Thursday, 26 October 2017

Tombo Nunduk, Bentuk Sejarah Orang Manggarai






Kanisius Teobaldus Deki M.Th
Dosen STKIP St. Paulus dan Peneliti Budaya Manggarai

Bagaimana kita dapat memahami sebuah peristiwa di masa lampau? Jawabannya hanya satu, penelusuran melalui kajian sejarah. Membahas hal ini kita dapat merujuk pada para pemikir. Topolski (1976:53-55), misalnya, memandang sejarah sebagai peristiwa masa lampau (past events, res gestae), sebuah riset yang dilakukan oleh sejarahwan sekaligus berupa hasil tertentu semisal pernyataan tentang peristiwa masa lalu (narrative about past events, historia rerum gestarum) atau dalam istilah kerennya, historiografi, walau sebenarnya istilah itu merujuk pada sejarah penulisan sejarah.

Tombo Nunduk adalah sejarah tentang usul-asal sebuah keturunan yang dikisahkan secara lisan dan diteruskan melalui proses pewarisan kepada generasi-generasi penerus suatu suku. Unsur sejarah yang diyakini dekat dengan fakta merupakan ciri yang paling khas dari tombo nunduk. Meskipun tidak ditulis namun tombo nunduk tetap diingat karena ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah silsilah suatu keturunan. Tombo nunduk memiliki peran yang besar dalam menjajaki kembali usul-asal suatu keturunan secara genealogis maupun dalam kaitannya dengan kehadiran pihak lain di dalam tempat yang sama melalui relasi perkawinan.

Tombo nunduk dapat diklasifikasi ke dalam dua bentuk. Pertama, Tombo nunduk tentang usul-asal sebuah keturunan [ase-kae, cama tau]. Dalam tombo nunduk jenis ini orang akan mencari tahu usul-asalnya dalam garis keturunan. Hal ini menjadi urgen ketika seseorang akan menikah. Sebelum melangsungkan pernikahan, orang Manggarai biasa melakukan sebuah upacara yang disebut “Turuk Empo”. Turuk Empo ialah sebuah usaha untuk mencari tahu garis keturunan dengan maksud untuk menghindari kesalahan dalam menentukan jodoh. Misalnya, seorang pemuda tidak diperbolehkan memperistri saudarinya sendiri, tantanya, atau semua orang yang bukan dalam posisi sebagai anak rona [pihak pemberi gadis]. Meskipun peristiwa itu bukan merupakan kasus umum, ada beberapa kasus yang dialami oleh mereka yang pergi merantau ke tempat jauh atau mereka yang sejak kecil dipisahkan dari orang tua, perkawinan mereka ternyata sumbang [toe kopn, jurak] menurut tatanan adat yang berlaku karena masih ada hubungan darah.

Kedua, Tombo nunduk usul-asal tempat [beo, golo]. Sering terjadi ketika kita pergi ke tempat yang baru muncul pertanyaan, “Mengapa tempat ini atau itu bernama ini dan bukan itu?” Pertanyaan yang sama kerap diajukan oleh orang Manggarai. Itulah sebabnya mengapa sebuah nama memiliki arti yang mendalam bagi orang Manggarai, meskipun tidak mutlak. Tetapi yang pasti ialah bahwa setiap nama sering terkait dengan peristiwa sejarah tertentu yang dalam contoh dapat kita lihat dalam nama kampung Tenda pada uraian berikut.

Terdapat beberapa makna dari tombo nunduk orang Manggarai. Pertama, Tombo nunduk yang memaparkan uraian tentang usul-asal keturunan genealogis bermuara pada satu kesimpulan yakni bahwa orang-orang yang berada dalam lingkungan atau tempat tertentu adalah satu keluarga [ase-kae, weta nara, cama tau]. Penelusuran usul-asal keturunan memungkinkan seorang Manggarai memandang mereka yang satu keturunan dengannya sebagai saudara. Konsekuensinya, dalam ruang lingkup yang sempit, karena mereka satu keturunan atau memiliki hubungan kekeluargaan woe nelu [relasi yang dibangun karena ikatan perkawinan], maka hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga besar, baik sebagai orang tua [ata tu’a], anak-anak, paman dan bibi [amang-inang], menantu [koa] mesti dipenuhi. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, kesadaran akan adanya kesamaan asal keturunan memungkinkan orang Manggarai merasa memiliki teman dan keluarga. Karena itu mereka dapat saling mengandalkan dan bekerja sama. Itulah sebabnya, sesama warga keturunan kerap disebut ata dite [orang kita, one of us]. Relasi yang dibangun dalam keluarga menghasilkan perbedaan status dan berpengaruh pada cara memanggil.

Kedua, Tombo Nunduk tentang sejarah usul-asal nama tempat. Tempat yang diberi nama memberikan identitas tersendiri bagi orang yang mendiami wilayah itu. Dalam kebersamaan dengan orang lain, kerap terjadi pembedaan yang dibuat menurut usul-asal. Jika mereka berasal dari tempat yang sama, orang-orang itu merasa dikuatkan, diteguhkan atau bahkan mengalami kegembiraan meskipun berada di tempat yang jauh. Orang sering mengatakan, “Kali cama tau dite boe, keraeng” [ternyata kita sama saudara] yang membedakan kita dengan “ata bana” [orang lain yang tidak kita kenal, the others] bila berhadapan dengan orang yang baru dikenal setelah mengadakan pengusutan asal kampung. Istilah “cama tau” merupakan lambang, tanda yang pada gilirannya melahirkan konsekuensi-konsekuensi dalam hidup bersama. Cama tau berarti sekarang kita berjuang dalam kebersamaan, menciptakan sebuah bentuk hidup yang dilandasi suasana persaudaraan yang memungkinkan kita hidup dalam semangat kolektifitas yang sosial.

Tombo nunduk biasa dikisahkan dalam pelbagai moment kehidupan orang Manggarai. Ada dua model kesempatan yang kerap digunakan, yakni secara resmi maupun tidak resmi. Secara resmi tombo nunduk diungkapkan dalam kebersamaan struktur seminal ada upacara adat penti (pesta syukuran keluarga besar adat), pongo (peminangan), Turuk empo (silsilah keturunan saat kedua mempelai hendak menikah). Sedangkan secara tidak resma misalnya, saat berpapasan dengan orang baru ada ris (sapaan), atau ketika melihat orang baru masuk ke perkampungan, kerap ditanyakan usul-asal orang bersangkutan.

Pada zaman dahulu, sangat jarang terjadi perkawinan yang tidak senonoh antara seorang gadis dengan seorang pemuda karena penerusan tombo nunduk yang secara intens dilakukan hampir setiap malam menjelang tidur. Kenyataan itu di zaman ini telah berubah sebab kebiasaan menuturkan sejarah keturunan telah hampir punah. Sebuah kenyataan yang patut disesali sekaligus menjadi tantangan untuk menarik kembali nilai-nilai positif yang ada dalam tombo nunduk ini. Beberapa tahun terakhir ini, kebiasaan menumbuhkan nilai-nilai tombo nunduk dikemas secara baru melalui ritus pernikahan yang diwarnai seremoni adat Manggarai. ***

No comments:

Post a Comment