Kanisius Teobaldus Deki,
M.Th
STKIP St. Paulus Ruteng
I. PENGANTAR
Telah
sekian lama metode kritis-historis[1]
merajai percaturan dunia tafsir alkitab di seluruh dunia. Ciri khas dari metode
ini ialah alkitab dipelajari secara di-khron
dengan memakai sarana yang dikembangkan dalam ilmu sejarah. Teks alkitab
sebagaimana adanya mau dipahami dengan memelajari genesis (kejadian) teks itu.
Ada tiga tahapan penting dalam metode
kritis-historis sehingga menjadi metode yang komplementer sifatnya. Mula-mula
teks ebagaimana di tangan, dipelajari Form-geschichte
(awal perkembangan teks), lalu Traditions-geschicte
(perkembangan teks dalam tradisi lisan dan tertulis, soal sumber-sumber) hingga
akhirnya Redaktions-geschichte
(penggubahan, redaksi terakhir, sebagaimana kini tersedia).[2]
Efek paling kentara dari metode ini
ialah teks dipenggal-penggal, difragmentasikan. Eksegese lalu menjadi sebuah
aktivitas yang sibuk dengan apa yang ada di belakang teks dan bukan dengan teks
itu sendiri. Lalu, yang paling menyeramkan ialah lahirnya fundamentalisme
alkitabiah yang bermuara pada fundamentalisme dogmatis.
Perkembangan yang sangat maju dalam
ilmu bahasa dan sastra melahirkan cara baru untuk bereksegese, khususnya
tatkala ia menyentuh ranah kritik naratif.[3]
Metode linguistic umumnya memelajari
alkitab dengan sin-khron dan holistic. Artinya teks diambil
sebagaimana adanya dan sebagai suatu keseluruhan. Di belakang pendekatan ini
muncul satu keyakinan bahwa suatu teks setelah diproduksi mendapat suatu
otonomi, terlepas dari asal usulnya dan “didekonetkstualisasikan”. Teks itu
dalam dirinya sendiri (in se)
memunyai arti dan makna sehingga tetap dapat berperan sebagai sarana
komunikasi. Segala apa yang ada dalam teks dapat diambil dari teks. Dialog
berlangsung antara teks sebagaimana di tangan dan pembaca atau penafsir.
Dalam konteks inilah analisa naratif
mendapat tempat. Analisis ini lebih merupakan sebuah upaya untuk melanjutkan
metode tafsir kitab suci dalam wajah baru. Selain itu, artikel ini merupakan
sebuah usaha pendalaman kitab suci, sebagai pertanggungjawaban ilmiah terhadap tugas
mengajar kitab suci di STKIP St. Paulus serta dedikasi untuk pengabdian sebagai
anggota dewan pakar Lembaga Biblika Indonesia (LBI) yang kami terima sejak
pengangkatan Agustus 2012.
Pada kesempatan ini, secara khusus
studi ini diorientasikan pada teks kitab Samuel, khususnya 1Sam 16:1-23 tentang
Pengurapan Daud menjadi Raja. Analisis ini disandingkan dengan gagasan Servulus
Isaak tentang Analisa Naratif[4]
dan Martin Suhartono tentang Dialog antara teori naratif dan narasi Alkitab.[5]
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama,
teks 1 Sam 16:1-23 dibagi dalam dua episode meskipun ia merupakan bentuk unified plot. Teks pertama: 1
Sam 16:1-13 berbicara tentang pengurapan Daud menjadi raja atas Israel untuk
menggantikan Saul. Teks kedua: 1 Sam 16:14-23 mengisahkan peristiwa Daud yang
dipilih oleh Saul untuk menghiburnya di Istana. Saul membutuhkan Daud karena ia
telah diserang oleh roh jahat yang selalu mengganggu dia.
Teks 1 Sam
16:1-23 yang terbagi atas dua episode ini bisa dilihat sebagai satu kesatuan
dalam relasi kausalitas. Karena itu, kedua episode ini penulis gabungkan
menjadi satu plot saja.
II. ARTIKULASI LINGUISTIK
2.1. Jenis Sastra
Kisah yang terdapat dalam teks 1
Sam 16:1-23 mempunyai jenis sastra yang tergolong dalam kisah. Narator mempunyai point of view sebagai pencerita (he story) yang tidak terlibat secara
langsung. Dari konteks makro bisa dilihat bahwa gaya sastra yang dipakai teolog
penulis teks ini sebetulnya dalam siklus pengurapan Daud menjadi raja atas
Israel. Dalam narasi ini terdapat hamper semua elemen yang dibutuhkan sebagai
kelengkapan suatu narasi yang utuh: tempat, tokoh yang terlibat, situasi,
waktu, plot dan tema.
Ayat 14 memutuskan alur cerita ayat
13 yang merupakan konsekuensi dari keterpilihan Daud menjadi pelayan Saul di
istananya. Pemilihan Daud menjadi raja pada ayat 1-13 menemukan titik terang
pengaktualisasian memperoleh tahta kerajaan ketika ia menjadi pelayan Saul di
istananya (bdk. 1Sam 16:14-23).
Setelah membuat
analisa atas teks 1 Sam 16:1-23, maka saya mengambil kesimpulan bahwa teks ini
memakai struktur yang disebut upper
structure. Dalam upper structure
ini terdapat syntagma berupa
penggunaan kalimat langsung, mempuanyai dialog yang dinamis. Naratif ini juga
menggunakan lebih banyak kalimat tunggal. Jadi, terdapat sintagma yang kurang
lebih komprehensif.
2.2. Analisa Vocabulary
Dalam teks ini kata yang paling
banyak digunakan adalah kata kerja yang dipakai 46 kali. Kata kerja digunakan
secara seimbang antara setiap kata. Kata kerja yang sering muncul adalah
”menyuruh” yang dipakai sebanyak lima kali, ”datang” tiga kali, dan kata kerja
lain digunakan tidak lebih dari dua kali atau hanya sesekali saja. Menduduki
urutan kedua adalah kata benda sebanyak 15 kata. Kata benda yang paling sering
digunakan adalah ”kecapi” digunakan empat kali, ”kambing-domba” digunakan dua
kali dan beberapa kata benda hanya digunakan sekali.
Banyak kata
kerja yang berbentuk imperatif digunakan seperti: isilah, pergilah, bawalah,
undanglah, urapilah, bangkitlah, dsb. Dari banyaknya kata kerja yang digunakan
menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai kuasa untuk menyuruh siapapun untuk
melaksanakan kehendakNya. Dari data ini dapat dikatakan bahwa Tuhan berkenan
atas Daud dan memilihnya mejadi raja yang menggantikan Saul. Dasar keterpilihan
Daud sebagai raja semata-mata atas kehendak bebas dari Allah. Sebab, jika
dibandingkan dengan saudara-saudaranya, Daud bukanlah tandingan mereka.
Konsekuensi dari
keterpilihan dan pengurapan Daud itu ialah berkuasanya Roh Tuhan atas dirinya.
Roh yang sama itu mundur dari Saul. Akibat ketiadaan Roh Tuhan, Saul diganggu
oleh roh jahat yang sangat menyengsarakan dirinya. Selain itu, peristiwa
pengurapan itu juga secara tidak langsung menghantar Daud ke istana Saul dan
menjadi pelayannya. Di sini peran Daud adalah menjadi penolong Saul.
Demikianpun
halnya kata-kata yang berbentuk imperatif yang diucapkan Saul menunjukkan bahwa
ia mempunyai kuasa atas rakyatnya. Kata-kata itu adalah: carilah, suruhlah.
Karena kekuasaannya itu, dengan mudah ia merealisir keinginannya untuk
mengambil Daud menjadi penghiburnya. Daud dan keluarganya tidak mempersoalkan
hal itu. Malah, Isai, ayah Daud, mengirimkan ”buah tangan” atau hadiah bagi
Saul. Peristiwa ini menunjukkan bahwa setiap orang Israel masih menaruh hormat
kepada Saul, meskipun Tuhan murka atas ketidasetiaannya.
2.3. Analisa Struktur
2.3.1. Episode Pertama
A: 1-3 :
Setting: Suasana Kekecewaan. Saul ditolak menjadi raja atas Israel. Samuel
diutus Tuhan untuk pergi ke Betlehem mengurapi Daud anak Isai.
B : 4-5 : Samuel melaksanakan kehendak Tuhan.
Samuel mengundang tua-tua Israel dan keluarga Isai ke tempat persembahan.
B1 : 6-10
: Allah tidak memilih saudara-saudara Daud.
A1: 11-13 :
Proses pengurapan Daud.
Tema episode pertama:
Daud diurapi menjadi raja untuk
menggantikan Saul. Proses pemilihan itu terjadi semata-mata karena kehendak
Tuhan. Ada beberapa catatan penting dalam episode ini:
- Khusus untuk struktur teks 1 Sam 1-13, inti ceritanya justru terletak pada ay 1dan 13. rupanya inti tersebut memberi bingkai bagi kisah Pengurapan Daud. Sedangkan ay 2-12 hanya merupakan suatu proses menuju pengurapan Daud menjadi raja.
- Sedangkan teks 1 Sam 16:14-23 mengikuti struktur yang lazim dengan inti cerita terletak pada bagian tengah naratif. Untuk lebih jelas bisa dilihat pada bagian berikut tulisan ini.
2.3.2. Episode Kedua
·
14-16: Mundurnya Roh Tuhan dari Saul. Kini ia diganggu
oleh roh jahat. Untuk mengatasi persoalan ini ada usulan dari hamba Saul untuk
mencari seorang penghibur.
·
17-18: Saul memerintah hamba-hambanya untuk mencari
penghibur. Tawaran hamba Saul: Daud anak Isai.
·
19: Saul mengirim utusan untuk menjemput Daud.
·
20-21: Hadiah untuk Saul dari Isai. Daud menghadap untuk
menjadi pelayan Saul.
·
22-23: Daud tetap menjadi pelayan Saul. Daud menghibur
Saul apabila ia diganggu roh jahat.
Tema Utama Episode Kedua:
Daud dipanggil Saul untuk menjadi
penghiburnya dio istana. Dasar atau alasan pemilihan Daud karena dia padai
bermain kecapi. Kepandaian ini penting bagi Saul untuk sanggup menghiburnya.
Kelebihan lain Daud ialah: dia hádala seorang pahlawan yang gagah perkasa,
seorang prajurit, pandai bicara, elok perawakannya dan Tuhan menyertai dia.
A:
|
Awal cerita: penolakan Saul oleh
Tuhan
|
|||
B:
|
Proses pemilihan Daud menjadi
Raja.
|
|||
a :
|
Samuel melaksanakan kehendak
Tuhan.
|
|||
b :
|
Samuel mengundang Tua-tua kota
Betlehem dan keluarga Isai.
|
|||
b1:
|
Allah tidak memilih
saudara-saudara Daud
|
|||
a1:
|
Allah memilih dan mengurapi Daud.
|
|||
B1:
|
Saul dan Daud
|
|||
a :
|
Saul diganggu oleh roh jahat.
|
|||
b :
|
Usulan hamba Saul untuk mencari
seorang penghibur.
|
|||
b1:
|
Daud terpilih menjadi penghibur.
|
|||
a1:
|
Daud menjadi penghibur Saul di
istana.
|
|||
A1:
|
Akhir cerita: Saul merasa
tertolong dari gangguan roh jahat oleh karena peran Daud.
|
2.4. Kesimpulan Sementara
- Naratif 1Sam 16:1-23 oleh author diartikulasikan dalam struktur inclusio dan khiastik. Cerita yang mengalir dari awal sampai akhir ternyata diberi struktur yang sesuai dengan pola yang biasa digunakan dalam sastra Ibrani yakni paralelisme konsentris.
- Setting historis dari peristiwa ini kurang tampak secara jelas. Namun ada satu situasi dimana Tuhan telah menolak Saul menjadi raja atas Israel. Dasar dari penolakan Tuhan terhadap Saul diungkapkan author dalam 1Sam 15:1-35. Dalam teks itu dapat ditemukan alasan mengapa Tuhan menolak Saul menjadi raja atas Israel. Alasan yang paling fundamental adalah ketidaksetiaan Saul terhadap apa yang difirmankan oleh Tuhan (bdk. 1 Sam. 15:8-9). Dalam teks itu dikisahkan bahwa Saul tidak membunuh Agak, raja orang Amalek dan bahkan malah menjarah ternak-ternaknya. Tuhan sebenarnya meminta Saul untuk memusnahkan orang Amalek beserta harta bendanya tanpa membuat perbedaan atau mengambil barang-barang mereka.
- Struktur teks memperlihatkan bahwa tema dari naratif 1 Sam. 16:1-23 adalah pengurapan Daud menjadi raja atas Israel untuk menggantikan Saul. Dasar dari pergantian tampuk kepemimpinan ini adalah karena ketidaksetiaan Saul. Maka, tema yang secara eksplisit tidak terungkap sebenarnya adalah kesetiaan. Ketidaksetiaan Saul dipertentangkan dengan kesetiaan Tuhan, Daud, Samuel dan tokoh-tokoh lain dalam teks itu. Pengurapan Daud menjadi raja atas Israel ditegaskan dalam teks, khususnya B yang memperlihatkan proses pemilihan Daud dan pengurapannya serta apa yang menjadi konsekuensi dari keterpilihannya menjadi raja atas Israel. Pengurapan Daud membawa akibat: Roh Tuhan berkuasa atas Daud. Pengurapan Daud menjadi raja atas Israel merupakan jawaban yang tepat atas kekecewaan dan penolakan Allah terhadap Saul. Allah ternyata senantiasa setia pada janji-Nya untuk menuntun dan menjaga Israel. Allah setia pada janji-Nya.
- Meskipun Tuhan menyiksa Saul dengan gangguan roh jahat, namun Ia tetap mencintainya. Ia memberikan Daud (secara tidak langsung) untuk menjadi penghiburnya (struktur B1). Keterpilihan Daud menjadi pelayan Saul merupakan awal kariernya sebagai seorang raja. Daud menjadi raja secara de jure, namun secara de facto belum, karena Saul secara de facto maasih berkuasa. Allah merupakan Bapa yang tetap memperhatikan nasib orang-orang pilihan-Nya. Ketidaksetiaan Saul paralel dengan kesetiaan Daud yang menjadi pelayannya (struktur B1:a1).
III. ANALISA PLOT
Kisah
memiliki plot (alur) bila kisah itu memiliki suatu awal, perkembangan, dan
akhir. Menurut Aristoteles dalam Poetica, plot adalah “penataan teratur
insiden-insiden”, dan menurut Scholes dan Kellogg, “elemen yang dinamis dan
berurutan dalam narratif”.[6]
Umum dibedakan antara plot dan cerita (story), yaitu urutan kronologis
peristiwa sebagaimana terjadi sesungguhnya.
Plot
merupakan kekhasan dasariah suatu narasi (narrative). Contoh terkenal
yang mempertegas bahwa plot bukanlah sekedar urutan peristiwa dikemukakan oleh
E.M. Forster; kalimat “The king died and then the queen died” adalah cerita,
sedangkan “The king died and then the queen died of grief” merupakan plot.[7]
Yang pertama, meminjam istilah Aristoteles, adalah post-hoc (satu
sesudah yang lain) sedang yang kedua propter hoc (satu karena yang
lain). Di sinilah terletak perbedaan dasariah antara metode historis dan metode
literer naratif.
Metode
historis memusatkan diri pada “story” dan bertanya: “Apa yang telah terjadi?”
Pendekatan naratif menekankan “narrative” dan bertanya: “Apa yang dikisahkan?”
atau “Bagaimana dikisahkan?” Namun itu tidak berarti bahwa dari episode satu ke
episode yang lain harus selalu jelas hubungan kausal yang ada; kerap kali
hubungan itu hanya dapat dipahami setelah penelitian yang mendalam terhadap
keseluruhan kisah, lebih-lebih dalam narasi Alkitab.
Aristoteles,
dalam Poetica, membedakan tiga momen utama dalam plot: kisah bergerak
dari “perkembangan” (“komplikasi”) melalui “titik balik” (“peripeteia”;“turning point”)
menuju ke suatu “penyelesaian” (“konklusi”; “dénouement”; “unravelling”).[8]
Kisah 1 Sam.
16:1-23 terdiri dari dua episode yang mempunyai hubungan kausalitas. Melihat
kenyataan ini dapatlah dikatakan bahwa naratif ini merupakan suatu unified
plot.
Penolakan
Allah terhadap Saul sebagai raja atas Israel menyebabkan Daud terpilih untuk
menggantikan Saul. Ketika Roh Allah berkuasa atas Daud, maka Roh yang sama
mundur dari Saul. Akibat dari mundurnya Roh Tuhan, maka Saul dihinggapi roh
jahat yang mengganggu dia terus menerus. Maka, tampilah Daud sebagai penghibur
Saul oleh karena ia pandai bermain kecapi dan Tuhan menyertai dia.
3.1 Eksposisi
·
Waktu : Peristiwa ini terjadi saat Tuhan menolak Saul
menjadi raja atas Israel pasca perang melawan orang Amalek.
·
Tokoh : Tuhan, Samuel, Saul, Daud, Ayah dan
Saudara-saudara Daud, Tua-tua kota Betlehem dan Hamba-hamba Saul.
·
Tempat:
Yerusalem, Betlehem dan Rama.
3.2 Komplikasi
·
Komplikasi
1:1 Sam. 16:1-13: Tuhan kecewa terhadap raja Saul. Karena kekecewaan-Nya itu,
maka Ia mengambil keputusan untuk
memilih seorang raja baru dari anak Isai. Rencana Tuhan ditanggapi oleh Samuel
dengan suatu ketakutan. Ia cemas, jika Saul mengetahui bahwa Samuel pergi ke
Betlehem untuk mengurapi seorang raja baru bagi Israel. Di sini, suatu
kebenaran dalam proses pelaksanaannya membutuhkan kebijaksanaan tersendiri.
Melaksanakan apa yang difirmankan Tuhan tidak selalu menguntungkan pribadi yang
melakukannya. Tetapi, Allah meyakinkan Samuel dengan memberikan jalan keluar
terbaik.
·
Klimaks
1: Samuel menjalankan kehendak Tuhan. Ia mengurapi Daud menjadi seorang raja
melalui proses pemilihan yang ketat (ay. 4).
·
Peleraian
cerita 1: Dengan diurapinya Daud menjadi raja atas Israel, maka sebenarnya
secara de jure, Saul tidak berkenan lagi menjadi raja atas Israel.
·
Komplikasi
2: 1 Sam. 16: 14-23: Dimulai dengan peristiwa atau kenyataan mundurnya Roh
Tuhan dari Saul dan ia kini dikuasai oleh roh jahat. Jalan keluar yang ditempuh
ialah mencari penghibur. Daud terpilih untuk menjalani tugas itu.
·
Klimaks:
Saul mengirim utusan untuk memanggil Daud (ay. 19).
·
Peleraian:
Daud menjadi pelayan Saul. Ia menghibur Saul apabila roh jahat mengganggu dia.
IV. KARAKTERISASI
Dalam bagian ini, secara khusus
akan dijelaskan tentang para tokoh yang terlibat dalam naratif, baik berperan
sebagao protagonis, maupun antagonis.
1. Tuhan : Ia menjadi
tokoh protagonis dalam peristiwa pengurapan Daud. Ia beraksi secara implisit.
Yang tampil ke depan adalah Samuel. Dalam teks, narator mengawali kisahnya
dengan firman Tuhan. Tuhan digambarkan sebagai pihak yang dikecewakan oleh
karena ketidaksetiaan Saul. Namun, ia masih mempunyai harapan yang diletakkan
di atas bahu Daud, orang pilihan-Nya untuk menggantikan Saul menjadi raja.
Peran Tuhan dalam naratif ini agak dinamis, karena peran-Nya berkembang seturut
alur cerita, khususnya pada bagian pertama (bdk. 1 Sam. 16:1-23). Sedangkan,
selanjutnya peran Tuhan tidak ditampakkan lagi pada 1 Sam. 14-23. Dengan kata lain,
peran Tuhan secara eksplisit hanya tampak secara dinamis pada episode yang
pertama. Karakter Tuhan di sini adalah gamblang (flat).
2. Saul : Raja yang
tidak setia pada Tuhan. Ia merupakan tokoh antagonis. Pada 1 Sam. 16:14-23, ia
menjadi tokoh protagonis. Dari segi kualifikasi perannya, ia merupakan tokoh
yang memiliki peran dinamis, perannya berkembang sejalan dengan alur cerita.
Karakter Saul sangat gamblang dan jelas (flat).
3. Samuel : Samuel
bertindak atas nama Tuhan. Ia tampil sebagai ficelles untuk mengurapi
Daud. Dia menjalankan tugasnya bermula dari suatu keraguan (dubium methodicum),
penuh ketakutan dan kecemasan terhadap Saul. Tetapi, kemudian ia menjalankan
tugasnya dengan berani dan sukses. Peran Samuel di sini juga jelas dan gamblang
(flat).
4. Daud : Ia
merupakan tokoh protagonis dari awal cerita hingga akhir. Ia mula-mula hanya
pasif (bdk. 1 Sam. 16:1-13), namun perannya mulai nampak dalam episode kedua di
mana ia menjadi pelayan Saul (bdk. 1 Sam. 16:14-23). Peran Daud di sini sangat
gamblang dan jelas (flat) dan ia merupakan antagonis bagi Saul.
5. Isai, Saudara-saudara Daud, Orang Tua-tua Betlehem,
Hamba-hamba Saul: mereka semua adalah pemeran pembantu yang statis. Mereka
hanya tampil dalam naratif untuk satu peran dan peran itu tidak berkembang.
V. POINT OF VIEW
Dalam
teks, tokoh tidak selalu manusia, tetapi menyangkut semua yang terlibat dalam
kisah.[9]
Dalam teks ini ada beberapa tokoh yang berperan sangat kentara, yakni narrator,
Tuhan, Samuel, Saul, Daud, Orang Tua-tua Betlehem dan Hamba-hamba Saul.
5.1 Narator
Acapkali,
narator kerapkali sulit diidentifikasikan. Banyak orang yang mencampuradukkan
narrator dengan pengarang (“writer”,
“author”, tepatnya “real author”).
Narator adalah suatu peranan (“role”),
fungsi, suatu “suara” yang mengisahkan suatu ceritera.[10]
Narator selalu hadir dalam kisah bahkan setelah pengarang yang bersangkutan
meninggal. Dalam novel yang dikisahkan oleh kata ganti orang pertama, “aku”
bukanlah pengarang novel itu melainkan pribadi yang diciptakan oleh pengarang
untuk maksud pengisahan. Narator sulit ditemukan dalam novel yang dikisahkan oleh orang ketiga.
Narator kadang dibandingkan dengan “suara” seorang pembicara dalam radio:
orangnya sendiri tak kelihatan tapi program itu tak mungkin berjalan tanpa si
“suara”. Narator diciptakan oleh si pengarang (bahkan bila pengarang sendiri
tak sadar akan ini!).
Dalam
teks ini narator rupanya tahu tentang segala sesuatu yang terjadi
dalam peristiwa pengurapan Daud menjadi raja dan akibat dari pengurapan itu.
Narator memulai kisahnya dengan rencana pemilihan Daud menjadi raja dan
berakhir dengan peran Daud sebagai pelayan Saul. Ia melukiskan peristiwa demi
peristiwa secara mendetail.
Narator tidak memberikan penilaian secara eksplisit atas
cerita. Tetapi bisa dilihat bahwa point
of view narator terekspresi dalam ay. 4 dan 21-23, yakni tentang Samuel
yang melaksanakan kehendak Tuhan dan Daud sampai kepada Saul dan menjadi
pelayannya.
5.2 Tuhan
Tuhan kecewa
atas Saul karena ketidaksetiaannya. Maka, Tuhan lalu mengambil jalan lain untuk
menggantikan Saul, yakni dengan memilih Daud. Pemilihan Daud menjadi raja
semata-mata karena kehendak bebas-Nya. Tuhan tidak memilih seperti apa yang
dilihat oleh mata manusia, tetapi Tuhan lebih melihat hati (bdk. 1 Sam. 16:7).
5.3 Samuel
Ia
ketakutan dan mempunyai kecemasan yang luar biasa. Ia tidak menolak perutusan
Tuhan atas dirinya.
5.4 Saul
Rupanya
Saul tidak tahuu bahwa Tuhan telah mengurapi Daud untuk menjadi penggantinya.
Hanya satu hal yang jelas bagi dia adalah bahwa ia sadar ternyata Roh Tuhan
telah mundur dari dirinya dan Tuhan tidak lagi menyertainya.
5.5 Daud
Daud
tidak tahu bahwa ia dipilih oleh Allah untuk menjadi raja. Ia masih berada di
tempat penggembalaan kambing-domba, ketika Samuel hendak mengadakan upacara
persembahan dan pengurapan. Daud juga sepertinya tidak sadar akan eksistensinya
sebagai raja. Ia bukan tinggal di istana untuk suatu regenerasi kepemimpinan
tampuk kerajaan, melainkan malah menjadi penggembala kambing-domba di padang.
5.6 Orang Tua-tua Betlehem
Tidak
tahu apa yang terjadi. Mereka bertanya-tanya penuh kecemasan tentang apa arti
kedatangan Samuel ke tempat mereka.
5.7 Hamba-hamba Saul
Mereka
tahu apa yang terjadi. Karena itu, mereka mengambil inisiatif dan memberi jalan
keluar terbaik untuk mejawabi persoalan yang dialami oleh Saul.
VI. ANALISA WAKTU
Dikenal
adanya “narrated time” (atau “story time”,
Jerm. “erzählte Zeit”, Perancis “temps raconté”, Italia “tempo della storia”), yaitu “waktu yang
dikisahkan”, waktu berlangsungnya peristiwa atau tindakan yang dikisahkan dalam
cerita, ini adalah waktu nyata dalam arti dihitung dalam tahun, bulan, hari,
jam dll. Ini dibedakan dari “time of narrating”
(atau “narrative time”, Jerm. “Erzählzeit”,
Perancis “temps racontant”, Italia “tempo della narrazione”), yaitu waktu
yang digunakan untuk mengisahkan peristiwa atau tindakan, ini adalah waktu semu
dalam arti dihitung secara “spasial”: berapa bab, baris kalimat, kata yang
digunakan untuk mengisahkan peristiwa itu.
Teks ini tidak memberikan indikasi waktu yang jelas.
Namun digambarkan suatu situasi kekecewaan Samuel dan optimisme Tuhan untuk
mencari pengganti Saul.
Tetapi bila membaca teks sebelumnya (1 Sam. 15:1-35) dikisahkan bahwa
naratif itu terjadi sesudah Saul dan bala tentaranya menggempur orang Amalek.
Jadi, naratif ini terjadi pasca perang dan merupakan masa istirahat.
VII. ANALISA MAKNA CERITA
7.1 Analisa Tema
Setelah melihat
secara keseluruhan naratif 1 Sam. 16:1-23, maka penulis dapat mengemukakan apa
yang menjadi tema naratif, yakni: ketidaksetiaan Saul dan pengurapan Daud
menjadi raja. Justru karena Saul tidak setia pada Tuhan, maka ia ditolak oleh
Tuhan. Ketidaksetiaan itu melahirkan hukuman bagi Saul. Selain itu,
ketidaksetiaan Saul menyebabkan Tuhan memilih Daud untuk menjadi raja atas
orang Israel. Gambaran ketidaksetiaan Saul dikonfrontasikan dengan ketaatan
Daud dengan menjadi pelayan Saul.
7.2 Analisa Makna
Ada dua makna
naratif. Pertama, makna naratif (intentio
aucthoris) bagi pembaca waktu itu dan pembaca masa kini. Bagi pembaca
waktu itu, naratif ini mengajarkan pentingnya kesetiaan kepada Tuhan. Kesetiaan
pada Tuhan melahirkan hidup yang harmonis dengan Tuhan dan sesama.
Kedua, untuk
pembaca masa kini, ada beberapa naratif yang bisa dipaparkan:
1. Ketidaksetiaan selalu melahirkan dosa yang menyebabkan Tuhan
tidak berkenan (Saul tidak setia dengan Tuhan).
2. Ketidaksetiaan di satu sisi membawa kerugian, namun di sisi
lain justru melahirkan rahmat Tuhan. St. Paulus berkata, “Dosa semakin
bertambah, rahmat semakin melimpah”. Tuhan tetap memberikan jalan terbaik bagi
manusia walaupun ia tidak setia. Tuhan tetap mencintai manusia. (Karena Saul
tidak taat dan tidak setia pada Tuhan, maka Allah menggantikan dia dengan
mengurapi Daud untuk menjadi raja bagi Israel. Dengan demikian, Israel tetap
memiliki seorang raja).
3. Keterpilihan seseorang menjadi raja bukanlah karena
kelebihan orang tersebut, melainkan semata-mata karena kehendak bebas Tuhan.
(Tuhan tidak memilih Saudara-saudara Daud yang mempunyai kelebihan dari Daud).
4. Setiap orang yang telah berbuat dosa ketidaksetiaan
menanggung akibat atas perbuatannya sendiri.
5. Menjadi seorang murid (urapan Tuhan) meski menyerahkan dirinya
dalam pelayanan.
6. Tuhan berkenan pada orang yang setia.
7. Untuk menjadi seorang pelayan yang baik, dibutuhkan
kehadiran Allah yang berkarya dari dalam diri seseorang. Tanpa penyertaan Allah
dalam menjalankan tugas, ia akan tersesat dalam egoisme pribadi dan mencari
keuntungan yang sia-sia.
8. Allah tetap mencintai orang yang tidak setia, meskipun ia
harus tetap menanggung hukuman tersebut oleh perbuatannya sendiri. (Saul
mendapat Daud untuk menjadi penghiburnya).
VIII. PENUTUP
Tema kesetiaan mewarnai seluruh
teks dan menjadi inti atas teks itu. Pengurapan Daud merupakan awal
perealisasian dari kesetiaan itu. Tampaknya kesetiaan selalu dikaitkan dengan
pelayanan. Pelayanan yang benar terjadi bila ada kesetiaan dan dedikasi yang
tinggi. Tanpa itu, suatu kesetiaan hanya suatu utopia belaka. Antara tema
kesetiaan dan pelayanan mempunyai relasi kausalitas. Keduanya tak dapat
dipisahkan. Kesetiaan harus tampak dalam pelayanan dan dalam mengejawantahkan
pelayanan, orang mesti setia pada komitmen agar ia bisa mencapai apa yang
menjadi tujuannya.***
REFERENSI
A. Berlin, Poetics and Interpretation
of Biblical Narrative. Sheffield, 1983.
C. Groenen, Analisa Naratif Kisah Sengsara (Yoh 18-19.
Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
E.M. Forster, Aspects
of the Novel. Harmondsworth, 1963.
G. Genette, “Voix” dalam: Figures III. Paris,
1972.
John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Pedoman
Penafsiran Alkitab,
terj. I.
Rachmat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Mark A. Powell, What
is Narrative Criticism, Guides to
Biblical
Scholarship.
Philadelphia, 1990.
Martin Suhartono, Kasih dalam Kisah dan Kisah dalam Kasih
(ms).
Yogyakarta: Fakultas Teologi
Wedabhakti Universitas Sanata
Dharma, 2001.
M.K. Danziger dan W.S. Johnson, An
Introduction to Literary Criticism.
Boston,
1961.
R. Scholes dan R.
Kellogg, The Nature of Narrative. New York & London,
1966.
Servulus Isaak, Analisa Naratif (ms). Maumere: Ledalero, 2001.
T.J. Keegan, Interpreting the
Bible. A Popular Introduction to Biblical
Hermeneutics. New York, 1985.
Lampiran:
DAUD DIURAPI
MENJADI RAJA
(1 SAMUEL 16:1-13)
1
Beginilah
firman Tuhan kepada Samuel, “Berapa lama lagi engkau berduka cita karena Saul?
Bukankah ia telah Ku-tolak sebagai raja atas Israel? Isilah tabung tandukmu
dengan minyak dan pergilah. Aku mengutus engkau kepada Isai, orang Betlehem
itu, sebab di antara anak-anaknya telah kupilih seorang raja bagi-Ku.”
2
Tetapi
Samuel berkata, “Bagaiman mungkin aku pergi? Jika Saul mendengarnya, ia akan
membunuh aku.” Firman Tuhan: “bawalah seekor lembu muda dan katakan: Aku datang
untuk mempersembahkan korban kepada Tuhan.
3
Kemudian
undanglah Isai ke upacara itu, lalu Aku akan memberitahukan kepadamu apa yang
harus kau perbuat. Urapilah bagi-Ku orang yang akan Ku-sebut kepadamu”.
4
Samuel
berbuat seperti yang difirmankan Tuhan dan tibalah ia di kota Betlehem. Para
tua-tua di kota itu datang mendapatkannya dengan gemetar dan berkata: “Adakah
kedatanganmu ini membawa selamat?.”
5
Jawabnya,
“Ya benar! Aku datang untuk mempersembahkan korban kepada Tuhan. Kuduskanlah
dirimu dan dan datanglah dengan daku ke upacara ini”. Kemudian ia menguduskan
Isai dan anak-anaknya yang laki-laki dan mengundang mereka ke upacara
pengorbanan itu.
6
Ketika
mereka itu masuk dan Samuel melihat Eliab, lalu pikirnya: “Sungguh di hadapan
Tuhan sekarang berdiri yang diurapi-Nya.”
7
Tetapi
berfirmanlah Tuhan kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakannya
yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang
dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat
hati.”
8
Lalu
Isai memanggil Abinadab dan menyuruhnya lewat di depan Samuel, tetapi Samuel
berkata: “Orang ini pun tidak dipilih Tuhan.”
9
Kemudian
Isai menyuruh Syama lewat di depan Samuel, tetapi Samuel berkata kepada Isai:
“Semuanya ini tidak dipilih Tuhan.”
10 Demikian Isai menyuruh ke tujuh anaknya lewat di depan
Samuel, tetapi Samuel berkata kepada Isai: “Semuanya ini tidak dipilih Tuhan.”
11 Lalu Samuel berkata kepada Isai: “Inikah anakmu semuanya?.”
Jawabnya: “masih tinggal yang bungsu, tetapi sedang menggembalakan
kambing-domba.” Samuel berkata kepada Isai: “Suruhlah memanggil dia, sebab kita
tidak akan duduk makan, sebelum ia datang kemari.”
12 Kemudian disuruhnyalah menjemput dia. Ia kemerah-merahan,
matanya indah dan parasnya elok. Lalu Tuhan berfirman: “Bangkitlah urapilah
dia, sebab inilah dia.”
13 Samuel mengambil tabung tanduk yang berisi minyak itu dan
mengurapi Daud di tengah saudara-saudaranya. Sejak hari itu dan seterusnya
berkuasalah Roh Tuhan atas Daud. Lalu berangkatlah Samuel menuju Rama.
DAUD DI ISTANA SAUL
14 Tetapi Roh Tuhan telah mundur daripada Saul, dan sekarang ia
diganggu oleh roh jahat yang daripada Tuhan.
15 Lalu berkatalah hamba-hamba Saul kepadanya: “Ketahuilah roh
jahat yang daripada Allah mengganggu engkau;
16 baiklah tuanku menitahkan hamba-hambamu yang di depanmu ini
mencari seorang yang pandai main kecapi, maka engkau merasa nyaman.”
17 Berkatalah Saul kepada hamba-hambanya itu: “Carilah bagiku
seorang yang dapat bermain kecapi dengan baik, dan bawalah dia kepadaku.”
18 Lalu jawab seorang hambanya itu katanya: “Sesungguhnya, aku
telah melihat anak laki-laki Isai, orang Betlehem itu, yang pandai main kecapi.
Ia seorang pahlawan yang gagah perkasa, seorang prajurit, yang pandai bicara,
elok perawakannya; dan Tuhan menyertai dia.”
19 Kemudian Saul menyuruh Isai dengan pesan: “Suruhlah kepadaku
anakmu Daud, yang ada pada kambing domba itu.”
20 Lalu Isai mengambil seekor anak kambing, maka dikirimnyalah
itu kepada Saul dengan perantaraan Daud, anaknya.
21 Demikianlah Daud sampai kepada Saul dan menjadi pelayannya.
Saul sangat mengasihinya, dan ia menjadi pembawa senjatanya.
22 Sebab itu Saul menyuruh orang kepada Isai mengatakan:
“Biarkanlah Daud tetap menjadi pelayanku, sebab aku suka padanya.”
23 Dan setiap kali apabila roh yang daripada Allah itu hinggap
pada Saul, maka Daud mengambil kecapi dan memainkannya; Saul merasa lega dan
nyaman, dan roh yang jahat itu undur daripadanya.
(Dipublikasikan pertama dalam buku Prosiding Program Studi Pendidikan Teologi "Membangun Pendidikan Karakter" Tahun 2011.
[1]
Tentang macam-macam metode tafsir historis
kritis, lihat misalnya John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Pedoman
Penafsiran Alkitab, terj. I. Rachmat (Jakarta, 1993); judul asli: Biblical
Exegesis. A Beginner’s Handbook.
[2] C. Groenen, Analisa Naratif
Kisah Sengsara (Yoh 18-19), Yogyakarta: Kanisius, 1994, hal. 14
[3] Lihat Mark A. Powell, What is Narrative Criticism, Guides to Biblical Scholarship
(Philadelphia, 1990).
[4] Servulus Isaak, Analisa
Naratif (ms), Maumere: STFK Ledalero, 2001.
[5] Martin Suhartono, Kasih dalam
Kisah dan Kisah dalam Kasih (ms), Yogyakarta: Fakultas Teologi Wedabhakti
Universitas Sanata Dharma, 2001.
[6] R. Scholes dan R. Kellogg, The Nature of Narrative (New York
& London, 1966), hal. 207.
[7] E.M. Forster, Aspects of the Novel (Harmondsworth, 1963),
hal. 93.
[8]
M.K. Danziger dan W.S. Johnson, An
Introduction to Literary Criticism (Boston, 1961), hal. 20-23; R. Scholes
dan R. Kellogg, The Nature of Narrative, hal. 207-239.
[9]R. Scholes dan R. Kellogg, The Nature of Narrative,
hal. 160-206; A. Berlin, Poetics and Interpretation of Biblical Narrative (Sheffield,
1983), hal. 23-42.
[10]G. Genette, Figures III (Paris, 1972), “Voix”,
hal. 212-262; T.J. Keegan, Interpreting the Bible. A Popular Introduction to
Biblical Hermeneutics (New York, 1985), 92-109.
Kitab Samuel bagaikan sebuah rumah yang mempunyai banyak pintu. Selain krisis historis ternyata analisis naratif adalah sebuah kunci emas untuk memasukinya. Kita masuk kedalamnya dan menemukan inti, makna dan pesan untuk masa kini. trims
ReplyDeleteTerima kasih buat pak Done sudah mampir di blog ini. Mari kita terus saling berbagi dan memperkaya.
Delete