Kanisius Teobaldus
Deki
“One day during
handwork, while reflecting on the activity of the human mind, suddenly I saw in
my mind a ladder with four spiritual steps: reading, meditation, prayer,
contemplation. This is the monkitab suci’ ladder, by which they ascend from
earth to heaven. It is true, the ladder has only a few steps, but it is so high
that whereas its, the lower part touches the earth, its upper part
penetrates the clouds and reaches Heaven’s secrets” (Guido II, the
cartucian)[2]
Dewasa ini ada pelbagai upaya untuk mengakarkan
sabda Tuhan. Usaha-usaha ini dimaksudkan selain agar sabda Tuhan bertumbuh dan
berkembang dengan baik, juga diharapkan dapat memperbaiki ahklak kehidupan
manusia. Perbaikan ahklak ini berorientasi pada perubahan perilaku ke arah yang
positif. Dalam hubungan dengan gerakan mengumatkan kitab suci, menemukan metode
yang baik, efektif dan berdaya guna adalah kiblat yang sedang dijadikan fokus.
Pada kesempatan ini, secara khusus artikel ini membahas salah satu model
pendekatan ke arah itu yang dinamakan Lectio divina.
Kajian ini lebih merupakan sebuah guide
line daripada sebuah penjelasan teoretik-analitik. Itulah sebabnya gaya
pembahasannya melibatkan pembaca sebagai bagian integral dari keseluruhan
komunitas yang ditujui. Sebuah usaha mengikutsertakan pembaca sebagai subjek
aktif dengan pemanfaatan sebutan “kita” dalam seluruh teks kitab suci. Kendati
demikian, referensi utama tetap disampaikan untuk tidak menjerumuskan isi
tulisan ini kepada subjektivisme penulis.[3]
Lectio divina adalah pembacaan Sabda
Allah dengan penuh iman dan doa yang berpangkal pada iman dalam Yesus Kristus
yang telah bersabda “Roh akan mengingatkan kamu akan segala yang telah
Kukatakan dan Ia akan mengantar kamu ke dalam kebenaran yang penuh”.[4] Tujuan lectio divina adalah “belajar kebijakitab
sucianaan yang membawa kepada keselamatan karena iman akan Yesus Kristus”.[5] Dalam perjalanan
historisnya, lectio divina bermula
dari tradisi kerahiban yang hidup di padang gurun Timur Tengah sekitar abad
ke-4 dan ke-7. lectio divina kemudian
berkembang terus hingga dikenal di Gereja Barat, khususnya oleh rahib
Benediktin[6] kemudian oleh para
Karmelit. Dalam perkembangan selanjutnya, lectio
divina diperkaya oleh reflekitab sucii-reflekitab sucii biblis yang dibuat
oleh Bapa-bapa Gereja yang sangat berorientasi biblis.
Latar dari kehadiran lectio divina dilukiskan oleh Karen Amstrong[7]
sebagai usaha untuk mengembalikan kekuatan daya ilahi melalui permenungan kitab
suci. Hal ini diperjelas oleh sejarah tatkala Agustinus dari Hippo menyakitab
suciikan bagaimana kaum Vandalis menyerbu kota Hippo, membangun gaya hidup
konkupisensi, yakni hasrat irasional di mana manusia lebih mencari kenikmatan
duniawi daripada sukacita dalam Tuhan.[8]
Hal mana patut diamini bahwa abad ke-5 hingga abad ke-9 pendalaman kitab suci
hanya dilakukan di komunitas biara-biara dalam belum sampai kepada umat secara
merata.
Sebutan lectio divina berasal dari kata bahasa Latin: Lectio dan Divina.
Lectio berarti pembacaan,
bacaan sedangkan Divina berarti ilahi.[9]
Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa lectio
divina adalah pembacaan ilahi atau membaca sesuatu yang
bersifat ilahi. Dari uraian ini, muncul pertanyaan: “Bacaan manakah yang
bersifat ilahi?” Pertanyaan ini membawa kita kepada dua jawaban berikut: Pertama, isi bacaan itu ilahi-rohani, yaitu
tentang Allah dan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan Allah dan
karya-karyaNya. Itu berarti kita membaca tentang “Yang Ilahi” yang berarti
Allah telah membiarkan diriNya dibaca oleh kita dan melalui proses pembacaan
itu Ia mewahyukan diriNya kepada kita. Kedua, pembacanya yang Ilahi. Itu berarti yang membacanya itulah
yang ilahi. Allah sendirilah yang membaca diri kita. Isi bacaannya ialah diri
kita dengan segala peristiwa dan pengalaman hidup kita (kelebihan dan kekurangan
yang kita punyai). Dalam hal ini, dari kita dituntut suatu keterbukaan hati.
Hal ini sangat urgen oleh karena keterbukaan dan kesediaan hati kita terhadap
Allah, maka kita bisa membaca dan melihat diri kita dengan lebih baik dan
jelas.
Kajian ini berusaha menjelaskan tentang bagaimana membaca, merenungkan,
berdoa dan berkontemplasi dengan kitab suci. Sebuah metode yang sangat baik di
antara metode yang lainnya. Terdapat pula metode APA (amatilah, pahamilah dan
aktualkanlah) yang tidak hanya berhenti pada pendalaman teks kitab suci tetapi
juga pada implementasi.[10]
2. PROSES LECTIO DIVINA
Pada awalnya lectio divina adalah kesanggupan praktis yang mesti dimiliki oleh
setiap rahib tanpa metode yang tetap. Lama kelamaan, lectio divina ditilik secara lebih detail dengan
mempertimbangkan unsur-unsur penting di dalamnya sehingga menemukan sebuah
metode tetap. Guido II, seorang
rahib Kartusian, membuat penjelasan yang sistematis atas lectio divina.[11] Menurut Guido II, ada empat anak tangga kegiatan rohani untuk mencapai
surga. Gambaran ini didasarkan pada mimpi Yakub di Betel (Kej 28:12-19).
Keempat anak tangga itu adalah sbb: Lectio, Meditatio, Oratio dan Contemplatio.
Melalui Lectio kita menyelidiki kemungkinan agar orang bisa hidup
bahagia, Meditatio berusaha menemukannya, Oratio memohonkannya,
dan Contemplatio mengalaminya. Lalu Guido II membuat penjelasan secara
alegoris: Lectio bisa disamakan dengan membawa makanan ke dalam mulut, Meditatio
adalah kegiatan mengunyah dan melumatkan makanan itu, Oratio mengenyam
rasa makanan itu dan Contemplatio adalah kesedapan makanan itu sendiri.[12]
Berikut akan dijelaskan secara berurutan keempat bagian dari Lectio divina mulai dari lectio, meditatio, oratio dan contemplatio.
2.1. Lectio (Pembacaan)
Membaca adalah hal pertama dalam lectio
divina. Kegiatan utama di sini adalah membaca teks kitab suci. Tujuannya ialah supaya kita mengerti apa yang dikatakan
teks kitab suci itu. Hal ini penting, terutama agar hidup kita selalu dibimbing
dan diarahkan oleh Sabda Allah. Apa yang harus dilakukan agar kita dapat
mengerti teks kitab suci? Bagaimana kita dapat memahami isi teks kitab suci
itu? Ada hubungan yang erat antara pemahaman tentang wahyu, iman dan kitab
suci. Hubungan itu merupakan cara yang menentukan agar kitab suci dimengerti,
dipahami dan diperankan dalam kehidupan. Pada level ini, membaca bukan saja
untuk mencari informasi tetapi lebih dari itu membina relasi.[13]
Ada tiga model pembacaan yang harus dilakukan yakni belajar membaca dengan
seluruh tubuh, membaca dengan akal budi dan membaca dengan hati. Pertama:
Kita perlu belajar membaca (bdk. Luk 8:18) dengan seluruh tubuh kita. Teks kitab suci itu dibaca dua-tiga kali
disertai dengan adanya pause singkat di antara bacaan tersebut, memberikan
perhatian pada kata-kata atau kalimat yang menarik, menyentuh atau menantang. Ada
harapan agar apa yang diucapkan oleh mulut, bergetar dalam telinga, menggema
dalam hati. Selain itu, kita bisa menulis kembali teks kitab suci yang menjadi
bahan lectio divina dengan maksud agar memudahkan ingatan kita sendiri.
Kedua: Kita membaca teks
kitab suci dengan akal budi. Fokus dari bagian ini ialah kita melihat mana pernyataan-pernyataan
utama, siapakah yang berbicara atau bertindak, apa yang dikatakan atau
dilakukan, pada siapa, mengapa, di mana, kapan, dst. Kita masuk ke dalam teks seraya berusaha memperhatikan kata-kata atau
kalimat-kalimat dengan teliti. Hal yang harus dihindari adalah ketergesaan. Sikap
tergesa-gesa membaca, menyulitkan dirinya dan orang lain untuk memahami apa
yang dibacakannya. Selain itu, ketergesaan waktu membaca seperti itu sudah
menunjukkan juga kurangnya pemahaman, penghargaan dan penghayatannya terhadap
Sabda Tuhan.
Ketiga: kita membaca dengan
hati. Aspek paling utama dalam bagian ini adalah membaca dengan penuh kasih,
kerinduan, keterbukaan hati dan iman untuk menerima anugerah Allah. Hal seperti
ini sangat membantu kita untuk memahami dan menerima, menghayati dan
menjadikannya sebagai sumber dan pedoman hidup kita.
Membaca sangat mendasar dan berperan sangat
penting dalam lectio divina. Karena itu dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk
melakukan Lectio. Ada dua nilai yang diperoleh pada tahap ini. Pertama, untuk mengadakan lectio perlu
kerendahan hati, kesabaran, keterbukaan dan ketekunan. Allah mendidik kita juga
lewat kelemahan-kelemahan kita, tetapi juga lewat ketekunan, kesabaran dan
kehendak yang kuat untuk melaksanakan isi kitab suci. Usaha yang terus menerus
dalam membaca sampai memahaminya, sudah merupakan suatu kebajikan kristiani
yang amat berharga. Kedua, jika terdapat
hal-hal yang tidak dimengerti bisa ditanyakan kepada orang lain (para ahli)
atau mencari bacaan-bacaan yang berbicara tentang hal itu. Harus ada kemauan
kuat untuk berkembang dalam banyak aspek kehidupan (hal-hal positif); kita
perlu mencari dan mencari sampai menemukan (bdk. Mat 18:12, Luk 15:3-7).
Capaian yang harus dimiliki dalam level ini adalah
adanya pengertian tentang kata-kata, kalimat-kalimat
atau ungkapan-ungkapan kunci yang menjadi benang merah penghubung cerita. Selain itu, kita berusaha menemukan struktur atau
susunan teks kitab suci, tema-tema utama, simbol-simbol, gaya cerita, dan konteks
ceritanya. Untuk menemukan hubungan
yang aktif, kita berusaha mengidentifikasi diri kita dengan para pelaku
dalam cerita (kalau ada) dan mengapa demikian. Inilah yang oleh Paus Pius XII,
Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik sebut sebagai pendekatan konteks
tual kitab suci.[14]
Untuk menghadapi pelbagai kelemahan dalam
membaca ini, terdapat beberapasikap yang harus dihindari antara lain
fundamentalisme, individualisme, rasionalistis dan sekularistis. Keempat sikap
itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, sikap fundamentalistis.[15]
Sikap yang terlalu harfiah dalam menafsir atau memahami satu teks kitab suci,
dan terlalu kaku / tertutup untuk menerima hal-hal baru yang mempunyai makna
yang penting. Kitab suci memiliki banyak bahasa simbolis, karena itu kita harus
memahaminya secara simbolis.
Kedua, sikap individualistis. Sikap yang mengutamakan kepentingan individu di atas
kepentingan bersama, komunitas atau gereja. Kitab suci ditulis dengan tujuan
membangun kehidupan komunitas, umat atau Gereja. Penghayatan hidup iman atau
rohani bukan saja berarti kita harus memelihara hubungan pribadi kita dengan
Tuhan tetapi juga hubungan personal dengan sesama. Orang yang (amat)
individualistis tidak disukai oleh Tuhan dan sesama.
Ketiga, sikap rasionalistis. Sikap yang hanya terbuka menerima hal-hal yang bisa masuk akal, yang bisa
dipahami dengan rasio. Karena itu, hal-hal yang tidak masuk akal, tidak bisa
dimengerti secara rasional, ditolak dan bahkan sering menjadi bahan ejekan.
Dalam KITAB SUCI ada banyak hal yang tidak masuk akal, namun nyata dalam
pengalaman hidup dan sering sangat membantu orang dalam usaha menghayati iman
dan kasih, baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama.
Keempat, sikap sekularistis. Sikap yang menolak keterlibatan Tuhan dalam perjalanan hidup manusia.
Menurut orang-orang sekularistis, Allah lepas tangan sesudah menciptakan alam
semesta ini. Padahal sebetulnya, kitab suci juga berbicara tentang keterlibatan
Allah dalam hidup konkrit manusia.
Pada akhir dari seluruh proses membaca, pertanyaan dasar yang harus dijawab pada akhir proses membaca adalah: “Teks kitab suci
itu berbicara tentang apa kepada saya?”
2.2. Meditatio (Permenungan)
Setelah melalui proses membaca, kita melangkah ke tahap beriukutnya yakni
meditatio. Dalam tahap ini kita berusaha menemukan relevansi teks kitab suci
itu bagi diri kita. Sesungguhnya cerita atau peristiwa kitab suci yang kita
baca itu adalah juga cerita atau peristiwa yang sedang terjadi pada diri saya, kita,
keluarga, Gereja, sekarang ini dan di sini (hic et nunc). Kita berusaha
menemukan nilai-nilai hidup yang permanen dan tetap aktual dari generasi ke
generasi atau zaman lampau, kini dan nanti.
Dalam tahap ini kita berusaha mendengarkan Tuhan. Dia berbicara kepada kita
tentang diri kita yang sebenarnya. Dalam suasana dialog, kita boleh
mengungkapkan apa saja (susah, senang, keluhan, pujian, permohonan, dll) kepada
Tuhan. Pertanyaan pokok di sini: “teks kitab suci berbicara apa tentang diri saya?”
Untuk mengadakan meditatio ini diperlukan:
1.
Ingatan atau imaginasi tentang pengalaman masa
lampau. Kita bernostalgia tentang pengalaman itu: ada yang menyenangkan, ada
pula yang menyakitkan.
2. Identifikasi diri kita
dengan para pelaku dalam cerita kitab suci. Sejauh mana pelaku itu cocok dengan
kita? Rasakanlah
sapaan dan pesannya buatmu.
3. Usaha anda untuk menemukan dan merasakan
adanya perubahan dari satu situasi ke situasi lain, misalnya: dari rasa kecewa,
putus asa menjadi senang dan memperoleh peneguhan, ataupun sebaliknya.
Berusaha agar tegas menentukan sikap-sikap, bisa berlangkah maju tidak
sampai “terhanyut” dalam pengalaman-pengalaman konkrit.
2.3. Oratio (Berdoa)
Langkah ketiga adalah oratio.
Jika kita menyimak seluruh proses, sebetulnya sejak awal lectio divina sudah ada doa atau
suasana doa. Namun yang diutamakan pada tahap ini adalah kita berusaha
mengungkapkan doa-doa kita berdasarkan bacaan dan renungan kita tadi. Jadi, di sini kita secara pribadi menyampaikan doa-doa
kita.
Berdasarkan doa-doa pribadi tadi, maka sekarang kita beranjak ke doa
universal. Di sini kita berdoa bersama seluruh Gereja atas cara yang sama. Kita
berdoa bukan saja untuk kepentingan diri kita sendiri, tetapi juga untuk
kepentingan orang-orang lain yang kita jumpai dalam meditasi kita tadi.
Terdapat tiga jenis
doa yakni doa syukur atau terima kasih, doa pujian dan doa permohonan.
Ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, Doa Syukur-Terima Kasih. Kita bersyukur
atas segala sesuatu yang telah kita peroleh baik yang menyenangkan maupun yang
tak menyenangkan namun punya makna penting bagi kehidupan kita. Misalnya: Maz
21; 40 ; Yun 2:1-10.
Kedua, Doa Pujian. Kita memuji Allah
atas keagungan dan kasih setiaNya kepada kita dalam diri Yesus Kristus.
Misalnya: Maz 148-150. Ketiga, Doa Permohonan. Kita memohon bantuan Tuhan agar berhasil dalam karya dan dapat
menyenangkan sesama. Kita juga mohon ampun kepada Tuhan atas segala
dosa yang telah kita perbuat. Misalnya: Maz 35; 38; 41; 44; 51. Kita berdoa
juga agar kita sanggup masuk ke tahap contemplatio.
2.4. Contemplatio
(Kontemplasi)
Langkah terakhir dalam lectio divina adalah contemplatio.
Contemplatio sebetulnya merupakan momen pasif dari keintiman hubungan
pribadi kita dengan Tuhan yang kita jumpai dan alami. Kalau pada tahap Lectio
dan Meditatio, kita mendengarkan Allah secara aktif, maka sekarang dalam
tahap ini, kita berusaha diam, membiarkan diri kita diisi oleh Allah. Kita membiarkan Tuhan masuk dan menguasai diri dan hati
kita. Di sini kita merasakan keintiman hubungan pribadi kita dengan Allah,
bukan lagi berdasarkan rasio melainkan bertumpu pada hati. Kita mengalaminya
dalam arti (bdk. Pengalaman Petrus, Yakobus dan Yohanes di puncak gunung Tabor:
Mat 17: 1-13/ teks kitab suci parl).
Contemplatio adalah juga rahmat
Allah. Seorang kontemplatif hidup dalam Allah. Dia mencari sampai menemukan Allah. Dia berusaha melaksanakan kehendak
Allah. Dia memikirkan perkara-perkara di atas/ Ilahi
dimana Kristus ada (bdk. Kol 3: 1-3). Hal itu tidak berarti bahwa orang
tersebut jauh atau berusaha menjauhkan dirinya dari dunia dengan segala macam
persoalannya. Dia tetap berjuang dan berkarya di dunia, tetapi dia melihat
segala sesuatu menurut hati dan kehendak Ilahi (bdk. Mat 16: 23; Mrk 8: 33).
Keempat anak tangga lectio divina ini merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan
satu sama lain, seperti yang terungkap dalam suatu rumusan klasik, yaitu: “Legendo
oro, orando contemplor”, artinya: “Saya membaca untuk berdoa,
dan dengan berdoa saya berkontemplasi”.
Proses Lectio divina yang dijalankan dengan setia akan menghasilkan buah-buah rohani seperti
consolatio, discretio, deliberatio dan actio. Keempat hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Pertama, Consolatio. Kita akan mengalami kegembiraan atau suka cita
rohani, hiburan dan peneguhan. Kita bersukacita karena kita telah menemukan apa
yang terbaik di dalam relasi kita dengan Sang Sabda lewat lectio divina.
Kedua, Discretio. Kita akan memiliki kepekaan rohani. Kita dibantu untuk melihat dan
membedakan apa yang benar dari apa yang tidak benar, yang baik dari yang tidak
baik, yang perlu dari yang tidak perlu. Kita menjadi peka terhadap hal-hal yang
terjadi dan terhadap orang-orang di sekitar kita, khususnya terhadap
tanda-tanda zaman, terhadap perasaan, kebutuhan dan harapan mereka. Kepekaan ini bermuara pada tindakan konkrit untuk
membantu mereka.
Ketiga, Deliberatio.
Kita akan memiliki putusan atau pilihan konkrit sesuai dengan kehendak Allah. Kita
dibantu untuk berani membuat keputusan atau pilihan yang penting. Kita hanya
bisa membuat pilihan atau keputusan yang tepat, kalau kita membiarkan diri
diisi dan diperkaya oleh Allah (Mat .
Keempat, Actio. Kita
akan memiliki aksi yang merupakan tindak lanjut dari pilihan atau keputusan
yang telah kita buat. Aksi ini sangat penting. Yesus dalam kitab suci misalnya
menegaskan hirarki tindakan: membaca, merenungkan, berdoa adalah sikap yang
benar, tetapi jauh lebih benar adalah orang yang mendengar lalu melaksanakannya
dalam kehidupan nyata (Mat 12:50, Mat 7:21).
ELIJAH: YAHWEH IS GOD
Read:
1 Kgs 18:1-46
1.
Invocation
of the Spirit.
2.
Read
1 Kgs 18:1-46.
3.
An
explanation of 1 Kgs 18:1-46:
The main scene of the chapter is the
sacrifice on Mt. Carmel (vv. 20-40). An extensive introduction precedes it (vv.
1-19), and a brief narration describes the effects of the people’s conversion
which is the climax of the central scene.
The inclusion of vv. 1 and 45 reveals that rain is the
ground of the confrontation. Behind the problem of rain lies that of who
is able to send it. When the Israelites arrived in Palestine they were
semi-nomadic shepherds. They believed Yahweh was a God of shepherds, who
protected their migrations showed them the way and saved them during tribal
fights. When they settle in Canaan, they mingled with the farmers. Many of them
could not understand how a God of shepherds could help them cultivate the land,
provide rain and guarantee favorable seasons. Gods were
classified. Let us not forget that we discover God by analogy. Our concept of
God depends on what we able to do. What does Yahweh, the warlike God know of agriculture? The Baal’s are indeed the masters of the land. They are
the ones who make the land fertile. From here sprung the confrontation between
the warrior-God and the farmer-God. Fertility was at stake. Yahweh continued being the people’s God, but the one
who satisfied their primary needs was Baal (Os 2). When the Israelites obtained
them, they did not thank to Yahweh, but Baal; when
they lacked these needs or when the very poor harvest, or a period of drought
were at hand, instead of resorting to Yahweh, they invoked Baal.
In any other culture, in the midst of religious
syncretism, it would have been normal for the divinities to be very tolerant.
But, Yahweh is a jealous God. The issue is not which of the two gods
is the strongest, or who is the master of the mountain or of the plain, but who
of the two is God.
Let us briefly at
the characters who appear in our story and point out the reality hidden behind
them. If we believe the Latin saying “nomen est omen” (the name is an
omen), we observe that the names used to indicate God outline the area where
our confrontation takes place: Elijahu (God + first person
pronoun + Yahweh), Jezabel, Ithobaal’s daughter (prep. +
3nd person pronoun + Baal). Yahweh is my God / Baal is with him.
If the name is an omen of what each reality conceals, in our text we move
between two realities. Yahweh is my God and Baal is with him. Once again the theophany consist in the revelation of
the name: Yahweh is God. Elijah: Yahweh is God 1 Kgs 18:1-46.
vv. 1-19. In 1 Kgs 16:29-34
we notice king Acab’s main sin: he married Jezabel, the daughter of the King of
Sidon. Marrying her meant marrying her god, her culture and her traditions.
From Sidon the cult of Baal Melqard was imported to Mt. Carmel. After the
announcement (v. 1) Elijah behaves according to God’s instructions, (v. 2). The
author introduces two men: Acab and Abdiah (Yahweh’s servant), who follow
different paths not only because they go looking for grass the horses of the
king’s army, but also because Abdiah fared God (v. 3), while
Acab had abandoned God’s path and follow Baal (v. 18). Elijah come from Galaad
region, east of the Jordan, a region
that had never been occupied by the Canaanites. There Yahwism was kept intact
without the syncretism that the other side of the Jordan had known. Elijah was
not the only one who was against religion syncretism. At that time, there was a
group known as the Rechabites (see Jer 35:1-11) who refused to face the challenges of the present in order to safeguard the past
and could not build the future. On the contrary Acab was sacrificing the values
of the past in favor of the present,
dreaming of a glorious economical and political future for his kingdom. Elijah
offered a third solution. Without being a conservative like the Rechabites who
took shelter in the desert to flee from the temptation of Baalism, he was open
to the new situation. If Israel would have wanted to follow the different path
indicated by Acab, it could have had marvelous future together with the other
nations, but it would not have been Israel, God’s chosen people. Elijah adapts
the old traditions to the new situations, so that Israel can have its place
among the nations and yet keep intact its characteristic of the covenant.[17]
vv. 20-40. The choice of Mt.
Carmel for the confrontation was not casual. In the history of religious mountains
often played an important role. There are sacred mountains all over the world.
In ancient religions space was considered more for its characteristics than for
its extension or geographical position. There, on the top of the mountains the
gods met. What an individual or a community experienced in a particular place
determined its value. The mountainous chain of Carmel was the borderline
between Israel and Phoenicia. Approximately until 1000 B.C.E., Mt. Carmel, with
its shrine dedicated to Baal, was not part of Israels’s territories. Conquered
during David’s and Salomon’s reign, it became the seat of Yahwistic sanctuary,
but it could not extirpate the Baal religion. The two religions coexisted on
Mt. Carmel until the altar dedicated to Yahweh (v. 30) was destroyed. Mt.
Carmel symbolized what was happening in Israel.
“How long will you keep hopping first on one
leg then on the other?” Following a God meant accepting his religion. The Israelites are
limping because at times they follow Yahweh and at times Baal. The people
expect an answer (v. 21, 24, 26, 29, 37). The noun qol, in
Hebrew means “voice”, but also “lighting”, “thunder”. The sound of thunder would
announce the beneficent rain. One of Baal’s
attributes is that of being the Lord of lighting, another one is that he is the
charioteer of the clouds, who, from his chariot, throws thunderbolts on earth
showing the power of the tempest. Or will perhaps Yahweh send fire, a ray from
the sky, and make his voice heard? The prayer of Baal’s prophets is different
from Elijah’s. The former dance and
shout: “Oh Baal, answer us! But there was no sound, no answer” (v. 29).
Instead, as soon as Elijah addresses God, he brings down the rain (vv. 36-38).
The climax of the confrontation is the people’s
conversion (v. 39) and the assassination of Baal’s prophets, not as a sign of
vengeance, but of obedience to the law of Ex 22: 19-20, according to which
those who sacrifice to other gods must be killed.
vv. 41-46. Elijah invites
Acab to celebrate because once the people have been converted, God will send
rain. The seven times Elijah sends the boy towards the sea to catch a sign of
the rain show the prophet’s trust in the words he pronounced: “I will send the
rain on the earth”. When rain falls, Elijah runs in front of Acab as the
knights used to do in front of the king to announce the victory; the only
difference is that the victory doesn’t belong to the king but to Yahwism, to
Elijah and to the people.
COMPARE the text with 1 Kgs 19:9-15. Another voice from
God resounds in Elijah’s life. A gentle breeze: in Hebrew, “qol demamah
daqqah” literally translated as “voice of gentle-calmness”. The Hebrew word indicating calmness comes
from the root “damah” that means to stop, to stay still, to keep
quiet. The gentle breeze must not be taken in the romantic sense of a gentle
evening breeze but as something that suddenly erased everything Elijah had
thought and lived up to that time.
4. Elijah experiences that God is “free”! God does not obey to Elijah, that is, he does
not feel compelled to obey the criteria that tradition has established so that
the people could recognize and verify his presence. He does not show himself
neither in the tempest, nor in lighting nor in earthquakes. You can never know
how God manifest himself?
5. There is a contradiction between Elijah’s
answer (I am the only one left) and his lived reality, between his speech and
his action, marked by pessimism. According to his words he is the only one who
keeps defending God; v. 18 tells us that there are seven thousand people who
have not bowed down before Baal. Elijah is not objective in his analysis of the
situation. Elijah experiences that God does not depend upon his defense!
In spite of the destroyed altars, the broken covenant and the killed prophets,
God’s cause was not lost. On the contrary! It is not Elijah who protects God,
but it is God who welcomes, supports and defends the poor Elijah. It is this
certainly that fills the prophet with courage.
6. Elijah experiences God’s total gratuitousness
and his presence!
He let God be God! He contemplated reality with new eyes. Through purification,
he recovered the freedom of action.
7. Meditate on the text again. Examine in through and
through. Look for parallel passages in the Bible. Try to find Christ prefigured
in Elijah’s life! What does the text tell you about yourself? How does is
resound in the story of your life?
8. Pray with the text. Answer God with praise, than giving and supplication.
Address God with his own words. Psalm 8. The Power of God’s NAME.
9. Read the text again realizing it. Reading of 1 Kgs 18:1-46.
10. “The Word is close to you, it on your lips and
in your heart”. Treasure
every word or sentence keep it in your mind. Contemplated the word with God’s
glance.
11. Our Father.
REFERENSI
Alexander, Vella, “Elias profeta en el libri de los Reyes” dalam: Programa
de estudios sobre
la espiritualidad eliana de la
Orden Carmelitana, Roma: Ed. Carmelitanae, 1994.
Amstrong, Karen, Alkitab, terj.
Frans Borgias. Jogkarta: Mizan, 2013.
Betan, Alfons, “Lectio divina” Bahan Kuliah Kitab Suci, Maumere:
STFK Ledalero, 1999.
Borgias, Frans, Agustinus.
Jogjakarta: Kanisius, 2000.
Carlos de Mesters (terjem. Piet Go),
Lectio Divina. Malang: Dioma, 1995.
Deki, Kanisius Teobadus,
Transformed in the Likeness of God.
Haifa-Israel:
Carmelite
Edition, 2000.
Kahya, Kono B., Merasul Dengan Alkitab-Pelbagai Cara
Pendalaman Alkitab, Malang:
Dioma,
2004.
Leks, Stefan, Mempelajari Alkitab Secara Pribadi-Sebuah
Pegangan, Jogjakarta:
Kanisius-LBI,
1987.
_______, Sabda Tuhan dan Pembacanya, Yogyakarta:
Kanisius, 1993.
Lukefahr, Oscar, A Chatolic Guide to the Bible, terj. V.
Prabowo, Jakarta: Obor, 2007.
Suharyo, I., Membaca Kitab Suci-Paham-paham Dasar.
Jogjakarta: Kanisius-LBI, 1991.
.
[1] Makalah ini
pernah dipresentasikan di Komunitas Putri Kebijaksanaan 24 Agustus 2014
[2] Kanisius
Teobaldus Deki, Transformed in the Likeness of God, Haifa-Israel: Carmelite Edition, 2000, hal. 24-26.
[3]
Sumber terbanyak tulisan ini berasal dari: Carlos de
Mesters dan diterjemahkan oleh Piet Go, Lectio
Divina, Malang: Dioma, 1995, hh. 1-30 dan Alfons Betan “Lectio Divina” Bahan
Kuliah Kitab Suci, Maumere: STFK Ledalero, 1998, hal. 1-10. Sumber lain
melengkapi dua sumber itu.
[4] Bdk. Yoh 14:26;
16:13.
[5] Bdk. 2 Tim
3:15.
[6]
Karen Amstrong, Sejarah Alkitab,
terj. Frans Borgias, Jogjakarta: Mizan, 2013, hal. 157-185.
[7]
Karen Amstrong, op.cit., hal. 157.
[8]
Bdk. Price, Agustinus, terj. Frans
Borgias, Jogjakarta: Kanisius: 2000, hal. 89-94.
[9]
Kono B. Kahya, Merasul Dengan
Alkitab-Pelbagai Cara Pendalaman Alkitab, Malang: Dioma, 2004, hal. 186.
Karen Amstrong, op.cit, p. 159.
[10]
Tentang hal ini akan dibahas pada kesempatan lain. Untuk pendalaman lihat: Stefan
Leks, Mempelajari Alkitab Secara
Pribadi-Sebuah Pegangan, Jogjakarta: Kanisius-LBI, 1987, hal. 31-81.
[11] Penjelasan
Guido II dialamatkan kepada Gervatius, rekan seordonya dalam surat yang diberi
judul: “Surat tentang Hidup Kontemplatif” atau kemudian lebih dikenal dengan
sebutan “Tangga para Rahib”.
[12]
Jika merunut sejarah, Origenes pernah menyampaikan apa yang dinamakannya
sebagai “penafsiran rangkap tiga” yakni penafsiran menurut makna, moral dan
alegori. Namun dalam perkembangan lanjut, Origenes menambahkan penfasiran
anagogis atau pengungkapan makna mistikal yang menyingkap makna eskatologis
dari sebuah teks. Lihat: Karen Amstrong, op.cit.,
hal. 158.
[13]
I. Suharyo, Membaca Kitab
Suci-Paham-paham Dasar (Jogjakarta: Kanisius-LBI, 1991), hal. 17-18.
[14]
Oscar Lukefahr, A Chatolic Guide to the
Bible, terj. V. Prabowo, Jakarta: Obor, 2007, hal. 34-35.
[15]
Stefan Leks menjelaskan sikap ini dalam uraian yang cukup panjang sebagai paham
yang cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal. Kelemahan terdasar
dari kelompok fundamentalisme adalah perhatian yang berlebihan pada sistem
ajaran keagamaan ciptaannya sendiri, sementara kritik yang terlontar adalah
ajaran adalah sarana, bukan tujuan. Bdk. Stefan Leks, Sabda Tuhan dan Pembacanya, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal.
138-154.
[16] Bdk. Kanisius Teobaldus Deki, Op. Cit., hal. 24-26.
[17] Bdk. Alexander Vella, “Elias profeta en el libri de los
Reyes” dalam: Programa de estudios sobre la espiritualidad eliana de la
Orden Carmelitana, Roma: Ed. Carmelitanae, 1994,
hal. 51-76.
Kajian inspiratif, dan terpanggil untk menghayati buah keselamatan itu
ReplyDeleteAyo bosku Semuanya,
ReplyDeleteYuk iseng bermain game untuk mendapatkan uang tambahan setiap harinya Hanya di arena-domino.vip
Modal Kecil Dapat Puluhan Juta ^^
Bareng saya dan teman-temanku yang cantik-cantik loh !
Info Situs www.arena-domino.vip
yukk di add WA : +855964967353