Kanisius Teobaldus Deki
foto: www.sinodeGMIT.org
Cara hidup
Sokrates menandaskan hal ini secara eksplisit. Dari cara hidupnya yang
sederhana, meskipun sebenarnya ia termasuk golongan menengah dalam masyarakat
Athena, kita bisa menemukan banyak nilai liberatif terhadap materi. Sokrates hanya
mengenakan jubah yang sama baik pada musim dingin maupun musim panas, tanpa
alas kaki dan selalu berpuasa. Ia tidak mau bersekongkol dengan para hakim yang
ingin mengadili seorang bernama Leon dari Salamis untuk dijatuhi hukuman mati
demi merampas harta kekayaannya. Sokrates juga tidak meminta bayaran atas
pengajaran yang diberikannya sebagaimana ia katakan dalam Apologia,
“...And if you have heard
anybody say that I profess to give instruction, and get money in that way,
neither is that true; although to my mind it is very fine indeed if any one is
able to instruct his fellow, as are Gorgias of Leontini, and Procidus of Ceos,
and Hippias of Elis.”[1]
(…Dan jika
engkau telah mendengar seseorang mengatakan bahwa saya mengaku memberi
pengajaran, dan memperoleh uang dengan cara itu, keduanya sama sekali tidak
benar; walaupun menurut pendapatku sebenarnya sangat baik jikalau ada seseorang
yang mampu mengajar sahabat-sahabatnya seperti Georgias dari Leontini, Procidus
dari Ceos dan Hippias dari Elis.)
Dalam banyak kesempatan lain, ia
selalu berbicara tentang hidup yang ugahari, bebas dari kelekatan dan
keterikatan terhadap materi. Kelepasan terhadap materi membuat jiwa manusia
mampu melihat nilai-nilai yang luhur, yang adikodrati. Sokrates melihat itu lebih
jauh terutama berkaitan dengan apa yang menjadi hakekat manusia, apa yang
menjadi tujuan hidupnya kelak.
[1] Lane Cooper, Plato on the Trial and Death of Socrates (Euthypiro, Apology, Crito and
Phaedo), (Itacha: Cornell University
Press, 1974), p. 53.
No comments:
Post a Comment