Romo Edu Jebarus Pr: Sejarahwan Gereja yang Andal

 Kanisius Teobaldus Deki, STIE Karya

Rm. Edu Jebarus Pr

Kiranya tahun 2009, saya tidak ingat pasti. Saya berada di salah satu Wisma Retret, di Kupang. Tempatnya cukup jauh dari Kota Kupang. Kantor Kementerian Agama NTT mengundang tokoh Katolik untuk sebuah pertemuan beberapa hari. Saya datang sebagai peserta. Di situlah saya berjumpa dengan banyak tokoh, sesuai dengan judulnya: pertemuan para Tokoh Katolik. Di pintu masuk saya berpapasan dengan salah satu tokoh yang namanya tak asing, tetapi baru berjumpa untuk pertama kalinya: Romo Eduard Jebarus Pr, seorang imam dan peneliti-penulis dari Keuskupan Larantuka.

Kami langsung akrab. Dalam percakapan kami saling memberikan sumbang-gagas untuk pertemuan itu. Salah satu hal yang membuat kami lebih akrab adalah kesamaan minat: suka melakukan riset sejarah dan menulisnya menjadi buku. Romo Edu, demikian biasa disapa tertegun ketika saya bercerita bahwa saya sudah membaca karya terjemahannya, sebuah kisah perjalanan yang diberi judul: Tortuga[1] II, Dari Komodo ke Atapupu, karya Frank Schreider dan Helen yang diterbitkan tahun 1985 oleh Penerbit Nusa Indah. Buku itu saya baca saat saya masih duduk di Sekolah Menengah Pertama.

Tahun 2019, saya mendapat kepercayaan dari DPP untuk menulis 100 tahun Paroki Katedral Ruteng. Saya menghubungi Romo Edu untuk berdiskusi. Waktu itu Romo Edu memberikan apresiasi atas pekerjaan yang saya lakukan. Buku yang dilaunching jelang tahbisan Uskup Ruteng yang baru, Mgr. Siprianus Hormat, mendapat sambutan yang hangat. Sedianya, saya memberikan buku ini[2] sebagai kado dalam Pancawindu Imamat Romo Edu ini. Namun karena pada saat bersamaan saya mempersiapkan launching buku Biografi Pembangunan di Ende,[3] saya belum sempat. Artikel ini merupakan ungkapan kegembiraan dan kebahagiaan saya pada hari sitimewa Romo Edu.

Pada 19 Juli 2023, Romo Edu boleh berbahagia karena telah melayani umat Kristus selama 40 tahun dalam pelbagai karya kerasulannya sebagai imam untuk Gereja baik di Keuskupan Larantuka maupun Keuskupan Ruteng. Tulisan ini merupakan sebuah catatan kebersamaan kami, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui publikasi tentunya. Sekaligus sebuah penghormatan terhadap beliau atas karyanya yang besar untuk Gereja Lokal.

Anak Desa yang Tekun

Romo Edu lahir di Ntaur, Paroki Sita, Manggarai Timur pada 5 Januari 1951. Ia adalah anak ke empat dari delapan bersaudara pasangan Guru Markus Rugut dan Theodora Dadai. Markus dan Theodora memiliki dua orang anak lelaki dan enam orang perempuan.

Guru Markus Rugut salah satu putera Manggarai yang berhasil masuk pendidikan pada OVO di Ndona tahun 1939-1941. Usai menamatkan pendidikan di Ndona, Guru Markus bertugas di Mukun ketika Jepang menduduki Flores. Dari Mukun ia menuju Pahar (1946-1947), Rejeng (1947-1950), Ntaur (1950-1954), Ruteng II (1954-1956) dan Sita mulai tahun 1956 hingga meninggalnya di RSU Ruteng tahun 1959.[4]

Romo Edu lahir ketika ayahnya, Guru Markus, bertugas di Ntaur. Tatkala ayahnya berpindah ke Ruteng, Edu kecil bersama saudara-saudarinya ikut pindah. Ia menjadi siswa Taman Kanak-Kanak di Ruteng. Lalu ia kembali ke Sita tahun 1957 dan bersekolah di Sekolah Rakyat Sita. Mereka hidup dalam keluarga besar yang saling menyayangi satu sama lain.

Usai menyelesaikan pendidikan di SR Sita, Edu melanjutkan etape berikutnya di Seminari Pius XII Kisol. Sekolah yang baru dibuka tahun 1958 oleh P. Leo Perik SVD[5] itu menerima Edu sebagai salah satu siswanya. Ia belajar di sana tahun 1963-1970. Cita-citanya menjadi imam mendorong dirinya untuk melamar ke SVD. Frater Edu diterima menjadi Novis di Ledalero tahun 1971-1971. Sebagai Frater, ia kemudian menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Kalabahi, Alor tahun 1975-1976.

Dalam perjalanan waktu, ia mengalami kehidupan baru di Jogjakarta. Selama tiga tahun, 1979-1981, ia menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Kateketik Jogjakarta. Pada saat itu juga, ia bekerja paruh waktu di Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Setelah sekian waktu berefleksi, akhirnya pada 19 Juli 1983, Diakon Edu ditahbiskan menjadi Imam di Paroki Sita. Romo Edu menjadi gembala umat di Paroki Lewolaga, Larantuka tahun 1983-1993. Ia kemudian menjadi Pastor Paroki Kisol, Manggarai Timur tahun 1993-1998. Tahun 1999-2001 mengemban tugas penelitian di Ende dan Belanda. Kemudian, dari tahun 2001 menerima berbagai tugas pelayanan di Keuskupan Larantuka.

Romo Edu dikenal sebagai anak yang tekun, tegas dan disiplin. Ia memunyai karakter yang kuat. Ia berefleksi tentang pilihannya menjadi imam sebagai “pengalaman ditangkap oleh Yesus”,[6] sebagaimana kisah Saulus yang kemudian berubah menjadi Paulus, rasul yang sangat giat dan aktif. Tentu refleksi ini datang dari perjalanan hidupnya di beberapa tempat, termasuk pengalamannya di Jogjakarta.

Perikope yang menyentuh hatinya, “Allah nenek moyang kita telah menetapkan engkau untuk mengetahui kehendakNya, untuk melihat yang benar dan untuk mendengar suara yang keluar dari mulutNya. Sebab engkau harus menjadi saksiNya terhadap semua orang tentang apa yang kau lihat dan yang kau dengar. Sekarang, mengapa engkau masih ragu-ragu? Bangunlah, berilah dirimu dibaptis dan dosa-dosamu disucikan dengan berseru kepada nama Tuhan!” (Kis 22:14-16).

Permenungannya yang mendalam atas perikope ini, membawa dirinya untuk siap ditahbiskan oleh Mgr. Darius Nggawa Pr pada 40 tahun silam. Sebuah permenungan yang juga melahirkan motto tahbisan imamatnya: “Tuhan apakah yang harus kuperbuat? Bukalah matamu dan melihatlah” (Kis 22:10,13). Motto inilah yang menuntunnya dalam karya pelayanannya di berbagai bidang yang dipercayakan kepadanya.

Penerjemah dan Penulis yang Produktif

Nama Romo Edu selaku penulis sudah terdengar akrab di hati pembaca sejak tahun 1977, jauh sebelum ia ditahbiskan. Kala itu ia menerjemahkan buku Alois Ströger dengan judul: Surat Kepada Pilemon (edisi terjemahan diterbitkan Nusa Indah). Lalu ia menerjemahkan karya Bernard Häring tahun 1981 dengan judul: Cinta Dalam Perkawinan.[7] Di tahun yang sama, ia menerjemahkan buku William Barclay, Penulis dan Warta Perjanjian Baru.

Kedigdayaan berpikirnya terbukti melewati tapal batas nusa. Jika tiga bukunya diterbitkan Penerbit Nusa Indah yang sudah akrab menerima karyanya, kini pada buku berikut diterbitkan oleh Penerbit Rajawali Jakarta. Buku karya Fawcett T. James diterjemahkannya tahun 1984 dengan judul: Psikologi dan Kependudukan. Buku ini diterjemahkan bersama Hendrik Kleden.

Tahun 1985 menerjemahkan Tortuga II, ia juga menerjemahkan buku tulisan Barbara O’Dea dengan judul: Puasa dan Paskah Kita.[8]

Setelah beberapa tahun istirahat dari pekerjaan menerjemahkan, 10 tahun kemudian ia memublikasikan buku terjemahan terbarunya dengan judul: Cerita-Cerita Afrika-Tema dan Ilustrasi Khotbah. Buku ini adalah karya P. Brosnan Declan, OSA.

Tak ketinggalan publikasi yang lain seperti Josef Eilers Franz, SVD dalam dua judul: Berkomunikasi Dalam Masyarakat (2001) dan Berkomunikasi Dalam Gereja (2002). Dua buku ini dikerjakan bersama Frans Obon, Pemred HU Flores Pos kala itu. Dua buku ini dipakai sebagai referensi saat kami kuliah Komunikasi di Ledalero.

Masih banyak karya tulis lain yang telah dihasilkannya. Artikel-artikel itu tercecer dalam pelbagai media. Karya-karya terjemahan Romo Edu telah memberikan sumbangsih yang berharga bagi pengembangan keilmuan banyak orang. Hal itu terbukti dengan kehadiran buku-buku terjemahannya di berbagai perpustkaan besar nusantara. Jika kita berselancar dalam laman google dengan menuliskan judul buku yang dihasilkannya, maka secara otomatis muncul koleksi buku-buku itu di perpustakaan kampus.

Sebagai seorang penterjemah dan penulis yang produktif, Romo Edu ikut membesarkan nama Penerbit Nusa Indah. Sebuah penerbit yang bersejarah bagi bangsa Indonesia sejak sebelum kemerdekaan. Penerbit inilah yang mengharumkan nama Pulau Bunga ke seluruh nusantara oleh berbagai karya yang telah dipublikasikannya ke publik sejak tahun 1926.

Sejarawan Gereja

Rupanya, pengalaman berada di Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM  memantik minat Romo Edu pada dunia penelitian dan kepenulisan. Kelak setelah menjadi imam, hal ini sangat kentara dalam kehidupan pelayanannya, selain tugas utama selaku imam.

Kajiannya tentang karya Gereja, khususnya mengenai karya di bidang pendidikan menarik perhatiannya secara penuh. Ia melihat mata rantai yang tetap berpautan sejak kedatangan Misionaris Portugis dari Ordo Dominikan di Solor tahun 1561, dilanjutkan misionaris Yesuit tahun 1863 hingga kedatangan Belanda yang mulai mendirikan sekolah di seluruh Flores di awal abad ke-20 bersama kehadiran Misionaris SVD dari Belanda.

Buku tentang pendidikan awalnya berjudul: Sekolah Tanggung Jawab Kita, diterbitkan tahun 2003. Lalu buku ini kemudian dilanjutkan dengan publikasi lain yang sangat bermanfaat di bawah judul: Sejarah Persekolahan di Flores, diterbitkan oleh Penerbit Ledalero tahun 2008. Dalam kata pengantar buku itu dikatakan oleh Dr. Paulus Budi Kleden, Jenderal SVD saat ini: Menulis sejarah persekolahan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pendidikan.[9]

Buku ini merupakan sebuah karya yang dihasilkan dengan ketekunan dan keuletan seorang peneliti-penulis dalam mendalami literatur yang ada dan merangkainya menjadi hidangan yang enak dibaca dan dipahami. Romo Edu memiliki gaya bahasa yang jelas, dengan kalimat pendek dan ringkas tanpa menghilangkan esensi maknanya. Ia memalingkan pembaca ke masa lalu untuk mengetahui sekolah-sekolah pertama di Flores, bagaimana peran para misionaris, upaya Belanda melalui Soemba-Flores Regeling dalam memajukan pendidikan di Sumba dan Flores, peran tokoh pendidikan dari masa pra kemerdekaan (Belanda dan Jepang), kemerdekaan dan pembangunan. Buku ini menyajikan panorama pendidikan dari masa ke masa, runtut dan kaya akan informasi.

Tercatat dalam rekam jejak kehidupannya, pada tahun 1999-2001 ia menjalankan tugas penelitian di Ende dan Belanda. Ia mempelajari arsip dokumen-dokumen Gereja, khususnya yang bersentuhan dengan kedatangan misionaris, baik di Larantuka maupun di Ende. Ia bersungguh-sungguh menekuni arsip-arsip yang sudah tua, mencari hubungannya dengan lintasan peristiwa masa lalu. Ia membaca catatan-catatan itu dalam bingkai menemukan makna bagi peradaban.

Alhasil apa yang dikerjakannya berbuah manis. Ia mendokumentasikan 4 jilid buku yang bertutur tentang biografi singkat misionaris asal Belanda dan karya mereka di Indonesia. Romo Edu bersama rekannya P. John Dami Mukese SVD menghasilkan karya sejarah Gereja dalam diri misionaris di bawah judul: Indahnya Kaki Mereka-Telusur Jejak Para Misionaris Belanda (Jilid 1-4).[10] Dua bagian penting dalam setiap profil misionaris yang ditampilkan: sejarah kehidupan pribadi dari sang misionaris (keluarga, pendidikan) dan karya yang dijalankannya sebagai misionaris.

Jika membaca satu profil misionaris, misalnya Jillis Verheijen, akan tampak di sana upaya yang dilakukan oleh Romo Edu dalam menggali Jillis secara detail, mendalam dan menampilkan informasi yang kaya. Romo Edu berusaha memperkenalkan setiap tokoh dengan perspektif yang sama tanpa menghilangkan kekhasan dan keunikan setiap orang. Hal yang sungguh luar biasa.

Dari sisi inilah, Romo Edu bisa diberi predikat sebagai Sejarahwan Gereja yang andal. Ketika kita membaca buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia, terlihat dalam daftar penulis, semuanya orang asing: S.P. Laan SVD untuk Keuskupan Ende dan Larantuka, Y. Bettray SVD untuk Keuskupan Ruteng.[11] Romo Edu lalu membawa kita kepada kesadaran kritis agar berani meneliti sejarah Gereja lokal dan menulisnya sehingga menghasilkan karya dokumentasi yang penting.

Romo Edu menetapkan komitmen untuk menulis mulai dari Paroki Sita, Paroki kelahirannya. Buku berjudul: Paroki Sita Dalam Ziarah menjadi sebuah buku sejarah yang pantas dijadikan contoh. Buku ini menampilkan Paroki Sita dalam keseluruhan pelayanan misi Gereja di Flores. Paroki ini diakuinya sebagai “tempat istimewa di dalam hidup saya”. Selain itu, buku ini juga menyertakan biografi yang cukup panjang dari Mgr. Vitalis Jebarus SVD, salah satu anak kandung Paroki Sita yang menjadi uskup pribumi pertama di Manggarai.[12]

Epilog: Menulis Sejarah, Mencintai Kehidupan

Dari pengalaman Romo Edu, kiranya kita dapat menarik sebuah simpulan bernas ini: menulis sejarah adalah sebuah ekspresi mencintai kehidupan dalam setiap alur prosesnya: jatuh-bangun, sukses-gagal, cita-cita-realisasi, harapan-kenyataan. Kita tahu, dalam kenyataan itu, Tuhan tak pernah meninggalkan kita. Ia tetap setia dalam setiap alur proses yang kita jalani.

Saya boleh berbangga mendapatkan sejumlah karya Romo Edu dari tangannya sendiri ketika pertemuan di Kupang. Empat jilid buku Indahnya Kaki Mereka. Empat buku yang penting untuk menapaki kembali ziarah perjalanan para misionaris di tanah misi Nusa Tenggara. Empat buku model bagi saya untuk menulis perjalanan Gereja dan peradaban di Flores.

Romo Edu, selamat berbahagia. Tetaplah menulis dengan tinta emas kebajikan dan keutamaan agar kehidupan kita menjadi berkat berlimpah bagi sesama. Selamat merayakan 40 tahun Imamat dalam pelayanan dan kasih.***



[1] Sebelumnya, penulis yang sama menulis kisah perjalanan mereka yang pertama dengan judul: La Tortuga-An amphibious journey from Alaska to Tierra del Fuego. Buku terbit tahun 1957 oleh Secker and Warburg. Buku ini berkisah bagaimana mereka menyeberangi Samudera Atlantik dengan mobil jeep amfibi.

[2] Kanisius Teobaldus Deki, Membangun Kerajaan Allah Membentuk Komunitas Kasih-Yubileum 100 Tahun Paroki Katedral Ruteng (Jogjakarta: AsdaMedia, 2020).

[3] Kanisius Teobaldus Deki, Drs. Djafar H. Achmad, M.M-Biografi Pembangunan (Jogjakarta: AsdaMedia, 2023).

[4] Rm. Eduardus Jebarus Pr, Paroki Sita Dalam Ziarah (Larantuka: Keuskupan Larantuka, 2008), hal. 84.

[5] Dr. Max Regus Pr, Leo Perik SVD Jembatan Peradaban (Jakarta: Obor, 2018).

[6] F.C. Baur, Paul The Apostle of Jesus Christ (Massachusets: Hendricson Publisher, Inc., 2008), hal. 63-98.

[7] Bernard Haring, Love Is The Answer (New York: Image Books, 1979).

[8] Barbara O’Dea, Of Fast and Festival: Celebrating Lent and Easter (New York: Paulis Press, 1982).

[9] Eduard Jebarus Pr, Sejarah Persekolahan di Flores (Maumere: Ledalero, 2008), hal. V.

[10] Eduard Jebarus Pr dan John Dami Mukese, SVD, Indahnya Kaki Mereka-Telusur Jejak Misionaris Belanda (Ende: Nusa Indah, 2004, 2006, 2008, 2009).

[11] Sejarah Gereja Katolik Indonesia (Jakarta: Dokpen MAWI, 1974).

[12] Eduard Jebarus, Paroki Sita Dalam Ziarah-Domine Ut Videam, Op.cit.

Comments

Popular posts from this blog

RITUS TEING HANG ORANG MANGGARAI[1] (Sebuah Studi Awal Untuk Mencari Pertautannya dengan Inkulturasi Iman Kristen)

Asal Usul Orang Manggarai-Flores-NTT

BELAJAR ADAT MANGGARAI (Bagian Pertama: TOROK)