Wednesday, 25 May 2016

In Memoriam Pater DR. Yoseph Suban Hayon, SVD: Dari Reformulasi ke Konteks Teologi (Selarik Kenangan seorang Murid)


 Kanisius Teobaldus Deki

Seorang lelaki paruh bayah memasuki ruang kuliah di musim kering tahun 1999. Wajahnya menampakkan kecerahan dan ketenangan. Di tangannya sebuah buku dipegang erat. Stelan baju batik berlengan pendek dengan pilihan warna yang tidak mencolok mata merupakan busana keseharian yang sering dipakainya. Dengan ayunan langkah pelan dan pasti ia memasuki kelas. Melalui senyumannya yang khas, ia mengajak mahasiswa untuk berdoa sebelum kuliah dimulai. Ya, begitulah setiap kali. Entah ketika menjadi pengasuh kuliah Teologi Asia, Kristologi Lokal di program Strata Satu (S1), maupun Teologi Kontekstual dan Teologi Feminis di Strata Dua (S2), kuliahnya selalu menimbulkan decak kagum dan senantiasa diminati mahasiswa Filsafat-Teologi.
Bahasa racikannya sedap di dengar, aras pemikirannya mudah dicerna serta tirisan refleksinya menukik sehingga membuat para calon filsuf dan teolog terkesima dibuatnya. Itulah sebabnya, banyak mahasiswa, termasuk penulis, berburu pengetahuan serta berguru pengalaman padanya, entah sebagai pengajar maupun pembimbing tugas akhir, baik di medan skripsi maupun thesis. Lelaki paruh bayah itu adalah Dr. Yoseph Suban, yang lebih akrab disapa Pater Yoseph. Beliau adalah dosen Teologi, guru spiritual dan Direktur Program Pascasarjana di STFK Ledalero.
Hari ini saya tersentak. Sebuah SMS memberi berita, P. Yoseph telah pergi untuk selamanya. Tanggal 1 Mei 2009, saya sempat mengirim sebuah SMS untuk beliau yang isinya sangat pribadi. Tetapi dua hari kemudian SMS itu kembali dengan keterangan: tak terkirim. Kontak langsung terakhir dengan almarhum terjadi ketika beliau bersedia memberikan rekomendasi pada saat saya membuat aplikasi beasiswa program doktorat ke USA yang dibiayai Ford Foundation. Bersama Dr. Hubert Muda, SVD, beliau membuat rekomedasi yang isinya sangat mendukung niat dan cita-cita saya. Tak disangka, penulis puisi dan pencinta sastra ini telah berpulang ke rumah Bapa pada hari Jumat, 8 Mei 2009 pukul 05.45 di RS St. Elisabet Bekasi.
Tulisan ini saya buat lebih untuk mengenang beliau. Sebuah coretan yang menurut saya penting untuk dihiraukan yakni tentang Teologi yang berpulang pada konteks. Hal mana menjadi main stream seluruh hidupnya dalam berteologi.

Reformulasi Metodelogi dan Konteks Teologi
Diskursus teologi yang terbangun di Negara-negara berkembang memiliki kecenderungan orientasi Barat. Karena itu dibutuhkan suatu pembaharuan dalam berteologi setelah melakukan evaluasi, kritisisme dan konfrontasi-oposisi bukan saja dalam metodelogi melainkan lebih pada orientasi yang mau ditujui. Itulah sebabnya, teologi dan upaya berteologi di Negara-negara dunia ketiga (yang miskin dan terjajah) menekankan dua aspek penting. Pertama, penekanan pada orientasi teologi yang dibuat untuk melayani umat-masyarakat, teologi yang bergerak melampaui komunitas Kristen, melayani kehidupan dan kepenuhan manusiawi. Kedua, penekanan pada karakter sejarah teologi dunia ketiga yang mempunyai dimensi evolutif dan historis dalamnya ada sejarah pembebasan. Terdapat kontinuitas dalam diskontunuitas, universalitas pada personalitas dan generalitas setiap singularitas.
Berhadapan dengan realitas kemiskinan yang menindas, perlu pembaharuan dalam cara berteologi yang didominasi diskursus ilmiah dan terlanjur lupa lupa aspek spiritualitas Kristen yang berorientasi keterlibatan untuk mencari wajah Allah secara baru dalam pengalaman konkret. Titik pijaknya adalah sikap para Nabi dan Yesus yang menjalankan diakonia seimbang dengan liturgia. Atau menurut bahasa Aloysius Pieris, bertolak dari ruang kelas menuju dapur. Dari sebatas diskusi formal-ilmiah ke medan pergulatan tindakan dan perbuatan nyata.
Kenyataannya manusia telah dipengaruhi oleh spirit kapitalisme-individualisme yang justru bertentangan dengan misi Yesus dan semangat kekristenan. Maka untuk sebuah perubahan dalam cara berteologi dibutuhkan suatu sikap pertobatan personal yang menjadi elemen kunci untuk melakukan transformasi sosial. Itu berarti menjadi imperatif munculnya spiritulitas yang berkutat dalam perjuangan mendapatkan keadilan, pembebasan, damai dan rekonsiliasi. Konsekuensi logisnya, lahirlah Combative Theology (Teologi Pertarungan) dalam konteks perjuangan rakyat untuk memperoleh liberasi, bertarung melawan dewa-dewi dengan suatu titik mulai baru: berhala dalam diri harus dikalahkan untuk melawan berhala dari luar. Pater Yoseph menulis: “Kita diminta untuk melawan struktur kejahatan yang sama. Musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat dapat menyadarkan kita sejauh mana struktur kejahatan itu sudah juga merasuki kita. Kita mesti melawan yang gelap dalam diri kita tetapi dengan semakin teguh berpegang pada si Pembawa Terang. Kita mesti berjuang melawan yang jahat yang ada dalam diri kita, tetapi hanya kalau kita semakin melekatkan diri pada Yang Baik. Dan dengan melawan yang gelap dan jahat di dalam diri kita, mata kita jadi jernih untuk bisa membaca yang gelap dan jahat di sekitar kita, dan batin kita menjadi berani untuk merubahnya. Merubah struktur yang jahat bisa berarti merubah musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat menjadi baik. Kita diminta untuk melawan struktur kejahatan yang sama. Musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat dapat menyadarkan kita sejauh mana struktur kejahatan itu sudah juga merasuki kita. Kita mesti melawan yang gelap dalam diri kita tetapi dengan semakin teguh berpegang pada si Pembawa Terang. Kita mesti berjuang melawan yang jahat yang ada dalam diri kita, tetapi hanya kalau kita semakin melekatkan diri pada Yang Baik. Dan dengan melawan yang gelap dan jahat di dalam diri kita, mata kita jadi jernih untuk bisa membaca yang gelap dan jahat di sekitar kita, dan batin kita menjadi berani untuk merubahnya. Merubah struktur yang jahat bisa berarti merubah musuh-musuh kita yang sudah berbuat jahat menjadi baik.” (Deki, 2008:335-336).
Mammon dan kekuasannya adalah musuh Allah yang harus dikalahkan dengan tiga cara. Pertama, Jalan permandian. Di sungai Yordan Yesus berpegang teguh pada BapaNya. Renunsiasi atas mammon berarti memaklumkan kembali Allah sebagai penguasa atas dunia. Di bukit Kalvari terdapat denunsiasi terhadap mammon suatu tindakan berhadapan melawan serta ”anggap sepi” atas segala bentuk kekuasaan imitasi yang amis dengan kekerasan dan penindasan. Kedua, Upaya dan perjuangan eskatologis yang dilakukan ialah terus berjuang walau mengetahui resiko terhadap ”anti kerajaan Allah”. Sikap kecewa karena perjuangan menuntut kebenaran belum membuahkan hasil adalah godaan paling besar. Ketiga, Teologi dunia berkembang berciri eklesial karena gereja seluruhnya eklesiatikal. Gereja lokal adalah instrumen Allah untuk pembebasan roh manusia dan untuk menunjukkan buah sulung Kerajaan Allah di tengah dunia. Gereja lokal mesti menjadi tanda keselamatan yang kelihatan dalam menghadapi masalah-masalah aktual umat-masyarakat. Karena itu, teologi dunia berkembang mesti berakar dalam gereja mereka, membuat teologi dari gereja mereka seturut kerinduan dan harapan umat Allah.

Imperatif Teologi dan Cara Hidup Menggereja di NTT
Mengikuti alur gagasan itu, terdapat beberapa catatan fundamental-esensial yang menjadi epistemological break (pengretakan epistemologi) hidup menggereja di NTT. Jika Gereja menyembah mammon (uang dan kuasa) maka sulitlah baginya untuk melaksanakan peran profetis terhadap yang kaya dan berkuasa. Malah ia menjadi kaki-tangan penguasa yang bercorak kapitalis dan kolonial. Maka Gereja akan tetap merasa aman dengan ”diakonia karitatif” dan bukan diakonia sosial, atau: pelayanan sosial dan bukan aksi sosial! Padahal Gereja memiliki dua tugas penting yang mesti dilaksanakan dalam masyarakat yaitu keimaman untuk menciptakan rekonsiliasi yang membebaskan dan pelayanan profetis untuk menciptakan konflik yang memurnikan.
Kalaupun Gereja mengidentikan diri dengan para korban, identifikasi diri bukanlah sebuah penerimaan pasif atas penderitaan melainkan transformasi yang memampukan lewat mana kekuatan-kekuatan kematian dan kejahatan dikalahkan berkat kebangkitan. Untuk merubah situasi ketidakadilan, seluruh situasi dianalisa secara teliti dengan menggunakan pendekatan sistemis dan langkah-langkah mesti diambil untuk mematahkan monopoli para penguasa dan untuk memberdayakan kaum lemah dengan menolong mereka menemukan martabat diri mereka.
Dalam memperjuangkan pembebasan kaum lemah di NTT, Gereja harus bekerja sama dengan kaum lemah. Yang mesti dibuat Gereja adalah melatih pemimpin-pemimpin untuk membentuk pelayanan yang sederhana dan kontinyu, melatih petugas-petugas sukarela untuk membentuk kembali inti kehidupan masyarakat dan merintis karya pelayanan di daerah-daerah yang sulit. Pada akhirnya, teologi Gereja NTT mesti memiliki komitmen ”siap untuk tersebar”, seperti komunitas gereja purba. Setiap kelompok membentuk satu nukleus persekutuan baru baru yang dinamakan komunitas ketetaanggaan. Hal mana membangun rasa kekitaan yang kian punah di NTT.
Minggu, 10 Mei 2009. Lautan manusia memenuhi bukit Ledalero untuk melepas-pergikan sang Teolog yang menyadarkan kita akan pentingnya kembali ke konteks, ke jati diri melalui sebuah pertobatan metodelogis. Pater Yoseph terima kasih dan selamat jalan.***

(Dipublikasikan pertama oleh HU Flores Pos Mei 2009)

No comments:

Post a Comment