Tuesday, 3 October 2017

BELAJAR ADAT MANGGARAI (Bagian Keempat)


Penentuan Tata Adat Kebiasaan (Ruku agu Sake)


1) Untuk menjalankan sebuah upacara, orang Manggarai memiliki panduan baku. Salah satu panduan bakunya adalah tradisi yang diturunkan oleh leluhur melalui peraturan-peraturan baik menyangkut upacara, hewan kurban, waktu pelaksanaan maupun tata kebiasaan lainnya. Kebiasaan itu kerap disebut ruku, sake maupun ceki.

2) Ruku dalam bahasa yang paling mudah diartikan sebagai kebiasaan, adat istiadat yang ditradisikan turun temurun. Sake berarti kebiasaan. Dalam ujaran sering terdengar sebutan “lorong ruku agu sake dite” (mengikuti adat kebiasaan kita). Ada juga pernyataan: “nenggo’o rukun diten” (beginilah tradisi kita). Ujaran ini bermakna bahwa orang Manggarai memiliki adat-kebiasaan yang sudah ditradisikan dan menjadi pedoman atau panduan bagi usaha menjalankan kehidupan.
Ujaran yang kerap dijumpai juga “toe répeng péde-toe haeng tae” (secara harfiah berarti: tidak dapat pesan-tidak menjumpai pembicaraan, yang bermakna: tidak mengetahui tradisi dengan baik). Ujaran ini menggarisbawahi karakter dari nilai budaya yakni pewarisan.


3) Tradisi yang baik diwariskan melalui beberapa hal, antara lain, pertama, toing (pengajaran). Dalam kebudayaan orang Manggarai, toing dilakukan orang tua terhadap anaknya. Juga terhadap kelompok usia yang lebih muda dari pemberi toing. Toing tidak hanya dilakukan oleh manusia yang masih hidup tetapi juga oleh wura agu ceki, mori agu ngaran. Dalam konteks toing, ada waheng. Waheng adalah jenis toing dalam bentuk yang lebih kompleks. Bencana alam, misalnya, bisa menjadi sebuah perwujudan waheng bagi pribadi atau komunitas yang telah banyak melakukan kesalahan dan dosa.

4) Kedua, titong (pendampingan). Dalam menjalankan titong orang Manggarai memperhatikan pola berkata dan bertindak. Apakah ada kata dan tindakan yang keliru, langsung diperbaiki, entah secara pribadi maupun secara bersama dalam kelompok klan (wa’u). Misalnya seorang anak melakukan kesalahan, dia langsung didampingi. Namun ketika ada masalah besar yang melibatkan klan, maka pendampingan orang bersangkutan dalam acara khusus.

5) Ketiga, toming (mencontohkan). Orang tua mencontohkan kebajikan-kebajikan yang baik kepada anak-anak. Dalam cara memanggil misalnya orang tua memanggil anak dengan pola bahasa yang sopan: Papa, mai ga (Papa, marilah kita, padahal maksudnya anak). Atau, sebutan untuk orang ada dalam dua tingkatan. Sebutan hau berarti anda untuk sesame usia ataupun untuk lebih muda. Sedangkan panggilan ite ditujukan bagi yang berusia lebih tua dari pemanggil.

6) Toing, titong dan toming lalu diwariskan secara otomatis dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pada pengaturan acara adat khususnya ritus-ritusnya. Penggunaan hewan kurban semisal kerbau (kaba) atau babi (ela) pada acara paka di’a (kenduri) merupakan kebiasaan (ruku) yang sudah disepakati. Demikian halnya hewan yang lain. Juga berhubungan dengan penentuan hari, jumlah hari dalam menjalankan ritus. Misalnya, untuk upacara Cear cumpe ada yang menentukan tiga hari pascanifas tapi ada juga yang lima hari. Lalu, pada saat kematian untuk menentukan Saung Ta’a (pembebasan dari masa berkabung) sesuai ceki (kebiasaan) ada yang ceki telu (tiga hari) ada yang ceki lima (lima hari).

7) Perulangan kebiasaan-kebiasaan yang telah disepakati kemudian membentuk tradisi. Tradisi ini diterima dan diakui sebagai sebuah keharusan. Lahirlah ruku agu sake, juga ceki sebagai bagian dari keyakinan yang tetap dipegang teguh oleh masyarakat pemiliknya.

No comments:

Post a Comment