Kanisius
Teobaldus Deki*
Pegawai
Negeri Sipil (PNS) adalah abdi masyarakat, aparatur Negara. Mereka bekerja
untuk melayani masyarakat dan gajinya dibiayai oleh Negara. Kehidupan mereka
baik sebagai individu maupun kelompok social sudah diatur berbagai tata aturan
normatif.
Dalam
bidang politik, sebagai warga Negara PNS memiliki hak dan kewajiban yang sama
dengan masyarakat lainnya di Indonesia. Namun, terkait identitas mereka sebagai
abdi Negara, hal berpolitik dibatasi secara ketat oleh UU. Bisa disebutkan di
sini beberapa rujukan regulasi antara lain: UU Nomor 5 tahun 2014 tentanng
Aparatur Sipil Negara (ASN), UU Nomor 23 2014 tentang Otonomi Daerah, Peraturan
Pemerintah RI nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Jelang
Pemilukada serentak 09 Desember 2015 lalu, Negara melalui aparatusnya sungguh
sadar bahwa PNS tidak sepenuhnya patuh pada regulasi-regulasi yang sudah ada.
Karena itu, ada larangan preskriptif yang menjadi rambu-rambu bagi PNS. Surat
Edaran Menpan RB nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 melarang seluruh PNS terlibat
dalam kegiatan kampanye, baik menjadi anggota ataupun terlibat di dalamnya. Bagi
yang dengan sadar melawan aturan ini akan mendapat sanksi terberat, sebagaimana
diatur oleh UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, yakni PNS bersangkutan akan
dijatuhi hukuman berupa pemberhentian dengan tidak hormat.
Menjajal
Motivasi
Apakah
para PNS tidak mengetahui sanksi yang berat itu? Tentu tidak. Ada dua model
keterlibatan PNS dalam ranah Pemilukada. Pertama,
keterlibatan sebagai tim kampanye walaupun indirect.
Peran yang dimainkan melalui penyokongan pelbagai kegiatan kampanye, ikut
memberikan pengaruh yang luas melalui pelbagai cara, termasuk mengumpulkan staf
(jika dia pemimpin) maupun keluarga. Dengan menjamurnya media sosial semisal face book, banyak PNS mengumbar
kedengkian terhadap pasangan calon yang tidak disukainya dengan bahasa fulgar
penuh makian.
Kedua,
keterlibatan direct. Ikut menjadi
jurkam melalui pelbagai versi semisal orator ataupun penyumbang lagu di
panggung kampanye, pun hadir duduk di ruang kampanye. Di Manggarai beberapa
oknum PNS diadukan ke Panwaslu karena menurut Surat Edaran tadi melanggar UU
ASN.
Tentu
ada hal yang melatari keterlibatan aparatur Negara ini. Dari analisis atas apa
yang terbaca di media dan terdengar dalam percakapan sehari-hari, motivasinya
tidak terlepas dari pilihan politik. Para PNS ini yakin bahwa pihak yang
dipilihnya merupakan jagoan yang mumpuni dari segala aspek. Selain itu, dukung
mendukung dalam politik kontestasi memiliki efek pada jabatan. Yang belum
mendapat jabatan berkiblat pada jabatan. Yang sudah dapat ingin meraih yang
lebih tinggi. Yang sudah tinggi ingin menempatkan diri pada SKPD yang memiliki
lahan basah. Konon selalu ada rumor,
kandidat-kandidat yang melawan petahana sudah menyiapkan cabinet bayangannya.
Bahkan untuk satu jabatan, semisal Sekda, sudah dibarisi oleh beberapa nama
sekaligus!
Krisis
Ketidapercayaan Diri dan Minim Profesionalisme
Adalah
Max Weber (1864-1920), seorang teoritikus pertama yang secara sistematis
menulis tentang berbagai perbedaan antara organisasi yang berpijak pada
kekerabatan dan organisasi birokratis. Titik tumpu analisis Weber adalah
industrialisasi di Eropa yang memperlihatkan hubungan rasional antara revolusi
industry, pertumbuhan organisasi birokratis yang anonym dan melemahnya
ikatan-ikatan kekerabatan. Menurut Weber, birokrasi merupakan sebuah bentuk
organisasi pada prinsip anonym, berupa perlakuan yang sama serta pemilahan yang
tegas antara profesi seseorang dengan kedudukan pribadinya (Eriksen, 1998:203).
Mengikuti
Weber, lalu membaca kenyataan tentang tidak netralnya PNS dalam Pemilukada,
melahirkan pertanyaan, “Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa PNS menceburkan
dirinya sekian jauh dalam kancah politik praktis” Pertanyaan ini setidaknya
menyodorkan satu kenyataan ini: ada semacam krisis ketidakpercayaan diri yang
luar biasa pada PNS kita. PNS tidak cukup percaya diri dengan jabatan yang
dimilikinya. Sebuah insting natural untuk meraih yang lebih.
Hal
ini selajur dengan Talcott Parsons (1902-1979) yang memandang masyarakat modern
sebagai yang berkiblat pada prestasi dan bercorak universalistic. Menurut
Parsons, kedudukan seseorang beserta peluang kariernya dalam sebuah masyarakat
modern bergantung pada berbagai prestasi serta status yang diperjuangkannya.
Nah, pada level prestasi ini, ketika PNS tidak memilikinya secara meyakinkan,
ada pembimbangan yang serius terhadap identitasnya. Karena itu, logis kalau ia
mencari tameng lain untuk tetap memperkokoh status (status quo). Salah satunya melalui dukungan yang serius terhadap
para paslon. Makin kurang prestasi, makin minim profesionalisme berefek
negative makin menguat krisis terhadap kepercayaan diri.
Lawan
Etika: Perilaku Berwajah Ganda
Hari-hari
ini, ada ruang tak tersangkakan bersua para actor PNS berwajah ganda. Di satu
pihak mereka tidak selayaknya terlibat dalam ruang politik praktis di lain
pihak mereka terlibat dengan berbagai motivasi sebagaimana di jelaskan di atas.
Keterlibatan itu berposisi pada kerinduan untuk mendapat multiple effect (efek ganda). Di satu sisi sebagai ekpresi naluri
berpolitik tetapi di sisi lain ingin meraih jabatan yang lebih.
Mengikuti
kenyataan bahwa banyak PNS yang terlibat dalam kancah politik Pemilukada, ada
keprihatinan yang memilukan. Ruang prediksi bermain peran dikibuli oleh naluri
minim logika. Karena itu ada kecenderungan berwajah ganda dalam memberikan
dukungan politik yang mengekspresikan inkonsistensinya.
Wajah
ganda dalam bermain peran dukung mendukung menyebabkan kericuhan multiaspek. Di
ranah etika, mereka akan menjadi tokoh-tokoh hiporkrit. Tatkala paslon sokongan
mereka terdengar akan kalah, mereka mulai merapat dengan pelbagai cara kepada
paslon yang bakal menang. Meskipun itu sebuah usaha yang melawan nurani. Hal
ini sebenarnya sebuah kecelakaan. Karena dengan begitu, akan terbentuk sebuah
system yang terstruktur bahwa kedigdayaan mereka terletak bukan pada
profesionalistas kerja melainkan pada berbagai usaha penuh tipu daya mengakali
paslon yang menang.
Budaya
kèpok, kapu manuk lele tuak (meminta
kemurahan hati) menjadi sebuah parade situasi jelang pelantikkan. Hal mana
sudah menjadi tradisi menahun. Sebuah pengakuan yang salah kaprah dan merendahkan
diri sendiri. Pada level profesionalisme, paslon yang menang sebenarnya tak
perlu memercayakan kepemimpinan SKPD kepada orang-orang hiprokrit ini. Mengapa?
Alasannya jelas, karena mereka adalah
orang-orang yang terbukti tidak konsisten dengan keyakinan dan pilihannya.
Sebuah sikap untuk memutus mata rantai struktur yang sudah terlanjur dianggap
manjur dan paten di SKPD kita sekaligus langkah untuk mereformasi birokrasi.***
*) Peneliti budaya dan Politik Lokal Manggarai
dan Dosen STKIP St. Paulus. Diterbitkan pertama kali oleh: www.nusalale.com, pada 7 Januari 2016.
No comments:
Post a Comment