Kanisius Teobaldus Deki
Sokrates
menyadari bahwa manusia terdiri dari badan dan jiwa. Ia mengakui hal itu secara
eksplisit dalam dialog-dialognya. Namun harus kita akui bahwa dalam pandangan
Sokrates tentang manusia hal yang paling banyak disorotinya adalah soal jiwa. Manusia lebih cenderung diidentikkan dengan jiwa.
Jiwalah yang membedakan manusia dari hal-hal lain. Jiwa atau roh yang dimaksud
adalah akal budi, sumber aktivitas berpikir dan tindakkan etis. Dengan demikian
jiwa adalah “aku” yang sadar, dan pusat penalaran intelektual dan putusan
moral.[1]
Akal
budi manusia adalah gudang yang penuh dengan kebenaran atau konsep yang sudah
siap untuk dilahirkan. Untuk dapat mewujudkannya, orang perlu diberi keluasan
agar mengenal apa yang ada dalam dirinya; mengenal diri sendiri. Bertolak dari
pemahaman ini, Sokrates mengungkapkan dua semboyan klasik dari tradisi Delphoi,
“kenalilah dirimu” dan “hidup yang tidak dikaji adalah kehidupan yang buruk dan
tidak patut dihidupi”.[2]
Bila
Sokrates dan Plato menunjukkan pertautan antara tubuh dan jiwa, maka hal itu
justru terjadi pada pengalaman hidup yang merupakan filsafatnya pula. Jiwa dan
tubuh tidak berdampingan bagaikan dua benda, melainkan jiwa selalu bergerak,
selalu tersimpul dalam suatu orientasi dan karena itu lain sifatnya dari tubuh,
maka bagi Sokrates justru tidak sulitlah untuk menarik garis pemisah ketat
antara kedua-duanya; sedangkan berdasarkan gerak pemisah dorongan jiwa yang
mencari suatu orientasi, perkaitannya dengan tubuh dapat menjadi semakin jelas.[3]
Persoalan
tentang jiwa sebenarnya sudah menjadi pembicaraan umum dalam sejarah filsafat.
Karena itu lahir banyak pertanyaan yang berupaya untuk menjelaskan esensi
jiwa. Misalnya, “Apakah jiwa tidak
merupakan sesuatu sampingan saja, yang timbul dan lenyap bersama tubuh?”
Kalangan mazhab Sisilia (500 s.M) menilai jiwa
sebagai harmoni tubuh. Manusia terganggu dan jatuh sakit, kalau
pembauran tepat dengan unsur-unsur tertentu (yang panas dan dingin, yang kering
dan yang lembab) sudah tidak beres lagi. Manusia seolah-olah sama halnya dengan
alat musik: harmoni (jiwa) memang lebih bernilai dari kayu dan senar (tubuh)
tetapi tidak mungkin ada harmoni tanpa kayu dan senar; dan harmoni berubah-ubah
sekadar sesuai dengan keadaan alat musik (tubuh). Di dalam dialog Phaidon Sokrates mengecam pendirian yang
amat berbau matematis ini. Harmoni selalu mengikuti alat musik, tetapi jiwa
tidak selamanya mengikuti tubuh. Jiwa justru dapat menentang tubuh, misalnya
kalau haus toh tidak minum, dan dengan demikian berperanan sebagai pemimpin.[4]
Menurut
Van Peursen, dalam kutipan tersebut di atas, fungsi pemimpin jiwa ditempatkan
dalam suatu kerangka yang lebih luas dengan memutarbalikkan perspektifnya sama
sekali. Menurut Sokrates, gejala-gejala jasmani dalam alam yang kelihatan tidak
pernah dapat memberikan keterangan terakhir. Untuk itu kita perlu bertolak dari
bidang rohani. Kelakuan manusia pada saat-saat penting dalam hidupnya tidak
dapat diterangkan dari gerak-gerik ototnya saja; seperti juga keindahan suatu
benda tidak dapat dijelaskan hanya berdasarkan bentuk dan warna.[5]
Perumpamaan
Sokrates tentang “Kembar Tiga”[6] atau pada tulisan Plato kemudian tentang nakoda dan
para pelaut memang menggambarkan hubungan antara jiwa dan tubuh, seperti
dilukiskan oleh Sokrates[7], terutama dalam dialog-dialog pertama. Dalam dialog itu
tubuh tidak digariskan sebagai alat atau wahana, tetapi sebagai hambatan dan
pencemaran. Manusia harus mentahirkan diri dengan melepaskan diri dari tubuh.
Hal ini dilakukan bukan saja karena tubuh adalah tempat tinggal
keinginan-keinginan yang lebih rendah, tetapi pentahiran itu juga memiliki efek
epistemologis (artinya: mempengaruhi pengetahuan kita), seperti pernah
dikatakan orang, yaitu pengamatan indrawi juga merupakan suatu pembatasan bagi
jiwa dan menjauhkannya dari kebenaran. Penglihatan dapat menjadi hambatan bagi
hidup jiwa, sama seperti rasa nyeri badani. Hakekat suatu hal baru bisa
ditangkap, jika pemikiran dapat bekerja sendiri.[8] Dengan demikian hal tersebut harus dilepaskan dari segala
sesuatu yang berasal dari mata, telinga dan seterusnya. Jiwa adalah tahanan. Ia
meringkuk dalam penjara yang terdiri dari keinginan-keinginan dan melalui
jeruji-jeruji ia menengok ke luar. Pembebasan hanya dapat dicapai dengan
melepaskan diri dari aktivitas indrawi tubuh dan tidak mencari kebenaran
melalui pengamatan-pengamatan.[9]
Jadi, hendaknya kita memandang
jiwa bukannya seperti ia menampakkan diri dalam kenyataan (bertalian dengan
tubuh), melainkan dalam kemurniannya, tanpa dicemari oleh tubuh. Sebagai
konsekuensinya, maka manusia musti memiliki hidup yang baik, bukan sekedar hidup
asal-asalan. Sokrates
berujar menjawabi persoalan Crito:
“...I should like you consider whether we are still satisfied
on this point, that the really important thing is not to live, but to live
well...I am afraid Crito, that they represent the reflections of the ordinary
public, who put people to death, and would bring them back to life if they
could, with equal to indifference to reason...”[10]
(…Saya ingin engkau mempertimbangkan apakah kita masih puas
dengan pokok ini, bahwa hal yang sungguh-sungguh penting bukanlah (sekedar)
hidup, melainkan hidup yang baik…Saya kuatir Crito, bahwa mereka mewakili
pertimbangan-pertimbangan rakyat biasa, yang menghukum mati orang lain, dan
akan menghidupkan kembali jika mereka mampu, yang jauh dari penalaran…)
Melihat pernyataan ini kita dapat
mengatakan bahwa kematian dapat dianggap sebagai pengungsian penuh gembira dari
tubuh, sekaligus mempertegas bahwa memiliki hidup yang baik adalah tuntutan
kodrati yang mutlak.
Tidak mungkin
menempatkan jiwa di samping tubuh begitu saja. Jiwa termasuk taraf lain dari
tubuh. Dalam jiwa terdapat dorongan ke arah dunia lain. Dengan demikian dapat dimengerti pula bahwa indra tidak
digambarkan sebagai jendela (pemandangan), tetapi sebagai jeruji (hambatan).
Alasannya karena Sokrates, sebagaimana yang ditulis Plato, tidak bermaksud
mengkonstasi begitu saja keberhinggaan eksistensi manusia berdasarkan adanya
tubuh (jadi dari sudut ontologis), tetapi ia mau memberikan suatu penilaian
etis-religius tentang kehidupan di bumi ini, yang berkiblat kepada suatu tujuan
yang lebih tinggi. Baru jika jiwa dibina dan dididik ke arah itu, tubuh dapat
dipandang dengan cara baru.[11]
[1] Frans Ceunfin, Op. Cit., p. 28.
[2] Teobaldus Deki, et. al. “Tujuan
Hidup Manusia Menurut Sokrates” dalam Kuliah
Seminar Tokoh Etika Klasik pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero,
31 September 2000, p. 3.
[3]Ajaran Sokrates pada umumnya tidak
gampang dipisahkan dari pendirian-pendirian Plato jika kita memilih
dialog-dialog sebagai sumber utama. Demikian juga kita tidak bisa
memastikan pendapat Sokrates sendiri mengenai kebakaan jiwa. Menurut hemat
penulis antara Sokrates dan Plato ada hubungan yang sangat erat yang saling
mempengaruhi dalam membicarakan pemikiran filosofis mereka. Bdk. Kees Bertens, Sejarah
Filsafat Yunani (Yogyakarta:
Kanisius, 1997), p. 112.
[4] Edith Hamilton & Huntington
Cairns, “Phaedo” dalam The Collected
Dialogues of Plato (New Jersey: Princeton University, 1989), pp. 68 dst.
[5] Van Peursen, Tubuh Jiwa Roh, diterjemahkan oleh Kees Bertens (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1991), p. 39.
[6] Misalnya,
kata Sokrates, tidakkah hendaknya disebutkan dengan namanya sendiri maupun
dengan nama ganjil, meskipun keganjilan itu tidak sama dengan anak Kembar Tiga?
Berarti, bahwa, tidak hanya intisari-intisari yang berkebalikan saja yang tidak
tinggal diam pada saat satu sama lain mendekati, tetapi juga hal-hal lain tidak
menunggu didatangi oleh kebalikannya. Seperti intisari dari yang tiga tadi;
bahwa bukan hanya tiga yang terdapat di sana, tetapi juga adalah keganjilan. Yayasan Pengembangan Ilmu, Phaidon, Op. Cit, p. 25.
[7] Edith Hamilton & Huntington Cairns,
“Laws”, Op. Cit., p. 1506.
[8] Van Peursen, Op. Cit., p. 41.
[9] Ibid.,
p. 42.
[10] Edith Hamilton & Huntington
Cairns, “Phaedo” Op. Cit., p.58, 66.
[11] Van Peursen, Op. Cit., p. 53.