Kanisius Teobaldus Deki
Usul-Asal yang Beragam[1]
Penelitian Dr. Verhoeven memberikan petunjuk tentang
adanya kehidupan zaman purba di daerah Manggarai. Tempat hidup manusia purba
antara lain ditemukan di Labuan Bajo, sedangkan alat-alat batu yang umumnya
berbentuk mikrolit [flake and blade] ditemukan di Golo Bekkum, Liang
Momer dan Liang Panas. Pada tahun 1951 tim yang sama membuat penggalian di
beberapa situs antara lain Liang Momer dan Liang Panas. Pada dua tempat itu
ditemukan tulang belulang manusia purba yang kemudian ditetapkan sebagai
manusia Protonegrito.[2]
Penelitian tentang keberadaan manusia purba di Manggarai
juga masih dilanjutkan hingga tahun 2004. Pada tanggal 7 November 2004 Wahyu
Jadmiko dan tim yang dipimpin Dr. Raden Panji Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
menemukan fosil berupa kerangka manusia yang diidentifikasi sebagai Homo
floresiensis [manusia dari Flores] di Liang Bua. Sejak tahun 50-an Liang
Bua dijadikan tempat penelitian oleh Dr. Verhoeven, ahli bahasa Yunani dan
Latin yang menjadi misionaris di Manggarai. Penggalian pertama kali dilakukan
bulan Juli 1965. Saat itu ditemukan tujuh kerangka manusia modern [Homo
sapiens]. Juga ditemukan periuk, beliung persegi dan beberapa benda lain.
Setelah sempat vakum, R.P. Soejono mengambil alih penelitian pada tahun
1978-1989 dengan membuka 10 kotak gali dan menemukan kerangka seperti yang
ditemukan tahun 1950.[3]
Pada masa sekarang bekas perkampungan atau tempat tinggal
manusia purba serupa oleh para ahli prehistori disebut abris sous roches
[tempat-tempat perlindungan di bawah karang]. Tempat-tempat ini merupakan
gua-gua atau karang-karang dengan himpunan tanah pada dasarnya, yang mengandung
bekas-bekas alat-alat batu, tulang dan kerang dari zaman lampau. Tempat semacam
ini banyak ditemukan di Irian dan Flores Barat.[4]
Jika ternyata penelitian-penelitian yang dibuat itu
benar, bahwa sejak beribu-ribu tahun silam di Manggarai sudah terdapat penduduk
asli, bagaimana hal itu dikaitkan dengan sejarah keberadaan setiap suku di
Manggarai yang cenderung menyatakan bahwa mereka adalah pendatang? Apakah
manusia purba yang ditemukan di Liang Bua pada waktu tertentu punah dan
kemudian terjadi missing link [mata rantai yang terputus] seperti nasib Homo
erectus di Pulau Jawa? Mengapa mereka bisa punah? R.P. Soerjono mengatakan
bahwa masih banyak rahasia[5] manusia kerdil dari
Flores ini yang belum terjawab.[6]
Pertanyaan-pertanyaan ini menyajikan kenyataan bahwa di Manggarai ada penduduk
asli yang sudah mendiami wilayah itu. Marybeth Erb menjelaskan bahwa orang
Manggarai berasal dari Vietnam dan Thailand berdasarkan penelitiannya di
Warloka.[7] Perdagangan yang
dilakukan pada masa lampau membawa serta akibat pertemuan dengan penduduk asli
dan adanya keputusan untuk menetap.
Selain itu, hingga saat ini kajian tentang historisitas
Orang Manggarai masih berlanjut. Meskipun demikian, studi-studi kritis yang
menelusuri sumber-sumber sejarah berusaha meluruskan sejarah yang
disorientasikan. Ada satu kesalahan dalam pelajaran sejarah yang menyatakan
seakan-akan orang-orang Manggarai cuma berasal dari satu suku dan satu nenek
moyang.[8]
Penelitian-penelitian ilmiah atas temuan fosil serta kontak yang tetap dengan
pihak luar melalui perdagangan menunjukkan dengan tegas bahwa orang-orang
Manggarai berasal dari suku dan keturunan yang berbeda. Dami N. Toda dalam
hasil studinya menyebutkan keturunan-keturunan itu yakni asal keturunan Sumba,
Mandosawu, Pong Welak, emigran Sulawesi Selatan dan Bima, keturunan
Melayu-Malaka, Melayu-Minangkabau, dan Tanah Dena.[9]
Keturunan-keturunan yang beranekaragam ini kemudian
tersebar di seluruh Manggarai. Keturunan Wangsa Kuleng [Mandusawu] mengasalkan
nenek moyang mereka dari Turki, dan dari kepandaian yang mereka miliki, jelas
bahwa mereka bukan berasal dari kebudayaan batu melainkan keturunan manusia
yang sudah mengenal kepandaian menyepuh logam. Maka amat mungkin orang-orang
Turki ini adalah pedagang-pedagang yang terdampar dan menetap di Manggarai pada
abad ke-16. Wangsa Kuleng inilah yang mengasalkan Adak[10] Cibal dan Adak
Lamba Leda dan keturunannya tersebar di Riwu, Sita, Ruteng, Ngkaer, Desu,
Kolang-Torok.
Keturunan Sumba membentuk Adak Bajo yang berpusat
di Tangge dan membawahi sejumlah wilayah selatan barat daya dan barat gelarang-gelarang
adak dan beberapa kedaluan seperti: Dalu Kolang, Lo’ok, Wontong,
Munting Welak, Matawae dan Ramut. Menurut Dami N. Toda, keturunan Sumba di
kedaluan Matawae masih dapat mengingat 20 lapis keturunanya.
Selain keturunan Sumba dan Turki, ada pula migran asal
Sulawesi Selatan dan Bima yang menetap di Manggarai, baik di bagian Barat
maupun di pantai utara dan sedikit di selatan. Di duga kuat, migrasi ini
terjadi pada abad ke-16 tatkala Kerajaan Luwu’ dan Goa berjaya dan memperluas kerajaannya.[11] Pada masa itu
gelombang migrasi terjadi selain karena keinginan sukarela, juga karena adanya
tekanan politik: para lawan politik raja Goa pertama yang Islam, Sultan
Alauddin tak tahan di bawah paksaan lalu menjadi pelarian politik ke pulau-pulau
lain, termasuk ke Manggarai. Tetapi gelombang-gelombang migrasi besar-besaran
berupa pelarian politik terjadi setelah Perjanjian Bungaya 18 Nopember
1667 antara Belanda sebagai pemenang dan Kerajaan Goa-Tallo [Sultan Hasanudin]
sebagai pihak yang kalah. Sultan Goa Tallo sempat menempatkan perwakilannya di
Reok dan Pota[12]
Sedangkan keturunan Bima kebanyakan bermukim di Reo[k]
setelah secara politis Bima membawahi sejumlah kedaluan di pantai utara
Manggarai: Pacar, Berit, Rembong, Rego, Nggalak, Cibal, Lambaleda, Congkar,
Biting dan Pasat serta 14 kedaluan lainnya di bagian Barat dengan pusat
perwakilannya di Labuan Bajo.
Pendatang Melayu Minangkabau mendapat tempat tersendiri
dalam sejarah Manggarai, karena selain tersebar luas di wilayah Manggarai, mereka
juga kemudian menduduki posisi-posisi kepemimpinan di wilayah ini sejak zaman
sebelum kolonialisme bangsa Belanda hingga periode 1980-an. Kelompok yang lazim
diakui sebagai keturunan langsung dari Minangkabau, adalah keturunan
Todo-Pongkor yang sekarang telah menyebar ke berbagai tempat di Manggarai.
Dari uraian yang menyelisik usul-asal ini dapat
disimpulkan bahwa orang Manggarai tidak berasal dari satu keturunan saja.
Mereka datang dari Sumba, Melayu-Malaka, Melayu-Minangkabau, Sulawesi Selatan,
Bima dan bahkan dari Turki dengan daerah pemukiman serta persebaran utamanya
yang berbeda-beda pula. Dewasa ini, dengan adanya mobilitas sosial yang tinggi
dan pembauran lewat perkawinan, suku-suku dengan usul-asal yang berbeda ini
mulau tercampur baur membentuk identitas baru yang lebih “manggarai”.[13]
[1] Robert
Mirsel dan Eman Embu [eds.], Gugat Darah Petani Kopi Manggarai (Maumere:
Ledalero, 2004), hal. 6-8.
[2] Doroteus
Hemo, et. al., Pola Penguasaan Pemilikan Tanah dan Penggunaan Tanah Secara
Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur (Kupang: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Daerah, 19990), hal. 25.
[3] Raju Febrian,
“Ebu Gogo dari Liang Bua” dalam: TEMPO, 14 November 2004, hal. 46-49.
[4] Bdk. J.
Roeder, “Felsbildforschung auf West New Guinea” dalam: Paideuma I, pp.
75-88, dan “The Rockpaintings of the Mac-Cluer Bay” dalam: Anthropos IV,
pp. 456-463, sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat dalam: Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 5.
[5] Para ahli
dunia paleoantroplogi menanggapi penemuan fosil baru di Liang Bua. Salah
satunya adalah Prof. Dr. Teuku Jacob
menuding klaim peneliti Australia: Marwood dan Peter Brown dari University of
England, Australia,bersama tim dari Indonesia,
yang membenarkan penemuan fosil species manusia baru yang ditafsir
meninggal 18 ribu tahun lalu sebagai “terorisme ilmiah”. Menurut Teuku Jacob,
fosil yang ditemukan hanyalah manusia modern [homo sapiens] yang hidup
1. 300 – 1. 800 tahun lalu namun berbadan kecil [micro-cephali].
Sayangnya Jacob dalam tuduhannya tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa
terdapat perbedaan yang ekstrim antara jenis homo florensis dengan homo
sapiens. Itulah sebabnya penelitian ilmiah terus berlangsung dan tak akan
mencapai titik final. Bdk. “Homo Kontroversialinsis” dalam: Majalah TEMPO,
2 Januari 2005, hal. 142.
[6] Raju
Febrian, Op. Cit., p. 49. Bdk. Harian Umum Media Rakyat, “Manusia
Flores dalam National Geographic Indonesia Edisi Pertama”, Sabtu, 2 April 2005.
[7] Marybeth
Erb, The Manggaraians A Guide to Traditional Lifestyles (Kualalumpur:
Times Edition, 1997), hal. 67. Erb
menunjukkan keterkaitan antara relasi perdagangan penduduk asli Manggarai
dengan kerajaan Majapahit pada saat Hayam Wuruk memerintah. Warloka merupakan
sebutan yang diplesetkan dari “Wuruk Loka” yang berarti tempat Hayam Wuruk [Wuruk’s
place].
[8] Kenyataan
ini dapat dibaca dalam buku sejarah yang ditulis oleh Doroteus Hemo, Sejarah
Daerah Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur [Ruteng 1987/1988] yang
dijadikan buku pegangan di tingkat Sekolah Dasar membenarkan klaim bahwa nenek
moyang orang Manggarai berasal dari Minangkabau hal mana dibantah oleh Damian
Toda yang berpendapat bahwa orang-orang Manggarai berasal dari suku dan ketuturan
yang beranekaragam. Bdk. Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan
Historiografi, Op. Cit, hal. 218-294.
[9] Dami N.
Toda, Op. Cit., hal. 246.
[10] Adak dapat
dipahami sebagai “Kerajaan” yang membawahi “Kedaluan” yakni pemerintahan
provinsial otonom. Robert Mirsel dan Eman Embu [eds.], Op. Cit, p. 6.
Menurut Verheijen dalam kamusnya, Adak memiliki pengertian yang sangat
luas mencakupi hal-hal sebagai berikut: adat istiadat, budi bahasa, tegur-sapa,
upacara, pesta resmi yang penting dan bisa berarti baik. Jilis Verheijen, Op.
Cit., hal. 2.
[11] Jejak-jejak
keberadaan orang Sulawesi Selatan masih ada hingga saat ini di Manggarai. Di kecamatan
Borong, misalnya, ada kampung bernama Kampung Bugis. Sedangkan di pantai utara
ada Kampung Selayar di daerah Buntal kecamatan Sambi Rampas. Baik Bugis maupun
Selayar adalah nama-anama tempat di Sulawesi Selatan.
[12] Dami N.
Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, Op. Cit., hal. 323.
[13] Robert
Mirsel dan Eman Embu [eds.], Op. Cit., hal. 8.
Tidak heran banyak orang Manggarai yg nggera (berkulit merah & berambut pirang).
ReplyDeleteDalam sejarah Nasional, orang2 Turki yg datang ke Indonesia hanyalah para prajurit Kesultanan Turki Otoman yg membantu Kesultanan Aceh ketika berperang melawan Portugis, bukan hendak berdagang.
Apakah mungkin para prjaurit yg kalah perang ini berpencar & ada yg sampai pada tanah Nuca Lale ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini memang mendasar, hal mana harus dicari bukti literarisnya, yg sayangnya susah kita dapat (atau memang tidak ada). Kita bisa mengidentifikasi melalui kisahan lisan. Soal perang saudara juga menjadi kisahan yg sering kita dengar soal orang Minangkabau yg kemudian hijrah ke sini. Apakah mereka (orang Minangkabau itu) datang bersamaan dengan prajurid yg kalah perang, blm kita temukan sumber-sumber yg memadai.
Delete