I.
PENDAHULUAN (DU WANGKA’N)
Dami N. Toda[1],
dalam bukunya, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi,[2]
menjelaskan secara jelas, rinci dengan data yang akurat tentang perkembangan
penelitian tentang Manggarai yang dibuat oleh orang luar. Harus diakui bahwa
setiap peneliti memiliki perspektif sendiri dengan orientasi khas serta
motivasi yang beragam sehingga deviasi selalu tak terelakkan jika ternyata
sebuah sejarah dibelokkan. Dan dapat dimaklumi bahwa penulisan sejarah terkait
erat dengan “pre-understanding” setiap orang yang datang.[3]
Itulah sebabnya, seperti Habermas pernah tandaskan, setiap pernyataan yang
keluar selalu terjalin dengan maksud tertentu.[4]
Berhadapan dengan kenyataan ini, sebuah imperatif yang tidak bisa ditawar-tawar
naik ke permukaan kesadaran, bahwa kita sendiri sebagai “anak tanah” harus juga
belajar menggali budaya kita, mengunyahnya dan membiarkan dia menjadi sebuah
energi yang membuat hidup ini, menurut filsuf Prancis H. Bergson, memiliki daya
[élan vital].[5]
Orang “dalam” (in-sider) harus punya horizon tentang apa yang
dimilikinya, supaya ia bisa berkata-kata dari kepunyaannya sendiri.
Gali (cake), Kunyah (mama) dan
Olah (gori) adalah aktivitas yang coba ditawarkan dalam kajian ini.
Muara akhir dari karya ini ingin mengetahui jawaban atas pertanyaan, “siapakah
Allah bagi masyarakat asli Manggarai, bagaimana religiositas orang Manggarai”
dan kalau bisa ditanyakan, “apakah ada benang merah yang bisa menghubungkannya
dengan spiritualitas Karmel?” Karena itu menjadi jelas metodelogi pembahasan
kajian ini bahwa: 1) mula-mula “menggali” dengan membaca pemaparan ini, lalu 2)
pembaca serentak diajak untuk “mengunyah” yakni terlibat untuk memikirkan,
menanggapi atau bahkan memberikan perluasan serta catatan kritis, dan akhirnya
3) “mengolah” bahan ini untuk menjadi “mose nai” (makanan hidup)
permenungan di perjalanan panggilan dan pelayanan, sehingga kehadiran kita
menjadi “berarti”, tersebab kita mengenal dan memahami siapa yang menjadi
subyek pelayanan kita. Dengan kata lain, muara pendekatan kita ialah bagaimana
“teks” dan “konteks” disandingkan dalam spiritualitas Karmel.
Berjalan dalam sebuah pencarian yang tetap
aktual ini, adalah sebuah kemestian bahwa kita memiliki “seni” tertentu, yang
secara sadar atau tidak, mengharuskan kita menjadi “seniman” untuk mengolah
hidup kita. Seorang sastrawan Indonesia, Chairul Anwar mengatakan,
Tiap seniman harus menjadi seorang perintis jalan. Itu
artinya ia mesti memiliki keberanian, tenaga hidup. Ia tidak segan-segan
memasuki hutan rimba penuh binatang buas, mengarungi lautan lebar-tak bertepi.
Seniman ialah tanda dari hidup yang melepas-bebas[6].
Menjadi seniman dalam hidup panggilan
sebagai religius “menuntut komitmen pribadi yang menyeluruh dan yang
diekspresikan secara nyata dalam suatu pola hidup yang injili dan melaksanakan
nasihat-nasihat Injil dan dalam hidup komunitas”.[7]
Untuk mencapai kenyataan itu, refleksi yang memiliki perspektif
holistik-mondial perlu dibangun, termasuk bila refleksi itu ditopang oleh
tonggak yang berbasiskan budaya-lokal.[8]
Sejak zaman purbakala, manusia, bahkan dalam tahap
perkembangan yang sangat primitifpun mempunyai kesadaran akan hadirnya sebuah
kekuatan “lain” yang berada di luar kemampuannya untuk memahami. Mircea Eliade,
dalam studinya memperlihatkan bahwa penyelidikan fenomenologis mengenai agama
menimbulkan gambaran tentang manusia sebagai mahkluk yang sifatnya amat
religius[10]
(homo religiosus). Bagi mereka, seluruh kosmos terbuka kepada “yang
kudus”. Pada prinsipnya, obyek apa saja: matahari, bulan, bumi, air, gunung,
hutan, batu karang, pohon, gua, dsb dapat menjadi “hierofani”[11]
baginya. Obyek manapun yang diduduki
oleh “yang kudus” itu menjadi manifestasi dirinya. Kehadiran “Yang kudus”
kemudian secara turun temurun dialami dalam hierofani, ritus dan mitos.
Kenyataan itu, dalam ke-tak-mengerti-an manusia sering dianalogkan dengan “Yang
Ilahi”. Langkah yang telah dimulai dalam agama primal dilanjutkan dengan
kehadiran agama-agama institusional-wahyu yang memberikan kepastian bahwa “yang
Ilahi” itu adalah Allah. Dr. Georg Kirchberger SVD mencatat beberapa bidang
pengalaman akan Allah.[12]
2.1. Alam
Dalam kehidupannya, setiap orang yang mengamati dan
mengalami dunia dan alam sekitarnya dengan mata serta hati terbuka, akan
menjadi sadar bagaimana seluruh alam itu merupakan suatu hadiah besar yang
menunjang dan mempertahankan hidupnya. Pengalaman itu menjadi lebih intens dan
terasa kuat dalam “situasi-situasi batas”. Misalnya suatu masyarakat yang
menderita kelaparan karena musim kemerau yang berkepanjangan, mengalami hujan
pertama sebagai berkat, sebuah permulaan akan munculnya kehidupan baru. Jika orang
terbuka kepada kebaikan yang ada, segera orang akan berpikir bahwa pasti ada
sesuatu yang menyelenggarakan semua itu. Pada saat itulah muncul refleksi
tentang “Yang Ilahi”.
2.2. Sejarah
Pada dasarnya sejarah merupakan suatu deretan peristiwa
yang dilakukan, diatur dan harus dipertanggungjawabkan oleh manusia. Tetapi
setiap manusia mengharapkan agar deretan peristiwa itu tidak hanya merupakan
kumpulan aksi dan reaksi yang tak berarti dan tak bertujuan. Kita merindukan
sejarah sebagai sebuah arus perkembangan yang mempunyai tujuan dan manusia
berharap tujuan itu bernilai positif. Kita berharap bahwa sejarah berkembang
menuju kebahagiaan dan kesejahteraan manusia yang semakin besar. Berhadapan
dengan keterbatasan-kenisbian kodrati manusia, ia pada akhirnya menyadari bahwa
hanya kepada “Yang Ilahi” ia memiliki intensionalitas historis. Dengan lain
perkataan, Allah adalah akhir dari sebuah sejarah keselamatan.
2.3. Hubungan Antar
Pribadi
Persahabatan dan setiap relasi cinta antar manusia
menjadi sebuah petunjuk yang mengarahkan kita kepada Allah. Setiap relasi
cinta, kalau berkembang dengan semakin mendalam, semakin pula merindukan
keabadian dan keutuhan. Dua orang yang saling mencintai semakin rindu untuk
memberikan diri secara menyeluruh satu kepada yang lain. Di sana akan muncul
sebuah kerinduan akan sebuah relasi yang abadi. Namun, dalam kenyataan,
kerinduan itu tak pernah terjawab tuntas, tersebab kita diciptakan sebagai
mahkluk fana. Oleh karena itu, setiap cinta yang sungguh mendalam antar
manusia, menunjukkan keterbatasannya yang tak terelakkan kepada suatu cinta
yang sungguh total, lestari dan abadi yang menanam kerinduan tadi dalam cinta
manusia yang terbatas itu. Kerinduan akan ke-tak-terbatas-an di dalam cinta
yang terbatas menjadi suatu pengalaman tidak langsung mengenai adanya cinta tak
terbatas, yakni Allah.
2.4. Pengalaman
Batin
Secara pribadi di dalam batin kita, dapat kita temukan
sekian banyak pengalaman yang menjadi tanda bagi kehadiran suatu kekuatan yang
malampui diri kita sendiri. Kalau kita terbuka terhadap realitas ini dan
memberikan tempat untuk kehadirannya, kita akan melihatnya sebagai kebesaran
Allah. Suara batin kita juga bisa mengeskpresikan kenyataan ini. Ada banyak
saat di mana kita di”tegur” oleh suara batin untuk membebaskan diri dari
perbuatan yang dikategorikan sebagai dosa. Suara batin ini juga mengarahkan
kita untuk melakukan hal-hal yang baik. Suara-suara “baik” yang keluar dari
kedalaman batin inilah yang kerap disadari sebagai “suara Allah”.
Wilhelm Schmitd mengetengahkan teori “Kultur
Kreislehre” yang mengatakan bahwa “uhrmonotheismus” (Wujud
Tertinggi) bukanlah perkembangan baru tetapi merupakan bentuk kebudayaan yang
sudah sangat tua, yang tersebar di berbagai kebudayaan manusia. Namun bentuk
kebudayaan yang sudah sangat tua itu tetap mengalami perkembangan sejalan
dengan lajunya perkembangan zaman. Meskipun tidak ada perubahan mendasar pada
bentuk aslinya. Wujud Tertinggi telah mengalami perubahan pada sebutan untuk
mengekspresikannya.
Gagasan dasar dari teori ini dikembangkan
oleh Andrew Lang berdasarkan hasil penelitiannya di Australia, khususnya pada
penduduk asli, Aborigin. Pada mereka terdapat pemujaan terhadap roh-roh dan
arwah-arwah, tetapi dalam segala tingkah lakunya, terlihat jelas keyakinan
penduduk asli akan adanya Wujud Tertinggi yang mengawasi perilaku manusia dalam
soal-soal yang berhubungan dengan kesusilaan.[14]
Dalam masyarakat Manggarai, Wujud Tertinggi
disebut dengan nama, seperti: Mori[n]: Tuhan, Mori(n) agu ngaran:
Tuhan Dan penguasa, Mori Keraeng, Mori Sombang, dsb.
Pengaruh masuknya agama Kristen (khususnya
Katolik) menyebabkan munculnya penyingkatan sebutan untuk Wujud Tertinggi. Jika
pada zaman lampau penyebutan Wujud Tertinggi diungkapkan dalam bentuk yang
panjang dan rumusan baku yang sulit jika dipadukan dengan kebiasaan praktis,
maka zaman kini jarang digunakan, kecuali pada upacara-upacara adat yang
memiliki ritus tetap.
Wujud Tertinggi suku Manggarai terungkap dalam
lambang-lambang, terutama metafor-metafor yang dibuat untuk memudahkan setiap
orang Manggarai mengenal dan mengerti tentang Wujud Tertingginya.
Metafor-metafor itu biasanya berupa kosmos: bumi, langit, matahari, sungai dan
sebagainya. Semua ungkapan yang digunakan memperlihatkan betapa keterbatasan
bahasa menyebabkan sulitnya mengungkapkan tentang Mori agu Ngaran, Jari agu
Dedek, parn awo kolepn sale dan ungkapan lainnya.
Hadirnya teori kulturkreislehre dari Wilhelm
Schmitd sebenarnya memperteguh dan membenarkan tentang eksistensi dari Wujud
Tertinggi yang telah ada sejak zaman dahulu di Manggarai. Benar bahwa konsep
atau gagasan tentang Wujud Tertinggi bukan merupakan hal yang baru dalam
fenomen kebudayaan, terungkap dalam penghayatan dan kepercayaan akan adanya
Wujud Tertinggi itu.
Mori agu Ngaran merupakan pelindung
dan penjaga serta pemberi segala sesuatu kepada manusia. Keyakinan inilah yang
melahirkan gagasan untuk menyembah Mori agu Ngaran dengan segala bentuk
upacara adat. Sebagai manusia, suku Manggarai percaya bahwa oleh karena
kedekatan antara Sang Pencipta dan manusia melalui penyembahan atau ritus-ritus
adat, mereka akan bersatu dalam kebahagiaan kelak.
Upacara adat yang dibuat secara khusus untuk
mengungkapkan kepercayaan akan Wujud Tertinggi, seperti upacara kelahiran,
perkawinan dan pembukaan lahan baru, menyatakan secara tegas bahwa Mori agu
Ngaran-lah yang mengasal segala sesuatu, menciptakan, memelihara dan
akhirnya memanggil untuk bersatu kembali secara erat pada akhir hidup sesudah
kematian.
Akhirnya harus dikatakan bahwa dengan hadirnya teori kultukreislehre
dari Wilhelm Schmitd, tentang Wujud Tertinggi, studi ini kebenarannya dalam
kehidupan agama primal Manggarai. Pada zaman sekarang ini teori ini tetap
berlaku justru untuk mengantisipasi kekeliruan yang terjadi akibat deviasi
konsep tentang Wujud Tertinggi. Konsep
atau gagasan tentang Wujud Tertinggi suku Manggarai bukanlah akibat dari
pewartaan agama Katolik, melainkan sudah ada sebelum agama Katolik masuk ke
Manggarai awal abad XX yang lalu.
4.1.
Dimensi Iman (Kepercayaan)
Ivan Haryanto, et. al., dalam studi mereka tentang “Agama
Asli Manggarai”[16]
menjelaskan bahwa terminologi iman dalam pemahaman asli Manggarai disebut “imbi”
(percaya). Terminologi ini secara eksplisit menggambarkan relasi antara
seseorang atau sekelompok orang dengan yang lain. Relasi ini terbentuk karena
rasa percaya. Karena itu, “imbi” dipahami sebagai satu sikap percaya
kepada sesuatu yang lain, baik orang-pribadi, kelompok maupun kekuatan lain.
Dalam konteks religius, terminologi ini menggambarkan sikap dan keterarahan
hati manusia kepada Wujud Tertinggi dalam agama primal orang Manggarai.
A. J. Verheijen dalam studinya menemukan bahwa teori Kulturkreiselehre
tentang Uhrmonotheismus menemukan kebenarannya jika diaplikasikan kepada
kehidupan religius orang Manggarai. Karena itu Verheijen membuat klasifikasi
beberapa nama Wujud Tertinggi orang Manggarai, sebagai berikut:[17]
4.1.1. Nama-nama
untuk Wujud Tertinggi
1] Mori(n): Tuhan Mori(n) agu Ngaran:
Tuhan dan Penguasa, 2] Mori Keraeng: Tuhan Allah, 3] Mori Sombang:
Tuhan yang disembah.
Kata Mori berarti “tuan”, “pemilik”, “penguasa”.
Tuhan diimani sebagai tuan, pemilik, penguasa atas kehidupan (de morin mose
dite ho’o). penambahan sufiks –n menunjukkan fungsi gramatik, khususnya
bentuk possessive. Demikian kata “ngaran” menekankan aspek
“kuasa” Tuhan atas segala yang ada di bumi. “Mori agu Ngaran” adalah
rumusan baku yang kerap dipakai dalam doa-doa resmi orang Manggarai, misalnya: “Hia
te Morin agu ngaran tana lino ho’o” (Dia yang Empunya dan miliki bumi ini).
Sedangkan sebutan “Mori Keraeng”[18]
adalah nama diriNya, “Mori Keraeng hitu muing ngasang wekin”.
Hampir di seluruh Manggarai, termasuk daerah
Riung-Ngadha kita bisa menjumpai sebutan “Mori Sombang” untuk Tuhan.
Pada mulanya nama ini dipakai dalam dongeng-dongeng Manggarai, yakni Karaeng
Goa. Dia berkuasa atas Manggarai sebelum Bima. Barangkali sesudah pengaruh
kekuasaan mereka lenyap, sebutan ini dipakai untuk Wujud Tertinggi, yang secara
eksplisit bisa dilihat dalam buku nyanyian Gereja.[19]
4.1.2. Nama untuk Wujud
Tertinggi sebagai Pencipta:
1] Jari agu Dedek: Penjadi dan Pembentuk, 2]Ciri
agu Wowo: Penjadi Dan Pengacu, 3] Jari agu Wowo: Penjadi dan
Pembentuk, 4] Jari agu Dading: Penjadi dan Pelahir.
Kata “Jari” berarti: menjadi, berhasil, berjalan
baik. Kata “Dedek” dipakai untuk: membuat, membentuk, menempa dan
lain-lain. Kata “ciri” berarti menjadi, tumbuh menjadi, menjelma,
mendapat bentuk dan kata “wowo” berarti: menuang, mengacu, leburkan,
lahirkan. Kata “jari” dan “wowo”
memiliki arti yang sama dengan ciri agu wowo. Kata “dading” berarti:
melahirkan, beranak. Kata ini diterapkan pada pria, mislanya: “ema dading”
(ayah kandung).
Jika kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, Tuhan dalam
kehidupan orang Manggarai dilihat sebagai pencipta pertama [causa prima]
segala sesuatu yang ada.
4.1.3. Paralelisme nama
Wujud Tertinggi
1] Ame eta-Ine wa: Ayah di atas-Ibu di bawah, 2] Ronan
eta mai-Winan wa mai: Suaminya di atas-Istrinya di bawah, 3] Tanan
wa-Awang eta: Bumi di bawa, Langit dia atas, 4] Wulang agu Leso:
Bulan dan Matahari.
Sangat kentara dalam pemikiran orang Manggarai bahwa
Tuhan adalah Dia yang memiliki segala sesuatu, yang melingkupi manusia dan
seluruh ciptaan dengan kuasa dan kasihNya yang tak terhingga. Langit adalah
tahta Allah, bumi adalah tumpuan kakiNya, bulan dan matahari adalah tanda
kehadiranNya.
4.1.4. Nama Wujud Tertinggi
sebagai mata angin:
1] Par agu Kolep: Timur dan Barat, 2]Ulun
le-Wa’in lau: Hulu sungai, hilir sungai. Tuhan dilihat sebagai sumber
kehidupan yang terbit di ufuk Timur dan tenggelam di ufuk Barat. Tuhan tetap
setia, esensi Tuhan selalu begitu, sama seperti sumber air yang muncul di Utara
dan mengalirkan kehidupan ke Selatan.
4.1.5. Nama-nama Lain:
1]Empo, 2]Sengaji, 3]Dewa.
Kata “empo” berarti: nenek moyang, kakek-nenek.
Selanjutnya kata “empo” digunakan untuk semua orang yang kita segani. Tetapi
kerap nama ini jarang digunakan untuk Wujud Tertinggi karena keterkaitannya
dengan arti jamak yang bermakna ganda. Misalnya, kata yang sama bisa digunakan
untuk roh halus, setan (empo poti mese-setan besar).
Sebutan “sengaji” memiliki arti yang mirip dengan kata
“empo” dan diarahkan untuk penguasa. Dalam doa-doa kata ini jarang digunakan.
Demikian halnya dengan kata “dewa” memiliki arti yang sangat fleksibel dan
jarang digunakan. Rupanya kata ini bukan kata asli Manggarai.
Dari beberapa pemikiran tentang nama Wujud Tertinggi,
terdapat sebuah silogisme spontan sekaligus eviden bahwa orang Manggarai
percaya adanya Wujud Tertinggi, bahwa dunia ini pasti memiliki penciptanya, causa
prima yang menyelenggarakan kehidupan dan tetap terlibat dalam seluruh
perjuangan hidup ciptaanNya, termasuk manusia.
4.2. Dimensi
Pengetahuan
Pada bagian terdahulu, kita sudah melihat kenyataan
adanya pengakuan akan Wujud Tertinggi dalam kehidupan religius orang Manggarai.
Muncul pertanyaan baru, “Bagaimana iman itu dilanjutkan kepada generasi
berikutnya?” Dalam beberapa wawancara yang pernah kami buat terhadap beberapa
tokoh adat, (khususnya Bapak Agustinus Palu Barut, Tu’a Golo Tenda)[20]
mereka memberikan jawaban atas dimensi pengetahuan ini dalam beberapa bentuk.
Pertama, pertanyaan akan eksistensi alam
semesta. Pertanyaan ini menjadi pintu masuk untuk mengetahui sesuatu sekaligus
menggugah kesadaran setiap orang Manggarai untuk mengakui bahwa ada “Sesuatu
yang mengatasi kodrat manusia”. Pengetahuan ini bersifat spontan sebagai
tuntutan rasional untuk mencari tahu sebab adanya sesuatu.
Kedua, Upacara-upacara komunal (pande
adak).[21]
Dalam upacara-upacara komunal masyarakat, seperti “Penti” (upacara
syukur panen), upacara kehamilan (lamba wakas) dan kelahiran (cear
cumpe), upacara perkawinan, upacara kematian, upacara adat “lingko” (kebun
komunal). Melalui upacara ini doa-doa didaraskan kepada Wujud Tertinggi.
Para peserta mendengarnya, mengingat dan mengulangnya jika generasi tua sudah
berpulang. Upacara-upacara adat komunal berfungsi sebagai “sekolah lisan” di
mana tradisi diwariskan secara turun temurun.
Ketiga, Doa dan Lagu-lagu (Ngaji agu Dere).
Bagi orang Manggarai memiliki arti jamak: tidak hanya terbatas pada fungsi
menghibur tetapi lebih dari itu, lagu mempunyai fungsi pedagogis dan historis.
Demikian halnya doa-doa yang diucapkan dalam pelbagai ritus adat komunal
memiliki aspek ganda: terarah kepada Wujud Tertinggi tetapi serentak merupakan
model bagi generasi yang akan menjadi penerus budaya. Bapak Petrus Jelalu dalam
wawancara yang pernah dibuat Ivan Haryanto, et. al.[22]
menjelaskan, lagu yang dibuat untuk berbagai upacara sarat dengan ajaran iman.
Misalnya lagu “Sanda Lima” biasa dinyanyikan dalam upacara “penti”.
Dalam lagu ini terdapat beberapa permohonan berkaitan dengan lima kebutuhan
pokok manusia: mbaru bate ka’eng (rumah tempat tinggal), natas bate
labar (halaman bermain), wae bate teku (sumber tempat menimba air), uma
bate duat (kebun tempat mengais rejeki) dan compang (tempat
persembahan kepada Wujud Tertinggi).
Keempat, Nasihat atau Petuah (Go’et).
ajaran tentang Wujud Tertinggi diterjemahkan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan
lokal orang Manggarai dalam apa yang disebut “Go’et” yakni ungkapan,
amsal, pepatah dan petuah.[23]
Nasihat-nasihat ini berbicara tentang kehidupan manusia dalam dua dimensi:
vertikal dengan Wujud Tertinggi dan relasi horizontal dengan sesama dan alam
lingkungan.
Misalnya go’et yang berbicara tentang relasi
horizontal manusia: “neka anggom le anggom lau, eme data, data muing, neka
demeng data” (jangan memiliki kekayaan karena merampas dan menggelapkan
harta orang lain). Go’et ini berisikan ajaran bagi manusia dan
masyarakat agar mengakui hak milik orang lain, mendapatkan kekayaan melalui
cara yang halal, tidak mengklaim atau menggelapkan harta orang lain demi
kekayaan.[24]
Selain itu, ada go’et yang berbicara tentang relasi horizontal dengan
Wujud Tertinggi, misalnya, “neka beng agu Dedek, neka ngantit kamping Jari”
(jangan takut dan ragu-ragu terhadap Tuhan yang menjadikan kita). Go’et
ini merupakan ajakan bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Wujud Tertinggi
lewat doa (ngaji). Selain itu go’et ini memiliki pesan agar
manusia tidak mengabaikan doa (ngaji).[25]
Kelima, Mitos dan Cerita Rakyat (Tombo
Turuk). Menurut Mircea Eliade, mitos tidak hanya sekedar pemikiran
intelektual dan bukan pula hasil logika, tetapi terlebih merupakan orientasi
spiritual dan mental untuk berhubungan dengan yang ilahi. Bagi masyarakat asli,
mitos berarti suatu cerita yang benar dan ini menjadi milik mereka yang paling
berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna dan menjadi model bagi
tindakan manusia, memberikan makna dan nilai bagi kehidupan ini. Mitos
menceritakan bagaimana suatu realitas berkesistensi melalui tindakan mahkluk
supra natural.[26]
Demikian halnya dengan peran dan fungsi mitos bagi orang Manggarai. Dalam
bukunya, Verheijen mengumpulkan sejumlah mitos orang Manggarai tentang berbagai
hal, seperti: awal mula bumi, manusia dan roh-roh: terjadinya bumi, pemisahan
manusia dari “darat” (peri), nenek moyang yang dimakan “darat”, dsb.[27] Tombo
turuk merupakan kisah-kisah cerita yang bermuatan pedagogis dan memiliki
unsur hiburan. Biasanya tombo turuk dikisahkan malam hari menjelang
tidur. Orang tua sebagai pencerita mengisahkan sebuah peristiwa yang
seolah-olah tampak nyata dengan maksud memberikan petuah tertentu terhadap
anak-anaknya. Selain itu, tombo turuk juga menjadi medan pergulatan
tafsir atas kejadian aktual dalam masyarakat, entah pergulatan politis maupun
sosial, budaya dan ekonomi. Kisah-kisah ini menjadi semacam kumpulan cerita
pendek yang diungkapkan secara lisan dan diwariskan turun temurun kepada setiap
generasi. Beberapa cerita pendek yang cukup dikenal seperti: Timung Te’e (Mentimun
Matang), Empo Poti Mese (Setan Jahat), Lanur , Pondik, Anak Kalok (Anak
Yatim),[28]
dsb.
4.3.
Dimensi Praktek: Pelbagai Ritus Dan Peruntukkannya
Ulasan kita tentang relasi yang sangat dekat antara
orang Manggarai dengan Wujud Tertinggi terjalin melalui pelbagai ritus yang
memiliki tujuan dan maksud yang khas. Sejak manusia dikandung dalam rahim ibu
hingga mati, orang Manggarai memiliki ritus adak tertentu. Beberapa
ritus itu antara lain: ritus Lamba Wakas dan Jambat (saat
kehamilan), Weda rewa tuke mbaru (saat peminangan), Kelas
(kenduri) dan lain-lain. Hal sama ketika orang Manggarai mengerjakan kebun,
ritus-ritus dibuat mulai dari pembukaan kebun baru (lingko-tanah
persekutuan komunal) sampai pada upacara syukur panen: upacara pemancangan “Teno”
oleh Tu’a Teno (kepala kampung urusan pembagian tanah komunal) pada saat
pembagian tanah lingko, upacara Kalok/Weri/Wa’u wini (saat musim
menanam) sampai “penti”. Dalam pelbagai ritus itu, doa-doa dan lagu-lagu
dipanjatkan kepada Wujud Tertinggi, entah permohonan pun ucapan syukur. Rm. Dr.
Hubertus Leteng Pr[29]
dalam skripsinya tentang doa asli Manggarai menjelaskan bahwa doa sebagai
ekspresi iman dalam agama asli orang Manggarai dapat dikelompokkan menjadi tiga
bagian, yakni: berdasarkan cirri-ciri, intensi dan pelaksana atau pelaku.
1] Ciri-ciri : Ciri Teosentris. Dalam doa-doa
asli nama Wujud Tertinggi disebut secara eksplisit. Kepada Dia-lah doa-doa
dilambungkan. Ciri Mediasi: Para leluhur dipercayai sebagai perantara.
Karena itu nama leluhur disebut dalam doa. Ciri sosial: doa-doa asli
tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi juga orang lain, komunal dan
keutuhan seluruh ciptaan. 2] Intensi: ada dua macam doa yakni doa permohonan
dan doa syukur. Ketika memulai musim tanam orang Manggarai akan
mempersembahkan babi atau ayam kepada Wujud Tertinggi dan leluhur agar kiranya
Wujud Tertinggi berkenan memberkati benih (wini) yang akan ditanam.
Ritus yang sama dibuat pasca panen. 3] Pelaksana atau pelaku: Doa-doa asli
Manggarai dari aspek pelakunya dibagi dalam dua kelompok: Pertama, doa
pribadi. Dalam menghadapi berbagai pengalaman, entah kecewa maupun gembira
orang Manggarai memiliki tanggapan dan jawaban atasnya. Salah satu bentuk
tanggapan dan jawabannya ialah melalui doa pribadi. Doa-doa pribadi ini
biasanya singkat, spontan, terbuka dan jujur. Doa-doa seperti ini biasanya
disebut “Keng” atau “Wada agu Gesar”. Misalnya seorang yang
sedang mengalami sakit berat akan berdoa, “Mori, ba’eng koe mendim ho’o…”
(Tuhan, kasihanilah hambaMu ini…). Kedua, doa bersama. Doa bersama
terjadi dalam ritus-ritus komunal dalam berbagai kesempatan, misalnya: ritus Simo
Le’as / Rames Le’as yang merupakan upacara pemulihan ketika seorang ibu
mengalami keguguran. Maksud ritus ini ialah supaya Wujud Tertinggi dan roh
leluhur memulihkan kesehatan jasmani-rohani ibu yang bersangkutan dengan
harapan tidak terjadi keguguran lagi. Doa bersama juga dapat terjadi dalam
ritus Kelas, Penti, dsb.
Terminologi yang biasa dipakai dalam ritus-ritus komunal adalah “Tudak”
yang disampaikan oleh “Ata Peci” (pribadi yang memiliki kharisma
spiritual yang biasanya terdapat pada Tu’a Golo ataupun ata mbeko-dukun).
4.4.
Dimensi Pengalaman Keagamaan
Menurut
Edward Schillebeecks, pengalaman berarti seseorang bertemu langsung dengan
sesuatu obyek dan belajar melalui pertemuan itu. Melalui pertemuan langsung itu
kita mengenal obyek-obyek yang kita alami, kita memperoleh pengetahuan langsung
tentang obyek itu. Namun pengalaman seperti itu tidak pernah “murni” dalam arti
bahwa semata-mata obyek itu menyatakan diri kepada subyek yang mengalami.
Seseorang bisa mengalami sesuatu melalui interpretasi atas obyek itu.
Interpretasi itu berlangsung dalam pengalaman manusia sendiri.[30]
Orang Manggarai memiliki pengalaman akan Wujud
Tertinggi. Mereka tidak mengatakan bahwa pernah berhadapan muka dengan Wujud
Tertinggi. Meskipun ada ata mbeko yang mengasosiasikan mimpi tertentu
sebagai pertemuan dengan Mori Keraeng dan pernyataan diriNya yang intens
kepada mereka. Tetapi semua orang Manggarai mengakui bahwa mereka mengalami
kehadiranNya dalam peristiwa hidup harian mereka. Itulah sebabnya, lahir
berbagai nama Wujud Tertinggi yang dianalogkan dengan alam-kosmos, bentuk doa,
ritus-ritus pemulihan, dan go’et yang mengekspresikan kedekatan yang
relasional-intim antara orang Manggarai dengan Wujud Tertinggi.
Kehadiran “ata pecing” atau “ata mbeko”
sangat penting dalam menafsir kehendak Yang Ilahi. Jika terjadi kemalangan
komunal berupa berbagai penyakit, bencana alam, kematian yang irrasional, ata
pecing memiliki tugas untuk mencari sebab-musabab dan menemukan solusinya.
Peran ata pecing sangat menentukan dalam berbagai segi kehidupan:
religius, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Revelasi diri dan kehendak dari
Mori Keraeng dinyatakan lewat “nipi” (mimpi) dari ata pecing. Ata
pecing ini menyampaikan maksud de Morin agu Ngaran kepada orang yang
untuknya revelasi itu ditujukan.
4.5.
Dimensi Sosial Keagamaan
Iman Dan kepercayaan akan Wujud Tertinggi orang
Manggarai memiliki dimensi sosial. Iman itu tidak hanya bermakna, meminjam
istilah Filsafat, in se (dalam dirinya sendiri), tetapi juga mempunyai per
se (untuk sesuatu yang lain). Sebab jika iman itu tidak berbicara dan
terkait dengan kehidupan real, maka iman itu nirmakna. Ada beberapa dimensi
sosial yang saya temukan antara lain:
Pertama, Iman dan kepercayaan akan Wujud
Tertinggi dalam diri orang Manggarai membuat mereka merasa yakin dan pasti
bahwa mereka adalah anak-anak dari Mori agu Ngaran. Keyakinan itu begitu
kuat sehingga menimbulkan pengharapan untuk kelak bersatu dengan seluruh arwah
leluhur dalam kebersamaan dengan Mori Keraeng. Tetapi untuk bisa tinggal
bersama Dia, orang Manggarai, baik secara privat maupun komunal, mesti memiliki
sikap hidup yang baik, kepercayaan yang utuh pada Mori Jari Dedek dan
kesetiaan untuk mentaati laranganNya. Kerinduan untuk bersatu dengan Mori
agu Ngaran inilah yang membuat orang Manggarai pada zaman lampau lebih
dominan mengarahkan dirinya kepada kebaikan.
Kedua, orang Manggarai memiliki berbagai
norma dan aturan yang diyakini sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan kelak (mose
tedeng len). Berikut ini ada beberapa norma umum. 1] Relasi antara pria dan
wanita. Aturan relasi pria-wanita sangat ketat. Sebagai contoh: mengintip
perempuan yang sedang mandi disebut “loma lelo” (pemerkosaan dengan cara
melihat). Atau barangsiapa yang ketahuan melakukan “jurak” (incest)
diberi hukuman paling berat. Jika hal ini terjadi, maka akan dibuat upacara
pemulihan yang disebut “oke jurak” atau “doro rekes”. Dalam
upacara ini disembelih kerbau putih sebagai hewan korban penyilihan dosa dan
mohon ampun dari dosa lewat “songgo”(doa pemulihan). 2] Relasi dengan
orang yang lebih tua dan orang yang lebih muda. Orang-orang muda berkewajiban
mematuhi perintah orang-orang tua. Demikian halnya relasi antara pemimpin adak
(tu’a golo) dengan anggota masyarakat (sangged lawa wan koe, etan
tu’a). Dari orang muda dituntut ketaatan dan dari orang tua dituntut sikap
hidup yang baik, tutur kata yang sopan, berkualitas, bijaksana, dan patut
dipanut.
Ketiga, orang Manggarai dan keluarga. Konsep
tentang Wujud Tertinggi mempunyai dampak yang luas, termasuk relasi antar
sesama. Keluarga sebagai institusi masyarakat terkecil sangat diperhatikan.
Dalam relasi dengan orang tua (kandung), seorang anak melihat mereka sebagai “mori
kraeng ata ita le anak” (Tuhan yang kelihatan). Karena itu bersikap kasar
terhadap orang tua dilarang. Sebaliknya, anak adalah “wae tuka de Morin agu
Ngaran” (benih Tuhan dan Pemilik) yang harus diperhatikan oleh orangtua.
Memukul orangtua dan menelantarkan anak-anak adalah perbuatan tercela.
Keempat, orang Manggarai dengan sesamanya
(keluarga dekat dan semua orang lain). Dengan “Hae Wa’u”- “Ase Ka’e”
(kakak-adik, sepupu) hubungan diwarnai oleh persahabatan kental. Mereka harus
saling mendukung satu sama lain. Itulah sebabnya, urusan “laki” atau “wai”
(peminangan) dan berbagai urusan keluarga dijalankan secara bersama-sama
sebagai tanggungan keluarga besar. Ada juga yang disebut dengan “Anak
Wina-Anak Rona” yakni hubungan yang terjalin karena perkawinan. Keluarga
mempelai laki-laki disebut: anak wina, sedangkan keluarga anak perempuan
disebut: anak rona. Anak rona memiliki kewajiban untuk membayar belis
dan sida kepada anak wina dalam urusan kematian, pernikahan, dan
urusan adat lainnya dari anak rona.
Ikatan kekerabatan tidak hanya dibangun berdasarkan
hubungan darah, tetapi juga asal (cama beo-satu kampung-asal). Orang
Manggarai merasa memiliki kewajiban untuk saling memperhatikan sesama asal di
manapun mereka berada. Biasanya, orang-orang seasal dianggap sebagai “saudara”
(ase-ka’e, cama tau) di tempat perantauan (tanah mbeot). Mereka
yang tiba lebih dahulu (ngo te kolo) menyiapkan tempat bagi mereka yang
datang kemudian (cai musi). Orang-orangtua menitipkan pesan supaya yang
lebih tua menjadi pendamping bagi mereka yang muda. Secara inplisit, otoritas
orangtua diserahkan kepada mereka yang dipercayai itu. Mereka biasa mengatakan,
“Nana, jaga di’a-di’a asem ho’o. Reweng dite, reweng dami” (Jagalah
adikmu ini, kami menitipkan suara kami padamu).
Kelima, Kerja sama (dodo, rambeng).
Dalam kehidupan bersama orang Manggarai yakin bahwa Mori agu Ngaran
menghendaki mereka untuk bersatu hati, tinggal sebagai ase-ka’e dalam
masyarakat komunal. Dodo merupakan sebuah bentuk nyata bagaimana
kebersamaan dibangun di atas fondasi kerja sama. Misalnya dalam pengerjaan
kebun, mereka akan bekerja bergilir dan berurutan sesuai dengan kesepakatan.
Hal ini mempermudah penyelesaian pekerjaan. Dodo (leles, wenggol) berakibat
positif, bukan saja karena pekerjaan yang berat dapat diselesaikan dengan
cepat, tetapi terutama memupuk semangat persaudaraan dan memperkuat ikatan
kesatuan antar sesama warga. Rambeng adalah undangan yang dibuat secara
spontan untuk mengerjakan sebuah pekerjaan yang besar. Misalnya ketika seorang
yang baru saja menikah ingin membangun rumah atau memperbaiki rumah yang sudah
rusak, sang pemilik meminta bantuan kepada sesama warga (ata beo) supaya
menyelesaikan pekerjaan itu secara gotong royong. Mereka yang datang membantu
tidak mengharapkan bayaran atau juga imbalan dalai bentuk apapun selain makan
bersama. Dalam kehidupan bersama ada sebuah kesadaran komunal untuk melakukan
hal yang sama jika ada ase-ka’e lain yang membutuhkannya.
Meskipun diterpa badai arus perkembangan zaman, dodo
dan rambeng ini masih sangat kentara dalam kehidupan orang Manggarai. Dodo
dan rambeng diberi arti baru, diperluas sehingga dapat diaplikasikan ke
berbagai bentuk kebutuhan hidup modern. Misalnya, hingga saat ini terbanyak
pelajar dan mahasiswa dari Flores di berbagai tempat Pendidikan (misalnya di
Jawa) berasal dari Manggarai. Hal itu terjadi karena dalam urusan Pendidikan
anak-anakpun, anggota masyarakat saling membantu dalam pembiayaan.
Keenam, Penghargaan terhadap Tamu (Tiba
Meka). Orang Manggarai memiliki kebiasaan yang sangat khas dalam menghargai
tamu (meka). Bagi mereka meka perlu dan harus ditolong jika ia
sedang dalam perjalanan ataupun datang mengunjungi mereka. Meka
diperlakukan secara istimewa, diterima dengan penuh hormat dan dijamu dengan
sebaik-baiknya. Ada perasaan kurang bila tidak bisa menerima dan menjamu mereka
dengan baik. Selain itu, orang-orang yang sedang dalam perjalananpun diundang
untuk “cenggo ce koen” (singgah sebentar) untuk melepas lelah dengan
menghirup kopi atau sekedar merokok (rongko) dan memamah siri-pinang (cepa).
Inilah dimensi sosial religiositas mereka.
Kepercayaan
orang Manggarai tak dapat dilepas-pisahkan dengan kultur agraris yang memiliki
keterkaitan yang erat antara alam dengan seluruh kehidupan ciptaan. Tanah,
gunung, air, iklim mempunyai relasi yang tak terpisahkan dan menyatu dengan
kehidupan semua mahkluk. Kepercayaan
akan keterkaitan unsur-unsur itu menyata dalam berbagai bentuk.
Pertama, kepercayaan akan roh alam dan roh
leluhur. Roh berpengaruh atas pelbagai peristiwa dan kejadian yang dialami
manusia dan ciptaan yang lainnya. Kepercayaan akan roh alam ini[32]
membawa Orang Manggarai kepada keyakinan bahwa roh alam inilah jiwa dari alam
semesta. Selain roh alam yang memiliki
identitas yang abstrak dan tak terjamah, Orang Manggarai juga percaya
pada roh leluhur yang telah meninggal (ata pali sina). Roh-roh leluhur
ikut berperan dalam menciptakan keseimbangan kosmos. Itulah sebabnya terhadap
roh-roh ini Orang Manggarai memberikan respek, penghargaan serta menjalin
relasi yang tetap intim dan konstan melalui pelbagai ritus, sebagai berikut: 1]
Ritus Teing Hang atau kerap disebut Takung yakni memberikan
sesajian kepada roh leluhur sebagai bentuk persembahan yang memiliki berbagai
maksud, antara lain meminta keberhasilan, memohon perlindungan dan juga berupa
ucapan syukur. 2] Ritus Toto Urat (memperlihatkan usus hewan) yakni
sebuah upacara untuk membaca tanda-tanda alam, khususnya berkaitan dengan nasib
di masa depan, dengan melihat bentuk urat ayam, babi ataupun kerbau, tergantung
bahan korban yang disiapkan dan maksud diadakannya ritus itu. Usai toto urat
sebagian bahan persembahan disebarkan ke berbagai tempat yang disebut wecak
helang dan sebagian lagi disimpan di piring kecil bersama dengan secangkir
tuak.
Roh alam dan roh leluhur juga sering disebut naga
golo, naga tana [roh kampung]. Naga golo ini diyakini memiliki peran
khusus yakni melindungi masyarakat Adak
komunal dari berbagai serangan, entah serangan fisik dalam peperangan maupun
serangan non fisik seperti penyakit, berbagai bentuk mbeko janto
(racun kiriman melalui ilmu hitam yang dimaksudkan sebagai aksi destruktif),
bencana alam dsb. Naga golo juga kerap dihubungkan dengan pelbagai
peristiwa yang menakjubkan, khususnya bila warga golo bersangkutan selamat dari
pelbagai bencana.
Kedua, kepercayaan akan adanya roh halus
berupa Darat Tana (Bidadari, peri) dan Poti (setan). Alam-dunia
dipercayai oleh Orang Manggarai sebagai yang memiliki roh. Mahkluk halus
seperti peri, bidadari yang disebut darat adalah mahkluk halus yang sering
menampakkan diri di mata air, sungai yang memiliki kolam besar dengan kedalaman
yang tinggi dan berdaya angker (tiwu leteng). Darat kerap dilihat sesekali pada saat matahari meninggi persis di
atas ubun-ubun atau sekitar jam 12 siang, pada kesempatan yang kerap tidak
diduga-duga dan merupakan pengalaman istimewa. Ada keyakinan bahwa darat biasa
membantu manusia dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu, misalnya memikul batu-batu
untuk Compang (altar persembahan). Di kampung Tenda-Riwu ataupun Ruteng
Pu’u terdapat compang yang dibuat dari batu-batu ceper besar yang
beratnya berton-ton. Menurut masyarakat yang mendiami wilayah-wilayah itu,
batu-batu besar itu berada di compang berkat bantuan darat yang didasarkan pada
perjanjian tertentu.
Selain
membantu manusia, darat juga dapat
memberikan malapetaka tertentu. Misalnya ada orang yang tiba-tiba hilang yang
biasa disebut wendo le darat yakni peristiwa darat membawa-lari
seseorang dan akan dikembalikan lagi jika ada ritus tertentu dibuat oleh ata
Pecing atau ata Mbeko. Ritus pemanggilan orang yang dibawa oleh darat
disebut benta. Ritus itu ditandai oleh pemukulan gendang dan gong.
Ada keyakinan bahwa bagi darat bunyi
gong dan gendang yang ditabuh di luar acara-acara adak merupakan bunyi guntur gemuruh dan halilintar yang menyambar-nyambar
mereka. Itulah sebabnya para darat membuat aksi pemulangan (podo kole)
orang yang mereka bawa itu. Menurut pengalaman Sirilus Rahu yang pernah dibawa
lari oleh darat dari wilayah Rana
Loba-Borong menuju Benteng Raja-Riwu, dia merasa kehilangan kesadaran, tidak
mampu melawan kekuatan yang membiusnya dan darat mengadakan penawaran nuru
[daging] Sirilus kepada poti (setan) yang berada di berbagai pong (hutan
rimba).[33] Ritus benta yang dibuat
dengan pertolongan ata Mbeko atau Tu’a adat membuat mereka
melepaskan orang bersangkutan.
Selain darat, ada mahkluk halus yang disebut poti
(setan). Poti merupakan kekuatan yang indifferent terhadap
manusia, tetapi pada saat tertentu ia berpengaruh juga khususnya poti yang
disebut jing da’at atau biasa disebut juga dengan poti wolo
(setan jahat). Jika manusia berpapasan dengan poti, maka manusia akan sakit dan
bahkan dapat juga meninggal dunia. Untuk menghindari bahaya yang lebih besar
dari kekuatan poti ini, ata Peci atau ata Mbeko membuat
ritus tertentu, misalnya upacara Sening di wilayah Manus, Manggarai
Timur.[34] Poti
juga dapat dipakai manusia yang memiliki kekuatan supranatural untuk
membawa malapetaka bagi orang lain. Di Manggarai ada istilah rasung
(racun) yang berhubungan dengan penggunaan kekuatan magis dan melibatkan poti
sebagai mediumnya. Aktus memberi rasung bisa dilakukan melalui pelbagai
materi alam misalnya: air, udara, cahaya, kayu, tanah, dsb. Benda-benda ini
akan membunuh manusia dengan cara yang irrasional dan tak tampak secara kasat
mata. Kehadiran ata Pecing dan ata Mbeko sangat penting untuk
menetralisir kekuatan magi hitam. Dalam banyak kasus, ata Mbeko selalu
berpihak pada korban, kecuali jika ada perhitungan bisnis antara yang
memberikan rasung dengan ata Mbeko.
Meskipun hal itu merupakan kekecualian, pada ghalibnya ata Mbeko hadir
sebagai pihak yang selalu menolong. Itulah sebabnya ada pembagian yang jelas
antara ata Mbeko dengan ata Janto (orang yang menggunakan
Mbeko-nya untuk tujuan destruktif).
Ketiga, benda dan ucapan magis (mbeko,
ceca, krenda, sungke).[35]
Mbeko berhubungan dengan benda-benda dan ucapan-ucapan mantra yang memiliki
daya magis. Ata Mbeko memiliki keduanya. Dalam melakukan aktus
penyembuhan ata Mbeko merapalkan beberapa mantra kemudian melakukan
gestikulasi tertentu lalu mengambil air (wae), garam (ci’e) atau
benda lain seperti akar kayu (wake haju), keris (kiris), medali (ceca)
lalu meletakkan benda-benda itu sesuai dengan maksudnya ke badan orang sakit.
Benda-benda dan mantra-mantra ini kerap berfungsi sebagai pelindung diri dan
masyarakat (pake weki) yang disebut jimak (azimat). Jimak memiliki
banyak wajah yang terungkap dalam benda-benda bertuah seperti batu akik, keris,
bandul, tanduk dan gigi binatang tertentu, emas, dsb.
Ada satu jenis mantra yang disebut Krenda. Krenda
adalah mantra-mantra tertentu yang diucapkan oleh orang Manggarai pada
saat-saat khusus dengan tujuan untuk membebaskan pengucapnya dari rasa takut
dan tertekan oleh situasi atau peristiwa tertentu. Misalnya jika seseorang dipanggil
oleh Kraeng Raja maka supaya tidak salah dalam berkata-kata krenda
toe rantang dirapal kemudian terjadilah percakapan dengan raja sebagai
sebuah dialog yang akrab. Seperti diakui banyak pihak krenda bukanlah
bagian dari Mbeko.[36]
Sebab krenda dapat diucapkan oleh siapa saja meskipun asal krenda dari ata Mbeko. Walaupun demikian, krenda
tetap diyakini sebagai mantra yang manjur dan berdaya magis, namun menjadi
mantra popular masyarakat kebanyakan.
Keempat, Mori
Keraeng: Pencipta, Pemelihara dan Pemilik Segala Sesuatu. Hingga saat ini
bagian terbesar populasi penduduk yang mendiami tanah Manggarai beragama
Katolik. Menurut Robert Mirsel,
jumlahnya hampir sebanyak 95 % orang Manggarai menganut agama Katolik.[37]
Meskipun demikian, kepercayaan akan adanya Yang Ilahi yang mengatasi segala
kekuatan yang ada (roh alam, roh leluhur, kemampuan supranatural, dsb.) dan
menjadi sumber, asal dan tujuan segala sesuatu bukanlah semata-mata karena
ajaran iman Katolik. Sejak zaman lampau Orang Manggarai percaya akan adanya
Allah yang diungkapan melalui paralelisme: Morin agu Ngaran, Jari agu Dedek,
Parn awo-kolepn sale, tanan wa-awangn eta.[38]
Dalam pemahaman asli Manggarai terminologi iman dalam
kosa kata agama formal sinonim dengan imbi (percaya).[39]
Terminologi ini secara eksplisit menggambarkan relasi antara seseorang atau
sekelompok orang dengan yang lain. Relasi ni terbentuk karena rasa saling
percaya. Karena itu, imbi dipahami sebagai suatu sikap percaya kepada
sesuatu yang lain, baik orang-pribadi, kelompok maupun kekuatan lain. Dalam
konteks religius, terminologi yang sama menggambarkan sikap dan keterarahan
hati manusia kepada Wujud Tertinggi dalam agama primal mereka.[40]
Bagi orang Manggarai, kehadiran Mori
Keraeng memiliki arti yang sangat besar. Mori Keraeng adalah Tuhan
bagi manusia dengan segala kenyataannya. Ia menciptakan, menjaga, memelihara
kehidupan dan menjamin “mose tedeng len” kehidupan kekal di keabadian (eternal
life). Dari manusia dituntut kesetiaan untuk mengikuti kehendakNya, menjaga
relasi yang harmonis dengan diri sendiri, sesama dan lingkungan.
Mori Keraeng adalah Tuhan yang
hidup. Karena itu, menyadari segala kerapuhan dan kelemahannya, manusia mesti
memiliki intensionalitas batin, pikiran, perkataan dan perbuatan kepadaNya. Sikap
inilah yang membuat orang Manggarai yakin bahwa Mori Jari-Dedek hadir
aktual, di sini, saat ini (hic et nunc) dalam diri orang-orang yang
berbuat baik. Kerap ada ucapan, “Tuhan ada padamu” (One ite nai de Morin)
bila ada yang cara hidupnya baik. Dapat disimpulkan bahwa kepercayaan orang
Manggarai dalam kesatuannya dengan kosmis berkiblat pada animisme, dinamisme,
fetisisme dan totemisme yang bercampur dengan ide tentang Yang Ilahi yang
mereka sebut sebagai Morin agu Ngaran, Mori Jari Dedek, atau pada zaman
modern disingkat dengan Mori Keraeng.
VI.
YESUS KRISTUS: SEBUAH PENCARIAN KETERKAITAN WUJUD
TERTINGGI ORANG MANGGARAI DAN KHARISMA KARMEL
6.1.
Panggilan
Karmel: Mengikuti Yesus, Mengakui Eksistensi Allah dan
Mengalami bahwa Ia sungguh Hidup Dan
Terlibat
Kita sudah melihat uraian tentang Wujud Tertinggi orang
Manggarai. Menelusuri jejak Allah dalam iman dan kepercayaan primal orang
Manggarai, satu kenyataan yang bisa ditemukan dalam rumusan “doktrinal iman”
mereka ialah bahwa Mori agu Ngaran, Mori Jari Dedek, Mori Keraeng
dengan berbagai sebutan tidak memiliki putera (anak). Yesus Kristus, (Tuhan,
Putera Allah) adalah jalan baru yang bisa ditawarkan oleh Gereja kepada orang
Manggarai. Sebab Yesus, tidak hanya sekedar Anak Allah tetapi terutama Dia telah
menginkardinasikan diriNya dengan kehidupan manusia. Ini kekhasan iman Katolik
yang tidak bisa ditemukan dalam agama manapun di dunia ini, termasuk
kepercayaan akan Wujud Tertinggi dalam agama primal orang Manggarai. Inilah
jalan yang bisa menjadi sebuah “uma cumang tau” (lahan yang
mempertemukan) ajaran Kristiani-iman primal orang Manggarai. Sedangkan hal-hal
yang tidak sulit dipertemukan ialah gagasan tentang “ketunggalan” Allah.
Meskipun “Yang Ilahi” orang Manggarai disebut dengan gaya parallelisme, Mori
Keraeng tetaplah satu pribadi (monotheismus). Lalu bagaimana bisa
dihubungkan dengan kharisma dan spiritualitas Karmel?
St. Albertus, dalam Prolog Regula, menulis,
“Berulang kali dan dalam pelbagai cara para Bapa Suci
menentukan bagaimana setiap orang, dalam serikat manapun ia hidup atau cara
hidup apapun yang dipilihnya, harus hidup taat kepada Yesus Kristus dan setia
mengabdiNya dengan hati yang suci dan hati nurani yang murni”.[41]
Menurut
refleksi saya, pernyataan ini pada gilirannya bermuara pada suatu komitmen
untuk mengikuti Yesus, karena pada hakekatnya kita dipanggil untuk mengikuti
Allah dan mengambil bagian dalam persekutuan Trinitas.[42]
Persatuan dengan Allah merupakan arah dan tujuan hidup
setiap Karmelit. Persatuan itu kerap disebut “pengalaman kontemplasi” yang
digambarkan Konstitusi sbb:
Kontemplasi adalah perjalanan batin
para Karmelit, yang timbul karena prakarsa bebas Allah. Pengalaman itu
menyentuh dan mengubah kita. Pengalaman kontemplasi membimbing kita kepada
persatuan denganNya yang dialami dalam cinta, mengangkat kita sehingga kita
dapat menikmati cintaNya yang diberikanNya dengan cuma-cuma serta hidup di
hadiratNya dengan penuh cinta. Kontemplasi merupakan suatu pengalaman akan
cinta Allah. Pengalaman itu begitu kuat sehingga memiliki daya yang mengubah.
Cinta yang sama memiliki kekuatan untuk mengosongkan pola pikir, cinta dan
perilaku manusiawi kita yang terbatas dan tak sempurna, pada gilirannya
mengubahnya menjadi ilahi.[43]
Persatuan dalam cinta dengan Allah! Sebuah pernyataan
yang menjadi muara dari kontemplasi. Namun untuk sampai pada kontemplasi ini,
ada ‘jembatan” (letang-temba) yang coba dibangun sebagai “alat bantu”,
yakni berupa tiga kharisma dasariah: doa,[44]
persaudaraan[45]
dan pelayanan[46].
Pertanyaan yang perlu diajukan kepada kita ialah: 1]
Apakah kita sungguh mengalami bahwa Allah hidup dalam doa-doa kita? Apakah
doa-doa dan relasi yang kita bangun dengan sama saudara, merupakan ekspresi
dari “itimitas” dengan Allah? Apakah pelayanan yang kita berikan merupakan
“suatu kesadaran” akan kehadiran Allah yang ada dalam diri sesama, yang
membutuhkan uluran tangan kita? 2] Jika Allah sungguh-sungguh terlibat dalam
Doa, Persaudaraan dan pelayanan kita, perlu dipertanyakan: Allah macam manakah
yang kita imani? <Sifat Allah yang dominan: mencipta, menyembuhkan,
memelihara, menguasai, melayani, memaafkan, mencintai, dsb?> Model-model
kualitas dominan yang kita hayati sangat mempengaruhi cara hidup, pola pikir
serta tutur kata kita. 3] Dari pengalaman orang Manggarai akan kehadiran Allah
yang hidup dan terlibat dalam kenyataan historis, aktual dan masa depan, kita
menemukan suatu keyakinan bahwa keharmonisan hidup merupakan pilihan yang tak
terelakkan. Muncul pertanyaan: Ketika situasi menjadi disharmonis karena ke-chaos-an,
mampukah kita, sebagai orang yang percaya bahwa Allah hidup dan terlibat dalam
diri kita, menjadi pribadi yang memberikan keyakinan bahwa Ia sungguh ada dalam
diri kita?
6.2.
Peran
Mediasi Karmelit di Tengah Dunia: Ata Pecing (Penafsir)
versus para Karmelit.
Para Karmelit adalah murid Kristus, yang telah dipilih
dan kemudian diutusNya ke tengah dunia. Kita menjadi seperti Petrus,
mengantarai Kerajaan Surga dengan dunia. Dalam kepercayaan agama primal
Manggarai, “Ata Pecing” memiliki peran sangat penting. Merekalah yang
menyampaikan kehendak Mori Keraeng kepada anak-anakNya. Dalam diri
mereka ada kekuatan yang diasalkan pada kekuatan Mori Keraeng. Mereka
memiliki kemampuan untuk menyembuhkan, memohon sesuatu untuk masyarakat adak-komunal,
menjadi mediator bila terjadi kesalahan publik masyakat adak. Dia
menjadi perantara antara Mori agu Ngaran, Jari Dedek. Masyarakat yakin
akan kemampuannya yang diperoleh karena relasi khusus dengan Yang Ilahi.
Para Karmelit adalah kaum religius. Kata “religius”
mengandung makna kedekatan dengan Allah. Imam, Bruder dan Frater adalah
“orang-nya Allah” (man of God, ata de Morin), “dekat dengan Allah” (ruis
agu Morin) dan bahkan “Alter Christi”. Benarkah kita sudah hidup
seperti itu?
Membaca Berita Karmel, saya terkesan dengan
tulisan konfrater kita, Rm. Krisna Aji O.Carm yang memberikan catatan tanggapan
atas Pertemuan Karmelit Muda. Rm. Krisna menulis begini:
Saya ingin bertanya kepada Anda, kita semua. Apakah yang
saudara usulkan sebagai usulan brilian, misalnya: tentang hidup doa, ini
merupakan usulan yang masih angan-angan atau usulan yang memang Saudara hidupi?
Keduanya membawa hasil, akibat yang berbeda. Kalau usulan saudara masih
terbatas pada angan-angan; saya ingin seorang Karmelit itu dalam hidup doa
begini dan bukan begitu, maka kalau usulan saudara dijadikan keputusan dalam
Kapitel, berlaku untuk semua, tidak akan jalan. Begitu diputuskan kita semua
bingung. Berbeda kalau usulan brilian Saudara berasal dari hidup
saudara-saudara maka bila diumumkan langsung ditanggapi. Mengapa? Karena hidup
doa merupakan hidupnya. Melakukan dengan lebih mantap apa yang sudah
dilakukan, dihidupi…hidup doa kita jadikan hidup sehari-hari…dalam hidup
persaudaraan melatih untuk menjadikan hidup Yesus Kristus sendiri sebagai hidup
kita. Mencintai dalam wujud mengampuni….melatih diri menjadi miskin. Kalau
minus-mata bertambah, berani hanya mengganti lensanya saja, frame-nya
tetap….[47]
Dengan kata lain, saya ingin mengatakan
bahwa kita perlu bertanya kepada diri sendiri: “apakah yang kita ajarkan selama
ini baik kepada para frater maupun umat Allah, sesuatu yang keluar dari
penghayatan iman pribadi ataukah masih dalam tataran angan-angan, konsep dan
cita-cita?” Kalau itu terjadi maka ajaran kita tidak berwibawa dan tidak dapat
dipercayai dan dijadikan pegangan. Yang dibutuhkan pada zaman ini ialah
keteladanan, bukan banyaknya kata-kata. Karena itu jika ada yang “menantang”
dengan pemikiran alternatif, kita hendaknya tidak terlalu cepat untuk menjadi
berang, apalagi emosional. Terimalah itu dengan rendah hati sebagai sebuah
koreksi yang konstruktif.
Sebagai religius-Karmelit, hidup kita adalah
keseharian dalam usaha mencari Allah dan upaya ditemukan Allah. Dari perjalanan
sejarah Ordo kita melihat perjalanan panjang pergumulan itu. Konstitusi
menulis, “…kontemplasi juga mempunyai nilai injili dan gerejawi. Praksisnya
bukan hanya sumber hidup rohani kita, melainkan juga menentukan mutu hidup
persaudaraan dan pelayanan kita di tengah umat Allah”.[48]
Hal ini berarti bahwa kontemplasi harus mempunyai buah, yakni cinta kasih dalam
pelayanan dan hidup bersaudara dengan sesama manusia.[49]
Hidup yang telah ditransfomasikan kepada cara hidup Yesus sendiri adalah inti
dari peziarahan sebagai Karmelit.
Pertanyaan untuk kita: 1] Sejauh mana kita
telah menampakkan sikap transformatif itu dalam hidup pelayanan kita, sehingga
orang-umat Allah sungguh yakin bahwa kita adalah mediator, orang dekat Allah,
murid Kristus? 2] Dalam kenyataan dunia yang penuh kegelisahan ini, mampukah
kita hadir sebagai “pengantara” yang memberikan jalan keluar terbaik bagi
persoalan yang ada seturut kompetensi kita sebagai kaum religius?
VII.
CATATAN PENUTUP (TURUNG CEMOL)
Hingga saat ini kita dijejali dengan konsep
Wujud Tertinggi orang Manggarai yang memandang Mori Keraeng sebagai
Wujud Tertinggi yang sungguh hidup, ada dan terlibat dalam keseharian hidup
mereka. Dalam ‘imbi’ orang Manggarai hidup dan berjalan mencapai
persatuan denganNya.
Pada uraian selanjutnya, saya coba menarik
“benang merah” sebagai usaha mencari keterkaitan antara spiritualitas Kristen,
khususnya Kharisma Karmel dan Wujud Tertinggi. Persatuan dengan Allah dalam
Kontemplasi yang bermuara dalam kehidupan real (praksis) adalah buah terindah
dari hidup yang telah ditransformasikan ke dalam hidup Allah sendiri.
Dari upaya penggalian religisitas orang
Manggarai, menjadi jelas bagi kita bahwa, kesadaran akan adanya Allah dan
intensionalitas yang diarahkan kepadaNya adalah jalan iman. Iman yang sama
hanya dapat dipertahankan jika direalisasikan dalam kehidupan konkret.
Spiritulaitas hidup rohani akan menjadi nirmakna tatkala ada kesenjangan antara
teori dan aplikasi penghayatan praktis.
***
REFERENSI
DOKUMEN:
Ordo Karmel, Regula
St. Albertus.
_________, Konstitusi
Ordo Karmel. Roma: Kuria Jenderal Ordo
Karmel, 1995.
RIVC, Pembinaan
Karmelit Suatu Perjalanan Transformasi. Roma:
Kuria Jenderal Ordo
Karmel 2000.
BUKU-BUKU:
Daeng. Hans, Antropologi
Budaya [Ende: Nusa Indah, 2004
Distar. Nico Syukur,
Pengalaman Dan Motivasi Beragama. Jakarta:Lapennas, 1982
Eliade. Mircea, Patterns
in Comparative Religion. London-New York, 1958.
_________, The
Sacret and the Profane. New York, 1961
_________, Myths,
Dreams and Misteries: The encounter between
contemporary faiths
and archaic realities. New York, 1967.
_________, Myth
and Reality. London: George Allen & Unwin LTD, 1964.
_________, Images
and Symbols, Studies in Religious Symbolism.
New York: A Search
Book, Sheed & Ward, 1969.
_________, The
Two and The One. London: Harvill Press, 1965.
Hamersma. Harry, Tokoh-Tokoh
Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1984.
Hemo. Dorotheus, Ungkapan
Bahasa Daerah Manggarai Provinsi NTT. Ruteng: 1990.
Kirchberger. Georg, Allah:
Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi Kristen. Maumere: LPBAJ, 2000.
Mirsel.
Robert dan Eman J. Embu [eds.], Gugat Darah Petani Kopi Manggarai. Maumere:
Ledalero, 2005.
Sumaryono. E., Hermeneutika
Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Toda. Damian N., Manggarai
Mencari Pencerahan Historiografi.
Ende: Nusa Indah,
1999.
Verheijen. A. Jilis,
Manggarai Dan Wujud Tertinggi. Jakarta: LIPI-
Uthctrect-RUL, 1990.
Yassin. H.B., Chairul
Anwar Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Gunung Agung, 1985.
ARTIKEL dan
MANUSKRIP:
Aji. Krisna O.Carm,
“Menggelitiki Karmelit Muda” dalam: Berita
Karmel, No. 259-Juli 1999.
Buku Nyanyian Dere
Serani.
Sekpas Keuskupan Ruteng, 1980.
Decky. Kanisius
Teobald, “Konsep Tentang Wujud Tertinggi Pada
Suku Manggarai Dan
Teori Kulturkreiselehre Menurut
Wilhelm Schmitd”, Paper
Kuliah Antropologi Budaya. STFK
Ledalero, 1998.
_________“Sejenak di
Padang Gurun” dalam: Berita Karmel, No. 239, November 1998.
Ivan Haryanto, et.
al., “Agama Asli Manggarai”, sebuah studi yang dipresentasikan dalam: Paper
Kuliah Perbandingan Agama, di Ledalero 16 Desember 2003.
Leteng. Hubert Pr,
“Percikan Kristiani Dalam Doa-doa Asli
Manggarai”, Skripsi.
STFK Ledalero, 1985.
Stark dan Glock dalam
karya mereka, “Dimension of Religious
Commitment”, dalam:
Roland Roberson [ed.], Sociology of
Religion. Baltimore: Penguin
Books, 1971.
Verheijen. Jillis
A., “Manggarai Text IV”, Stensilan. Ruteng:
Regio SVD Ruteng,
1978.
[1] Pengajar pada Lembaga Studi-studi
Indonesia dan Pasifik, Universitas Hamburg-Jerman.
[2] Dami N. Toda, Manggarai Mencari
Pencerahan Historiografi (Ende: Nusa Indah, 1999), pp. 34-44.
[3] Dami N. Toda mengambil contoh
tentang penulisan sejarah penjajahan Manggarai oleh Bima, Goa dan akhirnya
Belanda terkait dengan pemanipulasian data geografis yang menguntungkan kaum penjajah.
Dami N. Toda, Ibid.
[4] E. Sumaryono, Hermeneutika
Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1993), p. 83.
[5] Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh
Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1984), p. 103.
[6] Bdk. H.B. Yassin, Chairul Anwar
Pelopor Angkatan 45 [Jakarta: Gunung Agung, 1985], pp. 82-129.
[7] RIVC 2000, 19:a dan c.
[8] Studi ini mulanya merupakan sebuah
usaha untuk melihat “kedekatan” antara budaya asli, khususnya Wujud Tertinggi
dan Religiositas orang Manggarai dengan Spiritualitas Karmel. Bahan ini pernah
dipresentasi di Riangkemie-Flores Timur, 11 Oktober 2004, untuk retret para
Karmelit yang sudah berkaul kekal, kemudian diperluas.
[9] Bdk. Georg Kirchberger, Allah:
Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi Kristen (Maumere: LPBAJ, 2000),
p. 15.
[10] Penjelasan lebih jauh Bdk. Mircea
Eliade, Patterns in Comparative Religion (London-New York, 1958), The
Sacret and the Profane (New York, 1961), Myths, Dreams and Misteries:
The encounter between contemporary faiths and archaic realities (New York,
1967).
[11] Hiero-fani berarti
penampakkan “Yang kudus”. Kata Yunani: Hieros berarti “kudus, suci,
sacral” dan “Fani” berasal dari kata “phainomai” yang berarti:
“penampakkan diri”. Bdk. Nico Syukur Distar, Pengalaman Dan Motivasi
Beragama (Jakarta: Lapenas, 1982), p. 31.
[12] Georg Kirchberger, Op. Cit.,
pp. 15-28.
[13] Kanisius Teobald. Deki, “Konsep
Tentang Wujud Tertinggi Pada Suku Manggarai Dan Teori Kulturkreiselehre Menurut
Wilhelm Schmith”, Paper Kuliah Antropologi Budaya (STFK Ledalero, 1998),
pp. 13-15.
[14] Bdk. Hans Daeng, Antropologi
Budaya (Ende: Nusa Indah, 2004), pp.74-75.
[15] Dalam menggarap bagian ini, saya
mengikuti alur pemikiran yang dibuat oleh Stark dan Glock dalam karya mereka,
“Dimension of Religious Commitment”, dalam: Roland Roberson [ed.], Sociology
of Religion (Baltimore: Penguin Books, 1971), pp. 256-257.
[16] Ivan Haryanto, et. al., “Agama Asli
Manggarai”, sebuah studi yang dipresentasikan dalam: Paper Kuliah
Perbandingan Agama, di Ledalero 25 November 2003, p. 3.
[17] A. Jilis Verheijen, Manggarai
Dan Wujud Tertinggi (Jakarta: LIPI-Uthctrect-RUL, 1990), pp. 34-54.
[18] Menurut penelitian Verheijen, kata
“Keraeng” dapat dipastikan sebagai istilah serapan dari bahasa Makasar yang
memiliki pengaruh terhadap bahasa Manggarai. Tetapi kalau kata “keraeng”
terpisah tanpa kata “mori” tidak bisa dirujuk kepada Wujud Tertinggi.
Verheijen, Ibid, p. 37.
[19] Lihat, Buku Nyanyian Dere Serani
(Sekpas Keuskupan Ruteng, 1980).
[20] Wawancara dengan Bapak Agustinus
palu Barut dibuat tanggal 11 Agustus 2004, di Tenda-Ruteng.
[21] Bdk. Kanisius Teobald Decky, Op.
Cit., pp. 6-9.
[22] Ivan Haryanto, et. al. Op. Cit.,
p. 5.
[23] Sebuah buku yang secara khusus
menguraikan “Go’et” dihimpun oleh Dorotheus Hemo. Dorotheus Hemo, Ungkapan
Bahasa Daerah Manggarai Provinsi NTT (Ruteng: 1990).
[24] Dorotheus Hemo, Ibid., pp.
10-11.
[25] Dorotheus Hemo, Ibid., pp.
78-79.
[26] Bdk. Mircea Eliade, Myth and
Reality [London: George Allen & Unwin LTD, 1964], pp. 5-6. Baca juga
karya Eliade yang lain: Images and Symbols, Studies in Religious Symbolism
[New York: A Search Book, Sheed & Ward, 1969], The Two and The One
[London: Harvill Press, 1965].
[27] Bdk. Verheijen, Op. Cit.,
pp. 173-178.
[28] Bdk. Verheijen, Ibid., pp.
245-286.
[29] Hubert Leteng Pr, “Percikan
Kristiani Dalai Doa-doa Asli Manggarai”, Skripsi (STFK Ledalero, 1985).
Bdk. Ivan Haryanto, et. al., Op. Cit. pp. 5-6.
[30] Georg Kirchberger, Op. Cit.
p. 15.
[31] Saya lebih suka menyebut “Mori”
[Tuhan] sebagai nama umum untuk menyatukan berbagai nama, gelar dan sebutan
untuk Tuhan, baik yang berupa sapaan singkat maupun sapaan resmi dalam berbagai
upacara dan ritus. Pada bagian berikut saya akan jelaskan tentang berbagai
sebutan atau gelar itu.
[32]
Bdk. Koentjaraningrat, Pengantar
Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), p. 193.
[33] Wawancara dengan Sirilus Rahu pada
tanggal 10 Agustus 2004 di Borong. Sirilus pernah mengalami peristiwa wendo
le darat pada tahun 2000.
[34] Untuk mengetahui lebih jelas
tentang upacara ini bdk. Ndoi Fransiskus, “Sening: Upacara Penyembuhan Orang
Sakit dalam Masyarakat Manus”. Praskripsi (Maumere: STFK Ledalero,
1977).
[35] Jillis A. Verheijen, Manggarai Text
IV, Stensilan (Ruteng: Regio SVD Ruteng, 1978), pp. 338-369, 373-375.
[36] Wawancara dengan Wilhelm Wagut, 78
tahun, warga Gendang Ruteng, kecamatan Langke Rembong, tanggal 22 Februari
2005.
[37] Robert Mirsel dan Eman J. Embu
[eds.], Gugat Darah Petani Kopi (Maumere: Ledalero, 2005), p. 33.
[38] Jillis A. Verheijen, Manggarai dan Wujud Tertinggi, Op.
Cit., pp. 34-35.
[39] Ivan Haryanto, et. al., Op. Cit.,
p. 3.
[40] Kanisius Teobald Decky, Wujud Tertinggi
Agama Primal Mengais Makna Ilahi Orang Manggarai dan Lio (Maumere: Pusat
Studi Spiritualitas Karmel, 2004), pp. 24-25.
[41] Regula, 2.
[42] Bdk. RIVC 2000, 1.
[43] Bdk. Konstitusi, 17.
[44] Konstitusi, 16-18.
[45] Konstitusi, 19-20.
[46] Konstitusi, 21-24.
[47] Bdk. Krisna O.Carm, “Menggelitiki
Karmelit Muda” dalam: Berita Karmel, No. 259-Juli 1999, pp. 11-12.
[48] Konstitusi, 18.
[49] Bdk. Kanisius Teobald Decky,
“Sejenak di Padang Gurun” dalam: Berita Karmel, No. 239, November 1998.