Wednesday, 25 October 2017

Kepercayaan Orang Manggarai




Kanisius Teobaldus Deki

Kepercayaan orang Manggarai tak dapat dilepas-pisahkan dengan kultur agraris yang memiliki keterkaitan yang erat antara alam dengan seluruh kehidupan ciptaan. Tanah, gunung, air, iklim mempunyai relasi yang tak terpisahkan dan menyatu dengan kehidupan semua mahkluk.  Kepercayaan akan keterkaitan unsur-unsur itu menyata dalam berbagai bentuk. 

Pertama, kepercayaan akan roh alam dan roh leluhur. Roh berpengaruh atas pelbagai peristiwa dan kejadian yang dialami manusia dan ciptaan yang lainnya. Kepercayaan akan roh alam ini[1] membawa Orang Manggarai kepada keyakinan bahwa roh alam inilah jiwa dari alam semesta. Selain roh alam yang memiliki  identitas yang abstrak dan tak terjamah, Orang Manggarai juga percaya pada roh leluhur yang telah meninggal [ata pali sina]. Roh-roh leluhur ikut berperan dalam menciptakan keseimbangan kosmos. Itulah sebabnya terhadap roh-roh ini Orang Manggarai memberikan respek, penghargaan serta menjalin relasi yang tetap intim dan konstan melalui pelbagai ritus, sebagai berikut: 1] Ritus Teing Hang atau kerap disebut Takung yakni memberikan sesajian kepada roh leluhur sebagai bentuk persembahan yang memiliki berbagai maksud, antara lain meminta keberhasilan, memohon perlindungan dan juga berupa ucapan syukur. 2] Ritus Toto Urat [memperlihatkan usus hewan] yakni sebuah upacara untuk membaca tanda-tanda alam, khususnya berkaitan dengan nasib di masa depan, dengan melihat bentuk urat ayam, babi ataupun kerbau, tergantung bahan korban yang disiapkan dan maksud diadakannya ritus itu. Usai toto urat sebagian bahan persembahan disebarkan ke berbagai tempat yang disebut wecak helang dan sebagian lagi disimpan di piring kecil bersama dengan secangkir tuak.

Roh alam dan roh leluhur juga sering disebut naga golo, naga tana [roh kampung]. Naga golo ini diyakini memiliki peran khusus yakni melindungi masyarakat Adak komunal dari berbagai serangan, entah serangan fisik dalam peperangan maupun serangan non fisik seperti penyakit, berbagai bentuk mbeko janto [racun kiriman melalui ilmu hitam yang dimaksudkan sebagai aksi destruktif], bencana alam dsb. Naga golo juga kerap dihubungkan dengan pelbagai peristiwa yang menakjubkan, khususnya bila warga golo bersangkutan selamat dari pelbagai bencana.

Kedua, kepercayaan akan adanya roh halus berupa Darat Tana [Bidadari, peri] dan Poti [setan]. Alam-dunia dipercayai oleh Orang Manggarai sebagai yang memiliki roh. Mahkluk halus seperti peri, bidadari yang disebut darat adalah mahkluk halus yang sering menampakkan diri di mata air, sungai yang memiliki kolam besar dengan kedalaman yang tinggi dan berdaya angker [tiwu leteng]. Darat kerap dilihat sesekali pada saat matahari meninggi persis di atas ubun-ubun atau sekitar jam 12 siang, pada kesempatan yang kerap tidak diduga-duga dan merupakan pengalaman istimewa. Ada keyakinan bahwa darat biasa membantu manusia dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu, misalnya memikul batu-batu untuk Compang [altar persembahan]. Di kampung Tenda-Riwu ataupun Ruteng Pu’u terdapat compang yang dibuat dari batu-batu ceper besar yang beratnya berton-ton. Menurut masyarakat yang mendiami wilayah-wilayah itu, batu-batu besar itu berada di compang berkat bantuan darat yang didasarkan pada perjanjian tertentu. 

Selain membantu manusia, darat juga dapat memberikan malapetaka tertentu. Misalnya ada orang yang tiba-tiba hilang yang biasa disebut wendo le darat yakni peristiwa darat membawa-lari seseorang dan akan dikembalikan lagi jika ada ritus tertentu dibuat oleh ata Pecing atau ata Mbeko. Ritus pemanggilan orang yang dibawa oleh darat disebut benta. Ritus itu ditandai oleh pemukulan gendang dan gong. Ada keyakinan bahwa bagi darat bunyi gong dan gendang yang ditabuh di luar acara-acara adak merupakan bunyi guntur gemuruh dan halilintar yang menyambar-nyambar mereka. Itulah sebabnya para darat membuat aksi pemulangan [podo kole] orang yang mereka bawa itu. Menurut pengalaman Sirilus Rahu yang pernah dibawa lari oleh darat dari wilayah Rana Loba-Borong menuju Benteng Raja-Riwu, dia merasa kehilangan kesadaran, tidak mampu melawan kekuatan yang membiusnya dan darat mengadakan penawaran nuru [daging] Sirilus kepada poti [setan] yang berada di berbagai pong [hutan rimba].[2] Ritus benta yang dibuat dengan pertolongan ata Mbeko atau Tu’a adat membuat mereka melepaskan orang bersangkutan.
 
Selain darat, ada mahkluk halus yang disebut poti [setan]. Poti merupakan kekuatan yang indifferent terhadap manusia, tetapi pada saat tertentu ia berpengaruh juga khususnya poti yang disebut jing da’at atau biasa disebut juga dengan poti wolo [setan jahat]. Jika manusia berpapasan dengan poti, maka manusia akan sakit dan bahkan dapat juga meninggal dunia. Untuk menghindari bahaya yang lebih besar dari kekuatan poti ini, ata Peci atau ata Mbeko membuat ritus tertentu, misalnya upacara Sening di wilayah Manus, Manggarai Timur.[3] Poti juga dapat dipakai manusia yang memiliki kekuatan supranatural untuk membawa malapetaka bagi orang lain. Di Manggarai ada istilah rasung [racun] yang berhubungan dengan penggunaan kekuatan magis dan melibatkan poti sebagai mediumnya. Aktus memberi rasung bisa dilakukan melalui pelbagai materi alam misalnya: air, udara, cahaya, kayu, tanah, dsb. Benda-benda ini akan membunuh manusia dengan cara yang irrasional dan tak tampak secara kasat mata. Kehadiran ata Pecing dan ata Mbeko sangat penting untuk menetralisir kekuatan magi hitam. Dalam banyak kasus, ata Mbeko selalu berpihak pada korban, kecuali jika ada perhitungan bisnis antara yang memberikan rasung dengan ata Mbeko. Meskipun hal itu merupakan kekecualian, pada ghalibnya ata Mbeko hadir sebagai pihak yang selalu menolong. Itulah sebabnya ada pembagian yang jelas antara ata Mbeko dengan ata Janto [orang yang menggunakan Mbeko-nya untuk tujuan destruktif].

Ketiga, benda dan ucapan magis [mbeko, ceca, krenda, sungke].[4] Mbeko berhubungan dengan benda-benda dan ucapan-ucapan mantra yang memiliki daya magis. Ata Mbeko memiliki keduanya. Dalam melakukan aktus penyembuhan ata Mbeko merapalkan beberapa mantra kemudian melakukan gestikulasi tertentu lalu mengambil air [wae], garam [ci’e] atau benda lain seperti akar kayu [wake haju], keris [kiris], medali [ceca] lalu meletakkan benda-benda itu sesuai dengan maksudnya ke badan orang sakit. Benda-benda dan mantra-mantra ini kerap berfungsi sebagai pelindung diri dan masyarakat [pake weki] yang disebut jimak [azimat]. Jimak memiliki banyak wajah yang terungkap dalam benda-benda bertuah seperti batu akik, keris, bandul, tanduk dan gigi binatang tertentu, emas, dsb.

Ada satu jenis mantra yang disebut Krenda. Krenda adalah mantra-mantra tertentu yang diucapkan oleh orang Manggarai pada saat-saat khusus dengan tujuan untuk membebaskan pengucapnya dari rasa takut dan tertekan oleh situasi atau peristiwa tertentu. Misalnya jika seseorang dipanggil oleh Kraeng Raja maka supaya tidak salah dalam berkata-kata krenda toe rantang dirapal kemudian terjadilah percakapan dengan raja sebagai sebuah dialog yang akrab. Seperti diakui banyak pihak krenda bukanlah bagian dari Mbeko.[5] Sebab krenda dapat diucapkan oleh siapa saja meskipun asal krenda dari ata Mbeko. Walaupun demikian, krenda tetap diyakini sebagai mantra yang manjur dan berdaya magis, namun menjadi mantra popular masyarakat kebanyakan.

Keempat, Mori Keraeng: Pencipta, Pemelihara dan Pemilik Segala Sesuatu. Hingga saat ini bagian terbesar populasi penduduk yang mendiami tanah Manggarai beragama Katolik. Menurut Robert Mirsel,  jumlahnya hampir sebanyak 95 % orang Manggarai menganut agama Katolik.[6] Meskipun demikian, kepercayaan akan adanya Yang Ilahi yang mengatasi segala kekuatan yang ada [roh alam, roh leluhur, kemampuan supranatural, dsb.] dan menjadi sumber, asal dan tujuan segala sesuatu bukanlah semata-mata karena ajaran iman Katolik. Sejak zaman lampau Orang Manggarai percaya akan adanya Allah yang diungkapan melalui paralelisme: Morin agu Ngaran, Jari agu Dedek, Parn awo-kolepn sale, tanan wa-awangn eta.[7]

Dalam pemahaman asli Manggarai terminologi iman dalam kosa kata agama formal sinonim dengan imbi [percaya].[8] Terminologi ini secara eksplisit menggambarkan relasi antara seseorang atau sekelompok orang dengan yang lain. Relasi ni terbentuk karena rasa saling percaya. Karena itu, imbi dipahami sebagai suatu sikap percaya kepada sesuatu yang lain, baik orang-pribadi, kelompok maupun kekuatan lain. Dalam konteks religius, terminologi yang sama menggambarkan sikap dan keterarahan hati manusia kepada Wujud Tertinggi dalam agama primal mereka.[9]
 
Dapat disimpulkan bahwa kepercayaan orang Manggarai dalam kesatuannya dengan kosmis berkiblat pada animisme, dinamisme, fetisisme dan totemisme yang bercampur dengan ide tentang Yang Ilahi yang mereka sebut sebagai Morin agu Ngaran, Mori Jari Dedek, atau pada zaman modern disingkat dengan Mori Keraeng.


[1] Bdk. Koentjaraningrat, Op. Cit., p. 193.
[2] Wawancara dengan Sirilus Rahu pada tanggal 10 Agustus 2004 di Borong. Sirilus pernah mengalami peristiwa wendo le darat pada tahun 2000.
[3] Untuk mengetahui lebih jelas tentang upacara ini bdk. Ndoi Fransiskus, “Sening: Upacara Penyembuhan Orang Sakit dalam Masyarakat Manus”. Praskripsi [Maumere: STFK Ledalero, 1977].
[4] Jillis A. Verheijen, Manggarai Text IV, Stensilan [Ruteng: Regio SVD Ruteng, 1978], pp. 338-369, 373-375.
[5] Wawancara dengan Wilem Wagut, 78 tahun, warga Gendang Ruteng, kecamatan Langke Rembong, tanggal 22 Februari 2005.
[6] Robert Mirsel dan Eman J. Embu [eds.], Op. Cit., p. 33.
[7] Jillis A. Verheijen, Manggarai dan Wujud Tertinggi, Op. Cit., pp. 34-35.
[8] Ivan Haryanto, et. al., “Agama Asli Manggarai”, Bahan Seminar [STFK Ledalero, 2003], p. 3.
[9] Teobald Kanisius Decky, Wujud Tertinggi Agama Primal Mengais Makna Ilahi Orang Manggarai dan Lio [Maumere: Pusat Studi Spiritualitas Karmel, 2004], pp. 24-25.

No comments:

Post a Comment