Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Dalam masyarakat agraris Manggarai
terdapat Tu’a Golo yang berperan
sebagai kepala wilayah yang mencakupi kampung [golo], tanah, hutan dan air. Selain Tu’a Golo, terdapat Tu’a Teno
yang diberi wewenang untuk secara khusus mengurus pembukaan lahan kebun yang
baru dan pembagiannya yang merata untuk semua masyarakat komunal. Dalam
penelitian yang dibuat oleh Maria Ruwiastuti dan team (“Sistem
Penguasaan Asli dan Politik Hukum Tanah di Manggarai Tengah”, 1994) tentang persoalan tanah,
kenyataan ini melahirkan gagasan yang dikenal luas dalam filosofi kehidupan
orang Manggarai yang membahasakan kesatuan antara tanah dan kehidupan mereka
yakni, “gendangn one, lingkon pe’ang”
[yang secara harfiah diartikan sebagai rumah di dalam, tanah di luar]. Dalam
proses pembukaan lahan pertanian yang baru [lingko]
dan pembagiannya, Tu’a Teno terlebih
dahulu mengundang [siro] semua suku [panga] yang ada dalam wilayah kampung
untuk mengadakan “lonto leok”
[bermusyawarah] supaya mengatur pembagian tanah secara adil dan bijaksana
kepada semua warga.
Lingko biasanya dibedakan atas beberapa jenis. Menurut
penelitian Ruwiastuti pembagian lingko bisa dilihat dari jenis hewan yang
dikorbankan. Pertama, Lingko Randang
atau Lingko Rame yaitu sebidang tanah garapan yang dibuka dengan melakukan
upacara adat dengan hewan korban yang besar berupa seekor kerbau atau babi
merah [éla rae]. Bidang tanah yang
dibuka dengan babi merah disebut lingko
wina [lingko perempuan] dan yang dibuka dengan kerbau disebut lingko rona [lingko lelaki]. Lingko rame biasanya dikunjungi setiap
tahun untuk mengadakan upacara penti. Kedua,
Lingko Saungcué yaitu ladang garapan
yang dibuka dengan membunuh seekor babi tanpa memandang warna bulunya. Mereka
yang menggarapnya mempunyai kewajiban untuk mempersembahkan seekor ayam di
lahan garapan itu setiap tahunnya (“Sengketa Tanah di
Manggarai: Temuan, Pendapat, Analisis dan Rekomendasi Berdasarkan Penelitian
Lapangan yang Dilakukan di Manggarai Tengah pada bulan Oktober-November 1994”).
Selain pembagian dengan menelisik hewan yang dikorbankan, Lingko Randang [atau disebut juga Lingko Rame] memiliki ukuran yang sangat luas sehingga semua warga
masyarakat golo mendapat bagiannya
dalam tanah persekutuan komunal itu. Sedangkan Lingko Saungcuè [disebut juga Lingko Kina] memiliki ukuran
yang lebih kecil dan warga yang tidak mendapat bagian dalam lingko itu
dialihkan ke lingko yang baru dengan
tetap memperhatikan asas keadilan. Robert Lawang dalam kajiannya
“Konflik Tanah di Manggarai Flores Barat (1999)” mengakui adanya pembagian
jenis lingko. Selain lingko rame, ada juga lingko yang
disebut sebagai Lingko bon yakni kebun biasa yang dibagikan kepada
mereka yang tidak mendapat bagian dalam lingko rame. Lingko rame
selalu memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan rumah gendang, kampung dan
warga kampung seluruhnya. Dalam arti inilah ungkapan “gendangn one, lingkon
pe’ang” mengungkapkan analogi suami-istri [rona-wina]. Rumah gendang
adalah suami untuk lingko yang adalah istri. Karena itu mengambil sebuah
lingko identik dengan merebut istri. Konsekuensinya, pemilik lingko
akan berusaha melalui pelbagai cara mempertahankannya.
Biasanya lingko
dikelolah dengan mekanisme yang tetap dan jelas. Beberapa mekanisme itu antara
lain: Pertama, Lodok. Lodok adalah pembagian tanah garapan
dengan satu titik pusat dan daripadanya ditarik jari-jari yang membatasi bidang
garapan dari setiap warga yang mengerjakan kebun. Pada titik pusat lodok ditanami pohon waru [haju Teno] yang dibentuk menyerupai
gasing sehingga disebut mangka
[gasing]. Setiap garis jari-jari berakhir pada batas yang disebut cicing. Mekanisme kedua adalah membuka lahan pertanian baru dengan cara yang sama
seperti lodok namun ukuran lahannya
lebih kecil. Lahan jenis ini disebut neol.
Akhirnya, mekanisme yang ketiga disebut
tobok, yaitu membuka kebun baru di
luar batas lingko. Tobok
diperuntukkan bagi mereka yang tidak mendapat bagian pada lingko.
Dari struktur
dan mekanisme tradisional yang ada sebenarnya tidak ada indikasi pencaplokan tanah antar kampung atau
komunitas. Tu’a-tua Golo dan Tu’a-tu’a Teno setiap kampung saling
menghormati dan mengakui perbatasan lingko masing-masing dengan batas-batas
alamiah seperti sungai, gunung atau kawasan hutan keduanya. Setiap Tu’a Teno mengetahui dengan persis
batas-batas lingkonya sehingga
jikalau terjadi soal dengan batas-batas lingko akan dengan mudah diselesaikan
dalam rumah Gendang.
Saya merasa tertarik dengan tulisan Bapak bahwa dalam masyaraka agraris manggarai terdapat Tu’a Golo yang artinya kepala wilayah dalam satu kampung. Dan dalam kampung juga ada namanya Tu’a Teno yang berperan sebagai pengurus pembukaan lahan kebun baru dan mengurus dalam pembagian tanah. Pada zaman dahulu kehadiran Tu’a Golo dan Tu’a Teno sangat penting, karena Tu’a-Tu’a dalam satu kampung itu memiliki peran yang sangat penting dan Mereka sangat dihormati oleh ro’eng (rakyat). Namun sekarang tu’a-tu’a adat di kampung kita tidak lagi ada perannya bahkan sekarang menganggap bahwa tu’a-tu’a adat sekarang tidak lagi sebagai orang yang penting dikalangan masyarakat, sehingga banyak sekali masalah perebutan tanah.
ReplyDeleteSekarang ini, tidak lagi nampak upacara adat yang dipaparkan dalam tulisan bapak yang mengatakan bahwa upacara adat dengan membunuh kurban yang besar berupa seekor kerbau dan membunuh babi merah (ela rae) merupakan kegiatan upcara untuk membuka lahan baru. Dengan membunuh kurban berupa babi merah (ela rae) dalam pembagian lingko diibaratkan sebagai Lingko Wina, dan dengan membunuh kurban berupa seekor kerbau dalam pembagian lingko juga diibaratkan sebagai Lingko Rona. Istilah gendang one dan lingko pe’ang untuk budaya kita orang manggarai ternyata memiliki makna dan arti yang sangat unik. Dimana lingko itu diibaratkan istri dan gendang diibaratkan suami.
Jujur saja baru kali ini saya tahu istilah pembagian bidang tanah yang dibuka dengan babi merah adalah lingko wina dan pembagian tanah yang dibuka dengan membunuh kerbau adalah lingko rona.
Hal ini terjadi karena di kampung-kampung kita sekarang jarang sekali dilakukan upacara adat seperti ini, dalam kegiatan ini juga tidak melibatkan anak-anak dan orang mudah. Kadang juga hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran orang-orang mudah bahwa upacara seperti in sangat penting, dan banyak juga orang mudah mengatakan bahwa upacara adat seperti ini adalah kuno. Mereka mengatakan demikian karena mereka sudah dipengaruhi oleh perubahan zaman.
Terima kasih Pa atas, pengetahuan Bapak tentang budaya-budaya manggarai yang ditulis lewat artikel dan dengan membaca artikel bapak kami akan sadar bahwa upacarat ada yangt di paparkan oleh bapak sangat penting bagi masa depan kami.
Atas nama : rosalia wati
Saya merasa tertarik dengan tulisan Bapak bahwa dalam masyaraka agraris manggarai terdapat Tu’a Golo yang artinya kepala wilayah dalam satu kampung. Dan dalam kampung juga ada namanya Tu’a Teno yang berperan sebagai pengurus pembukaan lahan kebun baru dan mengurus dalam pembagian tanah. Pada zaman dahulu kehadiran Tu’a Golo dan Tu’a Teno sangat penting, karena Tu’a-Tu’a dalam satu kampung itu memiliki peran yang sangat penting dan Mereka sangat dihormati oleh ro’eng (rakyat). Namun sekarang tu’a-tu’a adat di kampung kita tidak lagi ada perannya bahkan sekarang menganggap bahwa tu’a-tu’a adat sekarang tidak lagi sebagai orang yang penting dikalangan masyarakat, sehingga banyak sekali masalah perebutan tanah.
ReplyDeleteSekarang ini, tidak lagi nampak upacara adat yang dipaparkan dalam tulisan bapak yang mengatakan bahwa upacara adat dengan membunuh kurban yang besar berupa seekor kerbau dan membunuh babi merah (ela rae) merupakan kegiatan upcara untuk membuka lahan baru. Dengan membunuh kurban berupa babi merah (ela rae) dalam pembagian lingko diibaratkan sebagai Lingko Wina, dan dengan membunuh kurban berupa seekor kerbau dalam pembagian lingko juga diibaratkan sebagai Lingko Rona. Istilah gendang one dan lingko pe’ang untuk budaya kita orang manggarai ternyata memiliki makna dan arti yang sangat unik. Dimana lingko itu diibaratkan istri dan gendang diibaratkan suami.
Jujur saja baru kali ini saya tahu istilah pembagian bidang tanah yang dibuka dengan babi merah adalah lingko wina dan pembagian tanah yang dibuka dengan membunuh kerbau adalah lingko rona.
Hal ini terjadi karena di kampung-kampung kita sekarang jarang sekali dilakukan upacara adat seperti ini, dalam kegiatan ini juga tidak melibatkan anak-anak dan orang mudah. Kadang juga hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran orang-orang mudah bahwa upacara seperti in sangat penting, dan banyak juga orang mudah mengatakan bahwa upacara adat seperti ini adalah kuno. Mereka mengatakan demikian karena mereka sudah dipengaruhi oleh perubahan zaman.
Terima kasih Pa atas, pengetahuan Bapak tentang budaya-budaya manggarai yang ditulis lewat artikel dan dengan membaca artikel bapak kami akan sadar bahwa upacarat ada yangt di paparkan oleh bapak sangat penting bagi masa depan kami.
Atas nama : rosalia wati
Ayo bosku Semuanya,
ReplyDeleteYuk iseng bermain game untuk mendapatkan uang tambahan setiap harinya Hanya di arena-domino.vip
Modal Kecil Dapat Puluhan Juta ^^
Bareng saya dan teman-temanku yang cantik-cantik loh !
Info Situs www.arena-domino.vip
yukk di add WA : +855964967353