Kanisius Teobaldus Deki
Seorang lelaki paruh bayah memasuki ruang kuliah di musim
kering tahun 1999. Wajahnya menampakkan kecerahan dan ketenangan. Di tangannya
sebuah buku dipegang erat. Stelan baju batik berlengan pendek dengan pilihan
warna yang tidak mencolok mata merupakan busana keseharian yang sering
dipakainya. Dengan ayunan langkah pelan dan pasti ia memasuki kelas. Melalui
senyumannya yang khas, ia mengajak mahasiswa untuk berdoa sebelum kuliah
dimulai. Ya, begitulah setiap kali. Entah ketika menjadi pengasuh kuliah Teologi
Asia, Kristologi Lokal di program Strata Satu (S1), maupun Teologi Kontekstual
dan Teologi Feminis di Strata Dua (S2), kuliahnya selalu menimbulkan decak
kagum dan senantiasa diminati mahasiswa Filsafat-Teologi.
Bahasa racikannya sedap di dengar, aras pemikirannya mudah
dicerna serta tirisan refleksinya menukik sehingga membuat para calon filsuf
dan teolog terkesima dibuatnya. Itulah sebabnya, banyak mahasiswa, termasuk
penulis, berburu pengetahuan serta berguru pengalaman padanya, entah sebagai
pengajar maupun pembimbing tugas akhir, baik di medan skripsi maupun thesis.
Lelaki paruh bayah itu adalah Dr. Yoseph Suban, yang lebih akrab disapa Pater
Yoseph. Beliau adalah dosen Teologi, guru spiritual dan Direktur Program
Pascasarjana di STFK Ledalero.
Hari ini saya tersentak. Sebuah SMS memberi berita, P.
Yoseph telah pergi untuk selamanya. Tanggal 1 Mei 2009, saya sempat mengirim
sebuah SMS untuk beliau yang isinya sangat pribadi. Tetapi dua hari kemudian
SMS itu kembali dengan keterangan: tak terkirim. Kontak langsung terakhir
dengan almarhum terjadi ketika beliau bersedia memberikan rekomendasi pada saat
saya membuat aplikasi beasiswa program doktorat ke USA yang dibiayai Ford
Foundation. Bersama Dr. Hubert Muda, SVD, beliau membuat rekomedasi yang isinya
sangat mendukung niat dan cita-cita saya. Tak disangka, penulis puisi dan
pencinta sastra ini telah berpulang ke rumah Bapa pada hari Jumat, 8 Mei 2009
pukul 05.45 di RS St. Elisabet Bekasi.
Tulisan ini saya buat lebih untuk mengenang beliau. Sebuah
coretan yang menurut saya penting untuk dihiraukan yakni tentang Teologi yang
berpulang pada konteks. Hal mana menjadi main stream seluruh hidupnya
dalam berteologi.
Reformulasi Metodelogi dan Konteks
Teologi
Diskursus teologi yang terbangun di Negara-negara berkembang
memiliki kecenderungan orientasi Barat. Karena itu dibutuhkan suatu pembaharuan
dalam berteologi setelah melakukan evaluasi, kritisisme dan konfrontasi-oposisi
bukan saja dalam metodelogi melainkan lebih pada orientasi yang mau ditujui.
Itulah sebabnya, teologi dan upaya berteologi di Negara-negara dunia ketiga
(yang miskin dan terjajah) menekankan dua aspek penting. Pertama,
penekanan pada orientasi teologi yang dibuat untuk melayani umat-masyarakat,
teologi yang bergerak melampaui komunitas Kristen, melayani kehidupan dan
kepenuhan manusiawi. Kedua, penekanan pada karakter sejarah teologi
dunia ketiga yang mempunyai dimensi evolutif dan historis dalamnya ada sejarah
pembebasan. Terdapat kontinuitas dalam diskontunuitas, universalitas pada
personalitas dan generalitas setiap singularitas.
Berhadapan dengan realitas kemiskinan yang menindas, perlu
pembaharuan dalam cara berteologi yang didominasi diskursus ilmiah dan
terlanjur lupa lupa aspek spiritualitas Kristen yang berorientasi keterlibatan
untuk mencari wajah Allah secara baru dalam pengalaman konkret. Titik pijaknya
adalah sikap para Nabi dan Yesus yang menjalankan diakonia seimbang dengan
liturgia. Atau menurut bahasa Aloysius Pieris, bertolak dari ruang kelas menuju
dapur. Dari sebatas diskusi formal-ilmiah ke medan pergulatan tindakan dan
perbuatan nyata.
Kenyataannya manusia telah dipengaruhi oleh spirit
kapitalisme-individualisme yang justru bertentangan dengan misi Yesus dan
semangat kekristenan. Maka untuk sebuah perubahan dalam cara berteologi
dibutuhkan suatu sikap pertobatan personal yang menjadi elemen kunci untuk
melakukan transformasi sosial. Itu berarti menjadi imperatif munculnya
spiritulitas yang berkutat dalam perjuangan mendapatkan keadilan, pembebasan,
damai dan rekonsiliasi. Konsekuensi logisnya, lahirlah Combative Theology
(Teologi Pertarungan) dalam konteks perjuangan rakyat untuk memperoleh
liberasi, bertarung melawan dewa-dewi dengan suatu titik mulai baru: berhala
dalam diri harus dikalahkan untuk melawan berhala dari luar. Pater Yoseph
menulis: “Kita diminta untuk
melawan struktur kejahatan yang sama. Musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat
dapat menyadarkan kita sejauh mana struktur kejahatan itu sudah juga merasuki
kita. Kita mesti melawan yang gelap dalam diri kita tetapi dengan semakin teguh
berpegang pada si Pembawa Terang. Kita mesti berjuang melawan yang jahat yang
ada dalam diri kita, tetapi hanya kalau kita semakin melekatkan diri pada Yang
Baik. Dan dengan melawan yang gelap dan jahat di dalam diri kita, mata kita
jadi jernih untuk bisa membaca yang gelap dan jahat di sekitar kita, dan batin
kita menjadi berani untuk merubahnya. Merubah struktur yang jahat bisa berarti
merubah musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat menjadi baik. Kita diminta
untuk melawan struktur kejahatan yang sama. Musuh-musuh kita yang sudah berbuat
jahat dapat menyadarkan kita sejauh mana struktur kejahatan itu sudah juga
merasuki kita. Kita mesti melawan yang gelap dalam diri kita tetapi dengan
semakin teguh berpegang pada si Pembawa Terang. Kita mesti berjuang melawan
yang jahat yang ada dalam diri kita, tetapi hanya kalau kita semakin melekatkan
diri pada Yang Baik. Dan dengan melawan yang gelap dan jahat di dalam diri kita,
mata kita jadi jernih untuk bisa membaca yang gelap dan jahat di sekitar kita,
dan batin kita menjadi berani untuk merubahnya. Merubah struktur yang jahat
bisa berarti merubah musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat menjadi baik.”
(Deki, 2008:335-336).
Mammon dan kekuasannya adalah musuh
Allah yang harus dikalahkan dengan tiga cara. Pertama, Jalan permandian.
Di sungai Yordan Yesus berpegang teguh pada BapaNya. Renunsiasi atas mammon
berarti memaklumkan kembali Allah sebagai penguasa atas dunia. Di bukit Kalvari
terdapat denunsiasi terhadap mammon suatu tindakan berhadapan melawan serta
”anggap sepi” atas segala bentuk kekuasaan imitasi yang amis dengan kekerasan
dan penindasan. Kedua, Upaya dan perjuangan eskatologis yang dilakukan
ialah terus berjuang walau mengetahui resiko terhadap ”anti kerajaan Allah”.
Sikap kecewa karena perjuangan menuntut kebenaran belum membuahkan hasil adalah
godaan paling besar. Ketiga, Teologi dunia berkembang berciri eklesial
karena gereja seluruhnya eklesiatikal. Gereja lokal adalah instrumen Allah
untuk pembebasan roh manusia dan untuk menunjukkan buah sulung Kerajaan Allah
di tengah dunia. Gereja lokal mesti menjadi tanda keselamatan yang kelihatan
dalam menghadapi masalah-masalah aktual umat-masyarakat. Karena itu, teologi
dunia berkembang mesti berakar dalam gereja mereka, membuat teologi dari gereja
mereka seturut kerinduan dan harapan umat Allah.
Imperatif Teologi
dan Cara Hidup Menggereja di NTT
Mengikuti alur gagasan itu, terdapat
beberapa catatan fundamental-esensial yang menjadi epistemological break (pengretakan
epistemologi) hidup menggereja di NTT. Jika Gereja menyembah mammon (uang dan
kuasa) maka sulitlah baginya untuk melaksanakan peran profetis terhadap yang
kaya dan berkuasa. Malah ia menjadi kaki-tangan penguasa yang bercorak
kapitalis dan kolonial. Maka Gereja akan tetap merasa aman dengan ”diakonia
karitatif” dan bukan diakonia sosial, atau: pelayanan sosial dan bukan
aksi sosial! Padahal Gereja memiliki dua tugas penting yang mesti dilaksanakan
dalam masyarakat yaitu keimaman untuk menciptakan rekonsiliasi yang membebaskan
dan pelayanan profetis untuk menciptakan konflik yang memurnikan.
Kalaupun Gereja mengidentikan diri
dengan para korban, identifikasi diri bukanlah sebuah penerimaan pasif atas penderitaan
melainkan transformasi yang memampukan lewat mana kekuatan-kekuatan kematian
dan kejahatan dikalahkan berkat kebangkitan. Untuk merubah situasi
ketidakadilan, seluruh situasi dianalisa secara teliti dengan menggunakan
pendekatan sistemis dan langkah-langkah mesti diambil untuk mematahkan monopoli
para penguasa dan untuk memberdayakan kaum lemah dengan menolong mereka
menemukan martabat diri mereka.
Dalam memperjuangkan pembebasan kaum
lemah di NTT, Gereja harus bekerja sama dengan kaum lemah. Yang mesti dibuat
Gereja adalah melatih pemimpin-pemimpin untuk membentuk pelayanan yang
sederhana dan kontinyu, melatih petugas-petugas sukarela untuk membentuk
kembali inti kehidupan masyarakat dan merintis karya pelayanan di daerah-daerah
yang sulit. Pada akhirnya, teologi Gereja NTT mesti memiliki komitmen ”siap
untuk tersebar”, seperti komunitas gereja purba. Setiap kelompok membentuk satu
nukleus persekutuan baru baru yang dinamakan komunitas ketetaanggaan.
Hal mana membangun rasa kekitaan yang kian punah di NTT.
Minggu, 10 Mei 2009. Lautan manusia
memenuhi bukit Ledalero untuk melepas-pergikan sang Teolog yang menyadarkan
kita akan pentingnya kembali ke konteks, ke jati diri melalui sebuah pertobatan
metodelogis. Pater Yoseph terima kasih dan selamat jalan.***
(Dipublikasikan pertama oleh HU Flores Pos Mei 2009)
No comments:
Post a Comment