MEMPERTIMBANGKAN DIMENSI LOKALITAS DALAM PEMBERIAN NAMA JALAN DI KABUPATEN MANGGARAI
Bahan
Pertemuan Dinas Perhubungan Kabupaten Manggarai,
Jumat,
18 Januari 2024
Direktur
Lembaga Nusa Bunga Mandiri, Dosen STIE Karya Ruteng
Ada pepatah bahasa Latin
mengatakan, “Nomen est Omen” yang artinya nama melambangkan kedirian.
Nama selalu merujuk kepada sesuatu yang memiliki arti dan makna. Pada nama,
selain menunjukkan identitas dan tanda pengenal, ia memberi sebuah daya
tertentu pada sesuatu. Daya itu memudahkan memori untuk mengingat, menjadi
penunjuk, sekaligus mengikat ke hal yang lebih mendalam yaitu tatanan nilai.[1]
Pemberian nama jalan, gedung,
tempat dengan nama tertentu bertujuan agar nilai yang dimiliki nama ini memberi
spirit bagi masyarakat pun siapa saja yang akan datang ke tempat itu. Pemberian
nama pahlawan nasional untuk nama jalan misalnya bertujuan agar nilai juang
dari pahlawan tersebut dicontohi oleh masyarakat.
Sejak Indonesia merdeka,
nama-nama jalan acap kali dihubungkan dengan pelaku perjuangan kemerdekaan.
Nama-nama seperti Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Ir. Soekarno, Drs.
Mohamad Hatta, Sudirman, dll dipakai hampir merata di seluruh Indonesia menjadi
nama jalan. Hal itu diteruskan oleh Orde Baru untuk memperkuat nasionalisme dan
persatuan.[2]
Bahan ini menolong kita
memiliki konsep tentang basis rasional mengapa kita perlu merevisi nama jalan,
gedung, tempat dalam nama-nama orang (tokoh) lokal. Sebuah wacana yang dimulai
Dinas Perhubungan Kabupaten Manggarai. Tentu sebagai panduan diskusi, bahan ini
sangat terbuka untuk ditelisik lebih dalam, dikaji sehingga tujuan dari
pemberian nama ini sungguh memberi spirit baru bagi masyarakat Manggarai pun
yang datang ke wilayah ini.
Kesadaran Baru, Belajar dari
Frans Sales Lega
Setelah sekian lama kita
berkawan akrab dengan nama pahlawan-pahlawan ini, muncul sebuah kesadaran baru
untuk juga menciptakan ide lokalitas dalam nama-nama jalan, tempat dan wilayah.
Di Manggarai Barat, khususnya Kota Labuan Bajo, nama-nama para penjasa pun
tokoh lokal disematkan sebagai nama jalan. Di Manggarai, nama bandar udara yang
sebelumnya Satar Tacik, nama wilayah menjadi Frans Sales Lega, nama Bupati yang
menginisiasinya.
Dalam nama bandar udara ini,
tergambar kisah historik yang heroik bagaimana Frans Sales Lega berusaha
membuka isolasi Kabupaten Manggarai melalui jalur udara yang pada tahun 1960-an
masih terisolir. Jalur transportasi darat kala itu masih sangat terbatas,
demikianpun laut. Keberanian dan kegigihannya membangun badar udara bersama
masyarakat dengan cara swadaya, menghasilkan sebuah karya yang mengagumkan.
Upaya perubahan nama dari
Satar Tacik ke Frans Sales Lega oleh Bupati Christian Rotok, merupakan sebuah
penghargaan, apresiasi, rekognisi serentak proklamasi sebuah perjuangan yang
tidak mudah.[3]
Selain karena sumber daya negara, khususnya pembiayaan pembangunan sangatlah
terbatas, dipahami sungguh bahwa pembangunan di Indonesia waktu itu masih
berfokus pada wilayah-wilayah tertentu. Ide brilian Frans Sales Lega membuka
sendiri tanpa bantuan dana negara adalah keberanian seorang pemimpin yang
memiliki visi besar bagi Manggarai. Visi itu pula yang membuat dirinya
berjibaku dengan rakyat sendiri melalui kerja swadaya yang sangat ditentang
kala itu. Bahkan ada yang menilai Lega adalah pemimpin tangan besi. Tetapi
kegigihannya dengan ide yang menjadi cerminan visi memimpinnya berhasil membuka
isolasi wilayah Manggarai melalui jalur udara.
Sempat juga nama Rumah Sakit
Umum Daerah Ruteng diberi nama “Rumah Sakit dr. Ben Mboi”, namun kemudian
dianulir lagi karena ada nama yang sama untuk Rumah Sakit di Kupang.[4] Namun upaya untuk
memberikan nama sebagai penghargaan terhadap para penjasa merupakan sebuah
sikap budaya yang patut dihargai dan dilaksanakan.
Klasifikasi Tokoh dan Kriteria
Ketika ada kesadaran untuk
membangun identitas baru melalui nama jalan, tempat dan bangunan, dibutuhkan
kategorisasi dan klasifikasi. Selain nama yang berasal dari alam seperti
gunung, sungai, tanaman, juga nama dari berbagai tokoh bidang pemerintahan, agama,
adat, karya sosial karitatif, pendidikan yang berjasa bagi kehidupan Manggarai.
Bila dibandingkan dengan nama
tumbuhan yang tidak dibudidayakan, semisal nama tanaman bunga, nama tokoh akan
menginspirasi banyak orang. Tinggal saja dibangun kriteria-kriteria yang
dibutuhkan untuk mengakomodir nama-nama itu sesuai kompetensi bidangnya.
Pertama, tokoh
itu memunyai karya nyata dan berkontribusi bagi kehidupan manusia, khususnya
orang Manggarai. Karya nyata itu dirasakan oleh komunitas di mana ia berasal.
Kedua, tokoh
itu akan memberi spirit dan memotivasi orang yang hidup dalam komunitas. Spirit
itu menjadi aspek kunci selain mengenang kebaikan dan jasanya ia juga akan
hidup dalam tindakan nyata masyarakat komunitas pemiliknya.
Ketiga,
tokoh itu telah meninggal. Penganugerahan nama kepada sebuah tempat dilakukan
ketika orang telah meninggal dunia. Hal itu disebabkan karena jikalau orang itu
masih hidup maka bisa saja ada bagian kehidupannya yang mengundang kontroversi.
Beberapa tokoh dapat
dideretkan berdasarkan pengakuan masyarakat pemiliknya, antara lain:
No |
Bidang |
Jabatan/Status/Jasa |
1 |
Pemerintahan: Bagung Alexander
Baruk Constantinus
Ngambut Carolus
Hamboer Frans
Sales Lega Frans
Dula Burhan Gaspar
Ehok Pius
Papu |
Pemerintahan
awal Manggarai Raja
Pertama Manggarai Kepala
Swapraja Pertama Manggarai Kepala
Swapraja Manggarai Bupati
Manggarai Bupati
Manggarai Bupati
Manggarai Pembantu
Bupati Wilayah Barat |
2 |
Agama: Mgr.
Wilhelmus van Bekkum Mgr.
Vitalis Djebarus Mgr. Eduardus
Sangsun P.
Jillis Verheijen St.
Arnoldus Yansen St.
Yosef Freidanemetz |
Uskup
pertama Manggarai Uskup
Manggarau Uskup
Manggarai Peneliti
Budaya Manggarai Pendiri
SVD Pendiri
SVD |
3 |
Pendidikan: Guru
Wowor Gabriel
Tjangkung Damasus
Agas P. Yan Roosmalen |
Guru
pertama Manggarai dari Manado Guru
pertama orang Manggarai Guru
orang Manggarai Pendiri
sekolah di Manggarai |
4 |
Pembangunan
dan Sosial: P.
Stanis Ograbek P.
Wasser Sr.
Virgula Yohanes
Sahadoen |
Pembangun
jalan di Manggarai Pembangun
sekolah di Manggarai Pendiri
Panti Kusta dan Rumah Sakit Kepala
PU Manggarai |
5 |
Kampung
Adat: Ema Kiu Taruk |
Tu’a
Golo Karismatis di Tenda Lit/Hakim
Raja Manggarai |
6 |
Seni
dan Musik: Daniel
Anduk Makarius
Arus P.
Josef Klizan |
Penyanyi
Difabel Penyanyi
Difabel Pemusik
Liturgi |
|
|
|
Tentu masih banyak kategori
dan nama yang bisa kita sodorkan. Namun forum ini menjadi salah satu ruang
diskusi untuk menentukan langkah-langkah lanjutan untuk mendalami, merumuskan
nama dan ketokohan mereka lalu diabadikan menjadi nama jalan.
Nama-nama tokoh lokal yang
memberi pengaruh pada komunitas terbatas, seperti Ema Kiu di Kampung Tenda,
diabadikan namanya pada ruas jalan menuju Kampung Tenda. Demikianpun Taruk,
juga menjadi nama salah satu jalan di Tenda. Hal ini menjadi sebuah rekognisi
sekaligus penghargaan yang setimpal atas usaha dan perjuangan mereka membangun
kampung Tenda di masa lalu.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesadaran dari Dinas
Perhubungan untuk mengubah nama jalan dengan memberi ruang bagi tokoh-tokoh
lokal adalah sebuah langkah yang patut diapresiasi. Langkah ini menjadi sebuah
pilihan sikap budaya yang menaruh respek terhadap peradaban yang telah dibangun
berkesinambungan dari masa ke masa. Dengan adanya nama dari tokoh-tokoh lokal,
kita sedang memberi apresiasi serentak menarik energi positif agar termotivasi
melakukan tindakan positif dalam berbagai bidang untuk kepentingan dan
kesejahteraan bersama (bonum commune).
Untuk mencapai tujuan itu,
dibutuhkan langkah strategis dengan pembentukkan tim kerja yang menjalankan
tugas ini secara terukur dan terfokus. Hasil kerja dari tim ini akan mendapat
tanggapan dari para narasumber sehingga sebelum pengukuhan, nama-nama itu kredibel,
dan tentu tidak menimbulkan kontroversi.
Selamat berdiskusi, kiranya
tujuan mulia kegiatan ini menolong kita untuk membangun peradaban dan kehidupan
bersama yang bermutu.
Ruteng, 17-18 Januari
2023
[1] Nomen est omen” -
the name is the sign. It’s the idea that people gravitate towards a job or
activity that is appropriate to their names or embody their names in some way -
John Smith becomes a metallurgist (a smith = someone who works with metal);
John Small is a very tall man (“small” could be an ironic nickname given to
people of unusually tall height). What seems spooky isn’t really - people’s
surnames often reflected what they were good at (cf John Taylor), or a
noticeable physical attribute (cf John Redhead), or where they were born (cf
John Derbyshire), or whose progeny they were (cf John Williamson).
Skills/attributes can be passed down by genetic inheritance - the original John
Smith probably got the surname “Smith” because he was a good smith, and if that
were the case it’s a reasonable bet that his descendants might have inherited
that skill too. Lih. John
Williams, “Nomen ets Omen” dalam: www.quora.com. Diakses: 17
Januari 2024.
[2] Lih. Aris Rinaldi, “Mengingat Nama Pahlawan melalui
Nama Jalan” dalam: https://binamarga.pu.go.id/index.php/article/mengingat-nama-pahlawan-melalui-nama-jalan. Diakses: 17 Januari 2024.
[3] Bandar udara ini
sebelumnya bernama Bandar Udara Satar Tacik, perubahan nama itu tertuang
dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 190 Tahun 2008 tanggal 4 April
2008. Pergantian nama bandar udara tersebut untuk memberikan penghargaan atas
jasa mendiang Frans Sales Lega yang memprakarsai berdirinya
bandar udara ini. Lih. https://bandara.co.id/v1/directory-airport/bandara/bandara-frans-sales-lega/. Diakses: 17 Januari
2024.
Nama : Evarista Sinarti
ReplyDeleteProgram : Akuntansi
Smester : Satu(1)
Nama jalan yang mempertimbangkan dimensi lokalitas akan lebih mencerminkan kekayaan budaya, sejarah, dan kearifan lokal yang ada di Kabupaten Manggarai. Hal ini bisa meningkatkan rasa kebanggaan masyarakat terhadap identitas budaya mereka.