Kanisius Teobaldus Deki
Kepercayaan orang Manggarai
tak dapat dilepas-pisahkan dengan kultur agraris yang memiliki keterkaitan yang
erat antara alam dengan seluruh kehidupan ciptaan. Tanah, gunung, air, iklim
mempunyai relasi yang tak terpisahkan dan menyatu dengan kehidupan semua
mahkluk. Kepercayaan akan keterkaitan
unsur-unsur itu menyata dalam berbagai bentuk.
Pertama, kepercayaan akan roh alam dan roh leluhur. Roh
berpengaruh atas pelbagai peristiwa dan kejadian yang dialami manusia dan
ciptaan yang lainnya. Kepercayaan akan roh alam ini[1] membawa Orang Manggarai kepada keyakinan
bahwa roh alam inilah jiwa dari alam semesta. Selain roh alam yang
memiliki identitas yang abstrak dan tak
terjamah, Orang Manggarai juga percaya pada roh leluhur yang telah meninggal [ata
pali sina]. Roh-roh leluhur ikut berperan dalam menciptakan keseimbangan
kosmos. Itulah sebabnya terhadap roh-roh ini Orang Manggarai memberikan respek,
penghargaan serta menjalin relasi yang tetap intim dan konstan melalui pelbagai
ritus, sebagai berikut: 1] Ritus Teing Hang atau kerap disebut Takung
yakni memberikan sesajian kepada roh leluhur sebagai bentuk persembahan yang
memiliki berbagai maksud, antara lain meminta keberhasilan, memohon
perlindungan dan juga berupa ucapan syukur. 2] Ritus Toto Urat
[memperlihatkan usus hewan] yakni sebuah upacara untuk membaca tanda-tanda
alam, khususnya berkaitan dengan nasib di masa depan, dengan melihat bentuk
urat ayam, babi ataupun kerbau, tergantung bahan korban yang disiapkan dan
maksud diadakannya ritus itu. Usai toto urat sebagian bahan persembahan
disebarkan ke berbagai tempat yang disebut wecak helang dan sebagian
lagi disimpan di piring kecil bersama dengan secangkir tuak.
Roh alam dan roh leluhur juga sering
disebut naga golo, naga tana [roh kampung]. Naga golo ini
diyakini memiliki peran khusus yakni melindungi masyarakat Adak komunal
dari berbagai serangan, entah serangan fisik dalam peperangan maupun serangan
non fisik seperti penyakit, berbagai bentuk mbeko janto [racun
kiriman melalui ilmu hitam yang dimaksudkan sebagai aksi destruktif], bencana
alam dsb. Naga golo juga kerap dihubungkan dengan pelbagai peristiwa
yang menakjubkan, khususnya bila warga golo bersangkutan selamat dari pelbagai
bencana.
Kedua, kepercayaan akan adanya roh halus berupa
Darat Tana [Bidadari, peri] dan Poti [setan]. Alam-dunia
dipercayai oleh Orang Manggarai sebagai yang memiliki roh. Mahkluk halus
seperti peri, bidadari yang disebut darat adalah mahkluk halus yang sering
menampakkan diri di mata air, sungai yang memiliki kolam besar dengan kedalaman
yang tinggi dan berdaya angker [tiwu leteng]. Darat kerap dilihat
sesekali pada saat matahari meninggi persis di atas ubun-ubun atau sekitar jam
12 siang, pada kesempatan yang kerap tidak diduga-duga dan merupakan pengalaman
istimewa. Ada keyakinan bahwa darat biasa membantu manusia dalam
pekerjaan-pekerjaan tertentu, misalnya memikul batu-batu untuk Compang
[altar persembahan]. Di kampung Tenda-Riwu ataupun Ruteng Pu’u terdapat compang
yang dibuat dari batu-batu ceper besar yang beratnya berton-ton. Menurut masyarakat
yang mendiami wilayah-wilayah itu, batu-batu besar itu berada di compang berkat
bantuan darat yang didasarkan pada perjanjian tertentu.
Selain membantu manusia, darat juga
dapat memberikan malapetaka tertentu. Misalnya ada orang yang tiba-tiba hilang
yang biasa disebut wendo le darat yakni peristiwa darat membawa-lari
seseorang dan akan dikembalikan lagi jika ada ritus tertentu dibuat oleh ata
Pecing atau ata Mbeko. Ritus pemanggilan orang yang dibawa oleh darat
disebut benta. Ritus itu ditandai oleh pemukulan gendang dan gong.
Ada keyakinan bahwa bagi darat bunyi gong dan gendang yang ditabuh di
luar acara-acara adak merupakan bunyi guntur gemuruh dan halilintar yang
menyambar-nyambar mereka. Itulah sebabnya para darat membuat aksi pemulangan [podo
kole] orang yang mereka bawa itu. Menurut pengalaman Sirilus Rahu yang
pernah dibawa lari oleh darat dari wilayah Rana Loba-Borong menuju
Benteng Raja-Riwu, dia merasa kehilangan kesadaran, tidak mampu melawan
kekuatan yang membiusnya dan darat mengadakan penawaran nuru
[daging] Sirilus kepada poti [setan] yang berada di berbagai pong [hutan
rimba].[2] Ritus benta
yang dibuat dengan pertolongan ata Mbeko atau Tu’a adat membuat
mereka melepaskan orang bersangkutan.
Selain darat, ada mahkluk halus
yang disebut poti [setan]. Poti merupakan kekuatan yang indifferent
terhadap manusia, tetapi pada saat tertentu ia berpengaruh juga khususnya poti
yang disebut jing da’at atau biasa disebut juga dengan poti wolo
[setan jahat]. Jika manusia berpapasan dengan poti, maka manusia akan sakit dan
bahkan dapat juga meninggal dunia. Untuk menghindari bahaya yang lebih besar
dari kekuatan poti ini, ata Peci atau ata Mbeko membuat
ritus tertentu, misalnya upacara Sening di wilayah Manus, Manggarai
Timur.[3] Poti juga
dapat dipakai manusia yang memiliki kekuatan supranatural untuk membawa
malapetaka bagi orang lain. Di Manggarai ada istilah rasung [racun] yang
berhubungan dengan penggunaan kekuatan magis dan melibatkan poti sebagai
mediumnya. Aktus memberi rasung bisa dilakukan melalui pelbagai materi
alam misalnya: air, udara, cahaya, kayu, tanah, dsb. Benda-benda ini akan
membunuh manusia dengan cara yang irrasional dan tak tampak secara kasat mata.
Kehadiran ata Pecing dan ata Mbeko sangat penting untuk
menetralisir kekuatan magi hitam. Dalam banyak kasus, ata Mbeko selalu
berpihak pada korban, kecuali jika ada perhitungan bisnis antara yang
memberikan rasung dengan ata Mbeko. Meskipun hal itu merupakan
kekecualian, pada ghalibnya ata Mbeko hadir sebagai pihak yang selalu
menolong. Itulah sebabnya ada pembagian yang jelas antara ata Mbeko
dengan ata Janto [orang yang menggunakan Mbeko-nya untuk tujuan
destruktif].
Ketiga, benda dan ucapan magis [mbeko, ceca, krenda, sungke].[4] Mbeko berhubungan dengan benda-benda dan ucapan-ucapan mantra
yang memiliki daya magis. Ata Mbeko memiliki keduanya. Dalam melakukan
aktus penyembuhan ata Mbeko merapalkan beberapa mantra kemudian
melakukan gestikulasi tertentu lalu mengambil air [wae], garam [ci’e]
atau benda lain seperti akar kayu [wake haju], keris [kiris],
medali [ceca] lalu meletakkan benda-benda itu sesuai dengan maksudnya ke
badan orang sakit. Benda-benda dan mantra-mantra ini kerap berfungsi sebagai
pelindung diri dan masyarakat [pake weki] yang disebut jimak
[azimat]. Jimak memiliki banyak wajah yang terungkap dalam benda-benda
bertuah seperti batu akik, keris, bandul, tanduk dan gigi binatang tertentu,
emas, dsb.
Ada satu jenis mantra yang disebut Krenda.
Krenda adalah mantra-mantra tertentu yang diucapkan oleh orang Manggarai
pada saat-saat khusus dengan tujuan untuk membebaskan pengucapnya dari rasa
takut dan tertekan oleh situasi atau peristiwa tertentu. Misalnya jika
seseorang dipanggil oleh Kraeng Raja maka supaya tidak salah dalam
berkata-kata krenda toe rantang dirapal kemudian terjadilah percakapan
dengan raja sebagai sebuah dialog yang akrab. Seperti diakui banyak pihak krenda
bukanlah bagian dari Mbeko.[5] Sebab krenda dapat diucapkan oleh siapa
saja meskipun asal krenda dari ata Mbeko. Walaupun demikian, krenda
tetap diyakini sebagai mantra yang manjur dan berdaya magis, namun menjadi
mantra popular masyarakat kebanyakan.
Keempat, Mori Keraeng: Pencipta, Pemelihara dan Pemilik
Segala Sesuatu. Hingga saat ini bagian terbesar populasi penduduk yang mendiami
tanah Manggarai beragama Katolik. Menurut Robert Mirsel, jumlahnya hampir sebanyak 95 % orang
Manggarai menganut agama Katolik.[6] Meskipun demikian, kepercayaan akan
adanya Yang Ilahi yang mengatasi segala kekuatan yang ada [roh alam, roh
leluhur, kemampuan supranatural, dsb.] dan menjadi sumber, asal dan tujuan
segala sesuatu bukanlah semata-mata karena ajaran iman Katolik. Sejak zaman
lampau Orang Manggarai percaya akan adanya Allah yang diungkapan melalui
paralelisme: Morin agu Ngaran, Jari agu Dedek, Parn awo-kolepn sale, tanan
wa-awangn eta.[7]
Dalam pemahaman asli Manggarai terminologi
iman dalam kosa kata agama formal sinonim dengan imbi [percaya].[8] Terminologi ini secara eksplisit
menggambarkan relasi antara seseorang atau sekelompok orang dengan yang lain.
Relasi ni terbentuk karena rasa saling percaya. Karena itu, imbi
dipahami sebagai suatu sikap percaya kepada sesuatu yang lain, baik
orang-pribadi, kelompok maupun kekuatan lain. Dalam konteks religius,
terminologi yang sama menggambarkan sikap dan keterarahan hati manusia kepada
Wujud Tertinggi dalam agama primal mereka.[9]
Dapat disimpulkan bahwa kepercayaan orang
Manggarai dalam kesatuannya dengan kosmis berkiblat pada animisme, dinamisme,
fetisisme dan totemisme yang bercampur dengan ide tentang Yang Ilahi yang
mereka sebut sebagai Morin agu Ngaran, Mori Jari Dedek, atau pada zaman
modern disingkat dengan Mori Keraeng.
[1] Bdk. Koentjaraningrat, Op. Cit., p. 193.
[2] Wawancara dengan Sirilus Rahu pada tanggal 10 Agustus
2004 di Borong. Sirilus pernah mengalami peristiwa wendo le darat pada
tahun 2000.
[3] Untuk mengetahui lebih jelas tentang upacara ini bdk.
Ndoi Fransiskus, “Sening: Upacara Penyembuhan Orang Sakit dalam Masyarakat
Manus”. Praskripsi [Maumere: STFK Ledalero, 1977].
[4] Jillis A. Verheijen, Manggarai Text IV, Stensilan
[Ruteng: Regio SVD Ruteng, 1978], pp. 338-369, 373-375.
[5] Wawancara dengan Wilem Wagut, 78 tahun, warga Gendang
Ruteng, kecamatan Langke Rembong, tanggal 22 Februari 2005.
[6] Robert Mirsel dan Eman J. Embu [eds.], Op. Cit.,
p. 33.
[7] Jillis A. Verheijen, Manggarai dan Wujud Tertinggi, Op.
Cit., pp. 34-35.
[8] Ivan Haryanto, et. al., “Agama Asli Manggarai”, Bahan
Seminar [STFK Ledalero, 2003], p. 3.
[9] Teobald Kanisius Decky, Wujud Tertinggi Agama Primal
Mengais Makna Ilahi Orang Manggarai dan Lio [Maumere: Pusat Studi
Spiritualitas Karmel, 2004], pp. 24-25.
No comments:
Post a Comment