Saturday, 19 March 2016

Belis, Kegelisahan yang Tak Teratasi?



Kanisius Teobaldus Deki
Dosen STKIP St. Paulus


Ada ironi dalam berita Pos Kupang, Minggu, 31 Januari 2016 tentang hubungan belis dan pendidikan yang tinggi. Dalam berita itu dijelaskan bahwa ada semacam kegelisahan yang menjerat para gadis yang hendak menikah tersebab  kenyataan seringkali pemberian belis dihubungkan dengan status sosial. Rumusannya, makin tinggi pendidikan atau status sosial seorang gadis, makin besar belis yang ditentukan. Rumusan semacam ini, walaupun tidak tertulis, sudah kerap terakui secara otomatis di masyarakat dan dipraktikkan seolah-olah sesuatu yang wajar (taken for granted).
Dari kenyataan ini, setidaknya, ada dua alasan yang juga menjadi pertanyaan. Pertama, apakah belis harus menjadi beban mahaberat yang harus dipikul oleh setiap pasangan yang akan menikah di NTT? Kedua, bagaimana membangun persepsi yang lebih seimbang tentang belis? Pada galibnya, belis tidak harus menjadi penghalang utama kebahagiaan pasangan suami istri yang hendak menikah dan membangun kehidupan rumah tangga mereka.
Dua pertanyaan ini terlahir dari begitu banyak peristiwa yang dimuat di media massa terkait belis dan dampaknya yang negative. Tulisan ini berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, seraya berharap, dengan jalan itu memberikan persepsi pencerahan kepada masyarakat.

Membangun Pemahaman
Apa sebenarnya yang menjadi nilai hakiki dari belis? Pertanyaan ini sangat esensial manakala kita berusaha memasuki area ontologi dari eksistensi belis yang sesungguhnya. Ada beberapa pokok pikiran tentang perlunya belis. Pertama, belis adalah simbol penghargaan terhadap  rahim. Hanya perempuan yang memiliki rahim. Karena itu, belis mengingatkan kita akan rahim dan perjuangan seorang perempuan yang menjadi ibu. Di beberapa tempat, diartikan sebagai penghargaan terhadap air susu ibu. Sebagai penghargaan, tentu tidak harus dinyatakan dengan materi tertentu, apalagi dengan jumlah yang fantastik, yang dihubungkan dengan status sosial. pasalnya, rahim dan air susu adalah aspek yang sama untuk semua wanita. Dalam alur gagas ini, praktik belis yang menegasikan rahim dan air susu sebagai identitas khas perempuan lalu menghubungkannya dengan status sosial adalah sebuah pemungkiran terhadap nilai belis itu sendiri.
Kedua, belis, dalam banyak literature, lebih sebagai bukti atau tanda bahwa kedua calon mempelai berada dalam satu ikatan. Ikatan itu juga secara sosial menyatukan dua keluarga besar (di Manggarai disebut woe nelu). Woe nelu adalah akibat. Sebagai tanda, belis hanyalah sebuah instrumen, alat bukti (yang berupa hewan, sejumlah uang dan barang berharga) tentang pengesahan sebuah proses perkawinan. Karena itu, tekanan yang menilai keabsahan perkawinan hanya sebatas jumlah instrumen (quantity focus) tadi bukanlah hal yang sangat esensial. Sebab, yang utama adalah cinta (quality focus) antara kedua mempelai yang akan mengarungi bahtera rumah tangga baru.
Ketiga, belis juga dilihat sebagai bentuk kesungguhan keluarga besar mendukung calon mempelai sekaligus tanda bahwa secara ekonomis, keluarga besar juga dapat membiayai kehidupan si anak gadis nantinya. Keterlibatan keluarga besar dalam membiayai sebuah perkawinan ada dalam ranah pembuktian cinta kasih dan ekspresi kegembiraan terhadap calon pengantin. Sebuah pemberian non investasi material yang tidak berdampak profit pula.

Otonomitas diri Perempuan
Sebagai seorang individu dalam kelompok sosial tertentu, perempuan terlimitasi oleh pelbagai kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan ini sering diterima begitu saja tanpa refleksi kritis. Bahkan kalau sang perempuan sudah memiliki pendidikan yang tinggi tidak menjamin ia bisa melawan situasi ini. Nah, inilah kekeliruan yang sangat fatal dan menyuburkan praktik belis yang menggelisahkan.
Menurut teori Pusat Kendali (locus of control: J.B. Rotter, 1954), ada dua macam tipe manusia, yaitu yang pusat kendalinya internal dan eksternal. Orang dengan Pusat Kendali Internal (PKI) percaya bahwa dirinya sendirilah yang menentukan apa yang akan terjadi dengan dirinya, bahkan lingkungan di sekitarnya pun bisa dia kendalikan sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan orang dengan Pusat Kendali Eksternal (PKE) jika terjadi sesuatu cenderung menyalahkan pihak lain, bukannya mengoreksi diri sendiri.
Merujuk pada teori itu, bukan saja pemurnian sistem patriarkat yang menjadi fokus pemurnian konsep sebagai pengendali eksternal, tetapi membangun konsep diri perempuan dan otonomitas dirinya dalam wujud pengendali internal. Perempuan adalah diri yang otonom (ens individuum), kendatipun ia adalah makluk sosial (ens sociale). Ia berhak menentukan dirinya, bukan hanya ditentukan (ascribed status). Ia berhak atas kebahagiaan hidupnya. Dialah yang mengatur proeses kebahagiaannya, termasuk ketika dia hendak menikah dalam menentukan belis.
Mengatasi kegelisahan ini, selain pemurnian pemahaman di atas, perlu pemilahan yang distingtif antara belis in se (sebagai bentuk penghargaan) dengan biaya pernikahan harus dibuat. Belis, sesuatu yang wajib, tanpa harus dengan harga nominal yang tinggi. Sedangkan pesta perkawinan dapat digelar sesuai kemampuan. Kiranya, meletakkan harga diri pada sebuah pesta  untuk menunjukkan status sosial, mesti disadari sebagai pemungkiran terhadap nilai hakiki perkawinan.
Orang tua dan keluarga besar adalah pihak yang membantu dalam aras cinta. Mereka adalah ‘tim sukses’ yang membuat perkawinan berhasil dan para pengantin memasuki gerbang rumah tangga dengan penuh kepercayaan diri dan kekuatan penuh. Tanpa harus gelisah dan penuh derai air mata kekecewaan.***

Diterbitkan pertama oleh: Harian Umum Pos Kupang, 11 Februari 2016.

37 comments:

  1. NAMA :YOHANES FREDERIK ARFAN
    KELAS :IIIB
    NPM :13.31.3076

    “BELIS,KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI?”
    Seperti yang kita ketahui belis merupakan suatu bentuk penghargaan bagi setiap wanita yang akan menikah. Penghargaan bagi setiap wanita bisa dalam bentuk apapun namun dalam adat manggarai belis merupakan penghargaan bagi wanita dan suatu kebiasaan yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Dalam adat orang manggarai wanita sangat dihormati dan dihargai.
    Menurut saya belis itu memang sangat penting tapi terkadang belis dapat menjadi penghalang bagi calon mempelai yang akan menikah. belis juga terkesan memaksa orang meskipun tidak sesuai dengan keadaan ekonomi dari seseorang. Walaupun keadaan ekonomi dari mempelai pria lemah, pihak mempelai wanita tetap mengiinginkan belis sesuai dengan yang telah disepakati. Hal ini sering terjadi pada saat seseorang akan menikah, dalam adat manggarai pihak laki-laki diwajibkan untuk memberikan belis kepada pihak wanita. Dalam kebiasaan orang manggarai semakin tinggi pendidikan dari seseorang semakin tinggi pula belis. Seperti contohnya misalkan gelar pendidikan dari mempelai wanita adalah dokter maka nilai belis bagi mempelai wanita tersebut sangatlah tinggi .
    Seringkali orang mengambil kesimpulan jika seseorang mampu memberikan belis pada wanita maka iapun mampu untuk membiayai hidup dari seseorang. Dengan tingginya harga belis dapat membuat orang mencari cara apapun untuk menurunkan harga belis. Seperti khotbah dari seorang imam digereja ia menceritakan karena takut mendapat belis yang sangat tinggi seorang pria menghamili wanita sebelum menikah. Hal seperti ini sering kali terjadi saat ini.
    Dari semua hal yang telah saya telah jelaskan diatas maka saya mengambil kesimpulan bahwa belis harus tetap dipertahankan dan harus diwariskan turun-temurun. namun alangkah baiknya jika belis tidak terkesan memaksa keadaan dari setiap insan yang akan menikah. Karena kebahagian dari seseorang tidak dapat ditentukan oleh besar-kecilnya belis yang diberikan.

    ReplyDelete
  2. NAMA :YOHANES FREDERIK ARFAN
    KELAS :IIIB
    NPM :13.31.3076

    “BELIS,KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI?”
    Seperti yang kita ketahui belis merupakan suatu bentuk penghargaan bagi setiap wanita yang akan menikah. Penghargaan bagi setiap wanita bisa dalam bentuk apapun namun dalam adat manggarai belis merupakan penghargaan bagi wanita dan suatu kebiasaan yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Dalam adat orang manggarai wanita sangat dihormati dan dihargai.
    Menurut saya belis itu memang sangat penting tapi terkadang belis dapat menjadi penghalang bagi calon mempelai yang akan menikah. belis juga terkesan memaksa orang meskipun tidak sesuai dengan keadaan ekonomi dari seseorang. Walaupun keadaan ekonomi dari mempelai pria lemah, pihak mempelai wanita tetap mengiinginkan belis sesuai dengan yang telah disepakati. Hal ini sering terjadi pada saat seseorang akan menikah, dalam adat manggarai pihak laki-laki diwajibkan untuk memberikan belis kepada pihak wanita. Dalam kebiasaan orang manggarai semakin tinggi pendidikan dari seseorang semakin tinggi pula belis. Seperti contohnya misalkan gelar pendidikan dari mempelai wanita adalah dokter maka nilai belis bagi mempelai wanita tersebut sangatlah tinggi .
    Seringkali orang mengambil kesimpulan jika seseorang mampu memberikan belis pada wanita maka iapun mampu untuk membiayai hidup dari seseorang. Dengan tingginya harga belis dapat membuat orang mencari cara apapun untuk menurunkan harga belis. Seperti khotbah dari seorang imam digereja ia menceritakan karena takut mendapat belis yang sangat tinggi seorang pria menghamili wanita sebelum menikah. Hal seperti ini sering kali terjadi saat ini.
    Dari semua hal yang telah saya telah jelaskan diatas maka saya mengambil kesimpulan bahwa belis harus tetap dipertahankan dan harus diwariskan turun-temurun. namun alangkah baiknya jika belis tidak terkesan memaksa keadaan dari setiap insan yang akan menikah. Karena kebahagian dari seseorang tidak dapat ditentukan oleh besar-kecilnya belis yang diberikan.

    ReplyDelete
  3. NAMA :YOHANES FREDERIK ARFAN
    KELAS :IIIB
    NPM :13.31.3076

    “BELIS,KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI?”
    Seperti yang kita ketahui belis merupakan suatu bentuk penghargaan bagi setiap wanita yang akan menikah. Penghargaan bagi setiap wanita bisa dalam bentuk apapun namun dalam adat manggarai belis merupakan penghargaan bagi wanita dan suatu kebiasaan yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Dalam adat orang manggarai wanita sangat dihormati dan dihargai.
    Menurut saya belis itu memang sangat penting tapi terkadang belis dapat menjadi penghalang bagi calon mempelai yang akan menikah. belis juga terkesan memaksa orang meskipun tidak sesuai dengan keadaan ekonomi dari seseorang. Walaupun keadaan ekonomi dari mempelai pria lemah, pihak mempelai wanita tetap mengiinginkan belis sesuai dengan yang telah disepakati. Hal ini sering terjadi pada saat seseorang akan menikah, dalam adat manggarai pihak laki-laki diwajibkan untuk memberikan belis kepada pihak wanita. Dalam kebiasaan orang manggarai semakin tinggi pendidikan dari seseorang semakin tinggi pula belis. Seperti contohnya misalkan gelar pendidikan dari mempelai wanita adalah dokter maka nilai belis bagi mempelai wanita tersebut sangatlah tinggi .
    Seringkali orang mengambil kesimpulan jika seseorang mampu memberikan belis pada wanita maka iapun mampu untuk membiayai hidup dari seseorang. Dengan tingginya harga belis dapat membuat orang mencari cara apapun untuk menurunkan harga belis. Seperti khotbah dari seorang imam digereja ia menceritakan karena takut mendapat belis yang sangat tinggi seorang pria menghamili wanita sebelum menikah. Hal seperti ini sering kali terjadi saat ini.
    Dari semua hal yang telah saya telah jelaskan diatas maka saya mengambil kesimpulan bahwa belis harus tetap dipertahankan dan harus diwariskan turun-temurun. namun alangkah baiknya jika belis tidak terkesan memaksa keadaan dari setiap insan yang akan menikah. Karena kebahagian dari seseorang tidak dapat ditentukan oleh besar-kecilnya belis yang diberikan.

    ReplyDelete
  4. Nama : Wensius Bandut
    NPM : 13.31.3067
    Kelas : III B
    “BELIS, KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI?”
    Komentar saya mengenai artikel tersebut :
    Seperti yang kita ketahui bahwa belis merupakan kebiasaan yang turun temurun dari nenek moyang orang manggarai. Kebiasaan belis ini dapat membawa pengaruh besar terhadap keluarga besar mempelai pria yang hendak memperistrikan seorang wanita. Dalam kebiasaan ini, belis merupakan modal paling utama untuk seseorang mencapai tujuannya untuk menghormati keluarga mempelelai wanita, sehingga kedua insan ini bisa meneruskan keinginan mereka kejenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Untuk memcapai keinginan itu mempelai pria membuktikan keseriusannya untuk menyanggupi biaya belis yang sudah ditentukan oleh keluarga wanita dalam berupa rupiah atau hewan (babi, kerbau, kuda dan sapi) sehingga tidak terjadi problem atau penghambat dalam proses memperistrikan anak perempuan.
    Dalam persoalan belis, anak perempuan seakan-akan di sejajarkan dengan nilai rupiah, rasa cinta, kasih sayang bukanlah hal yang di utamakan dalam masyarakat manggarai, karena dalam mata masyarakat manggarai rasa cinta, ketulusan dan kasih sayang tidak akan memberikan sesuap nasi bagi keluarga wanita maupun kedua insan yang sedang membangun sebuah keluarga kecil. Hal ini yang sering menjadi perdebatan antara juru bicara (tongka) dari kedua belah pihak dalam proses permintaan memperkecil biaya belis dari pihak mempelai pria, tetapi dari pihak wanita kadang tidak menyetujui kebijakkan tersebut sehingga sering terjadi penundaan Wagal (dalam bahasa kasarnya penundaan membeli mempelai wanita) akibat ketidaksepahaman biaya belis antara juru bicara dari pihak wanita maupun laki-laki.
    Kebiasaan orang manggarai dalam biaya belis disesuaikan dengan gelar yang dimilki oleh seorang wanita. Jika seorang wanita dengan gelar sebagai guru, maka akan berbeda harga belisnya dengan wanita yang tidak sama sekali memiliki gelar atau tidak berpendidikan. Gelar ini juga merupakan pengaruh besar untuk keluarga pria dalam meminang anak perempuan. Beda halnya dengan keluarga perempuan, karena bagi keluarga perempuan hal ini merupakan nilai ganti rugi dalam menyelesaikan tingkat pendidikannya sampai ia mendapatkan gelar tersebut. Nilai belis yang disesuaikan dengan gelar ini menjadi penghambat dalam keluarga laki-laki karena dimata mereka ini sepertinya terjadi pemaksaan untuk melunasi semua permintaan dari keluarga mempelai wanita.

    ReplyDelete
  5. Nama : Wensius Bandut
    NPM : 13.31.3067
    Kelas : III B
    “BELIS, KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI?”
    Komentar saya mengenai artikel tersebut :
    Seperti yang kita ketahui bahwa belis merupakan kebiasaan yang turun temurun dari nenek moyang orang manggarai. Kebiasaan belis ini dapat membawa pengaruh besar terhadap keluarga besar mempelai pria yang hendak memperistrikan seorang wanita. Dalam kebiasaan ini, belis merupakan modal paling utama untuk seseorang mencapai tujuannya untuk menghormati keluarga mempelelai wanita, sehingga kedua insan ini bisa meneruskan keinginan mereka kejenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Untuk memcapai keinginan itu mempelai pria membuktikan keseriusannya untuk menyanggupi biaya belis yang sudah ditentukan oleh keluarga wanita dalam berupa rupiah atau hewan (babi, kerbau, kuda dan sapi) sehingga tidak terjadi problem atau penghambat dalam proses memperistrikan anak perempuan.
    Dalam persoalan belis, anak perempuan seakan-akan di sejajarkan dengan nilai rupiah, rasa cinta, kasih sayang bukanlah hal yang di utamakan dalam masyarakat manggarai, karena dalam mata masyarakat manggarai rasa cinta, ketulusan dan kasih sayang tidak akan memberikan sesuap nasi bagi keluarga wanita maupun kedua insan yang sedang membangun sebuah keluarga kecil. Hal ini yang sering menjadi perdebatan antara juru bicara (tongka) dari kedua belah pihak dalam proses permintaan memperkecil biaya belis dari pihak mempelai pria, tetapi dari pihak wanita kadang tidak menyetujui kebijakkan tersebut sehingga sering terjadi penundaan Wagal (dalam bahasa kasarnya penundaan membeli mempelai wanita) akibat ketidaksepahaman biaya belis antara juru bicara dari pihak wanita maupun laki-laki.
    Kebiasaan orang manggarai dalam biaya belis disesuaikan dengan gelar yang dimilki oleh seorang wanita. Jika seorang wanita dengan gelar sebagai guru, maka akan berbeda harga belisnya dengan wanita yang tidak sama sekali memiliki gelar atau tidak berpendidikan. Gelar ini juga merupakan pengaruh besar untuk keluarga pria dalam meminang anak perempuan. Beda halnya dengan keluarga perempuan, karena bagi keluarga perempuan hal ini merupakan nilai ganti rugi dalam menyelesaikan tingkat pendidikannya sampai ia mendapatkan gelar tersebut. Nilai belis yang disesuaikan dengan gelar ini menjadi penghambat dalam keluarga laki-laki karena dimata mereka ini sepertinya terjadi pemaksaan untuk melunasi semua permintaan dari keluarga mempelai wanita.

    ReplyDelete
  6. Nama : Wensius Bandut
    NPM : 13.31.3067
    Kelas : III B
    “BELIS, KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI?”
    Komentar saya mengenai artikel tersebut :
    Seperti yang kita ketahui bahwa belis merupakan kebiasaan yang turun temurun dari nenek moyang orang manggarai. Kebiasaan belis ini dapat membawa pengaruh besar terhadap keluarga besar mempelai pria yang hendak memperistrikan seorang wanita. Dalam kebiasaan ini, belis merupakan modal paling utama untuk seseorang mencapai tujuannya untuk menghormati keluarga mempelelai wanita, sehingga kedua insan ini bisa meneruskan keinginan mereka kejenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Untuk memcapai keinginan itu mempelai pria membuktikan keseriusannya untuk menyanggupi biaya belis yang sudah ditentukan oleh keluarga wanita dalam berupa rupiah atau hewan (babi, kerbau, kuda dan sapi) sehingga tidak terjadi problem atau penghambat dalam proses memperistrikan anak perempuan.
    Dalam persoalan belis, anak perempuan seakan-akan di sejajarkan dengan nilai rupiah, rasa cinta, kasih sayang bukanlah hal yang di utamakan dalam masyarakat manggarai, karena dalam mata masyarakat manggarai rasa cinta, ketulusan dan kasih sayang tidak akan memberikan sesuap nasi bagi keluarga wanita maupun kedua insan yang sedang membangun sebuah keluarga kecil. Hal ini yang sering menjadi perdebatan antara juru bicara (tongka) dari kedua belah pihak dalam proses permintaan memperkecil biaya belis dari pihak mempelai pria, tetapi dari pihak wanita kadang tidak menyetujui kebijakkan tersebut sehingga sering terjadi penundaan Wagal (dalam bahasa kasarnya penundaan membeli mempelai wanita) akibat ketidaksepahaman biaya belis antara juru bicara dari pihak wanita maupun laki-laki.
    Kebiasaan orang manggarai dalam biaya belis disesuaikan dengan gelar yang dimilki oleh seorang wanita. Jika seorang wanita dengan gelar sebagai guru, maka akan berbeda harga belisnya dengan wanita yang tidak sama sekali memiliki gelar atau tidak berpendidikan. Gelar ini juga merupakan pengaruh besar untuk keluarga pria dalam meminang anak perempuan. Beda halnya dengan keluarga perempuan, karena bagi keluarga perempuan hal ini merupakan nilai ganti rugi dalam menyelesaikan tingkat pendidikannya sampai ia mendapatkan gelar tersebut. Nilai belis yang disesuaikan dengan gelar ini menjadi penghambat dalam keluarga laki-laki karena dimata mereka ini sepertinya terjadi pemaksaan untuk melunasi semua permintaan dari keluarga mempelai wanita.

    ReplyDelete
  7. NAMA :YOHANES FREDERIK ARFAN
    KELAS :IIIB
    NPM :13.31.3076

    “BELIS,KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI?”
    Seperti yang kita ketahui belis merupakan suatu bentuk penghargaan bagi setiap wanita yang akan menikah. Penghargaan bagi setiap wanita bisa dalam bentuk apapun namun dalam adat manggarai belis merupakan penghargaan bagi wanita dan suatu kebiasaan yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Dalam adat orang manggarai wanita sangat dihormati dan dihargai.
    Menurut saya belis itu memang sangat penting tapi terkadang belis dapat menjadi penghalang bagi calon mempelai yang akan menikah. belis juga terkesan memaksa orang meskipun tidak sesuai dengan keadaan ekonomi dari seseorang. Walaupun keadaan ekonomi dari mempelai pria lemah, pihak mempelai wanita tetap mengiinginkan belis sesuai dengan yang telah disepakati. Hal ini sering terjadi pada saat seseorang akan menikah, dalam adat manggarai pihak laki-laki diwajibkan untuk memberikan belis kepada pihak wanita. Dalam kebiasaan orang manggarai semakin tinggi pendidikan dari seseorang semakin tinggi pula belis. Seperti contohnya misalkan gelar pendidikan dari mempelai wanita adalah dokter maka nilai belis bagi mempelai wanita tersebut sangatlah tinggi .
    Seringkali orang mengambil kesimpulan jika seseorang mampu memberikan belis pada wanita maka iapun mampu untuk membiayai hidup dari seseorang. Dengan tingginya harga belis dapat membuat orang mencari cara apapun untuk menurunkan harga belis. Seperti khotbah dari seorang imam digereja ia menceritakan karena takut mendapat belis yang sangat tinggi seorang pria menghamili wanita sebelum menikah. Hal seperti ini sering kali terjadi saat ini.
    Dari semua hal yang telah saya telah jelaskan diatas maka saya mengambil kesimpulan bahwa belis harus tetap dipertahankan dan harus diwariskan turun-temurun. namun alangkah baiknya jika belis tidak terkesan memaksa keadaan dari setiap insan yang akan menikah. Karena kebahagian dari seseorang tidak dapat ditentukan oleh besar-kecilnya belis yang diberikan.

    ReplyDelete
  8. Nama : Yohanes Jeman
    NPM : 13.31.3109
    Kelas : III B
    Belis, Kegelisahan yang Tak Teratasi?
    Komentar Saya
    Berdasrkan relita sekarang tentang belis merupakan bagian dari kehidupan manusia dari nenek moyang dulu sejak lahir secara turun temurun.sebagai bentuk pengharagan dengan biaya pernikahan harus sebegai semestinya dapat di lakukan melalui kedua pihak yang bersangkutan sesuai dengan penuh kepercayan masing-masing. Dalam ikatan belis kedua memplai harus mencintai nilai-nilai hakiki dimana kekuatan cinta saling hubungan yang sangat erat atau harmonis.Pemahaman tentang belis dalam budaya manggarai salah satu khas yang kokoh untuk menjalani hubungan untuk memunjukan hubungan nilai sosial atau nilai moral atau di sadari sebegai pemungkiran terhadap nilai hakiki perkawinan. Belis sesuatu yang wajib secara garis besar memiliki kepercayan atau norma-norma yang berlaku dalam aras cinta yang membuat perkawinan berhasil dan para pengantin memasuki gerbang rumah tangga dengan penuh kepercayaan antara kespakatan bersama kedua belah pihak dan kedua orangtua mempelai.Belis juga dapat di lihat di artikan sebegai landasan fundamental atau ekstensial yang fajar dalam adat budaya khas manggarai,dan membanggun konsep diri atau menjerminkan nilai yang perspektif dalam konteks mennanamkan kepercayaan untuk menjalankan bagaimana cara yang tepat agar hubungan kedua mempelai menjadi suatu ikatan yang sangat erat.Disini juga dapat kita lihat bahwa budaya khas orang manggarai adalah belis itu di artikan [Woe Nelu] atau dapat di lakukan melandaskan sebegai bentuk cinta kasih dalam menjalakan hubungan dalam menilai peroses belis tersrbut. Oleh kerna itu, hal yamg paling mendasar dalam menjalankan belis ciri khas budaya orang manggarai adalah;menanamkan rasa hormat dan saling prcaya dengan kedua belah pihak hal ini yang di dasari munculnya rasa kepercayan diri serta merta menjalani hubungan yang di namis, atau rasa persaudaraana, agar dalam menjalani perkawinan berjalan dengan baik. Belis dapat di artikan sebegai pintu masuk dalam menjalani awal perosesnya hubungan di mana hubungan tersebut jika kedua pasangan saling mencintai, dan disinilah adanya munculnya nilai moral dan kepercayaan diri untuk memperkoh suatu hubangan yang di namis.Berkaitan dengan nilai belis merupakan suatu nilai moral yang patut di cerminkan dalam menjalani sebuah pasangan di awali tahap prkenalan dari situ munculnya kontak batin antara kedua belah pihak dan kemudian tahapan selanjutnya adanya relasi kedua pasanagan untuk mengerut pihak kelurganya masing-masing. Stelah itu melakukan pendekatan yang baik kedua belah pihak agar presepsi belis atau orang manggarai di sebut [masuk minta atau Baro sala].

    ReplyDelete
  9. Nama : Yohanes Jeman
    NPM : 13.31.3109
    Kelas : III B
    Belis, Kegelisahan yang Tak Teratasi?
    Komentar Saya
    Berdasrkan relita sekarang tentang belis merupakan bagian dari kehidupan manusia dari nenek moyang dulu sejak lahir secara turun temurun.sebagai bentuk pengharagan dengan biaya pernikahan harus sebegai semestinya dapat di lakukan melalui kedua pihak yang bersangkutan sesuai dengan penuh kepercayan masing-masing. Dalam ikatan belis kedua memplai harus mencintai nilai-nilai hakiki dimana kekuatan cinta saling hubungan yang sangat erat atau harmonis.Pemahaman tentang belis dalam budaya manggarai salah satu khas yang kokoh untuk menjalani hubungan untuk memunjukan hubungan nilai sosial atau nilai moral atau di sadari sebegai pemungkiran terhadap nilai hakiki perkawinan. Belis sesuatu yang wajib secara garis besar memiliki kepercayan atau norma-norma yang berlaku dalam aras cinta yang membuat perkawinan berhasil dan para pengantin memasuki gerbang rumah tangga dengan penuh kepercayaan antara kespakatan bersama kedua belah pihak dan kedua orangtua mempelai.Belis juga dapat di lihat di artikan sebegai landasan fundamental atau ekstensial yang fajar dalam adat budaya khas manggarai,dan membanggun konsep diri atau menjerminkan nilai yang perspektif dalam konteks mennanamkan kepercayaan untuk menjalankan bagaimana cara yang tepat agar hubungan kedua mempelai menjadi suatu ikatan yang sangat erat.Disini juga dapat kita lihat bahwa budaya khas orang manggarai adalah belis itu di artikan [Woe Nelu] atau dapat di lakukan melandaskan sebegai bentuk cinta kasih dalam menjalakan hubungan dalam menilai peroses belis tersrbut. Oleh kerna itu, hal yamg paling mendasar dalam menjalankan belis ciri khas budaya orang manggarai adalah;menanamkan rasa hormat dan saling prcaya dengan kedua belah pihak hal ini yang di dasari munculnya rasa kepercayan diri serta merta menjalani hubungan yang di namis, atau rasa persaudaraana, agar dalam menjalani perkawinan berjalan dengan baik. Belis dapat di artikan sebegai pintu masuk dalam menjalani awal perosesnya hubungan di mana hubungan tersebut jika kedua pasangan saling mencintai, dan disinilah adanya munculnya nilai moral dan kepercayaan diri untuk memperkoh suatu hubangan yang di namis.Berkaitan dengan nilai belis merupakan suatu nilai moral yang patut di cerminkan dalam menjalani sebuah pasangan di awali tahap prkenalan dari situ munculnya kontak batin antara kedua belah pihak dan kemudian tahapan selanjutnya adanya relasi kedua pasanagan untuk mengerut pihak kelurganya masing-masing. Stelah itu melakukan pendekatan yang baik kedua belah pihak agar presepsi belis atau orang manggarai di sebut [masuk minta atau Baro sala].

    ReplyDelete
  10. Nama : Yohanes Jeman
    NPM : 13.31.3109
    Kelas : III B
    Belis, Kegelisahan yang Tak Teratasi?
    Komentar Saya
    Berdasrkan relita sekarang tentang belis merupakan bagian dari kehidupan manusia dari nenek moyang dulu sejak lahir secara turun temurun.sebagai bentuk pengharagan dengan biaya pernikahan harus sebegai semestinya dapat di lakukan melalui kedua pihak yang bersangkutan sesuai dengan penuh kepercayan masing-masing. Dalam ikatan belis kedua memplai harus mencintai nilai-nilai hakiki dimana kekuatan cinta saling hubungan yang sangat erat atau harmonis.Pemahaman tentang belis dalam budaya manggarai salah satu khas yang kokoh untuk menjalani hubungan untuk memunjukan hubungan nilai sosial atau nilai moral atau di sadari sebegai pemungkiran terhadap nilai hakiki perkawinan. Belis sesuatu yang wajib secara garis besar memiliki kepercayan atau norma-norma yang berlaku dalam aras cinta yang membuat perkawinan berhasil dan para pengantin memasuki gerbang rumah tangga dengan penuh kepercayaan antara kespakatan bersama kedua belah pihak dan kedua orangtua mempelai.Belis juga dapat di lihat di artikan sebegai landasan fundamental atau ekstensial yang fajar dalam adat budaya khas manggarai,dan membanggun konsep diri atau menjerminkan nilai yang perspektif dalam konteks mennanamkan kepercayaan untuk menjalankan bagaimana cara yang tepat agar hubungan kedua mempelai menjadi suatu ikatan yang sangat erat.Disini juga dapat kita lihat bahwa budaya khas orang manggarai adalah belis itu di artikan [Woe Nelu] atau dapat di lakukan melandaskan sebegai bentuk cinta kasih dalam menjalakan hubungan dalam menilai peroses belis tersrbut. Oleh kerna itu, hal yamg paling mendasar dalam menjalankan belis ciri khas budaya orang manggarai adalah;menanamkan rasa hormat dan saling prcaya dengan kedua belah pihak hal ini yang di dasari munculnya rasa kepercayan diri serta merta menjalani hubungan yang di namis, atau rasa persaudaraana, agar dalam menjalani perkawinan berjalan dengan baik. Belis dapat di artikan sebegai pintu masuk dalam menjalani awal perosesnya hubungan di mana hubungan tersebut jika kedua pasangan saling mencintai, dan disinilah adanya munculnya nilai moral dan kepercayaan diri untuk memperkoh suatu hubangan yang di namis.Berkaitan dengan nilai belis merupakan suatu nilai moral yang patut di cerminkan dalam menjalani sebuah pasangan di awali tahap prkenalan dari situ munculnya kontak batin antara kedua belah pihak dan kemudian tahapan selanjutnya adanya relasi kedua pasanagan untuk mengerut pihak kelurganya masing-masing. Stelah itu melakukan pendekatan yang baik kedua belah pihak agar presepsi belis atau orang manggarai di sebut [masuk minta atau Baro sala].

    ReplyDelete
  11. NAMA : ALFONSUS ARMIN
    NPM : 13.31.3105
    KELAS : IIIB
    PRODI : PGSD
    TUGAS : WAWASAN IPS
    Belis, Kegelisahan yang Tak Teratasi?
    Belis merupakan suatu adat istiadat dari kebudayaan manggarai yang tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan. orang manggarai pada umumnya sebelum peroses perkawinan harus diadakan belis. adat dan istiadat ini kerap sekali orang manggarai menggunakannya. dan yang biasa menggunakannya dalam upacara ini adalah pihak anak wina (keluarga laki-laki).
    Belis merupakan persaratan orang manggarai untuk nmemiliki sepenuhnya dari pihak laki-laki (anak wina atau woe ) terhadap sang perempuan yang statusnya dalam adat manggarai sebagai anak rona.
    Pihak anak rona dalam acara belis merupakan orang yang paling penting dan yang akan menerima segalanya pada saat belis berlansung dan sebaliknya pihak anak wina juga tidak kalah pentingnya dimana status mereka merupakan tamu yang sangat penting yang membawa segala kebutuhan dalam upacara belis tersebut atau dalam bahasa Indonesia boleh dikatakan sebagai pembeli.
    Dalam transaksi jual beli perempuan di manggarai hal dikedepankan adalah benda atau material yang dibawakan oleh pihak laki-laki atau pihak anak wina. Sehingga sangatlah wajar apabila orang tua dalam budaya manggarai disebut sebagai orang yang materialistis karena mengedepankan harta benda. Ada pun langkah-langkah dalam pelaksanaan belis di Manggarai yaitu dimulai dari acara-acara yang paling kecil diantaranya
     Pangkang merupakan suatu proses yang harus dilakukan untuk menyimpan harapan terhadap keluarga perempuan atau anak rona agar mereka bias menjaga anak perempuannya untuk tidak berhubungan dengan orang lain (membuat perjanjian) berupa pernyataan dengan material.
     Pongo/Weda Rewa-Tuke Mbaru adalah sebuah kesepakatan yang merupakan keberlanjutan dari pangkang yang meliputi: acara inti yang membicarakan seberapa besar material yang diminta oleh pihak keluarga perempuan dan disini terjadi tawar menawar antara tongka (juru bicara) dari pihak anak wina dan anak rona,mempelai peremppuan memberikan patokan belis yang harus di bayar kemudian di tanggapi oleh keluarga mempelai laki-lki barupa tawar menawar sebelum adanya keputusan untuk menemukan.
     wagal merupakan suatu upacara dimana mempelai laki-laki sudah melaksanakan semua apa yang menjadi kesepakatan pada saat pongo

    ReplyDelete
  12. Belis, Kegelisahan Yang Tak Teratasi.

    Terima kasih saya ucapkan kepada bapak Kanisius Teobaldus Deki karena telah memaparkan sebuah artikel yang berjudul “Belis, Kegelisahan Yang Tak Teratasi”. Pada dasarnya istilah belis tidak terlepas dari kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Manggarai. Masalah Belis memang tidak akan pernah habis dibicarakan karena bisa dikatakan belis merupakan hal yang sangat penting bagi kita sebagai orang Manggarai tetapi yang menjadi masalahnya adalah bagaimana pasangan yang akan menikah yang harus siap menghadapi mahalnya belis yang disiapkan apalagi jika si “Wanita” berpendidikan tinggi. Berdasarkan artikel yang sudah saya baca memang betul bahwa status atau profesi seseorang sangat mempengaruhi belis seseorang. Makin tinggi pendidikan seorang wanita maka tinggi pula belis yang harus diserahkan oleh keluarga pihak laki-laki. Tetapi harus kita ketahui Ada beberapa pokok pikiran tentang perlunya belis yaitu (1) Belis adalah simbol penghargaan terhadap rahim ibu. Karena itu, belis mengingatkan kita akan rahim dan perjuangan seorang perempuan yang menjadi ibu. Di beberapa tempat, diartikan sebagai penghargaan terhadap air susu ibu. Sebagai penghargaan, tentu tidak harus dinyatakan dengan materi tertentu. pasalnya, rahim dan air susu adalah aspek yang sama untuk semua wanita.
    Dalam alur gagas ini, praktik belis yang menegasikan rahim dan air susu sebagai identitas khas perempuan lalu menghubungkannya dengan status sosial adalah sebuah pemungkiran terhadap nilai belis itu sendiri. (2) Belis, dalam banyak literature, lebih sebagai bukti atau tanda bahwa kedua calon mempelai berada dalam satu ikatan. (3) Belis juga dilihat sebagai bentuk kesungguhan keluarga besar mendukung calon mempelai sekaligus tanda bahwa secara ekonomis, keluarga besar juga dapat membiayai kehidupan si anak gadis nantinya. Istilah belis sudah terlekat pada diri masyarakat Manggarai yang menunjukkan sikap penghargaan terhadap kaum perempuan dalam adat Manggarai. Belis bukan berarti harus dipaksakan hanya karena belis sudah menjadi darah daging atau pokok dalam adat Manggarai. Kegelisahan yang terjadi pada anak laki – laki itu diakibatkan karena selalu berpikir dalam hal belis harus dilunasi. Pada kenyataannya juga banyak orangtua tidak terlalu mematok harga belis karena uang yang di gunakan semua demi kebahagiaan anaknya sendiri yang terpenting kedua pasangan dapat berbahagia, hubungan mereka sakral di gereja dan mereka bisa memenuhi kebutuhan mereka pada saat mereka berumah tangga.
    Nama : Angelina Sriati Miting
    Kelas : IIIB\ PGSD
    NPM : 13.31.3119

    ReplyDelete
  13. Belis, Kegelisahan Yang Tak Teratasi.

    Terima kasih saya ucapkan kepada bapak Kanisius Teobaldus Deki karena telah memaparkan sebuah artikel yang berjudul “Belis, Kegelisahan Yang Tak Teratasi”. Pada dasarnya istilah belis tidak terlepas dari kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Manggarai. Masalah Belis memang tidak akan pernah habis dibicarakan karena bisa dikatakan belis merupakan hal yang sangat penting bagi kita sebagai orang Manggarai tetapi yang menjadi masalahnya adalah bagaimana pasangan yang akan menikah yang harus siap menghadapi mahalnya belis yang disiapkan apalagi jika si “Wanita” berpendidikan tinggi. Berdasarkan artikel yang sudah saya baca memang betul bahwa status atau profesi seseorang sangat mempengaruhi belis seseorang. Makin tinggi pendidikan seorang wanita maka tinggi pula belis yang harus diserahkan oleh keluarga pihak laki-laki. Tetapi harus kita ketahui Ada beberapa pokok pikiran tentang perlunya belis yaitu (1) Belis adalah simbol penghargaan terhadap rahim ibu. Karena itu, belis mengingatkan kita akan rahim dan perjuangan seorang perempuan yang menjadi ibu. Di beberapa tempat, diartikan sebagai penghargaan terhadap air susu ibu. Sebagai penghargaan, tentu tidak harus dinyatakan dengan materi tertentu. pasalnya, rahim dan air susu adalah aspek yang sama untuk semua wanita.
    Dalam alur gagas ini, praktik belis yang menegasikan rahim dan air susu sebagai identitas khas perempuan lalu menghubungkannya dengan status sosial adalah sebuah pemungkiran terhadap nilai belis itu sendiri. (2) Belis, dalam banyak literature, lebih sebagai bukti atau tanda bahwa kedua calon mempelai berada dalam satu ikatan. (3) Belis juga dilihat sebagai bentuk kesungguhan keluarga besar mendukung calon mempelai sekaligus tanda bahwa secara ekonomis, keluarga besar juga dapat membiayai kehidupan si anak gadis nantinya. Istilah belis sudah terlekat pada diri masyarakat Manggarai yang menunjukkan sikap penghargaan terhadap kaum perempuan dalam adat Manggarai. Belis bukan berarti harus dipaksakan hanya karena belis sudah menjadi darah daging atau pokok dalam adat Manggarai. Kegelisahan yang terjadi pada anak laki – laki itu diakibatkan karena selalu berpikir dalam hal belis harus dilunasi. Pada kenyataannya juga banyak orangtua tidak terlalu mematok harga belis karena uang yang di gunakan semua demi kebahagiaan anaknya sendiri yang terpenting kedua pasangan dapat berbahagia, hubungan mereka sakral di gereja dan mereka bisa memenuhi kebutuhan mereka pada saat mereka berumah tangga.
    Nama : Angelina Sriati Miting
    Kelas : IIIB\ PGSD
    NPM : 13.31.3119

    ReplyDelete
    Replies
    1. BELIS, KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI?
      NAMA : ANTONIUS HARUM
      KELAS : III B/PGSD
      NPM : 13.31.3112
      Belis adalah salah satu adat istiaadat yang tidak bisa dihilangkan dan dipisahkan dari kehidupan masyarakat manggarai. Adat belis sudah dilakukan sejak jaman dulu hingga sekarang dan bahkan sudah dilakukan secara turun-temurun dikalangan masyarakat manggarai.
      Seperti yang kita lihat selama ini, belis merupakan salah satu bentuk kesanggupan dari keluarga pria untuk meminang dan atau secara ekonomis bisa menghidupi anak gadis dari keluarga wanita. Dari realita yang saya lihat, belis sebenarnya terkesan memaksakan keluarga pria. Kebanyakan orang tua dan masyarakat beranggapan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka tingkat atau harga belis pun naik atau tinggi pula.
      Disatu sisi anggapan tersebut memang benar adanya. Mengapa? Pertama, karena saat dalam proses pendidikan orang tua atau keluarga telah mengeluarkan dana untuk membiayai pendidikan dari anak. Kedua, ada anggapan ”toe toko bon anak data” yang artinya keluarga pria harus membayar belis sesuai ketentuan dari keluarga wanita. Disisi lain anggapan tersebut tidaklah benar. Mengapa? Karena ada orang tua yang berpikir bahwa tingkat pendidikan anak bukanlah sesuatu yang menjadi tolak ukur untuk menentukkan belis, tetapi yang mejadi tolak ukur adalah kesanggupan atau tanggung jawab dari calon suami yang akan meminang anak gadis dari keluarga wanita.
      Menurut saya, adat belis memang penting dan harus tetap dilakukan secara terus menerus karena merupakan salah satu adat istiadat orang manggarai. Tapi alangkah lebih baik jika belis tidak terkesan memaksakan bagi pihak pria. Dan yang paling penting menurut saya adalah tidak peduli seberapa tinggi tingkat pendidikan seorang wanita, yang terpentng adalah keluarga pria mau bertanggung jawab dan mampu menafkahi dan membahagiakan istrinya kelak hidup berumah tangga.


      Delete
    2. Saya sangat senang dengan adanya budaya manggarai mengenai “belis” kerena seperti yang kita ketahui bersama belis itu nilai budaya yang tidak pernah terlepaskan dari adat manggarai. Belis ini salah satu upacara dalam perkawinan yaitu bentuk meminang anak perempuan, yang dalam upacara budaya manggarainya yaitu”belis”. Menurut saya nilai belis ini dalam budaya mangggarai tidak seharusnya menuntut, karena dapat mempengaruhi kedua belah pihak, karena belis ini bukan untuk menjadi modal kekayaan dari pihak perempuan, melainkan sebagai adanya ikatan yang yang kuat antara perempuan dan laki-laki. Disisi lain belis ini dalam budaya manggarai dilihat dari profesi dari pihak perempuan.
      Berdasarkan pengalaman yang saya telah liat ada banyak sekali dalam budaya manggarai nilai belis ini menuntut kepada pihak laki-laki untuk melunasi belis. Apalagi dari pihak perempuanya sudah berprofesi tinggi sehingga dari dari pihak perempuan menuntut nilai belisnya semakin tinggi. Dari pihak laki-lakinya nilai belis ini sangat kompak, yaitu adanya kekompakan antara keluarga laki-laki untuk mengumpul dana berupa uang, karena dengan adanya kekompakan ini dapat meringankan belis.
      Setelah saya sudah membaca artikel tentang belis tersebut, menurut saya adat belis itu sangat penting dan harus terus dilakukan karena merupakan salah satu adat orang manggarai yang tidak bisa dipisahkan dan dihilangkan dari kehidupan masyarakat manggarai. Nilai yang yang dapat saya ambil dari adat belis ini adalah kekompakan antara keluarga dalam menjalankan budaya belis sehingga dapat memudahkan.

      Nama : Febrianto yestianus darman.
      Npm : 13.31.3092.
      Kelas : 3b. Pgsd.


      Delete

  14. Komentar saya , tentang belis yang ada di manggarai adalah suatu kebudayaan yang dilakukan dari nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun. Dan kebudayaan ini orang manggarai kalau anak perempuannya sudah punya suami, adat yang dilakukan oleh orang manggarai itu mempelai laki-laki harus masuk ke rumah perempuan untuk merestui hubungan mereka, agar hubungan mereka direstui oleh kedua orang tua mereka baik keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan. Setelah mereka direstui oleh orang tua mereka orang tua adanya komunikasi antara kelurga perempuan dan laki-laki, komunikasi yang mereka lakukan berkaitan dengan belis anak mereka, dimana seberapa uang yang mereka bawahkan atau hewan yang mereka bawahkan kepada keluarga perempuan yang sering kita dengarkan seberapa belis yang harus dibawahkan oleh keluarga laki-laki, sebgai rasa terima kasi mereka terhadap keluarga perempuan. Seperti yang Bapak paparkan didalam artikel ini bahwa belis adalah simbol penghargaan terhadap rahim. Hanya perempuan yang memiliki rahim. Karena itu, belis mengingatkan kita akan rahim dan perjuangan seorang perempuan yang menjadi ibu. Di beberapa tempat, diartikan sebagai penghargaan terhadap air susu ibu.
    Dan Belis juga adalah sesuatu yang wajib, tanpa harus dengan harga nominal yang tinggi. Sedangkan pesta perkawinan dapat digelar sesuai kemampuan.
    Kegelisahan yang Tak Teratasi dimana orang tua sekarang itu tergiur dengan provisi anaknya dimana mereka sudah menyekolahkan anaknya dengan mahal. Dan ketika anaknya sudah memiliki suami. Maka belis yang mereka ingginkan dari anak a belis seperti yang mereka inginkan. Tapi apa boleh buat yang dimampukan dari keluarga laki-laki tidak sesuai dengan keingginan dari keluarga perempuan maka adaanya kegelisahan yang tak teratasi, tapi bukan itu yang diharapkan oleh nenek moyang dulu ,bahwa belis itu harus sesuai dengan provisi seorang anak, tetapi yang mereka ingginkan supaya tidak istilah bahwa lari saja anak gadis orang , maka ada istilah adat atau kebudayaan yang mereka inggin tanamkan kegenerasi penerus bagaimana kita menikahi seorang perempuan dengan belis sebagai ganti air susu seorang itu karena yang melahirkan anaknya dan rasa terimakasi seorang keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.

    ReplyDelete

  15. Komentar saya , tentang belis yang ada di manggarai adalah suatu kebudayaan yang dilakukan dari nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun. Dan kebudayaan ini orang manggarai kalau anak perempuannya sudah punya suami, adat yang dilakukan oleh orang manggarai itu mempelai laki-laki harus masuk ke rumah perempuan untuk merestui hubungan mereka, agar hubungan mereka direstui oleh kedua orang tua mereka baik keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan. Setelah mereka direstui oleh orang tua mereka orang tua adanya komunikasi antara kelurga perempuan dan laki-laki, komunikasi yang mereka lakukan berkaitan dengan belis anak mereka, dimana seberapa uang yang mereka bawahkan atau hewan yang mereka bawahkan kepada keluarga perempuan yang sering kita dengarkan seberapa belis yang harus dibawahkan oleh keluarga laki-laki, sebgai rasa terima kasi mereka terhadap keluarga perempuan. Seperti yang Bapak paparkan didalam artikel ini bahwa belis adalah simbol penghargaan terhadap rahim. Hanya perempuan yang memiliki rahim. Karena itu, belis mengingatkan kita akan rahim dan perjuangan seorang perempuan yang menjadi ibu. Di beberapa tempat, diartikan sebagai penghargaan terhadap air susu ibu.
    Dan Belis juga adalah sesuatu yang wajib, tanpa harus dengan harga nominal yang tinggi. Sedangkan pesta perkawinan dapat digelar sesuai kemampuan.
    Kegelisahan yang Tak Teratasi dimana orang tua sekarang itu tergiur dengan provisi anaknya dimana mereka sudah menyekolahkan anaknya dengan mahal. Dan ketika anaknya sudah memiliki suami. Maka belis yang mereka ingginkan dari anak a belis seperti yang mereka inginkan. Tapi apa boleh buat yang dimampukan dari keluarga laki-laki tidak sesuai dengan keingginan dari keluarga perempuan maka adaanya kegelisahan yang tak teratasi, tapi bukan itu yang diharapkan oleh nenek moyang dulu ,bahwa belis itu harus sesuai dengan provisi seorang anak, tetapi yang mereka ingginkan supaya tidak istilah bahwa lari saja anak gadis orang , maka ada istilah adat atau kebudayaan yang mereka inggin tanamkan kegenerasi penerus bagaimana kita menikahi seorang perempuan dengan belis sebagai ganti air susu seorang itu karena yang melahirkan anaknya dan rasa terimakasi seorang keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.

    ReplyDelete
  16. 2. Belis, kegelisaha yang tak teratasi?
    Betul sekali, bahwa belis adalah kegelisahan yang tak teratasi, buktinya banyak orang yang tidak menikah hanya karena tidak mampu untuk membayar belis, akan tetapi apakah belis harus menjadi penghalang untuk orang yang sudah terlanjur berhubungan untuk nikah gereja. Menurut saya belis janganlah menjadi penghalang untuk orang – orang tersebut karena yang namanya belis bisa dilakukan atau di lunasi oleh pihak keluarga pria pada saat yang tepat yaitu pada saat keluarga sudah memiliki dana untuk membayar belis tersebut, tetapi bukan menjadi penghalang untuk pasangan untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
    Berdasarkan artikel yang sudah saya baca memang betul bahwa status atau profesi seseorang sangat mempengaruhi belis seseorang. Karena semakin tinggi pendidikan seorang wanita, maka belis yang di minta sangat tinggi pula, sehingga banyak kenyataan banyak orang yang gagal bercinta hanya karena belis yang di minta tidak sesuai dengan pendapatan dari keluarga pria. Akan tetapi , jika di pikirkan secara logis bahwa profesi seseorang tidak harus menggagalkan percintaan, karena profesi tersebut tentunya demi kebahagiaan dalam rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dalam keluarga. Jika dilihat dari profesi menurut saya belis tidak boleh terlalu di minta mahal atau tinggi karena profesi itu merupakan sesuatu yang memang harus dimiliki oleh seseorang demi kelangsungan hidup.
    Belis merupakan bukti bahwa keluarga mendukung hubungan dari pasangan, menurut saya hal tersebut sangat betul karena uang belis terkumpul dari anggota keluarga. Hal tersebut membuktikan bahwa keluarga betul – betul mendukung pasangan tersebut untuk bersatu. Jika keluarga pria memberikan belis kepada keluarga wanita sesuai dengan permintaan dari keluarga pihak wanita dan keluarga laki – laki menerima dan melunasinya itu menunjukkan bahwa, keluarga pria sungguh- sungguh untuk menerima dan mendukung pasangan tersebut untuk hidup bersatu.
    Belis juga sebagai bukti untuk ungkapan terima kasih seorang anak kepada orang tuanya, itu sangatlah betul karena orang tua sudah membesar dan mendidik anaknya. Sebagai bukti balas jasa kepada orang tuanya tentunya ada belis yang diberikan dari pihak keluarga pria kepada keluarga wanita, hal ini menunjukkan bahwa keluarga pria sangat menghargai dan menghormati orang tua dari seorang wanita tersebut.
    Terima kasih saya ucapkan kepada bapak karena telah menulis artikel ini, karena dengan artikel yang bapak buat saya mendapat pengetahuan yang banyak tentang belis.
    ( Nama : Kristina Nurhayati Suel, Kelas : 3b , Npm : 13.31.3062, Prodi: PGSD )

    ReplyDelete


  17. BELIS KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI
    Terimakasih saya ucapkan kepada bapak Kanisius T. Decky yang menulis tentang artikel sehingga saya dapat mempelajari dan menambah wawasan saya mengenai nilai budaya Belis yang ada di daerah Manggarai yang selalu menjadi topic perbincangan yang tidak pernah hilang di masyarakat.
    Masalah Belis memang tidak akan pernah habis dibicarakan karena merupakan hal yang sangat penting bagi kita sebagai orang Manggarai tetapi permasalahannya bagaimana pasangan yang akan menikah siap menghadapi Mahalnya belis yang disiapkan apalagi jika si “Wanita” berpendidikan tinggi. Makin tinggi pendidikan seorang wanita maka tinggi pula belis yang harus diserahkan oleh keluarga pihak laki-laki. Jika dipikir-pikir sebenarnya belis juga sangat membebani anak wanita sebab jika uang belis yang disiapkan keluarga laki-laki kurang, untuk menutupi malu pasangan pria akan rela melakukan pinjaman kepada Bank. Tentu saja pada saat sudah menjadi suami istri uang pinjaman itu akan dibayar bersama. Hal ini berdampak pada tidak terlaksananya keinginan untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti rumah dan kendaraan.
    Hal lain yang menjadi dampak dari tingginya belis adalah ada pasangan pria yang mengantung posisi dari pasangan wanita, saya mengambil contoh ada kejadian nyata di Manggarai, karena terlalu tinggi persyaratan belis dari keluarga wanita, keluarga pria mengantung posisi anak wanita itu. Mereka tetap teguh pada belis yang telah mereka siap sementara keluarga wanita menuntut dengan belis yang tinggi. Sampai saat ini si wanita tetap di gantung karena uang yang diterima pada saat masuk minta sudah digunakan untuk menolak pasangan pria ini mereka harus membayar 2x lipat dari belis yang di antar pada saat masuk minta. Memang serba salah tetapi inilah resiko jika mengharapkan belis dengan harga yang tinggi.
    Belis sebagai uang air susu ibu, ungkapan terimakasih seorang anak wanita kepada ibunya tidak harus dengan uang. Cinta kasih, rasa perhatian dan rasa memiliki menurut saya cukup untuk mewakili rasa terimakasih seorang anak kepada ibunya. menurut saya uang air susu ibu ini hanya sebagai bahasa halus dari uang belis. Seorang ibu tidak pernah mengharapkan imbalan setelah membesarkan seorang anak, karena cinta seorang ibu sangatlah murni.
    Belis agar dapat menggelar pesta yang mewah, sebenarnya seperti yang tertulis di artikel untuk membuat suatu perayaan harus di sesuaikan dengan kemampuan pihak laki-laki. Jangan hanya karena ingin dibilang mampu dan melihat dari status social seseorang, sebenarnya hal lain yang mendorong dibuatnya acara yang megah adalah karena sifat iri antar sesama ada pepatah yang mengatakan “Kalau Dia Bisa Kenapa Saya Tidak” hal ini yang menimbulkan seseorang ingin bersaing dengan orang lain, ada perasaan tidak mau kalah.
    Budaya belis memang merupakan budaya yang harus selalu di kembangkan, permasalahannya apakah harus mencapai angka ratusan juta. Seharusnya orangtua tidak perlu mematok harga belis karena uang yang di gunakan semua demi kebahagiaan anaknya sendiri yang terpenting kedua pasangan dapat berbahagia, hubungan mereka sakral di gereja dan mereka bisa memenuhi kebutuhan mereka pada saat mereka berumah tangga. Sekian
    (ALVIANA AGUSTINA LAANA 13.31.3078 KELAS IIIB PGSD)

    ReplyDelete
  18. ARTIKEL TENTANG BELIS, KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI.


    Pertama – tama saya ucapakan terima kasih kepada bapak Kanisius Teobaldus Deki yang telah menulis artikel tentang belis kegelisahan yang tak teratasi. Pada dasarnya istilah belis tidak terlepas dari kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Manggarai. Ada beberapa pokok pikiran tentang perlunya belis. Pertama, belis adalah simbol penghargaan terhadap rahim. Hanya perempuan yang memiliki rahim. Karena itu, belis mengingatkan kita akan rahim dan perjuangan seorang perempuan yang menjadi ibu. Di beberapa tempat, diartikan sebagai penghargaan terhadap air susu ibu. Sebagai penghargaan, tentu tidak harus dinyatakan dengan materi tertentu, apalagi dengan jumlah yang fantastik, yang dihubungkan dengan status sosial. pasalnya, rahim dan air susu adalah aspek yang sama untuk semua wanita. Dalam alur gagas ini, praktik belis yang menegasikan rahim dan air susu sebagai identitas khas perempuan lalu menghubungkannya dengan status sosial adalah sebuah pemungkiran terhadap nilai belis itu sendiri.
    Kedua, belis, dalam banyak literature, lebih sebagai bukti atau tanda bahwa kedua calon mempelai berada dalam satu ikatan. Ikatan itu juga secara sosial menyatukan dua keluarga besar (di Manggarai disebut woe nelu). Woe nelu adalah akibat. Sebagai tanda, belis hanyalah sebuah instrumen, alat bukti (yang berupa hewan, sejumlah uang dan barang berharga) tentang pengesahan sebuah proses perkawinan. Karena itu, tekanan yang menilai keabsahan perkawinan hanya sebatas jumlah instrumen (quantity focus) tadi bukanlah hal yang sangat esensial. Sebab, yang utama adalah cinta (quality focus) antara kedua mempelai yang akan mengarungi bahtera rumah tangga baru.
    Ketiga, belis juga dilihat sebagai bentuk kesungguhan keluarga besar mendukung calon mempelai sekaligus tanda bahwa secara ekonomis, keluarga besar juga dapat membiayai kehidupan si anak gadis nantinya. Keterlibatan keluarga besar dalam membiayai sebuah perkawinan ada dalam ranah pembuktian cinta kasih dan ekspresi kegembiraan terhadap calon pengantin. Sebuah pemberian non investasi material yang tidak berdampak profit pula.
    Istilah belis sudah terlekat pada diri masyarakat Manggarai yang menunjukkan sikap penghargaan terhadap kaum perempuan dalam adat Manggarai. Belis bukan berarti harus dipaksakan hanya karena belis sudah menjadi darah daging atau pokok dalam adat Manggarai. Kegelisahan yang terjadi pada diri laki – laki itu diakibatkan karena selalu berpikir dalam hal belis harus dilunasi. Sebenarnya belis itu tidak dituntut untuk lunas atau nempung. Untuk mengatasi hal tersebut dalam istilah Manggarai itu “ wae teku tedeng “ yang artinya kesulitan apapun dari kaum perempuan atau anak wina harus dipikul sama – sama dan bertanggung jawab secara bersama- sama juga dalam menyelesaikannya.
    Akhir kata, saya juga mengucapakan terima kasih karena setelah membaca artikel ini dapat menambah wawsan atau ilmu saya, sehingga dapat berguna dan bermanfaat bagi kehidupan selanjutnya di masa yang akan datang.



    Nama : Maria Ifoni Delsi
    Kleas : III B
    Prodi : PGSD
    NPM : 13.31.3118

    ReplyDelete
  19. NAMA : GABRIELA RATNASARI JEBARUS
    NPM : 13.31.3071
    KELAS : III B
    Kanisius Teobaldus Deki
    Sabtu, 19 Maret 2016
    Belis, Kegelisahan yang Tak Teratasi?

    Kanisius Teobaldus Deki
    Dosen STKIP St. Paulus

    KOMENTAR SAYA :
    Dalam tulisan tentang “Belis, Kegelisahan yang Tak Teratasi? Disini kita akan membicarakan Budaya Belis dan paca
    Belis/ paca itu merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak rona ( keluarga mempelai laki-laki) kepada anak wina (keluarga mempelai perempuan) yang biasanya berdasarkan atas kesepakatan pada saat pongo (ikat). Yang dimaksud seperangkat mas kawin di sini adalah seng agu paca (seng = uang; paca = hewan berupa kerbau dan kuda). Dalam bahasa adat perkawinan Manggarai, uang biasa disebut dengan menggunakan term kiasan seperti kala (daun sirih), one cikang (dalam saku), one mbaru (dalam rumah); sedangkan untuk hewan disebut dengan menggunakan term kiasan seperti peang tana (di luar rumah). Semua pembicaraan yang berkaitan dengan jumlah belis yang harus diberikan oleh pihak laki-laki terhadap pihak keluarga perempuan dibicarakan pada saat pongo. Ketika itu terjadi proses tawar menawar antara tongka (juru bicara) dari pihak anak rona dan anak wina tentang jumlah belis.


    Mempelai perempuan memberikan patokan belis yang harus ditanggapi oleh keluarga mempelai laki-laki berupa tawar-menawar sebelum adanya keputusan final. Kadang tidak ditemukanya kesepakatan dan apabila kesepakatan tidak ditemukan, maka acara itu ditunda lagi.
    Setelah semuanya mencapai kesepakatan, ada waktu yang telah ditentukan untuk menyerahkan mas kawin itu pada saat acara adat yang disebut coga seng agu paca . Di mana semua hal menyangkut mas kawin yang telah dibicarakan dan diputuskan bersama (pada tahap perkawinan sebelumnya yaitu pada saat pongo) akan diserahkan oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan. Adat coga seng agu paca merupakan inti/ puncak sebagai bukti tanggung jawab keluarga laki-laki dalam melunasi belis kepada keluarga perempuan. Momen inilah yang menjadi tolok ukur sampai sejauh manakah kesiapan, kemampuan keluarga mempelai laki-laki dalam urusan perkawinan itu.
    Mengapa belis atau “Paca” harus “dibayarkan” dalam pernikahan adat Manggarai? Pertama-tama belis atau “paca” bukan hanya suatu penetapan melainkan suatu pengukuhan kehidupan suami istri. Ada dua unsur pokok: anak rona (penerima mas kawin) dan anak wina (pemberi mas kawin). Kalau kita berbicara tentang “Otonomitas diri perempuan” Setinggi-tingginya pendidikan kita sebagai tidak bisa menjamin bisa melawan adat maupun keputusan dari pihak orang tua yang telah membesarkan dan memperjuangkan kita dalam mreraihkan pendidikan. Karena momen ini merupakan sebagai dasar sejauh manakah keluarga mempelai laki-laki bertanggung jawab dalam upacara belis. Mengapa belis atau “Paca” harus “dibayarkan” dalam pernikahan adat Manggarai? Pertama-tama belis atau “paca” bukan hanya suatu penetapan melainkan suatu pengukuhan kehidupan suami istri dalam melanjutkan kehidupan dalam keluarga kecil mereka.
    “TABE…. MORI SEMBENG ITE”

    ReplyDelete

  20. NAMA : GABRIELA RATNASARI JEBARUS
    NPM : 13.31.3071
    KELAS : III B
    Kanisius Teobaldus Deki
    Sabtu, 19 Maret 2016
    Belis, Kegelisahan yang Tak Teratasi?

    Kanisius Teobaldus Deki
    Dosen STKIP St. Paulus

    KOMENTAR SAYA :
    Dalam tulisan tentang “Belis, Kegelisahan yang Tak Teratasi? Disini kita akan membicarakan Budaya Belis dan paca
    Belis/ paca itu merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak rona ( keluarga mempelai laki-laki) kepada anak wina (keluarga mempelai perempuan) yang biasanya berdasarkan atas kesepakatan pada saat pongo (ikat). Yang dimaksud seperangkat mas kawin di sini adalah seng agu paca (seng = uang; paca = hewan berupa kerbau dan kuda). Dalam bahasa adat perkawinan Manggarai, uang biasa disebut dengan menggunakan term kiasan seperti kala (daun sirih), one cikang (dalam saku), one mbaru (dalam rumah); sedangkan untuk hewan disebut dengan menggunakan term kiasan seperti peang tana (di luar rumah). Semua pembicaraan yang berkaitan dengan jumlah belis yang harus diberikan oleh pihak laki-laki terhadap pihak keluarga perempuan dibicarakan pada saat pongo. Ketika itu terjadi proses tawar menawar antara tongka (juru bicara) dari pihak anak rona dan anak wina tentang jumlah belis.


    Mempelai perempuan memberikan patokan belis yang harus ditanggapi oleh keluarga mempelai laki-laki berupa tawar-menawar sebelum adanya keputusan final. Kadang tidak ditemukanya kesepakatan dan apabila kesepakatan tidak ditemukan, maka acara itu ditunda lagi.
    Setelah semuanya mencapai kesepakatan, ada waktu yang telah ditentukan untuk menyerahkan mas kawin itu pada saat acara adat yang disebut coga seng agu paca . Di mana semua hal menyangkut mas kawin yang telah dibicarakan dan diputuskan bersama (pada tahap perkawinan sebelumnya yaitu pada saat pongo) akan diserahkan oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan. Adat coga seng agu paca merupakan inti/ puncak sebagai bukti tanggung jawab keluarga laki-laki dalam melunasi belis kepada keluarga perempuan. Momen inilah yang menjadi tolok ukur sampai sejauh manakah kesiapan, kemampuan keluarga mempelai laki-laki dalam urusan perkawinan itu.
    Mengapa belis atau “Paca” harus “dibayarkan” dalam pernikahan adat Manggarai? Pertama-tama belis atau “paca” bukan hanya suatu penetapan melainkan suatu pengukuhan kehidupan suami istri. Ada dua unsur pokok: anak rona (penerima mas kawin) dan anak wina (pemberi mas kawin). Kalau kita berbicara tentang “Otonomitas diri perempuan” Setinggi-tingginya pendidikan kita sebagai tidak bisa menjamin bisa melawan adat maupun keputusan dari pihak orang tua yang telah membesarkan dan memperjuangkan kita dalam mreraihkan pendidikan. Karena momen ini merupakan sebagai dasar sejauh manakah keluarga mempelai laki-laki bertanggung jawab dalam upacara belis. Mengapa belis atau “Paca” harus “dibayarkan” dalam pernikahan adat Manggarai? Pertama-tama belis atau “paca” bukan hanya suatu penetapan melainkan suatu pengukuhan kehidupan suami istri dalam melanjutkan kehidupan dalam keluarga kecil mereka.
    “TABE…. MORI SEMBENG ITE”

    ReplyDelete




  21. ELIS, KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI
    Berbicara tentang belis, tidak lari jauh dengan adat dan budaya orang NTTterlebih khusus orang manggarai. Dan belis meru pakan salah satu adat di manggarai yang sejak dahulu kala yang sifatnya turun temurun dari jaman ke jaman. Belis merupakan jembatan tidak bisa di hindari pula sebelum menjalinkan suatu pernikahan , maka petua adat dari kedua pasangan yang menika itu membahas tentang belis,dan setelah kesepakatan mereka sudah sah maka pernikahan pun berlansung tampah ada hambatan. Pandangan orang jaman dulu dan jaman sekarang sangat berbedah ,jaman duluh orang tua tidak menuntut belis asalkan suaminya itu bisa memberikan dia kebahagian, dan orang jaman dulu belum banyak yang berpendidikan yang lebih tinggi sehingga belis tidak selalu menuntut asalkan kedua keluarga itu sepakat dengan baik, Tetapi jaman semakin berubah dan pendidikan semakin tinggi( sarjana) banyak,orang tua yang berpikir sekolah semakin tinggi semakin besarpulah pembiayaan terlebih khusus untuk anak perempuan. Dan menurut mereka memiliki anak perempuan salah satu kebaha gian mereka tersendiri. Pasti kita banyak bertanya kebahagian seperti apa yang di rasakan oleh orang tua tersebut, dan kenapa memiliki anak perempuan itu istimewa dan kalau di pikir anak laki- lakipula juga hal yang istimewa
    Jawaban atas pertanyaan di atas bagi mereka anak perempuan kalau mereka menika pasti belisnya banyak /mahal. Di karenakan bagi mereka sekolah yang tinggi dengan biaya yang besar maka semua itu sudah terhitung pada saat anak perempuan mereka ada yang dilamar. Dan pandangan orang tua belis itu penting karena dengan adanya belis dan belis yang mahal itu merupakan suatu balasan jasah dari kedua orang tua yang di sebut AIR SUSU IBU. Tetapi pernyataan tersebut sudah bertolak belakang dengan keadaan sekarang, bahkan semakin tinggi sekolah, semakin banyak anak perempuan yang tidak menika karena orang tua selalu mengambil hak anak mereka yaitu orang tua selalu menuntut belis yang begitu banyak /mahal. Disinilah anak selalu banyak yang menjadi korban dan orang tua selalu berpikir keuntungan , dan anak kalau di pikir kebahagian anak lebih penting. Kejadian seperti ini banyak terjadadi lingkungan sekitar kita. Memang banyak orang tua juga biar anak nya sekolah tinggi tidak menuntut belis yang mahal, munkin bagi mereka belis yang mahal membuat anak mereka menderita. Pertanyaan bagi kita sekarang apakah belis itu penting atau tidak ? dan apakah belis itu bisa di hindari atau,tidak semua pertanyaan itu sekarang membuat kita berpikir tentang masa depan anak kita nanti. Dan jawaban itu ada pada diri anda. Jadi kesimpulan belis bukan hambatan untuk tidak menjalinkan pernikahan, tetepi belis merupakan sarana untuk menjalinkan hubungan kedua keluarga tersebut.
    NAMA : KONELIA SELFI SURIANTI
    KLS : 111B
    NPM : 13 31 3088





    ReplyDelete
  22. Komentar saya , tentang belis yang ada di manggarai adalah suatu kebudayaan yang dilakukan dari nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun. Dan kebudayaan ini orang manggarai kalau anak perempuannya sudah punya suami, adat yang dilakukan oleh orang manggarai itu mempelai laki-laki harus masuk ke rumah perempuan untuk merestui hubungan mereka, agar hubungan mereka direstui oleh kedua orang tua mereka baik keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan. Setelah mereka direstui oleh orang tua mereka orang tua adanya komunikasi antara kelurga perempuan dan laki-laki, komunikasi yang mereka lakukan berkaitan dengan belis anak mereka, dimana seberapa uang yang mereka bawahkan atau hewan yang mereka bawahkan kepada keluarga perempuan yang sering kita dengarkan seberapa belis yang harus dibawahkan oleh keluarga laki-laki, sebgai rasa terima kasi mereka terhadap keluarga perempuan. Seperti yang Bapak paparkan didalam artikel ini bahwa belis adalah simbol penghargaan terhadap rahim. Hanya perempuan yang memiliki rahim. Karena itu, belis mengingatkan kita akan rahim dan perjuangan seorang perempuan yang menjadi ibu. Di beberapa tempat, diartikan sebagai penghargaan terhadap air susu ibu.
    Dan Belis juga adalah sesuatu yang wajib, tanpa harus dengan harga nominal yang tinggi. Sedangkan pesta perkawinan dapat digelar sesuai kemampuan.
    Kegelisahan yang Tak Teratasi dimana orang tua sekarang itu tergiur dengan provisi anaknya dimana mereka sudah menyekolahkan anaknya dengan mahal. Dan ketika anaknya sudah memiliki suami. Maka belis yang mereka ingginkan dari anak a belis seperti yang mereka inginkan. Tapi apa boleh buat yang dimampukan dari keluarga laki-laki tidak sesuai dengan keingginan dari keluarga perempuan maka adaanya kegelisahan yang tak teratasi, tapi bukan itu yang diharapkan oleh nenek moyang dulu ,bahwa belis itu harus sesuai dengan provisi seorang anak, tetapi yang mereka ingginkan supaya tidak istilah bahwa lari saja anak gadis orang , maka ada istilah adat atau kebudayaan yang mereka inggin tanamkan kegenerasi penerus bagaimana kita menikahi seorang perempuan dengan belis sebagai ganti air susu seorang itu karena yang melahirkan anaknya dan rasa terimakasi seorang keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.
    Nama: Anastasia Tanti
    kelas: III B
    NPM : 13.31.3107

    ReplyDelete
  23. “ Komentar Tentang Belis Pada Budaya Manggarai ”

    Pada dasarnya kebudayaan merupakan sesuatu yang menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang dianggap benar. Kebiasaan itu terus berlanjut dilakukan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya, diwariskan dari nenek moyang kepada generasi penerus kebudayaan tersebut. “Belis” merupakan salah satu bagian kebudayaan di Manggarai. Tak seorang pun dapat mengubah kebudayaan ini karena kebudayaan tersebut merupakan warisan dari nenek moyang Manggarai yang merupakan simbol ikatan persatuan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan. Setelah melakukan adat belis ini, pasangan itu baru bisa diizinkan bersuami istri secara adat yang kemudian dilanjuti dengan acara nikah gereja.
    Karena ini merupakan warisan nenek moyang, maka kebudayaan ini wajib dilakukan setiap individu manusia yang nota bene merupakan anggota asli Manggarai.
    Tetapi begitu banyak argumen, kritikan yang dilontarkan dari berbagai pihak yang memiliki pandangan yang berbeda tentang makna dari belis itu. Ada yang menilai bahwa belis adalah alat untuk membeli seorang perempuan oleh laki-laki dimana perempuan itu akan menjadi miliknya nanti. Dan masih banyak pandangan lain dari berbagai pihak. Tetapi tak apalah, itulah manusia yang merupakan mahkluk sosial.
    Menurut saya, saya sependapat dengan apa yang di katakan oleh Bpk.Kanisius Deki pada artikelnya bahwa belis merupakan simbol penghargaan terhadap rahim perempuan dan air susu ibu. Sosok seorang ibulah yang menjadi dan membesarkan anak, tanpa rahim dan air susu ibu seseorang tidak dapat bisa hidup. Oleh karena itu belis pada kebuadayaan Manggarai merupakan sebuah kebudayaan yang harus dijaga.
    Kemudian belis merupakan suatu tanda bukti bahwa suatu pasangan berada pada suatu ikatan dan ikatan itu menyatuhkan dua keluarga besar.

    Sekian komentar dari saya....
    Nama : Robertus Lang
    Kelas : IIIB
    NPM : 13.31.3121

    ReplyDelete
  24. BELIS, KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI

    Menurut artikel yang telah baca memang dalam adat istiadat masyarakat manggarai terdapat kebiaasaan Belis.Kata 'Belis' adalah istilah dari budaya manggarai yang tidak dapat dipisahkan adat istiadat dalam proses perkawinan.Belis merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak wina (kelurga mempelai laki-laki ) kepada anak rona ( kelurga mempelai perempuan).
    Belis dapat berupa hewan ( babi,kambing,kuda,sapi,dan kerbau) dan uang.Namun warisan mahaluhur itu ( belis ) kini mendapat sorotan tajam dari banyak pihak.Belis berupa uang saat ini menjadi sebuah bentuk penjajahan baru dalam dunia perkawinan.
    Perempuan dan Uang
    Keluhuran dan nilai manusia menjadi sebuah persoalan bagi sebagian masyarakat Manggarai.Dalam persoaalan ini belis perempuan seakan harkat dan martabatnya sebagai manusia seolah-olah di perdagangkan.Perempuan manggarai nilai dan ratusan rupiah.Singkatnya perempuan di sejajarkan dengan uang.
    Di Manggarai cinta,sayang,dan ketulusan bukan menjadi modal utama bagi calon pengantin untuk bersanding di pelaminan.Hal yang diprioritaskan adalah uang.Uang tersebut diserahkan oleh pihak anak wina kepada anak rona melalui tongka ( juru bicara ) masin-masing pihak.
    Angka rupiah yang disebut sebagai belis tidak hanya berkisar pada puluhan juta saja,tetapi ratusan juta rupiah.Hal ini tidak jarang mengakibatkan adanya perselisihan di antara tongka yang berujung pada penundaan ketetapan belis ,belis seakan bukan lagi menjadi nilai yang luhur melainkan menjadi hakim bagi para calon mempelai.Keluarga pria ( anak wina ) harus membayar kepada pihak perempuan ( anak rona ).Uang yang diberikan pihak laki-laki seakan-akan menjadi biaya ganti rugi kepada orang tua perempuan yang telah membiayai si perempuan untuk bersekolah ( maksud terselubung dari belis ).Nominal yang diberikan melebihi biaya yang di keluarkan oleh orang tua perempuan.Persoalan inimenjadikan orang Manggarai sebagai penjajah baru ditengah dunia yang sudah modern ini.Hal ini juga menjadi bentuk dari proses memiskinkan manusia Manggarai ,namun demikian tidak dapat dipunkiri bahwa belis merupakan salah satu warisan budaya yang bernilai.Belis merupakan tingginya dan martabat seorang perempuan dirampas oleh dinamika kehidupan dunia yang serba konsumeri.
    Pada hakekatnya perempuan dan laki-laki adalah sama ,perempuan dan laki-laki adalah pribadi yang memiliki martabat luhur.Keluhuran martabat itu didasarkan pada kodrat sebagai ciptan yang luhur.Oleh karna itu belis yang pada dasarnya merupakan sebuah bentuk penghargaan terhadap perempuan.Belis menjadi sebuah ajang baru bagi upaya memperkaya diri ( kelurga perempuan) dengan itu setiap orang wajib mempertahankan keutuhan pribadi manusia yang di tandai nilai-nilai luhur akal budi,kehendak,suara hati dan persaudaraan yang semuanya di dasarkan pada Sang Pencipta,meskipun belis budaya masyarakat Manggarai memiliki sisi positif dan negatifnya.
    Nama : Carolina Y. Jelita
    Kelas : III B
    NPM :12.31.3326

    ReplyDelete
  25. BELIS, KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI

    Menurut artikel yang telah baca memang dalam adat istiadat masyarakat manggarai terdapat kebiaasaan Belis.Kata 'Belis' adalah istilah dari budaya manggarai yang tidak dapat dipisahkan adat istiadat dalam proses perkawinan.Belis merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak wina (kelurga mempelai laki-laki ) kepada anak rona ( kelurga mempelai perempuan).
    Belis dapat berupa hewan ( babi,kambing,kuda,sapi,dan kerbau) dan uang.Namun warisan mahaluhur itu ( belis ) kini mendapat sorotan tajam dari banyak pihak.Belis berupa uang saat ini menjadi sebuah bentuk penjajahan baru dalam dunia perkawinan.
    Perempuan dan Uang
    Keluhuran dan nilai manusia menjadi sebuah persoalan bagi sebagian masyarakat Manggarai.Dalam persoaalan ini belis perempuan seakan harkat dan martabatnya sebagai manusia seolah-olah di perdagangkan.Perempuan manggarai nilai dan ratusan rupiah.Singkatnya perempuan di sejajarkan dengan uang.
    Di Manggarai cinta,sayang,dan ketulusan bukan menjadi modal utama bagi calon pengantin untuk bersanding di pelaminan.Hal yang diprioritaskan adalah uang.Uang tersebut diserahkan oleh pihak anak wina kepada anak rona melalui tongka ( juru bicara ) masin-masing pihak.
    Angka rupiah yang disebut sebagai belis tidak hanya berkisar pada puluhan juta saja,tetapi ratusan juta rupiah.Hal ini tidak jarang mengakibatkan adanya perselisihan di antara tongka yang berujung pada penundaan ketetapan belis ,belis seakan bukan lagi menjadi nilai yang luhur melainkan menjadi hakim bagi para calon mempelai.Keluarga pria ( anak wina ) harus membayar kepada pihak perempuan ( anak rona ).Uang yang diberikan pihak laki-laki seakan-akan menjadi biaya ganti rugi kepada orang tua perempuan yang telah membiayai si perempuan untuk bersekolah ( maksud terselubung dari belis ).Nominal yang diberikan melebihi biaya yang di keluarkan oleh orang tua perempuan.Persoalan inimenjadikan orang Manggarai sebagai penjajah baru ditengah dunia yang sudah modern ini.Hal ini juga menjadi bentuk dari proses memiskinkan manusia Manggarai ,namun demikian tidak dapat dipunkiri bahwa belis merupakan salah satu warisan budaya yang bernilai.Belis merupakan tingginya dan martabat seorang perempuan dirampas oleh dinamika kehidupan dunia yang serba konsumeri.
    Pada hakekatnya perempuan dan laki-laki adalah sama ,perempuan dan laki-laki adalah pribadi yang memiliki martabat luhur.Keluhuran martabat itu didasarkan pada kodrat sebagai ciptan yang luhur.Oleh karna itu belis yang pada dasarnya merupakan sebuah bentuk penghargaan terhadap perempuan.Belis menjadi sebuah ajang baru bagi upaya memperkaya diri ( kelurga perempuan) dengan itu setiap orang wajib mempertahankan keutuhan pribadi manusia yang di tandai nilai-nilai luhur akal budi,kehendak,suara hati dan persaudaraan yang semuanya di dasarkan pada Sang Pencipta,meskipun belis budaya masyarakat Manggarai memiliki sisi positif dan negatifnya.
    Nama : Carolina Y. Jelita
    Kelas : III B
    NPM :12.31.3326

    ReplyDelete
  26. Belis, Kegelisahan yang Tak Teratasi?
    Menurut saya berbicara tentang belis,apalagi yang berkaitan dengan artikel yang telah saya baca bahwa belis merupakan kewajiban yang harus diberi oleh pihak laki-laki dan harus diterima oleh pihak perempuan .Berbicara tentang belis yang harus diberi oleh pihak laki-laki ingin menunjukkan bahwa ia menghargai orang tua dari pihak perempuan yang telah membesarkannya dan menyekolakannya,bukan berarti pihak laki –laki lmembeli atau membayar jasa kedua orang tua dari pihak perempuan tersebut. Belis tidak harus dilihat dari besar jumlah uang yang akan diberihkan,melainkan nilai sosial yang akan berkaitan dengan aspek yang menyatahkan bahwa perempuan perlu dihargai dan perlu menghargai rahim dan air susu ibu dari pihak perempuan .
    Belis membuktikan bahwa kedua calon mempelai telah siap untuk menjalani sebuah ikatan yang akan dilakukan melalui acara adat yang akan menyatuhkan kedua keluarga besar dari kedua bela pihak .Belis hanyalah sebagai alat bukti untuk melalui sebuah tantangan dalam mencapai hubungan perkawinan ,sedangkan yang paling utama untuk memperoleh atw mencapai sebuah hubungan adalah cinta dari kedua mempelai.Belis juga adalah sebuah bentuk dukungan dari kedua keluarga besar sebagai tanda untuk meminang mempelai wanita yang nantinya akan menjadi nggota keluarga baru dari pihak laki laki.Terlibatnya keluarga besar dalam sebuah perkawinan adalah sebagai bukti cinta kasih dan ekspresi kegembiraan.
    Otonomitas diri perempuan
    Saya sebagai seorang perempuan berpendapat sama dengan artikel ini yang mengutarahkan bahwa kebiasaan kita orang Manggarai adalah apabila seorang perempuan yang sudah sudah melalui jenjang pendidikan tinggi maka,akan memperoleh belis mahal karena itu merupakan sebuah kekeliruan dan praktis belis yang salah.
    Untuk mengatasi kegelisaan ini kita perlu memahami teori yang telah di lampirkan dalam artikel ini bahwa belis adalah bentuk penghargaan dan sesuatu yang wajib tanpa harus dengan harga yang nominal tinggi.sedangkan orang tua adalah tim sukses dalam mendukung sebuah hubungan dan pesta adalah bentuk rasa terimakasih dan ekspresi kegembiraan .Keutamaan dalam menjalin sebuah hubungan adalah cinta,kejujuran dan restu orang tua.
    Nama : Felsiana Oktaviani Mbohong
    Kelas : III B PGSD
    NPM :.13.31.3104

    ReplyDelete
  27. Belis, Kegelisahan yang Tak Teratasi?
    Menurut saya berbicara tentang belis,apalagi yang berkaitan dengan artikel yang telah saya baca bahwa belis merupakan kewajiban yang harus diberi oleh pihak laki-laki dan harus diterima oleh pihak perempuan .Berbicara tentang belis yang harus diberi oleh pihak laki-laki ingin menunjukkan bahwa ia menghargai orang tua dari pihak perempuan yang telah membesarkannya dan menyekolakannya,bukan berarti pihak laki –laki lmembeli atau membayar jasa kedua orang tua dari pihak perempuan tersebut. Belis tidak harus dilihat dari besar jumlah uang yang akan diberihkan,melainkan nilai sosial yang akan berkaitan dengan aspek yang menyatahkan bahwa perempuan perlu dihargai dan perlu menghargai rahim dan air susu ibu dari pihak perempuan .
    Belis membuktikan bahwa kedua calon mempelai telah siap untuk menjalani sebuah ikatan yang akan dilakukan melalui acara adat yang akan menyatuhkan kedua keluarga besar dari kedua bela pihak .Belis hanyalah sebagai alat bukti untuk melalui sebuah tantangan dalam mencapai hubungan perkawinan ,sedangkan yang paling utama untuk memperoleh atw mencapai sebuah hubungan adalah cinta dari kedua mempelai.Belis juga adalah sebuah bentuk dukungan dari kedua keluarga besar sebagai tanda untuk meminang mempelai wanita yang nantinya akan menjadi nggota keluarga baru dari pihak laki laki.Terlibatnya keluarga besar dalam sebuah perkawinan adalah sebagai bukti cinta kasih dan ekspresi kegembiraan.
    Otonomitas diri perempuan
    Saya sebagai seorang perempuan berpendapat sama dengan artikel ini yang mengutarahkan bahwa kebiasaan kita orang Manggarai adalah apabila seorang perempuan yang sudah sudah melalui jenjang pendidikan tinggi maka,akan memperoleh belis mahal karena itu merupakan sebuah kekeliruan dan praktis belis yang salah.
    Untuk mengatasi kegelisaan ini kita perlu memahami teori yang telah di lampirkan dalam artikel ini bahwa belis adalah bentuk penghargaan dan sesuatu yang wajib tanpa harus dengan harga yang nominal tinggi.sedangkan orang tua adalah tim sukses dalam mendukung sebuah hubungan dan pesta adalah bentuk rasa terimakasih dan ekspresi kegembiraan .Keutamaan dalam menjalin sebuah hubungan adalah cinta,kejujuran dan restu orang tua.
    Nama : Felsiana Oktaviani Mbohong
    Kelas : III B PGSD
    NPM :.13.31.3104

    ReplyDelete
  28. Nama : Heribertus Suwardi Bandur
    NPM : 13.31.3120
    Kelas : III B
    “BELIS, KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI?”
    Komentar saya mengenai artikel tersebut :
    Dalam kebiasaan orang manggarai terdapat istilah belis. Istilah belis ini tidak dapat dipisahkan dari adat istiadat dalam proses perkawinan. Istilah belis ini merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak wina (keluarga dari mempelai laki-laki) kepada anak rona (keluarga dari mempelai wanita). Kebiasaan belis ini dapat membawa pengaruh besar terhadap keluarga besar mempelai pria yang hendak memperistrikan seorang wanita. Seperti yang kita ketahui bahwa belis merupakan kebiasaan yang turun temurun dari nenek moyang orang manggarai Dalam persoalan belis, anak perempuan seakan-akan di sejajarkan dengan nilai rupiah, rasa cinta, kasih sayang bukanlah hal yang di utamakan dalam masyarakat manggarai, karena dalam mata masyarakat manggarai rasa cinta, ketulusan dan kasih sayang tidak akan memberikan sesuap nasi bagi keluarga wanita maupun terhadap kedua insan yang sedang membangun sebuah keluarga kecil.
    Anak perempuan dijadikan sebagai batu loncatan untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Perempuan manggari diperdagangkan layaknya komoditas. Kondisi ini sangat memperihatinkann. Perempuan layaknya benda yang diperjual-belikan di psar. Prinsipnya “siapa cepat dia dapat, siapa yang kaya atau berduit maka dialah yang dapat mempersuntingkan si perempuan. ”
    Kebiasaan orang manggarai dalam biaya belis disesuaikan dengan gelar yang dimilki oleh seorang wanita. Jika seorang wanita dengan gelar sebagai guru, maka akan berbeda harga belisnya dengan wanita yang tidak sama sekali memiliki gelar atau tidak berpendidikan. Gelar ini juga merupakan pengaruh besar untuk keluarga pria dalam meminang anak perempuan. Beda halnya dengan keluarga perempuan, karena bagi keluarga perempuan hal ini merupakan nilai ganti rugi dalam menyelesaikan tingkat pendidikannya sampai ia mendapatkan gelar tersebut. Nilai belis yang disesuaikan dengan gelar ini menjadi penghambat dalam keluarga laki-laki karena dimata mereka ini sepertinya terjadi pemaksaan untuk melunasi semua permintaan dari keluarga mempelai wanita.
    Jadi belis tidak akan menjadi kegelisahan apabila kedua belah pihak yaitu pihak laki-laki dan pihak perempuan saling terbuka satu sama lain agar tidak ada kekeliruan seperti yang telah dijelaskan diatas.




    ReplyDelete
  29. BELIS, KEGELISAHAN YANG TAK TERATASI
    Yang pertama-tama saya ucapkan trimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengomentari tentang belis yang ada di manggarai.
    Kata belis untuk orang manggarai merupakan hal yang sudah lazim didengar, dimana ada pernikahan disitu pasti ada kata belis, karena adat orang manggarai sebelum melakukan pernikahan pasti ada acara-acara adat yang harus dilaksanakan te rmasuk didalamnya adalah tentan g belis itu sendiri. Belis bagi masyarakat manggarai pada umumnya merupakan suatu hal yang aktual untuk saat ini. Belis seringkali dikaitkan dengan status sosial yang dimiliki oleh seorang gadis yang hendak menikah, rumusannya jika seorang gadis memiliki status sosial yang tinggi maka permintaan belispun semakin tinggi. Dalam hal ini saya sebagai seorang perempuan, saya sedikit tidak setuju dengan belis yang dilakukan di daerah manggarai dengan alasan belis bukan satu-satunya penentu bahwa seorang laki-laki bisa membiayai kehidupan sang gadis atau membangun rumah tangga mereka dengan baik. Menurut saya belis juga merupakan suatu beban berat bagi keluarga peria untuk menikahi seorang gadis. jadi menurut saya belis sebaiknya tidak boleh memaksa keadaan dari sang lelaki melainkan memberikan kesempatan kepada mereka untuk seberapa besar rasa trimakasih mereka terhadap mertua untuk menggantikan air susu ibu yang sudah membesarkan sang gadis, sehingga tidak menimbulkan banyak persoalan sebelum menikah. Jadi alngkah lebi baiknya ketika kita mau minta belis kepada sang keluarga laki-laki maka kita maka kita juga harus memikirkan masa depan keluarga baru mereka. Bukan berarti tidak menghargai ibu sebagai orang tua yang sudah membesarkan kita tetapi mengingat dalam keluarga manggarai masih ada juga acara yang melibatkan mereka nantinya yaitu salah satunya “SIDA”. Jadi dalam sida ini juga keluarga sang laki-laki ikut serta dalam membantu kita untuk meringankan beban yang di tanggung oleh keluarga wanita.
    Sekian komentar dari saya
    Nama : SABINA BAHONG
    Kelas : IIIB
    NPM : 13.31.3065

    ReplyDelete
  30. Angka rupiah yang disebut sebagai belis tidak hanya berkisar pada puluhan juta saja, tetapi ratusan juta rupiah. Hal ini tidak jarang mengakibatkan adanya perselisihan di antara tongka yang berujung pada penundaan ketetapan belis.
    Belis seakan bukan lagi menjadi nilai yang luhur melainkan menjadi hakim bagi para calon mempelai. Keluarga pria (anak wina) harus membayar uang kepada pihak perempuan (anak rona). Uang yang diberikan pihak laki-laki seakan-akan menjadi biaya ganti rugi kepada orang tua perempuan yang telah membiayai si perempuan untuk bersekolah (maksud terselubung dari belis).
    Nominal yang diberikan melebihi biaya yang dikeluarkan oleh orang tua perempuan. Persoalan ini menjadikan orang Manggarai sebagai “penjajah” baru di tengah dunia yang sudah modern ini. Hal ini juga menjadi bentuk dari proses memiskinkan manusia Manggarai.
    anak perempuan dijadikan sebagai subiek untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Kebermaknaan perempuan sebagai manusia yang bermartabat seolah-olah di geser oleh nilai rupiah. Nilai rupiah menjadi ajang untuk meningkatkan prestise orang tua. Juga belis yang ada di kalangan masyarakat Manggarai disandingkan dengan kekuasaan,prestise,dan kedudukan dalam struktur sosial. Anak perempuan dijadikan tolak ukur bagi kondisi ekonomi sebagian masyarakat.
    Perempuan Manggarai diperdagangkan layaknya komoditas. Kondisi ini amat sangat memprihatinkan. Belis dikalangan masyarakat Manggarai ynag terlampau tinggi disebabkan oleh status social seperti yang dituliskan dalam pos kupang, sehingga menyebabkan kesenjangan antara yang miskin dan kaya. Perempuan layaknya benda yang diperjual-belikan di pasar.
    Mudah-mudahan dengan adanya berita seperti ini (pos kupang) kebiasaan orang manggarai dalam memberikan belis tidak dilihat dari tinggi rendahnya pendidikan dari perempuan itu sendiri. Karena pada dasarnya belis merupakan sebagai penghargaan atas perjuangannya sebagai ibu. Dan semua perempuan dimuka bumi ini sebenarnya sama yaitu dapat melahirkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa perempuan sekarang tidak bisa menerima begitu saja mesti harus ada perlawanan atas kondisi semacam ini.
    Nama : Ignasius Sandri
    Kelas : III B
    NPM : 13.31.3106

    ReplyDelete
  31. DAMPAK PERJUDIAN BAGI KESEJAHTERAAN KELUARGA

    Dampak perjudian sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat hampir semua laki-laki sangat senang berjudi, bukan karna banyak uang.walaupu tidak uang sendiri, mereka nekat meminjam uang orang lain.
    Hadirnya perjudian dalam kehidupan dalam berkeluarga dan bermasyarakat membuat oarang banyak utang dan membuat orang tidak betah di rumah sendiri.
    Dampak dari perjudian
    1) Membunuh diri sendiri
    Kurangnya menjaga kesehatan karna sering tidak tidur malam, bahkan sampai lupa makan.
    2) Membuat keluarga mati kelaparan
    Kurangnya perhatian terhadap keluarga, kurangnya memberi kebutuhan pokok untuk keluarga, karnah uang yang dihasilkan selalu habis dengan berjudi
    Tetapi perjudian juga adalah kebudayaan orang manggarai. Di mana pada saat ada orang yang meninggal, orang manggarai sering “ mete” dalam bahasa manggarainya. Supaya dalam menjaga mayat tersebut tidak ngantuk, orang manggarai bermain kartu. Dalam permainan itu ada yang pake uang dan ada yang tidak.




    NAMA : RENITINA JEDIAN
    KELAS : III B
    TUGAS : WAWASAN IPS
    NPM : 13.31.3094

    ReplyDelete
  32. Nama:MARIA VIANEY.
    NPM:13.31.3111
    Komentar saya:
    Dalam perkawinan manggarai terdapat istilah yang berkaitan dengan perkawinan itu sendiri.istilah itu dalam budaya manggarai sering disebut sebagai paca atau belis.belis mengandung makna sebagai biaya perkawinan perempuan. Belis disiapkan oleh keluarga mempelai lelaki untuk diserahkan kepada memplai perempuan.jumlah belis yang sudah disepakati antara keluarga mempelai laki_laki dan keluarga mempelai wanita tidak mesti harus dibayar lunas oleh keluarga memplai laki2,itu trgntng kesanggupan keluarga memplai laki2 dan brdasarkan hasil musyawarah bersama kedua keluarga kerabat trsbt.belis yang dimaksud bkn dalam arti jual beli atau bisnis,tetapi ungkapan cinta,dan karena itu belis tk mesti dibyr lunas yang pnting adalah cinta dan bertang2ung jawab serta mandiri untuk hdup slnjtnya.berpikir kedepan dan positif itu adalah suatu langkah maju.berkaca dari beberapa thn belakangan ini,makna belis bkn lagi dilihat sbg cinta,tang2ung jwb untuk mengarungi bahtera rumah tang2a kedepanx tetapi belis dipandang oleh sebagian orang sebagai ajang bisnis.dalam kesepkatan untk mencapai jenjang perkwinan pihak mempelai wanita seakan_akan memaksakan kemampuan mmplai pria untuk melunasi sgala tuntutan yang tlah dispakati oleh keluarga memplai wanita.dalam tuntutan yg dmksud adalah status sosial anak dari kaum mempelai wanita.ironisnya,belis itu trkadang dihitung mulai dari bgaimana wanita yg mau dinikahkan masuk bngku smp sampai pd tingkat sarjana.segala beban biaya sekolah yang sejatinya tang2ung jwab dari pihak memplai wanita itu sendiri pada saat acara belis pihak wanita akan memperhitungkan itu semua untuk dijadikan sebagai biaya belis yang harus dikeluarkan oleh keluarga mempelai lelaki.hal inilah yang menjadi perhatian dari masyarakat manggarai itu sendiri karena terkdang ini akan menjadi hambatan bahkan sebagai jembatan akan menaruh rasa dengki bagi kedua kerabat keluarga tersebut.

    ReplyDelete
  33. terimakasih untuk artikelnya pak

    ReplyDelete
  34. terimakasih untuk artiktelnya pak.sangat bermanfaat

    ReplyDelete