Kanisius Teobaldus Deki
Dosen STKIP St. Paulus
Apa yang
melatari kedatangan Belanda ke bumi Nusa Lale di awal abad ke-20? Itulah
pertanyaan penting setiap kali bersua muka dengan usaha pencarian alasan
logis-rasional tentang kehadiran kolonialisme Belanda di Manggarai. Terdapat
sebuah kesangsian metodis (dubium
methodicum) tentang keberadaan Belanda di bumi Flores, yang pada zaman itu,
harus diakui secara ekonomis tentu kurang menguntungkan Belanda.
Kajian
historis ini dimaksudkan untuk melihat hubungan antara kedatangan Belanda dan
kristianitas yang berkembang pesat di Flores, khususnya di Manggarai.
Ekspedisi Belanda ke Manggarai
Secara
historis pada bulan Oktober 1906, Covreur memulai perjalanan ekpedisi pertama
ke arah Flores Barat lewat laut menuju Keo (Tonggo). Menurut catatan Toda
(1999:307), perjalanan menuju Keo gagal karena ada ancaman dari penduduk
setempat. Perjalanan lalu diarahkan ke Aimere dan Borong. Pada bulan November
di tahun yang sama, perjalanan dijalankan bersama seorang Manggarai, yang dalam
kisahan lisan di Todo-Pongkor dikenal dengan nama “Dalu Beo”. Sebagai laporan
awal, utusan Belanda itu kembali ke Kupang Januari 1907. Sekembalinya mereka dari
Kupang, dijalankan “Operasi Flores Pedalaman” pada Oktober 1907.
Pada 13
Oktober 2007, pasukan elit marsose Christofel melakukan ekspedisi ke arah
Manggarai dengan kekuatan 5 brigade (sekitar 120 personil). Di Borong Belanda
diterima dengan suatu sikap waspada. Pertempuran penolakan tidak terjadi.
Malah, Adak Todo-Pongkor yang datang mula-mula bermaksud menghadang pergerakkan
Belanda akhirnya menyetujui perundingan dan tragisnya, Belanda berhasil menahan
anak-anak Kraeng Todo-Pongkor dan menjaminkan mereka sebagai tawanan yang
diganti dengan penyitaan 300 pucuk bedil, mesiu, 100 kudang tunggangan terbaik.
Situasi
ekspansi kekuasaan Belanda ke daerah Flores, sebenarnya tidak terlepas dari
situasi global Belanda di negeri Hindia Belanda yang mulai terjepit di Sumatera
dan Jawa sejak VOC mulai kehilangan dayanya tahun 1799. Hal itu diperkuat oleh
usaha Belanda memperkokoh kekuasaannya di wilayah-wilayah yang belum
disentuhnya, sekaligus untuk tetap memperlihatkan kedigdayaan kekuasaannya,
yang kenyataannya, mulai rapuh.
Belanda dan Penyebaran Agama
Sejak 1808,
Gubernur Jenderal H.W. Daendles mendapat instruksi raja Louis Napoleon di
Belanda untuk memberikan perlindungan kepada semua agama yang ada di Hindia
Belanda (van Klinken, 2010:11,19). Sejak saat itu, ada keleluasaan untuk memberikan kesempatan
kepada agama Katolik untuk juga menyebarkan agama itu di daerah jajahannya,
membatalkan perjanjian dengan Portugis tahun 1605.
Tahun 1595
Belanda melakukan pelayaran untuk
pertama kalinya. Pada 20 Maret 1602, pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
dan sejak saat itu juga secara tidak langsung Indonesia menjadi daerah
jajahannya. Terdapat 305 tahun dari sejak VOC didirikan hingga kedatangan
Belanda di Manggarai. Jika menghitung rentang waktu antara tahun 1799 hingga
tahun 1907, terdapat 108 tahun Belanda baru mendatangi Manggarai. Menurut data
Gereja Katolik Indonesia, pembaptisan perdana di Reok oleh P. Hendrikus
Looijmans SJ pada 17 Mei 2012 dilihat sebagai titik awal dimulainya Gereja
Katolik di Manggarai. Walaupun secara resmi baru Gereja Katolik dinyatakan
berdiri pada 23 September 1920 (Bettray, 1974:1255).
Ada tiga hal
yang dilakukan Belanda untuk memperkokoh kekristenan di Manggarai. Pertama, mendirikan sekolah-sekolah di
berbagai penjuru Manggarai. Sekolah-sekolah ini mulanya didirikan sebagai
bagian dari politik etis Belanda terhadap Negara jajahan, Hindia Belanda
(Dakidae, 2003:67 ). Belanda sungguh melihat bahwa penguasa Manggarai jauh
tertinggal dari banyak segi. Ketidakmampuan menjalankan roda pemerintahan
seturut manajemen modern menyebabkan Belanda menyekolahkan calon raja ke
sekolah formal.
Kedua,
mendapuk raja Manggarai tahun 1926 juga dengan tujuan melenggangkan kekristenan
di Manggarai. Menurut catatan Toda (1999:326), pengangkatan Aleksander Baruk 13 November 1930 membuat
Manggarai menjadi Zelfbestuur,
pemerintah sah dan otonom. Hal ini melangkaui dua Onderafdeeling Manggarai yang dulunya Onderafdeeling Manggarai Tengah-Selatan dan Timur yang dikuasai
Todo-Pongkor dan Onderafdeeling Manggarai
Utara dan Barat yang dikuasai oleh Perwakilan Bima Naib Reok Abdullah Daeng
Mananja. Dengan jalan ini, Belanda secara langsung menghilangkan peran Naib Reo
terhadap Manggarai Utara dan Barat. Kekuasaan politis yang telah menghilang itu
melemahkan juga pergerakkan penyebaran Islam ke daerah-daerah pedalaman
Manggarai.
Ketiga,
prinsip Quius regio, Quius religio,
Negara Belanda juga mendorong Gereja lokal di negerinya untuk mengirimkan
misionaris di Nusa Tenggara (Sunda Kecil). Bahkan oleh karena terjadi perubahan
peta politik di negeri Belanda, tahun 1929, para Imam yang bekerja di negeri
Hindia Belanda mendapat gaji sebesar 400-450 gulden. Jumlah yang terbilang sangat
besar untuk saat itu (Steenbrink, 2006:6-8).
Tantangan Gereja Katolik Awali
Apakah usaha
Gereja untuk menyebarkan pengaruh kekristenan di Manggarai berjalan dengan
mudah? Ternyata tidak. Walaupun sekolah-sekolah sudah dibangun dan banyak anak
dibaptis melalui sekolah, ternyata penolakan terhadap kekristenan tetap muncul.
Salah satu alasan mendasar penolakan itu ialah bahwa kekristenan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari Belanda, yang merupakan penjajah. Apalagi
setelah peristiwa Perang Kuwu dan Pengadilan terhadap petinggi Adak Todo
Pongkor di Reok tahun 1910 yang menyebabkan mereka dipenjara dan dibawa ke
tempat pembuangan.
Menurut
Catatan Toda (1999:329), tersebutlah kisah pada waktu salah satu anak lelaki
keluarga Kraeng Pongkor dikatolikkan melalui sekolah misi, bapaknya
memarahinya, “Apa? Mengikuti agama musuh saya! Jadi, engkau mau menjadi musuh
saya?” Tantangan itu datang dari kalangan pemuka masyarakat. Namun Belanda tak
surut. Anak-anak para bangsawan inilah yang pertama-tama disekolahkan untuk
kemudian menjadi pemimpin pemerintahan modern di Manggarai selama beberapa
decade.
Belanda
tetaplah colonial dari arti sebenarnya. Mereka datang mencari keuntungan
material melalui perdagangan dan pertambangan. Namun sayangnya, khusus untuk
Flores, ketika mereka ingin mendapatkan harta karun timah dan jenis logam
lainnya, mereka tidak menjumpainya. Mereka malah dihimpit oleh politik etis
untuk membangun pendidikan dan agama Kristen di pulau yang sudah lebih dahulu
dikuasai oleh kaum muslim dari Bima dan Makasar. Bahkan mereka, melalui politik
kekuasaan, meredam laju pertumbuhan muslim dengan menghilangkan peran penguasa
perwakilan Bima di Reok. Sebuah sejarah yang bisa saja suatu saat berubah.***
No comments:
Post a Comment