Romo Edu Jebarus Pr: Sejarahwan Gereja yang Andal
Kanisius Teobaldus Deki, STIE Karya
Kami langsung akrab. Dalam
percakapan kami saling memberikan sumbang-gagas untuk pertemuan itu. Salah satu
hal yang membuat kami lebih akrab adalah kesamaan minat: suka melakukan riset
sejarah dan menulisnya menjadi buku. Romo Edu, demikian biasa disapa tertegun
ketika saya bercerita bahwa saya sudah membaca karya terjemahannya, sebuah kisah
perjalanan yang diberi judul: Tortuga[1]
II, Dari Komodo ke Atapupu, karya Frank Schreider dan Helen yang
diterbitkan tahun 1985 oleh Penerbit Nusa Indah. Buku itu saya baca saat saya
masih duduk di Sekolah Menengah Pertama.
Tahun 2019, saya mendapat
kepercayaan dari DPP untuk menulis 100 tahun Paroki Katedral Ruteng. Saya
menghubungi Romo Edu untuk berdiskusi. Waktu itu Romo Edu memberikan apresiasi
atas pekerjaan yang saya lakukan. Buku yang dilaunching jelang tahbisan Uskup Ruteng
yang baru, Mgr. Siprianus Hormat, mendapat sambutan yang hangat. Sedianya, saya
memberikan buku ini[2]
sebagai kado dalam Pancawindu Imamat Romo Edu ini. Namun karena pada saat
bersamaan saya mempersiapkan launching buku Biografi Pembangunan di Ende,[3] saya belum sempat. Artikel
ini merupakan ungkapan kegembiraan dan kebahagiaan saya pada hari sitimewa Romo
Edu.
Pada 19 Juli 2023, Romo Edu
boleh berbahagia karena telah melayani umat Kristus selama 40 tahun dalam
pelbagai karya kerasulannya sebagai imam untuk Gereja baik di Keuskupan
Larantuka maupun Keuskupan Ruteng. Tulisan ini merupakan sebuah catatan
kebersamaan kami, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui publikasi
tentunya. Sekaligus sebuah penghormatan terhadap beliau atas karyanya yang
besar untuk Gereja Lokal.
Anak Desa yang Tekun
Romo Edu lahir di Ntaur, Paroki
Sita, Manggarai Timur pada 5 Januari 1951. Ia adalah anak ke empat dari delapan
bersaudara pasangan Guru Markus Rugut dan Theodora Dadai. Markus dan Theodora
memiliki dua orang anak lelaki dan enam orang perempuan.
Guru Markus Rugut salah satu
putera Manggarai yang berhasil masuk pendidikan pada OVO di Ndona tahun
1939-1941. Usai menamatkan pendidikan di Ndona, Guru Markus bertugas di Mukun
ketika Jepang menduduki Flores. Dari Mukun ia menuju Pahar (1946-1947), Rejeng
(1947-1950), Ntaur (1950-1954), Ruteng II (1954-1956) dan Sita mulai tahun 1956
hingga meninggalnya di RSU Ruteng tahun 1959.[4]
Romo Edu lahir ketika ayahnya,
Guru Markus, bertugas di Ntaur. Tatkala ayahnya berpindah ke Ruteng, Edu kecil
bersama saudara-saudarinya ikut pindah. Ia menjadi siswa Taman Kanak-Kanak di
Ruteng. Lalu ia kembali ke Sita tahun 1957 dan bersekolah di Sekolah Rakyat
Sita. Mereka hidup dalam keluarga besar yang saling menyayangi satu sama lain.
Usai menyelesaikan pendidikan
di SR Sita, Edu melanjutkan etape berikutnya di Seminari Pius XII Kisol.
Sekolah yang baru dibuka tahun 1958 oleh P. Leo Perik SVD[5] itu menerima Edu sebagai
salah satu siswanya. Ia belajar di sana tahun 1963-1970. Cita-citanya menjadi
imam mendorong dirinya untuk melamar ke SVD. Frater Edu diterima menjadi Novis
di Ledalero tahun 1971-1971. Sebagai Frater, ia kemudian menjalankan Tahun
Orientasi Pastoral (TOP) di Kalabahi, Alor tahun 1975-1976.
Dalam perjalanan waktu, ia
mengalami kehidupan baru di Jogjakarta. Selama tiga tahun, 1979-1981, ia
menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Kateketik Jogjakarta. Pada saat itu juga, ia
bekerja paruh waktu di Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas
Gadjah Mada (UGM).
Setelah sekian waktu
berefleksi, akhirnya pada 19 Juli 1983, Diakon Edu ditahbiskan menjadi Imam di
Paroki Sita. Romo Edu menjadi gembala umat di Paroki Lewolaga, Larantuka tahun
1983-1993. Ia kemudian menjadi Pastor Paroki Kisol, Manggarai Timur tahun 1993-1998.
Tahun 1999-2001 mengemban tugas penelitian di Ende dan Belanda. Kemudian, dari
tahun 2001 menerima berbagai tugas pelayanan di Keuskupan Larantuka.
Romo Edu dikenal sebagai anak
yang tekun, tegas dan disiplin. Ia memunyai karakter yang kuat. Ia berefleksi
tentang pilihannya menjadi imam sebagai “pengalaman ditangkap oleh Yesus”,[6] sebagaimana kisah Saulus
yang kemudian berubah menjadi Paulus, rasul yang sangat giat dan aktif. Tentu
refleksi ini datang dari perjalanan hidupnya di beberapa tempat, termasuk
pengalamannya di Jogjakarta.
Perikope yang menyentuh
hatinya, “Allah nenek moyang kita telah menetapkan engkau untuk mengetahui
kehendakNya, untuk melihat yang benar dan untuk mendengar suara yang keluar
dari mulutNya. Sebab engkau harus menjadi saksiNya terhadap semua orang tentang
apa yang kau lihat dan yang kau dengar. Sekarang, mengapa engkau masih
ragu-ragu? Bangunlah, berilah dirimu dibaptis dan dosa-dosamu disucikan dengan
berseru kepada nama Tuhan!” (Kis 22:14-16).
Permenungannya yang mendalam
atas perikope ini, membawa dirinya untuk siap ditahbiskan oleh Mgr. Darius
Nggawa Pr pada 40 tahun silam. Sebuah permenungan yang juga melahirkan motto
tahbisan imamatnya: “Tuhan apakah yang harus kuperbuat? Bukalah matamu dan
melihatlah” (Kis 22:10,13). Motto inilah yang menuntunnya dalam karya
pelayanannya di berbagai bidang yang dipercayakan kepadanya.
Penerjemah dan Penulis yang
Produktif
Nama Romo Edu selaku penulis
sudah terdengar akrab di hati pembaca sejak tahun 1977, jauh sebelum ia ditahbiskan.
Kala itu ia menerjemahkan buku Alois Ströger dengan judul: Surat Kepada
Pilemon (edisi terjemahan diterbitkan Nusa Indah). Lalu ia menerjemahkan
karya Bernard Häring tahun 1981 dengan judul: Cinta Dalam Perkawinan.[7] Di tahun yang sama, ia
menerjemahkan buku William Barclay, Penulis dan Warta Perjanjian Baru.
Kedigdayaan berpikirnya
terbukti melewati tapal batas nusa. Jika tiga bukunya diterbitkan Penerbit Nusa
Indah yang sudah akrab menerima karyanya, kini pada buku berikut diterbitkan
oleh Penerbit Rajawali Jakarta. Buku karya Fawcett T. James diterjemahkannya
tahun 1984 dengan judul: Psikologi dan Kependudukan. Buku ini diterjemahkan
bersama Hendrik Kleden.
Tahun 1985 menerjemahkan
Tortuga II, ia juga menerjemahkan buku tulisan Barbara O’Dea dengan judul: Puasa
dan Paskah Kita.[8]
Setelah beberapa tahun
istirahat dari pekerjaan menerjemahkan, 10 tahun kemudian ia memublikasikan
buku terjemahan terbarunya dengan judul: Cerita-Cerita Afrika-Tema dan
Ilustrasi Khotbah. Buku ini adalah karya P. Brosnan Declan, OSA.
Tak ketinggalan publikasi yang
lain seperti Josef Eilers Franz, SVD dalam dua judul: Berkomunikasi Dalam
Masyarakat (2001) dan Berkomunikasi Dalam Gereja (2002). Dua buku
ini dikerjakan bersama Frans Obon, Pemred HU Flores Pos kala itu. Dua buku ini
dipakai sebagai referensi saat kami kuliah Komunikasi di Ledalero.
Masih banyak karya tulis lain
yang telah dihasilkannya. Artikel-artikel itu tercecer dalam pelbagai media.
Karya-karya terjemahan Romo Edu telah memberikan sumbangsih yang berharga bagi
pengembangan keilmuan banyak orang. Hal itu terbukti dengan kehadiran buku-buku
terjemahannya di berbagai perpustkaan besar nusantara. Jika kita berselancar
dalam laman google dengan menuliskan judul buku yang dihasilkannya, maka secara
otomatis muncul koleksi buku-buku itu di perpustakaan kampus.
Sebagai seorang penterjemah
dan penulis yang produktif, Romo Edu ikut membesarkan nama Penerbit Nusa Indah.
Sebuah penerbit yang bersejarah bagi bangsa Indonesia sejak sebelum
kemerdekaan. Penerbit inilah yang mengharumkan nama Pulau Bunga ke seluruh
nusantara oleh berbagai karya yang telah dipublikasikannya ke publik sejak
tahun 1926.
Sejarawan Gereja
Rupanya, pengalaman berada di Pusat
Penelitian dan Studi Kependudukan UGM
memantik minat Romo Edu pada dunia penelitian dan kepenulisan. Kelak
setelah menjadi imam, hal ini sangat kentara dalam kehidupan pelayanannya,
selain tugas utama selaku imam.
Kajiannya tentang karya
Gereja, khususnya mengenai karya di bidang pendidikan menarik perhatiannya secara
penuh. Ia melihat mata rantai yang tetap berpautan sejak kedatangan Misionaris
Portugis dari Ordo Dominikan di Solor tahun 1561, dilanjutkan misionaris Yesuit
tahun 1863 hingga kedatangan Belanda yang mulai mendirikan sekolah di seluruh
Flores di awal abad ke-20 bersama kehadiran Misionaris SVD dari Belanda.
Buku tentang pendidikan
awalnya berjudul: Sekolah Tanggung Jawab Kita, diterbitkan tahun 2003.
Lalu buku ini kemudian dilanjutkan dengan publikasi lain yang sangat bermanfaat
di bawah judul: Sejarah Persekolahan di Flores, diterbitkan oleh
Penerbit Ledalero tahun 2008. Dalam kata pengantar buku itu dikatakan oleh Dr.
Paulus Budi Kleden, Jenderal SVD saat ini: Menulis sejarah persekolahan sebagai
bentuk tanggung jawab terhadap pendidikan.[9]
Buku ini merupakan sebuah
karya yang dihasilkan dengan ketekunan dan keuletan seorang peneliti-penulis
dalam mendalami literatur yang ada dan merangkainya menjadi hidangan yang enak
dibaca dan dipahami. Romo Edu memiliki gaya bahasa yang jelas, dengan kalimat
pendek dan ringkas tanpa menghilangkan esensi maknanya. Ia memalingkan pembaca
ke masa lalu untuk mengetahui sekolah-sekolah pertama di Flores, bagaimana
peran para misionaris, upaya Belanda melalui Soemba-Flores Regeling
dalam memajukan pendidikan di Sumba dan Flores, peran tokoh pendidikan dari
masa pra kemerdekaan (Belanda dan Jepang), kemerdekaan dan pembangunan. Buku
ini menyajikan panorama pendidikan dari masa ke masa, runtut dan kaya akan
informasi.
Tercatat dalam rekam jejak
kehidupannya, pada tahun 1999-2001 ia menjalankan tugas penelitian di Ende dan
Belanda. Ia mempelajari arsip dokumen-dokumen Gereja, khususnya yang
bersentuhan dengan kedatangan misionaris, baik di Larantuka maupun di Ende. Ia
bersungguh-sungguh menekuni arsip-arsip yang sudah tua, mencari hubungannya
dengan lintasan peristiwa masa lalu. Ia membaca catatan-catatan itu dalam
bingkai menemukan makna bagi peradaban.
Alhasil apa yang dikerjakannya
berbuah manis. Ia mendokumentasikan 4 jilid buku yang bertutur tentang biografi
singkat misionaris asal Belanda dan karya mereka di Indonesia. Romo Edu bersama
rekannya P. John Dami Mukese SVD menghasilkan karya sejarah Gereja dalam diri
misionaris di bawah judul: Indahnya Kaki Mereka-Telusur Jejak Para
Misionaris Belanda (Jilid 1-4).[10] Dua bagian penting dalam
setiap profil misionaris yang ditampilkan: sejarah kehidupan pribadi dari sang
misionaris (keluarga, pendidikan) dan karya yang dijalankannya sebagai
misionaris.
Jika membaca satu profil
misionaris, misalnya Jillis Verheijen, akan tampak di sana upaya yang dilakukan
oleh Romo Edu dalam menggali Jillis secara detail, mendalam dan menampilkan
informasi yang kaya. Romo Edu berusaha memperkenalkan setiap tokoh dengan
perspektif yang sama tanpa menghilangkan kekhasan dan keunikan setiap orang.
Hal yang sungguh luar biasa.
Dari sisi inilah, Romo Edu
bisa diberi predikat sebagai Sejarahwan Gereja yang andal. Ketika kita membaca
buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia, terlihat dalam daftar penulis,
semuanya orang asing: S.P. Laan SVD untuk Keuskupan Ende dan Larantuka, Y.
Bettray SVD untuk Keuskupan Ruteng.[11] Romo Edu lalu membawa
kita kepada kesadaran kritis agar berani meneliti sejarah Gereja lokal dan
menulisnya sehingga menghasilkan karya dokumentasi yang penting.
Romo Edu menetapkan komitmen
untuk menulis mulai dari Paroki Sita, Paroki kelahirannya. Buku berjudul: Paroki
Sita Dalam Ziarah menjadi sebuah buku sejarah yang pantas dijadikan contoh.
Buku ini menampilkan Paroki Sita dalam keseluruhan pelayanan misi Gereja di
Flores. Paroki ini diakuinya sebagai “tempat istimewa di dalam hidup saya”.
Selain itu, buku ini juga menyertakan biografi yang cukup panjang dari Mgr.
Vitalis Jebarus SVD, salah satu anak kandung Paroki Sita yang menjadi uskup
pribumi pertama di Manggarai.[12]
Epilog: Menulis Sejarah,
Mencintai Kehidupan
Dari pengalaman Romo Edu,
kiranya kita dapat menarik sebuah simpulan bernas ini: menulis sejarah adalah
sebuah ekspresi mencintai kehidupan dalam setiap alur prosesnya: jatuh-bangun,
sukses-gagal, cita-cita-realisasi, harapan-kenyataan. Kita tahu, dalam
kenyataan itu, Tuhan tak pernah meninggalkan kita. Ia tetap setia dalam setiap
alur proses yang kita jalani.
Saya boleh berbangga
mendapatkan sejumlah karya Romo Edu dari tangannya sendiri ketika pertemuan di
Kupang. Empat jilid buku Indahnya Kaki Mereka. Empat buku yang penting untuk
menapaki kembali ziarah perjalanan para misionaris di tanah misi Nusa Tenggara.
Empat buku model bagi saya untuk menulis perjalanan Gereja dan peradaban di
Flores.
Romo Edu, selamat berbahagia.
Tetaplah menulis dengan tinta emas kebajikan dan keutamaan agar kehidupan kita
menjadi berkat berlimpah bagi sesama. Selamat merayakan 40 tahun Imamat dalam
pelayanan dan kasih.***
[1] Sebelumnya, penulis yang sama menulis kisah perjalanan
mereka yang pertama dengan judul: La Tortuga-An amphibious journey from Alaska to
Tierra del Fuego. Buku terbit tahun 1957 oleh Secker and Warburg. Buku ini
berkisah bagaimana mereka menyeberangi Samudera Atlantik dengan mobil jeep
amfibi.
[2]
Kanisius Teobaldus Deki, Membangun
Kerajaan Allah Membentuk Komunitas Kasih-Yubileum 100 Tahun Paroki Katedral
Ruteng (Jogjakarta: AsdaMedia, 2020).
[3]
Kanisius Teobaldus Deki, Drs.
Djafar H. Achmad, M.M-Biografi Pembangunan (Jogjakarta: AsdaMedia, 2023).
[4] Rm. Eduardus Jebarus Pr, Paroki Sita Dalam Ziarah
(Larantuka: Keuskupan Larantuka, 2008), hal. 84.
[5] Dr. Max Regus Pr, Leo Perik SVD Jembatan Peradaban
(Jakarta: Obor, 2018).
[6] F.C. Baur, Paul The Apostle of Jesus Christ
(Massachusets: Hendricson Publisher, Inc., 2008), hal. 63-98.
[7] Bernard Haring, Love Is The Answer (New York:
Image Books, 1979).
[8] Barbara
O’Dea, Of Fast and Festival: Celebrating
Lent and Easter (New York: Paulis Press, 1982).
[9] Eduard
Jebarus Pr, Sejarah Persekolahan di Flores (Maumere: Ledalero, 2008),
hal. V.
[10]
Eduard Jebarus Pr dan John
Dami Mukese, SVD, Indahnya Kaki Mereka-Telusur Jejak Misionaris Belanda
(Ende: Nusa Indah, 2004, 2006, 2008, 2009).
[11]
Sejarah Gereja Katolik
Indonesia (Jakarta:
Dokpen MAWI, 1974).
[12]
Eduard Jebarus, Paroki Sita
Dalam Ziarah-Domine Ut Videam, Op.cit.
Comments
Post a Comment