Friday 11 March 2016

PNS dan Perilaku Berwajah Ganda dalam Politik



Kanisius Teobaldus Deki*



Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah abdi masyarakat, aparatur Negara. Mereka bekerja untuk melayani masyarakat dan gajinya dibiayai oleh Negara. Kehidupan mereka baik sebagai individu maupun kelompok social sudah diatur berbagai tata aturan normatif.
Dalam bidang politik, sebagai warga Negara PNS memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lainnya di Indonesia. Namun, terkait identitas mereka sebagai abdi Negara, hal berpolitik dibatasi secara ketat oleh UU. Bisa disebutkan di sini beberapa rujukan regulasi antara lain: UU Nomor 5 tahun 2014 tentanng Aparatur Sipil Negara (ASN), UU Nomor 23 2014 tentang Otonomi Daerah, Peraturan Pemerintah RI nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Jelang Pemilukada serentak 09 Desember 2015 lalu, Negara melalui aparatusnya sungguh sadar bahwa PNS tidak sepenuhnya patuh pada regulasi-regulasi yang sudah ada. Karena itu, ada larangan preskriptif yang menjadi rambu-rambu bagi PNS. Surat Edaran Menpan RB nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 melarang seluruh PNS terlibat dalam kegiatan kampanye, baik menjadi anggota ataupun terlibat di dalamnya. Bagi yang dengan sadar melawan aturan ini akan mendapat sanksi terberat, sebagaimana diatur oleh UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, yakni PNS bersangkutan akan dijatuhi hukuman berupa pemberhentian dengan tidak hormat.

Menjajal Motivasi
Apakah para PNS tidak mengetahui sanksi yang berat itu? Tentu tidak. Ada dua model keterlibatan PNS dalam ranah Pemilukada. Pertama, keterlibatan sebagai tim kampanye walaupun indirect. Peran yang dimainkan melalui penyokongan pelbagai kegiatan kampanye, ikut memberikan pengaruh yang luas melalui pelbagai cara, termasuk mengumpulkan staf (jika dia pemimpin) maupun keluarga. Dengan menjamurnya media sosial semisal face book, banyak PNS mengumbar kedengkian terhadap pasangan calon yang tidak disukainya dengan bahasa fulgar penuh makian.
Kedua, keterlibatan direct. Ikut menjadi jurkam melalui pelbagai versi semisal orator ataupun penyumbang lagu di panggung kampanye, pun hadir duduk di ruang kampanye. Di Manggarai beberapa oknum PNS diadukan ke Panwaslu karena menurut Surat Edaran tadi melanggar UU ASN.
Tentu ada hal yang melatari keterlibatan aparatur Negara ini. Dari analisis atas apa yang terbaca di media dan terdengar dalam percakapan sehari-hari, motivasinya tidak terlepas dari pilihan politik. Para PNS ini yakin bahwa pihak yang dipilihnya merupakan jagoan yang mumpuni dari segala aspek. Selain itu, dukung mendukung dalam politik kontestasi memiliki efek pada jabatan. Yang belum mendapat jabatan berkiblat pada jabatan. Yang sudah dapat ingin meraih yang lebih tinggi. Yang sudah tinggi ingin menempatkan diri pada SKPD yang memiliki lahan basah.  Konon selalu ada rumor, kandidat-kandidat yang melawan petahana sudah menyiapkan cabinet bayangannya. Bahkan untuk satu jabatan, semisal Sekda, sudah dibarisi oleh beberapa nama sekaligus!

Krisis Ketidapercayaan Diri dan Minim Profesionalisme
Adalah Max Weber (1864-1920), seorang teoritikus pertama yang secara sistematis menulis tentang berbagai perbedaan antara organisasi yang berpijak pada kekerabatan dan organisasi birokratis. Titik tumpu analisis Weber adalah industrialisasi di Eropa yang memperlihatkan hubungan rasional antara revolusi industry, pertumbuhan organisasi birokratis yang anonym dan melemahnya ikatan-ikatan kekerabatan. Menurut Weber, birokrasi merupakan sebuah bentuk organisasi pada prinsip anonym, berupa perlakuan yang sama serta pemilahan yang tegas antara profesi seseorang dengan kedudukan pribadinya (Eriksen, 1998:203).
Mengikuti Weber, lalu membaca kenyataan tentang tidak netralnya PNS dalam Pemilukada, melahirkan pertanyaan, “Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa PNS menceburkan dirinya sekian jauh dalam kancah politik praktis” Pertanyaan ini setidaknya menyodorkan satu kenyataan ini: ada semacam krisis ketidakpercayaan diri yang luar biasa pada PNS kita. PNS tidak cukup percaya diri dengan jabatan yang dimilikinya. Sebuah insting natural untuk meraih yang lebih.
Hal ini selajur dengan Talcott Parsons (1902-1979) yang memandang masyarakat modern sebagai yang berkiblat pada prestasi dan bercorak universalistic. Menurut Parsons, kedudukan seseorang beserta peluang kariernya dalam sebuah masyarakat modern bergantung pada berbagai prestasi serta status yang diperjuangkannya. Nah, pada level prestasi ini, ketika PNS tidak memilikinya secara meyakinkan, ada pembimbangan yang serius terhadap identitasnya. Karena itu, logis kalau ia mencari tameng lain untuk tetap memperkokoh status (status quo). Salah satunya melalui dukungan yang serius terhadap para paslon. Makin kurang prestasi, makin minim profesionalisme berefek negative makin menguat krisis terhadap kepercayaan diri.

Lawan Etika: Perilaku Berwajah Ganda
Hari-hari ini, ada ruang tak tersangkakan bersua para actor PNS berwajah ganda. Di satu pihak mereka tidak selayaknya terlibat dalam ruang politik praktis di lain pihak mereka terlibat dengan berbagai motivasi sebagaimana di jelaskan di atas. Keterlibatan itu berposisi pada kerinduan untuk mendapat multiple effect (efek ganda). Di satu sisi sebagai ekpresi naluri berpolitik tetapi di sisi lain ingin meraih jabatan yang lebih.
Mengikuti kenyataan bahwa banyak PNS yang terlibat dalam kancah politik Pemilukada, ada keprihatinan yang memilukan. Ruang prediksi bermain peran dikibuli oleh naluri minim logika. Karena itu ada kecenderungan berwajah ganda dalam memberikan dukungan politik yang mengekspresikan inkonsistensinya.
Wajah ganda dalam bermain peran dukung mendukung menyebabkan kericuhan multiaspek. Di ranah etika, mereka akan menjadi tokoh-tokoh hiporkrit. Tatkala paslon sokongan mereka terdengar akan kalah, mereka mulai merapat dengan pelbagai cara kepada paslon yang bakal menang. Meskipun itu sebuah usaha yang melawan nurani. Hal ini sebenarnya sebuah kecelakaan. Karena dengan begitu, akan terbentuk sebuah system yang terstruktur bahwa kedigdayaan mereka terletak bukan pada profesionalistas kerja melainkan pada berbagai usaha penuh tipu daya mengakali paslon yang menang.
Budaya kèpok, kapu manuk lele tuak (meminta kemurahan hati) menjadi sebuah parade situasi jelang pelantikkan. Hal mana sudah menjadi tradisi menahun. Sebuah pengakuan yang salah kaprah dan merendahkan diri sendiri. Pada level profesionalisme, paslon yang menang sebenarnya tak perlu memercayakan kepemimpinan SKPD kepada orang-orang hiprokrit ini. Mengapa?  Alasannya jelas, karena mereka adalah orang-orang yang terbukti tidak konsisten dengan keyakinan dan pilihannya. Sebuah sikap untuk memutus mata rantai struktur yang sudah terlanjur dianggap manjur dan paten di SKPD kita sekaligus langkah untuk mereformasi birokrasi.***

*) Peneliti budaya dan Politik Lokal Manggarai dan Dosen STKIP St. Paulus. Diterbitkan pertama kali oleh: www.nusalale.com, pada 7 Januari 2016.

No comments:

Post a Comment