Friday, 27 October 2017

Membangun Kerukunan Sosial (Antar Agama) dari Perspektif Katolik






Kanisius Teobaldus Deki, S.Fil. M.Th

Pendahuluan
Dalam hal agama dan aliran kepercayaan, Negara Indonesia sangat plural. Pluralitas keyakinan ini dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945 yang sangat mengedepankan kebebasan memeluk agama bagi setiap warganya. Negara Indonesia juga mengakui fakta pluralisme agama dalam masyarakat Indonesia. Dan negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya. Pengakuan ini dieksplisitkan dalam sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang Mahaesa" dan dalam Pembukaan UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2. Pengakuan akan adanya Tuhan ini memberi landasan bagi pengakuan akan pluralisme agama dan kepercayaan, dan pengakuan akan kebebasan dalam menganut agama dan menjalankan ibadah bagi setiap warga negara.
Sejak semula, para foundator bangsa telah mengantar kita kepada pemahaman akan kerukunan antara umat beragama dan penghargaan akan perbedaan sebagai kekayaan. Dalam UUD pasal 29 ayat 1 dan 2 dikatakan: “Negara berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa (ayat 1) dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (ayat 2). Rumusan-rumusan di atas menunjukkan bahwa di negeri ini semua agama berkedudukan sama di mata hukum. Maka, pemerintah dan negara berperan penting untuk menjamin agar hak warga negara berkaitan dengan kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadat tidak ditindas dan dihalangi oleh kelompok lain.
Menanggapi fakta keberagaman ini, dan begitu banyak persoalan yang ditimbulkan konflik antaragama, bagaimana perspektif  Katolik membentuk kehidupan bersama yang mengaraskan diri pada peciptaan kehidupan yang rukun, harmonis dan damai? Bagimana perspektif Katolik menciptakan tatanan kehidupan sosial yang saling menghargai dalam kehidupan yang dialogis? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan dalam kerangka mencari dasar filosofis, teologis dan sosiologis serta praktis dalam membangun kehidupan bersama di tengah masyarakat.

Pandangan Kitab Suci
Bangsa Israel sejak awal telah hidup bersama dengan bangsa lain. Bahkan pluralitas menjadi kenyataan mereka tatkala mereka tinggal dan hidup bersama dengan bangsa Mesir dan sekitarnya. Teks-teks berikut bisa mewakili keyakinan umat Perjanjian Lama tentang kehidupan bersama yang dilumuri fakta penghargaan akan pluralitas.
Kitab Imamat 19:18: “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang- orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri;  Akulah TUHAN.” Kitab Amsal 25:21 "Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia  minum air.”
Kitab Ulangan 10:18: “Ia membela hak para janda dan yatim dan menunjukkan kasih-Nya kepada orang asing dengan memberikan makanan dan pakaian kepada mereka.” Bahkan Ulangan 27:19 menulis: “Terkutuklah orang yang memperkosa hak orang asing,  anak yatim dan janda. Dan seluruh bangsa itu haruslah berkata: Amin!”
Jelang kehidupan-Nya di dunia berakhir, Yesus memberikan kepada para murid-Nya apa yang Dia sebut “perintah baru” (Yoh 13:34). Diulangi tiga kali, perintah itu sederhana namun sulit: “Saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh 15:12). Ajaran untuk saling mengasihi telah menjadi ajaran sentral dari pelayanan Juruselamat. Perintah besar kedua adalah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:39). Yesus bahkan mengajarkan, “Kasihilah musuhmu” (Mat 5:44).
Untuk bisa mengasihi sesama, kasih itu mengalir dari kasih kepada Allah. Matius 22: 17-18 berkata, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama”. Ya, mengasihi Allah berarti mencintai hal-hal yang dicintainya. Ulangan 10:18 memberitahu kita bahwa Allah ‘memberikan keadilan bagi anak yari kasih tim dan janda, dan mencintai orang asing, memberinya makanan dan pakaian’. Yesus mengajak kita untuk mengasihi orang asing, termasuk mereka yang berbeda dengan kita.
Yesus menasehati: “Kasihilah sesamamu sebagaimana kamu mengasihi dirimu sendiri”. Nasihat ini disampaikan Yesus dengan mengisahkan kebaikan seorang Samaria saat menolong seorang pria yang terkujur tak berdaya di tengah jalan (Lukas 10: 30-36). Yesus mengajarkan kita bahwa orang-orang di sekitar kita adalah sesama kita, bukan musuh. Jadi, berbuat baiklah kepada siapapun yang memerlukan pertolongan.
Selain itu, Yesus bersabda: “Perbuatlah kepada orang lain seperti apa yang ingin mereka perbuat kepadamu”. Pernyataan ini disebut juga the golden way (jalan emas). Matius 7: 12 mengatakan bahwa apapun yang kita ingin orang lain lakukan untuk kita, lakukan jugalah kepada mereka. Yesus tidak mengatakan agar kita sengaja melakukan beberapa hal untuk orang lain demi mendapatkan perlakuan yang sama. Tetapi Yesus lebih menekankan agar kita melakukan sesuatu yang pantas kita lakukan kepada orang lain.
Hal terberat dalam kehidupan adalah bagaimana mengasihi orang yang telah berbuat jahat kepada kita. Tetapi Yesus bersabda: ”Kasihilah musuhmu”.
Dalam Matius 5: 43-48 dijelaskan tentang bagaimana kita harus mengasihi musuh kita dan lebih memilih untuk berdoa untuk keselamatan mereka. Kita hanya melakukan hal yang sia-sia apabila kita hanya membalas kebaikan dengan kebaikan. Oleh karena itu, kita harus meneladani Yesus yang telah menunjukkan kasih-Nya bagi kita orang berdosa. Kristus telah mati bagi kita untuk dapat diperdamaikan dengan Allah.
Orang yang berhasil mengasihi adalah orang sedang berjalan di jalan Tuhan. Jauhkahlah dirimu dari sikap mementingkan diri sendiri dan mengarah pada kepedulian kepada orang lain. Sama seperti Yesus yang telah meninggalkan tahta kerajaan-Nya demi menjadi serupa dengan manusia (Filipi 2: 4-8). Kerendahan hati diperlukan pengikut-pengikut Yesus untuk mampu mengerjakan pekerjaan Yesus di dunia, yakni menjadi hamba untuk melayani orang lain.
Surat Roma 12:20:  “Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya.” Surat Roma 12:21. “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalah kanlah  kejahatan dengan kebaikan!”

Dialog Antar Agama Dalam Dokumen Gereja
Gereja Katolik sangat menaruh perhatian kepada kerukunan hidup antar umat beragama. Hal itu dapat kita baca dalam dokumen – dokumen Gereja secara khusus dalam Konsili Vatikan II. Dokumen Pernyataan tentang hubungan Gereja dengan Agama – Agama bukan Kristen (Nostrae Aetate) menyatakan pada pendahuluan bahwa: “Semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal, sebab Allah menghendaki segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi. Semua juga mempunyai satu tujuan terakhir yakni Allah, yang yang menyelenggarkan”. Selain dari pada itu dokumen pernyataan tentang kebebasan beragama (Dignitatis Humanae), no. 6: “Pada hakekatnya termasuk tugas setiap kuasa sipil: melindungi dan mengembangkan hak-hak manusia yang tak dapat diganggu-gugat. Maka kuasa sipil wajib melalui hukum-hukum yang adil serta upaya-upaya lainnya yang sesuai, secara berhasil-guna menanggung perlindungan kebebasan beragama semua warga negara dan menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan dan mengembangkan hidup keagamaan”.
Konsili Vatikan II dapat dikatakan sebagai titik tolak dari hidup Gereja yang dialogis. Ini tidak berarti bahwa sebelumnya Gereja sangat tidak dialogis. Dialog sebagaimana yang dicetuskan oleh Konsili Vatikan II mempunyai akar pada Tradisi hidup Gereja. Sikap dialogis Gereja sebelum Konsili Vatikan II tampak dalam kesaksian para Bapa Gereja, para misionaris, dan ajaran para paus masa lampau yang menunjukkan sikap positif terhadap agama-agama lain. Memang ajaran yang menunjukkan sikap positif terhadap agama-agama lain itu bersifat sporadis, tersebar, dan kurang menjadi sikap dasar yang menonjol. Sikap Gereja seringkali kebalikannya, yakni eklusivisme, triumphalisme, dan sebagainya. Akibatnya Gereja sebelum Konsili Vatikan II tampak tertutup dan kurang memandang positif agama-agama.
Angin segar yang ditiupkan oleh Konsili Vatikan II membuat dialog umat beragama menjadi unsur integral dalam perutusan Gereja. Dalam dokumen-dokumen Konsili dan post Konsili Vatikan II, dialog agama menempati posisi penting. Redemptoris Missio 55 menyatakan bahwa dialog antar agama merupakan bagian dari misi penginjilan Gereja; dialog tidak bertentangan dengan tugas perutusan Gereja.
Dialog merupakan bentuk tugas perutusan yang otentik. Bersama dengan pewartaan yang merupakan komunikasi pesan Injil, dialog dengan cara dan kedudukannya sendiri, menjadi unsur penentu dari kegiatan perutusan Gereja. Dialog dan pewartaan diarahkan untuk mengkomunikasikan kebenaran yang menyelamatkan kepada semua orang.
Melihat tempat dialog dalam keseluruhan tugas perutusan Gereja, siapakah yang berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam dialog? Paus Yohanes Paulus II (alm.) menegaskan bahwa Gereja Lokal-lah yang pertama-tama harus memiliki komitmen untuk membangun dialog dengan umat beragama lain di tempatnya masing-masing. Tidak ada Gereja Lokal satu pun yang dapat menghindarkan diri dari kewajiban ini. Sejauh tanggung jawab dialog ada pada Gereja Lokal, maka umat beriman sendiri yang harus terlibat dalam dialog agama-agama.
Masa depan dialog agama-agama pertama-tama terletak pada kaum awam. Ini berarti dibutuhkan barisan imam yang tangguh, yang tahu mendampingi kaum awam sebagai saudara-saudara seiman, yang ada di tengah-tengah umat sebagai orang-orang yang sungguh beriman. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang memiliki amanat perutusan untuk menjalin kerja sama dan berdialog dengan sesamanya dari agama-agama lain guna meningkatkan kesejahteraan sosial dan kehidupan masyarakat sekitarnya (Apostolicam Actuositatem 14). Perhatian khusus harus diberikan kepada kaum muda yang hidup dalam masyarakat yang pluralistis ini.
            Demikian juga dalam KHK 1983, kan. 748, ditegaskan bahwa: “Semua orang wajib mencari kebenaran dalam hal-hal yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya, dan berdasarkan hukum Ilahi mereka wajib dan berhak memeluk dan memelihara kebenaran yang mereka kenal”. Selain itu, “tak seorang pun boleh memaksa orang untuk memeluk iman katolik melawan hati nuraninya”. Bagaimana relevansinya kanon ini dalam membangun kerukunan hidup antar umat beragama? Dalam alam kebebasan itu manusia dapat menentukan imannya berdasarkan hati nuraninya yang bebas dari segala paksaan dan tekanan. Semua usaha manusia dalam mencari Allah yang diimaninya akan terwujud sebuah perdamaian jika diiringi dengan praktek hidup sehari-hari dalam dialog antar umat beragama.

Bentuk-bentuk Dialog yang Dapat Dikembangkan
Kongregasi Evangelisasi Bangsa-bangsa dan Dewan Kepausan Untuk Dialog Antaragama mengeluarkan dokumen dengan judul Dialog dan Pewartaan. Dalam dokumen ini dinyatakan bentuk-bentuk dialog (art. 42) sbb:

a) Dialog Kehidupan
Dialog ini diperuntukkan bagi semua orang dan merupakan level dialog yang paling mendasar. Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat yang plural dialog kehidpan ini sangat dibutuhkan. Aneka pengalaman, entah suka maupun duka, gembira maupun sedih dialami bersama. Dalam tingkatan dialog ini manusia dari setiap agama hidup dan bekerja sama, dan setiap orang memperkaya dirinya dengan pengantaraan mengamati. Dialog kehidupan memang sudah terlaksana dalam masyarakat Indonesia, seperti silahturahmi pada hari raya, kerja bakti membersihkan lingkungan, dan sebagainya.

b) Dialog Karya
Yang dimaksudkan dengan dialog karya adalah kerja sama yag lebih intens dan mendalam dengan penganut-penganut agama lain. Sasaran yang hendak diraih yakni pembangunan dan peningkatan martabat mausia. Bentuk dialog ini kerap berlangsung dalam kerangka kerja sama organisasi-organisasi internasional maupun nasional di mana agama-agama bersama-sama menghadapi masalah dunia. Jadi pelbagai macam pemeluk agama dapat melaksanakan proyek-proyek pembangunan dalam meningkatkan kehidupan keluarga dan nilai-nilainya, membantu rakyat dari kemiskinan, dan proyek-proyek kemanusiaan lainnya. Gereja secara konkret dan resmi terlibat dalam dialog karya ini. Sekurang-kurangnya ada dua sekretariat yang pelaksanaan kerjanya meminta kerja sama dengan penganut agama lain. Dua sekretariat itu adalah; The Pontifical commission for Justice and Peace dan Dewan Kepausan Cor Unum. Gereja juga mendesak umatnya untuk mengusahakan dialog karya, sebuah dialog yang ditumpukkan tidak pada agama melainkan pada kerja sama dalam kaya-karya.

c) Dialog Pandangan Teologis
Dialog ini dikhususkan bagi para teolog atau siapa saja yang mempunyai kemampuan untuk itu. Dalam dialog ini orang diajak menggumuli, memperdalam dan memperkaya warisan-warisan keagamaan masing-masing. Dialog semacam ini jelas membutuhkan visi yang mantap. Dalam dialog pandangan teologis tidak boleh ada pretensi, kecuali untuk saling memahami pandangan teologis masing-masing agama dan penghargaan terhadap nilai-nilai rohani masing-masing.

d) Dialog Pengalaman Iman
Dialog ini dimaksudkan untuk saling memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani masing-masing pribadi. Dalam dialog ini, pribadi-pribadi yang berakar dalam tradisi keagamaan masing-masing berbagi pengalaman doa, kontemplasi, dan meditasi, bahkan pengalaman iman dalam arti yang lebih mendalam.

Tantangan-tantangan dalam Usaha Membangun Dialog Antar Agama
Melihat bentuk-bentuk dialog sebagaimana disebutkan di atas, dapat kita ketahui bahwa tidaklah setiap dialog cocok bagi setiap orang atau setiap situasi. Tiap bentuk dialog mempunyai pelaku, tempat, dan waktunya. Dialog agama adalah suatu hal yang tidak mudah dijalankan. Dialog selalu mengandaikan adanya keterbukaan dari tiap-tiap pihak yang berdialog. Dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman akan agama yang seimbang. Dialog tidak akan berjalan apabila muncul faktor-faktor sosial politik, dan beban ingatan traumatis akan konflik sejarah, pemahaman yang salah tentang agama lain, sikap merasa diri paling sempurna yang memunculkan sikap agresif dan defensif, permasalahan zaman ini seperti materialisme, sekularisme, sikap acuh tak acuh terhadap kehidupan beragama, dan munculnya sekte-sekte fundamentalis, juga sikap tidak toleran yang kerap kali diperparah oleh faktor politik, ekonomi, ras, etnis, dan aneka kesenjangan lainnya.
Dalam dialog karya terkadang bantuan kemanusiaan dicurigai sebagai bentuk proseletisme. Dialog kehidupan seperti silahturahmi pada hari raya kadang tidak berjalan karena adanya golongan agama yang ‘mengharamkan’ kelompok lain yang tidak seagama. Dalam dialog pengalaman iman harus dihindari sikap yang menjurus pada sinkretisme, ada pun dialog pandangan teologis hendaknya dilakukan oleh orang yang ahli. Di dalamnya butuh kesabaran mendengarkan orang lain yang menyampaikan ajaran agama yang berbeda dengan ajaran agamanya sendiri.

Penutup
Walaupun terdapat sejumlah tantangan dalam membangun dialog antar agama, keterlibatan Gereja dalam membangun dialog harus tetap kokoh dan tidak goyah. Disadari bahwa untuk menciptakan suasana kondusif di tengah masyarakat plural, dialog merupakan salah satu unsur esensial. Gereja Indonesia telah mencetuskan dirinya sebagai Gereja Abdi, yang digunakan Tuhan untuk membangun kerajaanNya. Kerajaan itu dipercaya mulai tumbuh dalam masyrakat, karenanya Gereja melayani, menyambut baik, mendukung dan ikut terlibat memajukan dialog yang bertujuan merukunkan kaum beriman. Kendati menyusuri lorong gelap, Gereja harus berjuang merealisasi perannya sebagai tanda dan sarana keselamatan bagi semua dengan terus berusaha menjalin dialog membangun Kerajaan Allah. Sebuah panggilan yang mendesak dilaksanakan, meskipun tidak gampang.
Dialog kristiani berlandaskan kasih. Kasihlah yang harus menyata pada pola pikir, pola berbahasa dan pola tindak. Dengan kasih sebagai bahasa universal dan laku setiap manusia akan menciptakan tatanan kehidupan yang dikehendaki Allah.

Referensi:

Alkitab. Jakarta: LBI, 2001.

Dokumen Konsili Vatikan II , ter. R. Hardawiryana, SJ, Dokpen KWI, Jakarta: Obor, 1993.

Ignatius Haryanto dan Pax Benedanto, Terbuka terhadap Sesama Umat Beragama: Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja tentang Agama yang Inklusif, Komisi Kerawam KWI, Jakarta: Kanisius, 2004.

Jacques Dupuis, A Theological Commentary: Dialog and Proclamation. New York: Orbis Book, 1993.

Kampschulle, Theodore, Situasi HAM di Indonesia: Kebebasan Beragama dan Aksi Kekerasan, Mission, (tanpa tahun).

Kirchberger Georg, Dialog dan Pewartaan. Maumere: LPBAJ, 1999.

Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Obor, 1992.

Kongregasi Evangelisasi Bangsa-Bngsa dan Dewan Kepausan Untuk Dialog Antaragama, Dialog dan Pewartaan-Refleksi dan Orientasi Mengenai Dialog Antaragama dan Pewartaan Injil Yesus Kristus. Maumere: LPBAJ, 1991.

Sumartana, Th., dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Intefidei, 2001.




Thursday, 26 October 2017

Tombo Nunduk, Bentuk Sejarah Orang Manggarai






Kanisius Teobaldus Deki M.Th
Dosen STKIP St. Paulus dan Peneliti Budaya Manggarai

Bagaimana kita dapat memahami sebuah peristiwa di masa lampau? Jawabannya hanya satu, penelusuran melalui kajian sejarah. Membahas hal ini kita dapat merujuk pada para pemikir. Topolski (1976:53-55), misalnya, memandang sejarah sebagai peristiwa masa lampau (past events, res gestae), sebuah riset yang dilakukan oleh sejarahwan sekaligus berupa hasil tertentu semisal pernyataan tentang peristiwa masa lalu (narrative about past events, historia rerum gestarum) atau dalam istilah kerennya, historiografi, walau sebenarnya istilah itu merujuk pada sejarah penulisan sejarah.

Tombo Nunduk adalah sejarah tentang usul-asal sebuah keturunan yang dikisahkan secara lisan dan diteruskan melalui proses pewarisan kepada generasi-generasi penerus suatu suku. Unsur sejarah yang diyakini dekat dengan fakta merupakan ciri yang paling khas dari tombo nunduk. Meskipun tidak ditulis namun tombo nunduk tetap diingat karena ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah silsilah suatu keturunan. Tombo nunduk memiliki peran yang besar dalam menjajaki kembali usul-asal suatu keturunan secara genealogis maupun dalam kaitannya dengan kehadiran pihak lain di dalam tempat yang sama melalui relasi perkawinan.

Tombo nunduk dapat diklasifikasi ke dalam dua bentuk. Pertama, Tombo nunduk tentang usul-asal sebuah keturunan [ase-kae, cama tau]. Dalam tombo nunduk jenis ini orang akan mencari tahu usul-asalnya dalam garis keturunan. Hal ini menjadi urgen ketika seseorang akan menikah. Sebelum melangsungkan pernikahan, orang Manggarai biasa melakukan sebuah upacara yang disebut “Turuk Empo”. Turuk Empo ialah sebuah usaha untuk mencari tahu garis keturunan dengan maksud untuk menghindari kesalahan dalam menentukan jodoh. Misalnya, seorang pemuda tidak diperbolehkan memperistri saudarinya sendiri, tantanya, atau semua orang yang bukan dalam posisi sebagai anak rona [pihak pemberi gadis]. Meskipun peristiwa itu bukan merupakan kasus umum, ada beberapa kasus yang dialami oleh mereka yang pergi merantau ke tempat jauh atau mereka yang sejak kecil dipisahkan dari orang tua, perkawinan mereka ternyata sumbang [toe kopn, jurak] menurut tatanan adat yang berlaku karena masih ada hubungan darah.

Kedua, Tombo nunduk usul-asal tempat [beo, golo]. Sering terjadi ketika kita pergi ke tempat yang baru muncul pertanyaan, “Mengapa tempat ini atau itu bernama ini dan bukan itu?” Pertanyaan yang sama kerap diajukan oleh orang Manggarai. Itulah sebabnya mengapa sebuah nama memiliki arti yang mendalam bagi orang Manggarai, meskipun tidak mutlak. Tetapi yang pasti ialah bahwa setiap nama sering terkait dengan peristiwa sejarah tertentu yang dalam contoh dapat kita lihat dalam nama kampung Tenda pada uraian berikut.

Terdapat beberapa makna dari tombo nunduk orang Manggarai. Pertama, Tombo nunduk yang memaparkan uraian tentang usul-asal keturunan genealogis bermuara pada satu kesimpulan yakni bahwa orang-orang yang berada dalam lingkungan atau tempat tertentu adalah satu keluarga [ase-kae, weta nara, cama tau]. Penelusuran usul-asal keturunan memungkinkan seorang Manggarai memandang mereka yang satu keturunan dengannya sebagai saudara. Konsekuensinya, dalam ruang lingkup yang sempit, karena mereka satu keturunan atau memiliki hubungan kekeluargaan woe nelu [relasi yang dibangun karena ikatan perkawinan], maka hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga besar, baik sebagai orang tua [ata tu’a], anak-anak, paman dan bibi [amang-inang], menantu [koa] mesti dipenuhi. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, kesadaran akan adanya kesamaan asal keturunan memungkinkan orang Manggarai merasa memiliki teman dan keluarga. Karena itu mereka dapat saling mengandalkan dan bekerja sama. Itulah sebabnya, sesama warga keturunan kerap disebut ata dite [orang kita, one of us]. Relasi yang dibangun dalam keluarga menghasilkan perbedaan status dan berpengaruh pada cara memanggil.

Kedua, Tombo Nunduk tentang sejarah usul-asal nama tempat. Tempat yang diberi nama memberikan identitas tersendiri bagi orang yang mendiami wilayah itu. Dalam kebersamaan dengan orang lain, kerap terjadi pembedaan yang dibuat menurut usul-asal. Jika mereka berasal dari tempat yang sama, orang-orang itu merasa dikuatkan, diteguhkan atau bahkan mengalami kegembiraan meskipun berada di tempat yang jauh. Orang sering mengatakan, “Kali cama tau dite boe, keraeng” [ternyata kita sama saudara] yang membedakan kita dengan “ata bana” [orang lain yang tidak kita kenal, the others] bila berhadapan dengan orang yang baru dikenal setelah mengadakan pengusutan asal kampung. Istilah “cama tau” merupakan lambang, tanda yang pada gilirannya melahirkan konsekuensi-konsekuensi dalam hidup bersama. Cama tau berarti sekarang kita berjuang dalam kebersamaan, menciptakan sebuah bentuk hidup yang dilandasi suasana persaudaraan yang memungkinkan kita hidup dalam semangat kolektifitas yang sosial.

Tombo nunduk biasa dikisahkan dalam pelbagai moment kehidupan orang Manggarai. Ada dua model kesempatan yang kerap digunakan, yakni secara resmi maupun tidak resmi. Secara resmi tombo nunduk diungkapkan dalam kebersamaan struktur seminal ada upacara adat penti (pesta syukuran keluarga besar adat), pongo (peminangan), Turuk empo (silsilah keturunan saat kedua mempelai hendak menikah). Sedangkan secara tidak resma misalnya, saat berpapasan dengan orang baru ada ris (sapaan), atau ketika melihat orang baru masuk ke perkampungan, kerap ditanyakan usul-asal orang bersangkutan.

Pada zaman dahulu, sangat jarang terjadi perkawinan yang tidak senonoh antara seorang gadis dengan seorang pemuda karena penerusan tombo nunduk yang secara intens dilakukan hampir setiap malam menjelang tidur. Kenyataan itu di zaman ini telah berubah sebab kebiasaan menuturkan sejarah keturunan telah hampir punah. Sebuah kenyataan yang patut disesali sekaligus menjadi tantangan untuk menarik kembali nilai-nilai positif yang ada dalam tombo nunduk ini. Beberapa tahun terakhir ini, kebiasaan menumbuhkan nilai-nilai tombo nunduk dikemas secara baru melalui ritus pernikahan yang diwarnai seremoni adat Manggarai. ***

Ways Reading Makes You Better at Life Dari Kata-Kata Mengais Makna Kehidupan




Kanisius Teobaldus Deki, M.Th[1]

“Seseorang yang gemar membaca akan mempunyai pandangan yang luas, membuatnya menjadi manusia yang utuh, sedangkan orang yang gemar
berdiskusi membuat orang harus siap memberikan jawaban atau
mengajukan pertanyaan, dan orang yang gemar menulis
membuatnya menjadi mansia yang cermat”
(Francis Bacon, 22 Januari 1561-9 April 1626, filsuf Inggris, penulis, pengacara dan ilmuwan)[2]

A
da adagium yang menyatakan “reading is the window to the world” (Membaca adalah jendela menuju dunia). Pepatah ini benar dan tak tersangkali. Tak dapat dipungkiri, membaca memberikan ruang kepada manusia untuk menjelajahi dunia walau dari sebuah tempat duduk saja. Kita bisa mengenal hutan Amazon yang membentang sepanjang Brasil dan Negara Amerika Selatan dari buku-buku perjalanan Carl May yang dikemas dalam pelbagai novelnya. Atau kita dapat mengetahui seluk beluk wilayah tertentu di belahan lain bumi ini hanya dari sebuah ensiklopedi. Kita merasa seolah-olah sedang berjalan di tembok raksasa China hanya dengan mempelajari buku sejarah yang secara detail melaporkan proses pembuatan, ukuran lebar, tinggi dan panjangnya.
Tak perlu kita berada di lokasi kejadian runtuhnya sebuah bangunan bersejarah, banjir bandang yang menimpa wilayah masyarakat, tsunami di Jepang, kegoncangan sebuah pemerintahan. Masih banyak peristiwa dan kenyataan yang tak mengharuskan kita menjadi saksi mata. Kita dapat merasakan peristiwa dan kejadian itu seolah nyata (dengan pelibatan seluruh diri: pikiran, perasaan dan tindakan). Semua itu dapat dan mungkin melalui membaca berita, ulasan serta penjelasan tentang hal itu melalui bacaan. Membaca lalu menjadi sebuah pilihan selain untuk mengetahui sesuatu tetapi lebih dari itu untuk mengais makna kehidupan, belajar dari bacaan untuk membaca kehidupan kita sendiri.
Tulisan ini menitikberatkan analisisnya pada dialektika itu. Di satu pihak, menampilkan manfaat dari pembacaan, di lain pihak memampukan kita untuk membaca kenyataan kehidupan kita sendiri, memberi makna atasnya, lalu berupaya menjadikan hidup kita lebih baik.



Menimbang Manfaat Membaca[3]
Bagi banyak orang, membaca memiliki banyak manfaat yang terus meningkatkan kehidupan mereka. Hidup mereka menjadi lebih baik dalam beberapa cara, berikut: mental, spiritual dan sosialitas. Juga, jika kita mengembangkan kebiasaan membaca kita akan menjadi lebih percaya diri dan percaya diri dalam kemampuan untuk memahami dan mengerti semua jenis informasi.

Pertama, Keterpesonaan Cerdas. Ternyata membaca membantu kita dalam hampir setiap bidang cerdas. Mereka yang membaca memiliki IPK yang lebih tinggi, intelijen lebih tinggi, dan pengetahuan umum yang luas. Dalam tulisan Anne E. Cunningham What Reading Does for the Mind, dia menemukan bahwa membaca, secara umum, membuat kita cerdas dalam banyak bidang.
Kedua, Membaca mengurangi stres. Membaca dapat membantu kita keluar dari stress yang kerap melanda kehidupan kita. Melalui aktivitas membaca kita dapat memperoleh banyak cara untuk keluar dari pelbagai masalah. Saat ini, begitu banyak buku yang menyajikan cara terbaik untuk menghadapi masalah-masalah aktual kita.
Ketiga, Ketenangan yang lebih besar. Membaca dapat menenangkan. Banyak bacaan yang menyajikan inspirasi bagi kita. Upaya dari penulis-penulis bermuara pada bagaimana pokok pikirannya berguna bagi pembaca. Ketenangan adalah salah satu hasil real dari membaca bila kita terlibat aktif di dalamnya.
Keempat, Perluasan berpikir analitis. Cunningham dalam studinya telah menemukan bahwa berpikir analitis didorong oleh membaca. Pembaca meningkatkan pengetahuan umum mereka, dan yang lebih penting mampu membaca dengan pola cepat dan menghubungkan satu hal dengan hal lain.
Kelima, Peningkatan kosa kata. Bukan rahasia lagi bahwa dengan membaca kita meningkatkan kosa kata dan ejaan. Apakah Anda tahu bahwa membaca meningkatkan kosa kata Anda lebih daripada berbicara atau pengajaran langsung?
Keenam, Peningkatan memori. Membaca membantu kita untuk memiliki memori yang bagus. Hal ini disebabkan karena dengan membaca kita digiring ke dalam ide tertentu dan terlibat dengan ide itu.
Ketujuh, Peningkatan kemampuan menulis. Pengalaman pribadi saya memperlihatkan hal ini. Saya sering membaca, di mana dan kapan saja dan karena itu saya bisa menulis buku. Untungnya ialah selain terjadi penambahan kosa kata ada juga perluasan ide yang menakjupkan. Rumusannya ialah makin banyak membaca makin sanggup untuk menulis secara baik dan benar.

Membangun Minat & Budaya Baca
Tentang kegelisahan tersebab kian memudarnya niat membaca pada semua generasi di Indonesia, seorang seniman kawakan kita Taufiq Ismail pernah menulis:
”Mengapa para penumpang di gerbong kereta api Jakarta-Surabaya tidak membaca novel, tapi menguap dan tertidur miring? Mengapa di dalam angkot di Bandung, penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap rokok? Mengapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya, tapi main gaple? Kenapa di kapal Makassar-Banda Naira penumpang tidak membaca kumpulan buku puisi, tapi main domino? Kenapa susah mendapat calon pegawai tamatan S-1 yang mampu menulis proposal yang bagus atau rencana kerja yang baik? Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Manado pengantar pasien tidak membaca buku drama, tapi asyik main SMS? Mengapa jumlah total pengarang di Indonesia hanya cocok untuk negara berpenduduk 20 juta, bukan 200 juta?”[4]
Pertanyaan tersebut akan terasa kontras dengan sebuah pernyataan, berikut ini: ”Saya ingin membaca lima judul buku sehari jika tidak terpaksa harus pergi ke sekolah”. Pernyataan ini disampaikan oleh Millie, anak berusia dua belas tahun warga Amerika. Dia dapat membaca cepat sekali. Dia telah selesai membaca buku Markham Real American Romance sejumlah 13 jilid dalam seminggu.
Jawaban atas seluruh pertanyaan Taufiq Islmail dan kunci kesuksesan Millie, tidak lain adalah: minat baca. Maka kita dapat melihat bahwa jarak minat baca berbanding lurus dengan jarak kemajuan sebuah bangsa. Bahkan dapat dikatakan bahwa kunci utama untuk keluar dari kemiskinan dan menuju menjadi bangsa yang makmur adalah dengan membangkitkan minat baca masyarakat. Akar kemiskinan, yang menerpa sebagian rakyat Indonesia, adalah karena masih tingginya tingkat melek aksara dan sangat payahnya minat baca sebagian besar masyarakat. Kita tidak akan menemukan sebuah kenyataan di belahan bumi manapun ada orang berilmu dan luas pengetahuannya tapi hidupnya miskin, kecuali atas dasar pilihan hidup.
Mengapa seseorang tidak memiliki minat baca? Jawabannya ada tiga macam: 1) karena memang sudah warisan dari orang tua. Mulai dari kakek-nenek memang tidak suka membaca dan itu sudah ada dalam DNA anda sampai hari ini. Sifat ini diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya dan anda mewarisinya. Inilah yang disebut dengan determinisme genetis. 2) Anda tidak sedang membaca, karena memang sejak kecil dibesarkan oleh orangtua yang tidak pernah mendekatkan diri anda dengan bacaan. Saya tidak sedang membaca memang tidak diberi teladan oleh orang tua malah orang tua Anda selalu mengatakan bahwa membaca itu perbuatan yang hanya buang waktu saja. Pengasuhan anda, pengalaman masa kanak-kanak anda pada dasarnya membentuk kecenderungan pribadi dan susunan karakter anda. Itulah sebabnya anda tidak senang membaca. Inilah yang disebut dengan determinisme psikis. 3) Sedangkan determinisme lingkungan pada dasarnya mengatakan bahwa anda tidak senang membaca karena atasan atau bawahan, teman-teman, dan guru atau dosen ada juga yang tidak senang membaca; di samping itu juga di rumah, di kantor, di sekolah tidak disediakan perpustakaan; serta tidak ada peraturan perusahaan yang mengharuskan anda untuk membaca; situasi ekonomi yang kurang mendukung dan tidak adanya kebijakan nasional tentang minat baca. Seseorang atau sesuatu di lingkungan andalah yang bertanggungjawab atas tidak adanya minat baca pada diri anda.
Sesungguhnya upaya menumbuhkan motivasi membaca dapat bersumber dari empat dimensi manusia (mental, emosional, spiritual, dan fisik). Dengan menghidupkan satu atau lebih dimensi manusia tersebut seseorang dapat termotivasi dalam membaca. Keempat dimensi tersebut apabila diartikulasikan ke dalam bentuk kegiatan manusia maka akan seperti berikut: Visualisasi (visualitation) untuk dimensi mental; Tanggung jawab (responsibility) untuk dimensi spiritual; Kenyamanan dan kesukaan (excited) untuk dimensi emosional; Gerakan (move) untuk dimensi fisik. Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan memotivasi diri untuk membaca yang tidak terbatas. Semakin besar upaya untuk menyalakan sumber pemicu motivasi semakin besar motivasi yang dihasilkan. Akan tetapi untuk memulainya, langkah yang paling awal dan paling penting adalah melakukan penyadaran.


Dari Kata-Kata Mengais Makna Kehidupan

Bacaan selalu menghadirkan kata-kata. Tanpa kata tak mungkin sebuah arti terurai. Dari pernyataan ini buku pada gilirannya bisa menjadi agen perubahan untuk menciptakan masyarakat membaca (reading society) sebagai salah satu pilar utama menuju masyarkat belajar (learning society). dua hal ini harus dipertegas:
Pertama, Masyarakat membaca. Masyarakat yang maju mempunyai kebiasaan membaca. Kebiasaan ini mendorong mereka untuk mencari tahu sesuatu berdasarkan yang seharusnya atau sebenarnya. Jika ini menjadi sebuah habitus (kebiasaan yang sudah mendarah-daging), maka masyarakat itu mempunyai pemahaman tentang sesuatu berdasarkan substansinya (inti, hakikat terdalam). Itu berarti meninggalkan kebiasaan menangkap sesuatu berdasarkan fenomena semata atau peripheral saja. Penemuan sesuatu berdasarkan hakikatnya mengarahkan masyarakat untuk memiliki basis pertahanan rasional dan menjadikannya stand point dalam menyatakan sesuatu secara benar dan adekuat.
Kedua, melalui proses ini masyarakat akan terbiasa dalam proses belajar yang terus menerus ( a continuing process learning) sehingga dalam segala hal mereka akan mendasarkan dirinya pada pengetahuan yang benar, bukan serta merta hanya pada anggapan berbasis intuisi dan terkaan belaka.
Ketiga, bertitik-pijak pada argumentasi yang terbangun di atas, maka membaca menjadi jalan untuk semakin menemukan kedalaman hidup. Kedalaman itu makin terbangun oleh karena kita mengais maknanya terus menerus. Penelusuran makna oleh kaisan yang berkelanjutan bermuara pada penemuan hidup yang sejati.
Apa yang terbaca dalam dan melalui tulisan merujuk pada penemuan kesejatian hidup manusia melalui alur pembacaan teks menuju konteks.[5] Teks dengan kesejarahannya sendiri memberikan makna tersendiri yang disandingkan dengan konteks, tempat di mana manusia menemukan kepenuhan hidupnya (fully life). Keseriusan membaca teks membawa pembiasaan untuk membaca kenyataan hidup melalui penemuan makna yang terkais. Itulah sebabnya membaca buku ini sangat direkomendasikan untuk siapa saja yang ingin memiliki kepenuhan hidup dalam kesejatiannya.***


[1] Penulis buku Tradisi Lisan Orang Manggarai-Membidik Persaudaraan Dalam Bingkai Sastra (Parrhesia Institute, 2011), co-Editor buku: Menjadi Abdi - Menghalau Gelap Budi Menyingsing Fajar Pengetahuan (Ledalero, 2008), Gereja Menyapa Manggarai-Menghirup Keutamaan Tradisi, Menumbuhkan Kasih, Menjaga Harapan (Parrhesia, 2011). Saat ini menjadi dosen STKIP St. Paulus Ruteng & Project Coordinator for Journal MISSIO.
[2] Bryan Bevan, The Real Francis Bacon, England: Centaur Press, 1960, hal. 71. Ross Jackson, The Companion to Shaker of the Speare: The Francis Bacon Story, England: Book Guild Publishing, 2005. Fulton Anderson, Francis Bacon: His career and his thought, Los Angeles, 1962.
[3] Anne E. Cunningham and Keith E. Stanovich, Journal of Direct Instruction, Vol. 1, No. 2, hal. 137–149. Reprinted with permission from The American Federation of Teachers. American Educator, Vol. 22, No. 1–2, pp. 8–15. Address correspondence to Anne E. Cunningham and Keith
E. Stanovich at acunning@socretes.berkeley.edu.
[5] Secara etimologis istilah “konteks”berasal dari bahasa Latin- con-texere yaitu menenun atau menganyam. Jadi teologi kontekstual bukanlah sejumlah kebenaran abstrak yang tidak dipengaruhi oleh zamannya melainkan suatu keprihatinan iman yang sedang mencari pemahaman di tengah pengalaman serta realitas politik, sosial dan religius. Dengan kata lain, ia menggambarkan teologi yang mengindahkan pengalaman manusia, lokasi sosial, kebudayaan dan perubahan kebudayaan secara sungguh-sungguh, meski juga berusaha menjaga keseimbangan.  Bdk. Steven Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, terj. Yosef Maria Florisan, Maumere: Ledalero, 2002, hal. 49.