Kanisius Teobaldus Deki
Sumber Foto: https://guardian.ng/opinion/lack-of-knowledge-doing-more-harm-than-corruption/
1.
Pengetahuan
J
|
ika hal-hal yang menyempurnakan
hakekat manusia berhubungan dengan bagaimana manusia menjadikan jiwanya lebih
sempurna, maka harus memiliki pengetahuan (mengetahui) tentang unsur-unsur mana
yang menyebabkan manusia menjadi baik. Di sini manusia dituntut untuk mampu
melihat, menyadari dan menyelidiki hakekat dari unsur-unsur yang mampu
menghantar manusia menuju kepada kesempurnaan. Inilah jalan yang disebut
sebagai proses pengetahuan. Dalam proses pengetahuan ini, Sokrates coba
menyadarkan lawan bicaranya untuk sungguh menyadari bahwa pengetahuan sudah ada
dalam dirinya.[1] Dan karena itu, setiap orang mempunyai tugas untuk
“mengangkat keluar” pengetahuan yang sudah ada dalam dirinya itu melalui
refleksi filsafat.
Kalau
kita memperhatikan dengan teliti buku-buku Plato yang memuat dialog Sokrates
secara keseluruhan tampak nyata bahwa Sokrates menggiring rekan bicaranya untuk
menggali, menyelidiki dan pada akhirnya menyadari nilai-nilai luhur dalam
hidupnya. Dalam buku Plato The Republic
V, I, Sokrates berusaha menghantar Thrasymachos untuk mengungkapkan
pendapatnya tentang hakekat keadilan. Secara bertahap, langkah demi langkah,
Sokrates memaksa Thrasymachos dengan pertanyaan-pertanyaan yang menohok jantung
premis-premisnya sendiri, untuk menjelaskan, membatasi dan akhirnya menarik
sendiri pernyataannya tentang hakekat keadilan. Jadi nilai-nilai luhur tentang
keadilan harus diselidiki dan digali terus-menerus apa yang menjadi hakekat
terdalamnya yakni kebahagiaan manusia.[2]
B
|
agaimana manusia dapat mencapai eudaimonia atau kebahagiaan itu?
Sokrates memberikan jawaban yakni dengan arete.[4] Dalam budaya Yunani kuno arête berarti kekuatan atau
kemampuan. Arete merupakan kemampuan
untuk melakukan perannya dengan baik.[5] Untuk memahami hal ini lebih jelas, Sokrates memberikan
contoh. Arete dilihat sebagai
keutamaan yang dimiliki seseorang yang menjadi baik. Arete adalah kualitas yang membuat sesuatu baik dan sempurna
sesuai dengan tuntutan kodratnya, kegiatan atau cara hidup yang menyempurnakan
subyeknya dengan berfungsi sesuai dengan kodratnya. Misalnya arete seekor anjing adalah menjadi
penjaga yang baik dan kebajikan seekor kuda adalah berlari dengan cepat. Arete manusia akan membuat jiwa
mewujudkan diri sesuai dengan tuntutan kodratnya: baik dan sempurna. Arete bagi seorang tukang sepatu
mengakibatkan dia menjadi seorang tukang yang baik. Dan seorang negarawan
mempunyai arete memungkinkan dia
menjadi seorang politikus yang baik. Dengan itu arete belum mempunyai arti moral. Tetapi manusia tidak saja
mempunyai arete sebagai tukang atau
negarawan, ia juga mempunyai arête sebagai manusia. Ada arete yang membuat manusia seorang manusia yang baik. Terutama arti
ini yang dimaksudkan Sokrates, bila ia berbicara mengenai arête. Dari arti ini
berkembanglah keutamaan sebagai istilah moral.[6] Arête manusia tampak jelas dalam ilmu
pengetahuan, sedangkan keburukan adalah kekurangan pengetahuan, ketidaktahuan.[7]
Dari
penjelasan di atas, kita dapat mengatakan bahwa nilai-nilai sejati manusia
tidak lagi bergantung pada hal-hal lahiriah seperti kekayaan, kuasa, nama baik.
Selain itu tidak juga berkaitan dengan tubuh: kesehatan, kekuatan dan
kecantikan tetapi hanya nilai-nilai jiwa yang terangkum dalam pengetahuan.
Dengan mengatakan demikian tidak berarti hal-hal itu bukanlah nilai tetapi yang
harus diperhatikan ialah bahwa mereka tidak bernilai di dalam dirinya sendiri (in se). Mereka bernilai sejauh
berhubungan dengan jiwa, pengetahuan.
3.
Relasi Pengetahuan dan
Tindakan Etis
P
|
engetahuan yang telah ada dalam diri
manusia merupakan penuntun arah bagi manusia untuk mewujudkan tindakan-tindakan
etis. Di sini pengetahuan berperanan penting sebagai pembimbing manusia dalam
melaksanakan tindakan etisnya. Hal ini dibenarkan karena setiap keutamaan yang
dihayati merupakan ekspresi pengetahuan atas keutamaan-keutamaan itu. Apa yang
dikerjakan manusia sebagai sesuatu yang baik selalu bertolak dari penghayatan
pribadinya yang dilandaskan atas dasar refleksi tentang berbagai aksi. Aksi
tanpa refleksi akan bersifat buta dan selanjutnya akan melahirkan tindakan yang
dapat merusak individu atau komunal. Sebaliknya aksi yang berakar dalam
refleksi (tindakan yang lahir dari pengetahuan) dapat memanusiakan manusia karena
melibatkan partisipasi optimal pikiran, perasaan dan kehendak.[8]
Selanjutnya
Sokrates menegaskan betapa urgennya pengetahuan dalam menilai tindakan-tindakan
etis manusia. Setiap tindakan etis selalu bernilai sejauh dikaitkan dengan
pengetahuan. Dalam menilai tindakan-tindakan etis manusia, menurut Sokrates,
manusia harus selalu kembali kepada
dirinya dengan membangun refleksi kritis yang terus-menerus.
[1] Bdk.
Proses dialog-dialog Sokrates dengan Crito, Protagoras dan Meno yang termuat
dalam karya-karya Plato. Sumber lengkap tentang karya Plato bisa dilihat
pada Edith Hamilton & Huntington
Cairns, The Collected Dialogues of Plato,
(New Jersey: Princeton University, 1989), p. 68 dst.
[2]
Teobaldus Decky, et. al., Op. Cit.,
pp. 2-3.
[3]
Penjelasan memadai tentang asal usul arête
lihat: Werner Jaeger, Paideia. The
Ideals of Greek Culture,
translated by Gilbert Highet (New York: Oxford University Press, 1945), pp. 3-14.
[4] Kata arête biasanya diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan kata “virtue”. Dalam bahasa Indonesia dipergunakan kata
“kebajikan” dan juga “keutamaan”. Tetapi harus diakui bahwa terjemahan yang
cocok sama sekali tidak ada, karena sebagaimana banyak kata Yunani lainnya,
kata arête pun termasuk kata-kata yang mempunyai gema
khusus dalam bahasa Yunani, yang tidak terdapat lagi dalam bahasa modern. Dalam
tulisan ini penulis memakai kata arête dalam pengertinya sebagai “keutamaan” dan
“kebajikan”.
[5] Pada
Aristoteles, pengertian ini diperdalam: arête
adalah kemampuan manusia untuk melakukan perannya sebagai manusia, untuk
mencapai telos-nya, tujuan
internalnya. Bdk. Franz
Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke- 20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), p.
199.
[6] Kees Bertens, Op. Cit., p. 90.
[7] Frans Ceunfin, Op. Cit., pp. 28-29.
[8] Wilfrid Valiance, “Apologia: Pidato
Pembelaan Sokrates Dan Relevansinya Bagi Kekuasaan Politik Dewasa Ini”, Skripsi, (STFK Ledalero, 1997), pp.
48-49.
No comments:
Post a Comment