Cerpen
Kanisius Teobaldus Deki
1
Sering sekali aku dengar pernyataan, “perjalanan itu
menyenangkan!” Aku tidak percaya. Mengapa? Pernyataan itu sering berlawanan
dengan kenyataanku. Apalagi jika bepergian dengan mama. Aku ini menjadi sasaran.
Tentu menjadi perawat pribadi selama perjalanan. Betapa tidak, mama sering
pusing, mual lalu berakhir muntah. Dari sekedar air bening sampai…ya…tak usah
disebutlah… Bisa dibayangkan, bila di dalam bis travel duduk bersebelahan dengan pemuda yang cakep
lalu punya tugas tambahan mengurus mama dengan “oleh-oleh” yang tidak biasa
ini.
“Ayolah Rin, kenapa kamu menolak
pergi sama mama? Ini kan pesta perkawinan sepupumu”, ajak mama senja tiga hari
yang lalu.
“Ih, mama, tidak pergi dengan aku
kan, tidak masalah. Mama pergi saja sendiri. Lagian aku kan ada kerjaan di
sini”, alasanku menolak secara halus.
“Iya, kan mama tidak enak pergi
sendiri. Bagusan dengan kamu. Apalagi papamu belum pulang. Kakakmu sibuk urusan
kerja. Kan kamu bisa ikut mama bersama cucuku Richard”, kata-kata mama mengalir
tanpa putus. Aku terdiam sejenak.
“Tapi ada syaratnya!”, suaraku
sengaja kukeraskan.“Jangan mabuk!”. Kulihat mama agak tersentak.
“Okelah kalau begitu, mama senang,
yang panting kamu mau pergi bersama Ichard”, mama terlihat senang. Memang sejak
kepergian suamiku ke negeri abadi, mamalah yang paling sering memberikan
kekuatan dan peneguhan. Beliau selalu menghibur.
2
Ternyata benar. Selama perjalanan
Labuan Bajo hingga Ruteng, mama baik-baik saja. Bahkan terkesan menikmati
perjalanan. Sesekali beliau mengabdikan beberapa moment dengan kamera hand phone Nokia kesayangannya. Pernah
kami bersenda gurau di rumah tentang hand
phonenya. Menurut kami, anak-anak bisa membeli yang lebih baik. Mama menolak.
“HP ini memiliki lensa Carl Seis.
Ini lensa yang bagus. Lihat foto-foto yang mama ambil hasilnya bagus”. Tetapi
kami semua hakul yakin, alasan sebenarnya ialah bahwa mama mau tampil
sederhana.
“Asal bisa bicara dengan kalian.
Dengan semua cucu mama. Itu sudah cukup. Soal jenis, merk apalagi seri hanyalah
tambahan”, demikian ungkap mama suatu ketika. Mama memang seorang pribadi yang
tangguh dalam prinsip. Walau terbilang cantik beliau tetap sederhana.
Kesederhanaan itulah yang membuatnya selalu menawan. Rupanya itulah sebabnya
papa kami jatuh cinta padanya.
3
Pesta yang semarak telah berlalu.
Kemeriahaan dan keindahannya tinggalah kenangan. Hari ini kami bertiga harus
kembali. Ya, hampir tanpa terasa kami sudah berada dalam bis travel lagi.
Sebuah perjalanan pulang yang kuduga-duga: menyenangkan. Kulihat ekspresi mama
juga puas. Bertemu kembali dengan sahabatnya di kota Ruteng. Bersenda gurau
bertukar cerita tentang masa yang telah lewat. Benar-benar sebuah perjumpaan
yang enggan untuk diakhiri.
Bis travel menjemput penumpang dari
rumah ke rumah. Menurut sopir penumpangnya hanya berlima dari 12 kursi yang
tersedia. “Sekarang musim sepi”, katanya memberi informasi. “Oh, berarti
tinggal satu orang karena satunya sudah masuk”, demikian spontan logikaku membilang.
Entah mengapa aku penasaran tentang penumpang terakhir. Sejenak bis berhenti.
Seorang lelaki memanggul ranselnya. Juga sebuah tas jinjingan. Rupanya lelaki
ini akan bepergian jauh. Tak ada yang menghantar. Apalagi melambaikan tangan
dengan ucapan: daaaa!
Lelaki itu masuk. Dengan senyuman
yang dikulum dalam rapatan bibirnya yang indah, terlihat jelas lelaki ini
peramah. Ia menyapa kami dengan seluruh dirinya. Sebuah gestikulasi yang datang
dari kedalaman…
“Hei Dek, nama kamu siapa?”,
tanyanya kepada Richard anakku. Anakku tak segera menyahut.
“Ditanya om tuh, masa Ichard tidak
mau jawab?”, sergahku agak kesal.
“Ichard om…”, akhirnya suara anakku
keluar juga. Aku yang lega. Setidaknya aku menepis anggapan, mamanya seolah
tidak bisa ajarin anaknya berkomunikasi.
“Oi, nama yang bagus…cocok untuk
anak seganteng ini…”, tanggapnya.
“Ke Labuan Bajo ya?”, pertanyaan itu
diarahkannya kepadaku.
“Ia kak…Kakak juga?” tanyaku
kepadanya. Lalu dia mengangguk sambil tersenyum. Tak ada kata-kata yang bisa
dilanjutkan. Semua hening dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba mama menoleh
ke arahku, “Rin, mama pusing, sepertinya lambung mama kambuh deh…” Wah, gawat
nih, pikirku. Tidak menunggu lama, mama sepertinya mau memuntahkan sesuatu.
“Om Sopir, tolong pinggirkan kendaraan.
Ibu ini butuh pertolongan”, demikian suara lelaki itu. Sopir mengikutinya. Lalu
lelaki itu tanpa diminta mau menolong mama.
“Bu, minumlah madu ini barang dua
tutupan. Jika lambung ibu akut, ini bisa menolong”, katanya sambil membuka
tutupan botol madunya. Mama dan aku menerima begitu saja tanpa pikir panjang.
Yang penting mama baik-baik saja. Lelaki itu bicara sama sopir. Entah apa
isinya. Yang jelas kami berhenti sekitar 15 menit. Kami berjalan kembali setelah
mama agak baikan.
“Kak, memangnya madu obat yang
mujarab untuk lambung?”, tanyaku asal.
“Madu punya banyak manfaat, Dek.
Madu merupakan zat yang mampu melakukan reaksi alkali. Reaksi ini bisa
menetralisasi asam dengan cara membentuk garam”, jelasnya.
“Saya pernah dengar dan baca soal
itu kak”, kataku menimpali.
“Itulah sebabnya, madu
merupakan obat utama yang mampu menetralkan asam lambung dan penyakit
yang ditimbulkannya, seperti infeksi lambung dan usus dua
belas jari”. Luar bisaa! Apakah lelaki ini seorang dokter? Perawat?
Apoteker? Aku tidak bisa memastikannya.
“Waktu yang tepat mengonsumsinya
kak?”, tanyaku bersemangat.
“Ya, lebih baik kalau perut dalam
keadaan kosong dari makanan”, jawabnya. Sesekali mata kami beradu pandang. Ai,
semacam ada kilatan cahaya yang membenturkan rasa suka kami.
4
Malam ini rasanya mata tak mau terpejam. Richard sudah
mengorok. Kukira mama juga sama. Aku melangkahkan kaki menuju teras. Melihat
cahaya lampu yang terpendar di lautan yang dipenuhi kapal. Labuan Bajo di waktu
malam adalah sebuah pesona nirwana, begitulah selalu kata teman-temanku yang
menyinggahi tempat ini. Terus terang, perjalanan kali ini sungguh menyenangkan.
Berbicara dengan seseorang yang tidak hanya cerdas tetapi memiliki hati yang
peduli.
“Hei, kamu belum tidur Rin? Ah, mama
tahu apa yang terjadi padamu nak!”
“Ae, mama ini ada-ada sa…” aku
berusaha menghindar.
“Kamu sedang mengenang laki-laki itu
kan? Mama mengikuti kalian bercakap-cakap. Ada kesan bahwa kamu menyukainya
atau bahkan jatuh cinta padanya…”
“Mama???”, aku mengelak.
“Mama tahu, mama kenal anak mama…”
mama mendesak.
“Ya, mama, dia sudah pergi. Namun
dia akan tetap hidup di sini. Bukankan mengingat adalah usaha mengenangnya?
Jika dia sudah ada dalam ingatan, bukankah itu berarti abadi?”, aku
bersemangat. Mama hanya tersenyum. Malam ini hening dalam keindahan sebuah
kenangan, walau tanpa mengetahui nama, status atau nomor kontaknya.***
Gardena
Hotel, 14 Juni 2014
(Dipublikasikan pertama oleh Harian Umum Pos Kupang)
Kerennn pak,
ReplyDeleteAyo bosku Semuanya,
ReplyDeleteYuk iseng bermain game untuk mendapatkan uang tambahan setiap harinya Hanya di arena-domino.vip
Modal Kecil Dapat Puluhan Juta ^^
Bareng saya dan teman-temanku yang cantik-cantik loh !
Info Situs www.arena-domino.vip
yukk di add WA : +855964967353