Kanisius Teobaldus Deki
Dosen STKIP St. Paulus Ruteng
Menyedihkan! Itulah kesan yang
terungkap secara spontan tatkala membaca berita media akhir-akhir ini. Setelah
bangsa kita dikejutkan oleh bom bunuh diri di seputar Sarinah, Harian Umum Pos
Kupang, beberapa edisinya memberitakan kematian tragis bayi-bayi malang di NTT.
Di tahun 2016 ini saja ada beberapa kasus yang layak disebutkan. Kasus Dua Kensi
di desa Wairbleler-Sikka yang membunuh janin yang dilahirkannya dari hubungan gelap
dengan seorang tukang ojek (Pos Kupang
11 Januari 2016). Belum kasus bidan Dewi, warga kelurahan Pasir Panjang di
Kupang, yang menghebohkan karena praktik pelayanan kesehatan bersalin yang
ternyata menjadi ruang pencabut nyawa (Pos
Kupang 25-28 Januari 2016). Bahkan Harian terbesar di NTT ini masih
memberitakan hal yang sama tentang kasus buang bayi melalui ventilasi di
Atambua (Pos Kupang 9 Februari 2016).
Peristiwa beruntun ini menghasilkan tanya: mengapa kian hari di NTT pematian bayi
menjadi sebuah kenyataan yang seolah-olah lumrah? Apa sebenarnya yang sedang
terjadi? Ke mana agama dan peran penyelamatan yang dijadikan misinya?
Tulisan ini lebih sebagai
penggugah kesadaran untuk menciptakan gerakan ‘sayang kehidupan’ secara bersama
unuk menjadi antitesis budaya pematian yang kian merebak dan menyandera
kehidupan bersama.
Mencari Akar
Berusaha menemukan akar masalah
pembunuhan bayi merupakan pilihan sikap prioritas. Setidaknya ada tiga akar
masalah yang dapat dinyatakan. Pertama,
problem kemiskinan menjadi salah satu masalah akut yang melanda masyarakat NTT.
Dalam kasus yang dihadapi oleh sebagian besar pelaku hubungan gelap, umumnya
pasangan mereka sedang berada di tempat perantauan untuk mencari nafkah.
Ketercukupan kebutuhan ekonomi yang minim dibarengi kurangnya pemenuhan
kebutuhan biologis kerap membawa konsekuensi makin mudahnya pelaku terlibat
dalam hubungan gelap.
Kedua, masalah dilemma moral. Pada keluarga yang secara ekonomis
terpenuhi, masalah perceraian, hubungan yang tidak harmonis, tempat tinggal
yang jauh dengan pasangan, ikut memberikan kontribusi bagi pelaku membangun
relasi yang dilarang ini. Oleh karena minimnya pengawasan sosial, relasi yang
berciri patologis ini kerap diterima begitu saja. Nilai-nilai dijungkirbalikkan
demi pembenaran pilihan sikap yang sudah jelas salah dari awal. Patokan nilai
kerap berubah-ubah oleh ketiadaan tokoh model yang menjadi panutan dalam
penghayatan nilai. Di mana-mana terjadi erosi nilai yang menghantam semua
segmen kehidupan. Bahkan tokoh agama yang diharapkan menggawangi nilai-nilai
itu terperosok dalam arus yang sama.
Ketiga, kemiskinan dan dilemma moral semacam ini menjadi sedemikian
kuat saat bersemuka dengan ketidakmampuan untuk menghadapi resiko. Rasa malu
menjadi bingkai bagi lemahnya penerimaan nilai hakiki kehidupan. Rasa malu itu
akhirnya lebih dominan untuk melakukan tindakan pembunuhan secara sadar.
Menciptakan
Kesadaran Bersama
Bagaimana sikap kita terhadap
kenyataan ini? Sejarah telah memberi banyak pelajaran. Adalah Josef Mengele (16
Maret 1911-7 Februari 1979) yang bergelar Angel
of Death (malaikat pencabut nyawa, dalam bahasa Jerman disebut Todesengel). Dialah dokter yang
melakukan percobaan medis di kamp konsentrasi Auschwitz terhadap begitu banyak
orang Yahudi pada masa Nazi menguasai Jerman. Dia pernah berujar dalam
pertanyaan retoris: “Mengapa kami terus melakukan percobaan atas diri manusia
dan berakibat pada kematian ratusan, ribuan bahkan jutaan manusia? Jawabannya
hanya satu: karena tidak ada perlawanan!” Pertanyaan dan jawaban Mengele tentu
sangat menohok jantung rasionalitas dan kesadaran etis kita. Sebuah pertanyaan
dan jawaban yang menunjukkan betapa pasifnya masyarakat atas kejadian tragis
berupa kematian di tengah-tengah kita.
Menarik benang merah antara
kerapnya pematian kehidupan (bayi) di NTT, perlu dibangun sebuah kesadaran
bersama untuk mengatasinya. Sebuah kesadaran kolektif sebagai bentuk perlawanan
berupa hirauan yang serius bagi konsep individualitas yang tak lagi bersentuhan
dengan rasa komunalisme.
Terdapat tiga alur sikap yang
dapat diambil. Pertama, tindakan
antisipatif. Pemerintah melalui program pemberdayaannya sudah seharusnya
mensejahterakan masyarakatnya. Negara tidak bisa tinggal diam menghadapi fakta
kemiskinan dalam wajah ketiadaan lapangan kerja di daerah-daerah. Kebijakan dan
program pemerintah yang pro rakyat miskin harus terus digencarkan. Pada level
masyarakat, diseminasi dan penyerapan tata nilai terus digiatkan. Masyarakat
tanpa nilai akan dibawa ke pusaran kehancuran. Pada ranah agama dan pendidikan,
kampanye tentang kerja dan tanggung jawab menjadi sikap dasar (optio fundamentalis) sekaligus basis
untuk mempertahankan kehidupan secara bermartabat.
Kedua, tindakan kuratif. Setiap luka harus disembuhkan. Para pelaku
pada sisi lain adalah korban dari aneka hal: kemiskinan, ketiadaan pengetahuan
yang benar, penyalahgunaan kebebasan dan penerima bencana yang ditimbulkan oleh
berbagai hal yang diluar sangkaan. Melalui pendampingan berkelanjutan, pelaku
diarahkan untuk mengubah perilakunya. Di sini peran lembaga agama, pendidikan
dan keluarga sangat penting. Agama, pendidikan dan keluarga tidak hanya berdiri
sebagai penikmat tindakan yang baik dan benar, tetapi juga menjadi rumah yang
hangat dan ramah bagi pencari dan pewaris nilai.
Ketiga, tindakan profetik. Harus diakui, manusia tak selalu bisa
menjadi pelaku nilai yang permanen. Karena itu, tindakan profetisme berciri
penyadaran yang berkesinambungan. Setiap orang terus diingatkan dan diarahkan
untuk melakukan hal positif dan berdayaguna. Menghakimi orang tanpa lebih dulu
memberitahu atau mendidik adalah tindakan yang tidak pantas.
Menarik bahwa tatkala bom bunuh
diri menghantam Sarinah beberapa waktu lalu, muncullah slogan “Kami Tidak
Takut”. Pernyatan ini dimaksudkan untuk melawan cengkeraman ketakutan
psikologis masyarakat dan pemerintah akibat terorisme. Dalam seringnya manusia
menjalankan budaya pematian, kita diharapkan bukan tidak takut terhadap pelaku,
melainkan tidak takut terhadap komitmen untuk menyayangi kehidupan dan berani
melawan kecenderung buruk di dalam diri sendiri dan komunitas. Apapun bentuk
dan resikonya.***
Dipublikasina pertama oleh: www.nusalale.com pada 28 Februari 2016.
No comments:
Post a Comment