Habemus Rectorem!
Kanisius Teobaldus Deki- STIE KARYA
Suatu siang, kampus STFK Ledalero (kini, IFT Ledalero) gempar.
Dr. Gabriel Unto da Silva Pr, Pembantu Ketua III mengumumkan bahwa artikel
salah satu mahasiswa terpublikasi di Harian Umum Kompas. Berita itu cepat
menjalar ke anak-anak filosofen-theologan, julukan bagi yang sedang belajar
filsafat dan teologi. Tiga convikt, sebutan untuk kampus tempat tinggal para
mahasiswa, serta merta mengacungi jempol bagi penulisnya. Hal ini memang wajar,
di lingkungan yang memublikasi sebagai rutinitas harian, pemuatan artikel di
Harian Kompas merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Setidaknya, kampus boleh
berada di daerah yang jauh dari perhatian publik, namun kualitas tak boleh
dipandang sebelah mata.
Para calon sarjana filsafat bertanya-tanya, siapa gerangan
yang bisa menorehkan jejak baru pada media teranyar nasional itu? Pertanyaan
itu memang beralasan. Tiga Seminari Tinggi besar, Ledalero-Ritapiret-Karmel,
kala itu adalah kumpulan orang brilian dari seminari-seminari seantero jagad
kawasan timur Indonesia. Dari Ledalero pemikiran bernas mahasiswa diterbitkan
VOX. Ritapiret menerbitkan BIDUK dan Karmel tak ketinggalan, di aras yang sama
menerbitkan ZIARAH. Tiga media dengan kekhasan dan daya jangkau masing-masing.
Nama itu tidaklah asing. Saban hari tulisannya sudah menyebar
di berbagai media lokal NTT, mulai dari Flores Pos hingga Pos Kupang. Dua media
cetak yang kala itu menyambangi pembaca dengan berita dan konsep-konsep segar
melalui opini yang kritis-konstruktif. Max Regus, mahasiswa dari Seminari
Tinggi Ritapiret. Ketika namanya disebutkan, hakul yakin, tak ada yang
menyangsikan kedigdayaan pemikirannya. Ada decak kagum seraya mencari-cari artikel
asli besutannya di perpustakaan kampus.
Bila membaca tulisannya, bahasanya berenergi dalam balutan
kalimat pendek. Ide-idenya renyah. Mudah untuk dipahami dan diikuti. Ada
dimensi genuine dalam percaturan wacana terkini yang disepadankan dengan
konsep-konsep teoretik para ahli. Ia membangun dialektika berpikir sembari
menyodorkan kebebasan bagi pembaca untuk mendirikan konsep baru. Ada posisi
tawar tetapi tidak menggurui. Ada informasi tetapi dibaca dalam perspektif yang
baru.
Kekuatan Max Regus mereproduksi konsep kemudian muncul dalam
persambungan yang lindan antara realitas sosial dan refleksi atasnya. Ia tidak
menerima realitas sebagaimana adanya. Ia memandang realitas sebagai ciptaan, konstruksi
sosial. Konstruksi itu terlahir dari kepentingan-kepentingan penguasa. Demi
kuasa in se (dalam dirinya) dan kelanggengan keuntungan yang terus
diterima dari kekuasaan itu.
Tulisan ini merupakan secuil catatan tapak-tapak ziarah karya
tulisnya yang sempat terekam. Sebuah catatan yang tentu fragmentaris dan tidak
lengkap sejak kami bersemuka dalam pelayanan di Ruteng mulai tahun 2005 silam.
Republik Sialan
Ketika Fr. Max memasuki pintu mahasiswa theologan,
kegelisahannya akan realitas ketidakadilan membuncah. Ia lalu melawan dengan menghadirkan
buku pertamanya ke pentas penciptaan wacana publik: Republik Sialan. Dengan
judul kecil: Memburu Kejernihan di Tengah Belantara Kerancuan. Republik Sialan
diterbitkan oleh Penerbit Ledalero tahun 2003. Republik Sialan adalah
“kegelisahan saya seputar kehidupan politik, sosial, budaya dan keterlemparan
humanitas dalam perangkap-perangkap kultural, seperti politik, ekonomi dan
agama”, tulisnya dalam Kata Pengantar buku itu.[1]
Buku itu sontak mendapat perhatian semua civitas akademika
STFK Ledalero. Pertanyaan yang mencuat ke permukaan adalah: Apakah Republik
Sialan itu? Jikalau merunut sejarah dunia berfilsafat, Plato, filsuf agung
pernah juga memberi judul tulisannya: De Repblica, dalam bahasa Latin, Politeia
dalam bahasa Yunani.[2]
Dalam 10 bagian bukunya Plato membincangkan tentang komunitas ideal yang
dimulai dari konsep keadilan, pemimpin ideal dan kemudian bentuk pemerintahan
yang praktis. Sebuah pergulatan akademis Plato yang menyaksikan bentuk-bentuk
pemerintahan kala itu dalam alur dialektis: aristokrasi, timokrasi, oligarki,
tirani dan demokrasi.
Max Regus, mahasiswa theologan itu menulis, “Republik Sialan
adalah representasi dari konstruksi kehidupan kita yang selalu mendatangkan
kekecewaan. Ia adalah kontur-kontur peradaban kita yang mematikan kreativitas
intelektual dan kultural. Serentak membahasakan kehidupan kita yang dibelit
impotensi moral, demokrasi, keadilan, kedamaian, kebersamaan, kejujuran,
kebenaran dan keberanian. Republik Sialan juga merujuk pada penampilan
agama-agama manusia yang kehilangan sentuhan kultural liberatif terhadap
kemanusiaan. Republik Sialan bisa juga mendedah kondisi sosial kita yang sudah
terbajak kemelaratan kesadaran dan krisis spiritual yang melumpuhkan nurani dan
harga diri sosial”.[3]
Sudah dapat dipastikan mata para pembaca tak akan berpaling
dari 271 halaman buku perdana Max Regus ini. Buku ini serentak melahirkan titik
kesadaran baru pada mahasiswa filosfen-theologan kala itu. Max adalah mahasiswa
pertama yang berani memproklamirkan karya tulisnya dalam buku yang diterbitkan
dengan bangga oleh almamater. Ada secercah harapan untuk juga membuat sebuah
titian sejarah bagi rekan-rekan mahasiswa. Jika sebelumnya artikel-artikel
mengalir deras dan bertebaran di mana-mana, kini buku menjadi sebuah opus
magnum (maha karya) seorang pemikir.
Ziarah Intelektual
Hal selanjutnya, adalah sebuah kontinuitas. Orang bertanya,
apakah ada karya berikutnya? Setelah ditahbiskan menjadi Imam, Romo Max terus
bergulat dengan realitas sosial dan memandu arah bagi pembaca melalui publikasinya.
Judul-judul bukunya menyentak kesadaran kita untuk peduli terhadap situasi sosial
politik, budaya dan agama dalam komunitas manusia lintas batas (passing-over).
Karyanya selaku imam bergerak dalam ruang-ruang pelayanan
kategorial sebagai Ketua Komisi Kepemudaan dan Komisi Hubungan Antar Agama
Keuskupan Ruteng. Buku berikutnya, Sketsa Nurani Anak Bangsa (Obor, 2004), Menembus
Era Kemurungan-Kisah Sebuah Negeri Dengan Amnesia Kronis (Ledalero, 2007), Demokrasi Profetik-Catatan Atas Dusta Politik
dan Ranjau Kekuasaan (Parresia, 2009), Tobat Politik-Mengetuk Pintu Hati
Kekuasaan Membongkar Krisis Demokrasi Tripolar (Parresia, 2011), Dekade yang
Hilang-Kutukan Demokrasi-Dislokasi Kekuasaan (Parresia, 2012), Diskursus
Politik Lokal-Kajian Teoretis Kritis (Parresia, 2015).
Sebagian karya di atas adalah permenungan Romo Max dalam
ziarah intelektualnya di Jakarta sebagai mahasiswa jurusan Sosiologi Universitas
Indonesia. Kecemerlangan Romo Max juga terungkap pada capaian pendidikan
akademisnya di Ledalero dan UI sebagai mahasiswa peraih predikat cum laude
(terpuji). Itulah sebabnya, ketika ia melanjutkan studi program doktorat ke
Tilburg-Belanda, semua hakul yakin bahwa ia dapat menyelesaikannya dengan baik.
Perjumpaannya dengan komunitas internasional selama
bertahun-tahun di Belanda tak mengeliminasi kerinduannya untuk pulang ke kampung
halaman (kole beo). Ia menyadari capaian-capaiannya dalam bingkai karya
gereja yang misioner. Ia bersimpuh di pusara P. Leo Perik SVD di Belanda. Dalam
doa ia menggempalkan niat untuk menyusuri lorong-lorong kehidupannya. Sebagai
anak yang tahu berterima kasih, Romo Max kembali ke Seminari Pius XII Kisol,
menggenggam niat untuk menulis tentang P. Leo Perik SVD, pendiri panti
pendidikan bernas itu.
Buku berjudul: Leo Perik SVD-Jembatan Peradaban (Obor, 2018)
merupakan sebuah kado terindah untuk almamater dan sang pendiri. Ia juga
menerima tawaran penerbit untuk membukukan kajiannya tentang pertambangan di
Manggarai di bawah judul: Tambang dan Resistensi Lokal di Manggarai-Flores:
Narasi Pembangunan Tripolar Asimetris (Kanisius, 2019).
Ada banyak artikel dalam bahasa Indonesia dan Inggris yang
dipublikasi kemudian ketika ia mulai mengabdi di Universitas Katolik Santu
Paulus sebagai dosen sejak tahun 2019. Artikel-artikel yang mempresentasikan
kelas seorang doktor lulusan Eropa yang mengabdi dengan rela di Flores. Dalam
sebuah percakapan ia pernah mengatakan bahwa saat ini dunia telah memencarkan
apa yang disebut “pusat”. Di mana saja sekarang bisa disebut pusat ketika kita
mampu membangun peradaban. Sebab, peradaban adalah titik pusat dari kehidupan.
Ketika dirinya dipercayakan menjadi Dekan FKIP, ia membangun
relasi lintas batas dengan mengirimkan anak-anak asuhannya magang ke pelbagai
media besar di Jakarta. Sebuah titik mulai baru dalam lintasan kampus Unika St.
Paulus. Ada pertautan yang erat antara konsep pemikirannya menciptakan pusat
peradaban baru. Mahkota dari ziarah intelektualnya terakui secara akbar tatkala
bukunya: Human Rights Culture in Indonesia-Attacks on the Ahmadiyya Minority
Group, diterbitkan oleh De Gruyter, lembaga bergengsi dari Jerman, tahun
2021.
Pemimpin: Memberi Makan
Hari ini, 21 Juni 2023 saya mendapat kabar: Romo Max didapuk
oleh Senat Dosen dan Yayasan Pendidikan St. Paulus untuk menjadi rektor
menggantikan pendahulunya. Itu hal yang sudah bisa diprediksi. Sekelumit ulasan
tentang perjalanan intelektual Romo Max bermuara pada satu simpulan bahwa
posisi baru ini merupakan sebuah kepercayaan yang besar dan strategis. Ia
mendapat kepercayaan publik untuk membangun peradaban yang telah tersandera
oleh pelbagai aspeknya.
Habemus Rectorem! Kalian
telah memiliki pemimpin baru! Untuk mengakhiri artikel ini, saya teringat akan
peristiwa yang ditulis Injil Mateus 14:13-21: Yesus memberi makan 5.000 orang.
Teks itu berkisah tentang orang-orang yang mengikuti Yesus dan mendengar ajaranNya
hingga menjelang malam. Mereka kelaparan. Yesus mengatakan kepada para murid, “kamu
harus memberi mereka makan.” Ke pasar terlalu jauh. Dalam situasi sulit itu,
ada anak yang merelakan lima roti dan dua ekor ikannya. Namun tidak cukup untuk
orang banyak.
Ditulis dalam Injil, Yesus mengambil roti itu dan menengadah
ke langit, mengucapkan berkat lalu memecahkan roti itu dan memberikannya kepada
murid-murid untuk dibagikan kepada orang banyak. Orang banyak makan sampai
kenyang bahkan masih sisa sampai 12 keranjang penuh.
Kisah ini menarik. Tidak ditulis Injil apakah saat Yesus
menengadah ke langit dari atas turun begitu banyak roti dan ikan sehingga
tiba-tiba menjadi sangat banyak. Tetapi saya melihat justru di situlah
kedigdayaan Yesus sebagai pemimpin. Ia memberi mereka makanan komplit:
pengetahuan mereka diisi, nurani mereka diasah, tindakan mereka harus
menghidupkan.
Saya menduga, waktu itu Yesus mengambil makanan anak itu dan
berkata, “Lihatlah anak ini mau memberi makanan untuk kita. Kalian yang membawa
bekal di tas masing-masing, keluarkan. Taruh di sini. Kumpulkan semuanya.
Ambillah sesuai kebutuhanmu, dan makanlah, ingat masih ada orang lain”.
Mukjizat terjadi. Orang tidak lagi egois. Mereka rela berbagi dan bersolider
sehingga semua mendapat makanan dan menjadi kenyang karena kegembiraan bahwa
mereka bisa saling berbagi. Bahkan remah-remahnya masih tersisa 12 keranjang
padahal yang makan kira-kira 5.000 laki-laki dan tak terhitung perempuan dan
anak-anak.
Rektor adalah pemimpin yang memberi makan dalam segala
pengertiannya: ilmu, nurani, akhlak, kesejahteraan karyawan dan masa depan
anak-anak asuhan. Itu tidak mudah dalam tantangan global yang sudah pepak
dengan pusaran persaingan. Ia tetap terdepan memimpin kawanan dan bertanggung
jawab atas kehidupan mereka. Ia bekerja sama dalam tim dan memberdayakan mereka
sehingga semua tujuan tercapai. Selamat bekerja Romo Max, Tuhan bersamamu!
Comments
Post a Comment