
Pencerahan] dan memuncak pada Revolusi Prancis [1750-1815].
[5] Bdk. Tom Jacobs, Paham Allah Dalam
Filsafat, Agama-Agama dan Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 27.
[6] Pernah pesawat
Televisi digambarkan sebagai “Tabernakel Baru” yang menjadi sembahan baru manusia
modern. Hal ini dilontarkan sebagai kritikan terkait dengan kecenderungan
manusia modern yang lebih mementingkan acara televisi daripada kebaktian ritual
keagamaan: doa, misa, dsb.
No comments:
Post a Comment