Monday, 28 March 2016

Melawan Pemiskinan Rentenir Berwajah “Koperasi” - Catatan Reflektif RAT XV Kopkardios



Kanisius Teobaldus Deki
Sekretaris Pengurus Kopkardios, Dosen STKIP St. Paulus



Tatkala membaca berita media ini (Flores Pos) bulan Januari-April setiap tahun, tentang pelaksanaan Rapat Anggota Tahunan (RAT) Koperasi Kredit (Kopdit) di NTT, ada dua kesan yang mendalam. Pertama, berita itu menghadirkan harapan akan perbaikan ekonomi masyarakat. Kopdit menjadi salah lembaga keuangan yang dalam banyak hal membantu masyarakat kelas bawah. Selain itu, yang kedua, ada ironi dalam kenyataan ini. Provinsi yang menjadikan Kopdit sebagai salah satu jargonnya belum juga maksimal mengentaskan kemiskinan secara total. Hingga Maret 2015, penduduk Nusa Tenggara Timur  yang miskin sebanyak 1.159,84 ribu orang (22,61 persen). Jumlah ini meningkat 168 ribu orang bila dibandingkan pada September 2014 hanya berjumlah 991,88 ribu orang atau 19.60 persen dari total penduduk (Antaranews, 16/09/2015).  Pertanyaan yang mengemuka dari kenyataan ini, seberapa besar peran Kopdit membantu pengentasan kemiskinan di wilayah ini? Pertanyaan ini menjadi sulit persis pada saat yang sama Kopdit dihadapkan dengan rentenir baru berwajah “koperasi harian”.
Artikel ini memperlihatkan kenyataan kontradiksi antara maksud baik hadirnya Kopdit dan hadirnya rentenir-rentenir dengan nama koperasi seraya berusaha menemukan jalan keluar terbaik.


Spirit Awal Kopdit
Awal mula, koperasi kredit (Kopdit) dimaksudkan untuk membantu orang miskin. Adalah wali kota Flammers Field-Jerman, Friedrich Wilhelm Raiffeisen berefleksi bagaimana menolong orang miskin. Raiffeisen merasa prihatin dan ingin menolong kaum miskin yang lapar dan telah di-PHK perusahaannya. Mula-mula ia mengundang orang-orang kaya untuk menggalang bantuan dan berhasil mengumpulkan uang dan roti, kemudian dibagikan kepada kaum miskin. Dalam perjalanan ditemukan ternyata derma tak memecahkan masalah kemiskinan. Kemiskinan datang dari cara berpikir yang keliru. Sikap hidup yang boros, bergantung pada pihak lain merupakan sebab lain kemiskinan.
Raiffeisen berpendapat bahwa kesulitan si miskin hanya dapat diatasi oleh orang miskin itu sendiri. Orang miskin harus mengumpulkan uang secara bersama-sama dan kemudian meminjamkan kepada sesama mereka juga. Pinjaman harus digunakan untuk tujuan yang produktif yang memberikan penghasilan. Jaminan pinjaman adalah watak para peminjam. Itulah cikal bakal dari kelahiran koperasi bernama Credit Union (CU) artinya, kumpulan orang-orang yang saling percaya. Motto yang menguat, “the poor helping the poor.”


Melawan Rentenir Berwajah Koperasi
Berlawanan dengan spirit awal Kopdit besutan Raiffesen, kehadiran “Koperasi Harian” sungguh meresahkan masyarakat. Bunga yang tinggi (20%-40%), sistem pelayanan yang beraroma kekerasan dan ancaman serta penyitaan adalah kenyataan yang sering dikeluhkan masyarakat pengguna (user). Dari sisi bunga pinjaman saja jelas kelihatan bahwa sistem keuangan semacam ini mencekik orang yang membutuhkan jasa keuangan mereka. Akibatnya, yang miskin tambah dipermiskin lagi dan menciptakan orang miskin baru melalui utang pinjaman yang sering sulit dibayar kembali.
Bagaimana mengatasi hal ini? Pertama, membangun kesadaran dalam diri peminjam bahwa sistem peminjaman uang semacam ini tidak wajar dalam bisnis keuangan yang standar. Selain itu, masyarakat tidak mudah terprovokasi ke dalam budaya instan untuk mendapatkan uang namun memperberat peminjam pada akhirnya. Dalam ranah inilah, peran Kopdit melaksanakan sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat sangat urgen.
Kedua, peran pemerintah daerah. Kehadiran Koperasi Harian ditengarai makin kuat karena ketidakjelian dinas perkoperasian melakukan pemantauan terhadap semua koperasi yang ada dalam wilayah pengawasannya. Sikap tegas dibutuhkan masyarakat sebagaimana dilakukan dinas perkoperasian kabupaten Manggarai Timur, menangkap staf dari salah satu Koperasi Harian yang sudah meresahkan warganya (Pos Kupang, 22/01/2015). Sikap tegas itu, melindungi masyarakat dari pemahaman yang keliru tentang usaha perkoperasian.
Ketiga, Kopdit berusaha terus menerus untuk menciptakan produk keuangan yang memudahkan anggota masyarakat demi menjawabi kebutuhan mereka. Sebagai missal, untuk memenuhi kebutuhan petani, dijawab dengan pemberian pinjaman musiman. Setelah mereka menuai hasil, pinjaman baru dapat dibayar dengan bunga yang rendah.

Usaha Kopkardios
Hingga di tahun buku ke-15, Kopkardios telah setia melayani anggota untuk memenuhi kebutuhannya. Kopdit ini telah berusaha memberikan bunga rendah  untuk menjembatani keterjaminan adanya uang yang cukup untuk anggota yang berjumlah 8.371 orang. Dengan jumlah anggota terbanyak datang dari kalangan petani, nelayan, tukang dan ibu rumah tangga (62%) menyodorkan bukti bahwa Kopkardios berusaha dengan segenap hati memproteksi kelompok yang rentan terhadap rentenir.
Produk pinjaman musiman yang diberikan kepada petani dan nelayan menjadi salah satu andalan Kopkardios dalam melayani anggotanya. Selain itu, kerja sama dengan para pihak seperti Asosiasi Petani Kopi Manggarai (Asnikom) menjadi jalan lapang untuk membebaskan kelompok rentan ini dari para rentenir di level pertama. Dengan sebaran anggotanya yang hampir merata di desa-desa tiga wilayah kabupaten Manggarai Raya, Kopkardios melayani masyarakat yang jauh dari lembaga financial lain. Sebuah kesetiaan dan pilihan dasar (optio fundamentalis) untuk membantu masyarakat bebas dari belenggu rentenir yang masih membayangi kelompok rentan.*** 

(Dipublikasikan pertama oleh HU Flores Pos, 18 Maret 2016).

Saturday, 19 March 2016

Tidak Menemukan Timah, Lalu Mission Sacra - Menyusuri Kehadiran Belanda di Manggarai



Kanisius Teobaldus Deki
Dosen STKIP St. Paulus

Apa yang melatari kedatangan Belanda ke bumi Nusa Lale di awal abad ke-20? Itulah pertanyaan penting setiap kali bersua muka dengan usaha pencarian alasan logis-rasional tentang kehadiran kolonialisme Belanda di Manggarai. Terdapat sebuah kesangsian metodis (dubium methodicum) tentang keberadaan Belanda di bumi Flores, yang pada zaman itu, harus diakui secara ekonomis tentu kurang menguntungkan Belanda.
Kajian historis ini dimaksudkan untuk melihat hubungan antara kedatangan Belanda dan kristianitas yang berkembang pesat di Flores, khususnya di Manggarai.

Ekspedisi Belanda ke Manggarai
Secara historis pada bulan Oktober 1906, Covreur memulai perjalanan ekpedisi pertama ke arah Flores Barat lewat laut menuju Keo (Tonggo). Menurut catatan Toda (1999:307), perjalanan menuju Keo gagal karena ada ancaman dari penduduk setempat. Perjalanan lalu diarahkan ke Aimere dan Borong. Pada bulan November di tahun yang sama, perjalanan dijalankan bersama seorang Manggarai, yang dalam kisahan lisan di Todo-Pongkor dikenal dengan nama “Dalu Beo”. Sebagai laporan awal, utusan Belanda itu kembali ke Kupang Januari 1907. Sekembalinya mereka dari Kupang, dijalankan “Operasi Flores Pedalaman” pada Oktober 1907.
Pada 13 Oktober 2007, pasukan elit marsose Christofel melakukan ekspedisi ke arah Manggarai dengan kekuatan 5 brigade (sekitar 120 personil). Di Borong Belanda diterima dengan suatu sikap waspada. Pertempuran penolakan tidak terjadi. Malah, Adak Todo-Pongkor yang datang mula-mula bermaksud menghadang pergerakkan Belanda akhirnya menyetujui perundingan dan tragisnya, Belanda berhasil menahan anak-anak  Kraeng Todo-Pongkor dan menjaminkan mereka sebagai tawanan yang diganti dengan penyitaan 300 pucuk bedil, mesiu, 100 kudang tunggangan terbaik.
Situasi ekspansi kekuasaan Belanda ke daerah Flores, sebenarnya tidak terlepas dari situasi global Belanda di negeri Hindia Belanda yang mulai terjepit di Sumatera dan Jawa sejak VOC mulai kehilangan dayanya tahun 1799. Hal itu diperkuat oleh usaha Belanda memperkokoh kekuasaannya di wilayah-wilayah yang belum disentuhnya, sekaligus untuk tetap memperlihatkan kedigdayaan kekuasaannya, yang kenyataannya, mulai rapuh.

Belanda dan Penyebaran Agama
Sejak 1808, Gubernur Jenderal H.W. Daendles mendapat instruksi raja Louis Napoleon di Belanda untuk memberikan perlindungan kepada semua agama yang ada di Hindia Belanda (van Klinken, 2010:11,19). Sejak saat itu,  ada keleluasaan untuk memberikan kesempatan kepada agama Katolik untuk juga menyebarkan agama itu di daerah jajahannya, membatalkan perjanjian dengan Portugis tahun 1605.
Tahun 1595 Belanda  melakukan pelayaran untuk pertama kalinya. Pada 20 Maret 1602, pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan sejak saat itu juga secara tidak langsung Indonesia menjadi daerah jajahannya. Terdapat 305 tahun dari sejak VOC didirikan hingga kedatangan Belanda di Manggarai. Jika menghitung rentang waktu antara tahun 1799 hingga tahun 1907, terdapat 108 tahun Belanda baru mendatangi Manggarai. Menurut data Gereja Katolik Indonesia, pembaptisan perdana di Reok oleh P. Hendrikus Looijmans SJ pada 17 Mei 2012 dilihat sebagai titik awal dimulainya Gereja Katolik di Manggarai. Walaupun secara resmi baru Gereja Katolik dinyatakan berdiri pada 23 September 1920 (Bettray, 1974:1255).
Ada tiga hal yang dilakukan Belanda untuk memperkokoh kekristenan di Manggarai. Pertama, mendirikan sekolah-sekolah di berbagai penjuru Manggarai. Sekolah-sekolah ini mulanya didirikan sebagai bagian dari politik etis Belanda terhadap Negara jajahan, Hindia Belanda (Dakidae, 2003:67 ). Belanda sungguh melihat bahwa penguasa Manggarai jauh tertinggal dari banyak segi. Ketidakmampuan menjalankan roda pemerintahan seturut manajemen modern menyebabkan Belanda menyekolahkan calon raja ke sekolah formal.
Kedua, mendapuk raja Manggarai tahun 1926 juga dengan tujuan melenggangkan kekristenan di Manggarai. Menurut catatan Toda (1999:326), pengangkatan  Aleksander Baruk 13 November 1930 membuat Manggarai menjadi Zelfbestuur, pemerintah sah dan otonom. Hal ini  melangkaui dua Onderafdeeling Manggarai yang dulunya Onderafdeeling Manggarai Tengah-Selatan dan Timur yang dikuasai Todo-Pongkor dan Onderafdeeling Manggarai Utara dan Barat yang dikuasai oleh Perwakilan Bima Naib Reok Abdullah Daeng Mananja. Dengan jalan ini, Belanda secara langsung menghilangkan peran Naib Reo terhadap Manggarai Utara dan Barat. Kekuasaan politis yang telah menghilang itu melemahkan juga pergerakkan penyebaran Islam ke daerah-daerah pedalaman Manggarai.
Ketiga, prinsip Quius regio, Quius religio, Negara Belanda juga mendorong Gereja lokal di negerinya untuk mengirimkan misionaris di Nusa Tenggara (Sunda Kecil). Bahkan oleh karena terjadi perubahan peta politik di negeri Belanda, tahun 1929, para Imam yang bekerja di negeri Hindia Belanda mendapat gaji sebesar 400-450 gulden. Jumlah yang terbilang sangat besar untuk saat itu (Steenbrink, 2006:6-8).

Tantangan Gereja Katolik Awali
Apakah usaha Gereja untuk menyebarkan pengaruh kekristenan di Manggarai berjalan dengan mudah? Ternyata tidak. Walaupun sekolah-sekolah sudah dibangun dan banyak anak dibaptis melalui sekolah, ternyata penolakan terhadap kekristenan tetap muncul. Salah satu alasan mendasar penolakan itu ialah bahwa kekristenan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Belanda, yang merupakan penjajah. Apalagi setelah peristiwa Perang Kuwu dan Pengadilan terhadap petinggi Adak Todo Pongkor di Reok tahun 1910 yang menyebabkan mereka dipenjara dan dibawa ke tempat pembuangan.
Menurut Catatan Toda (1999:329), tersebutlah kisah pada waktu salah satu anak lelaki keluarga Kraeng Pongkor dikatolikkan melalui sekolah misi, bapaknya memarahinya, “Apa? Mengikuti agama musuh saya! Jadi, engkau mau menjadi musuh saya?” Tantangan itu datang dari kalangan pemuka masyarakat. Namun Belanda tak surut. Anak-anak para bangsawan inilah yang pertama-tama disekolahkan untuk kemudian menjadi pemimpin pemerintahan modern di Manggarai selama beberapa decade.
Belanda tetaplah colonial dari arti sebenarnya. Mereka datang mencari keuntungan material melalui perdagangan dan pertambangan. Namun sayangnya, khusus untuk Flores, ketika mereka ingin mendapatkan harta karun timah dan jenis logam lainnya, mereka tidak menjumpainya. Mereka malah dihimpit oleh politik etis untuk membangun pendidikan dan agama Kristen di pulau yang sudah lebih dahulu dikuasai oleh kaum muslim dari Bima dan Makasar. Bahkan mereka, melalui politik kekuasaan, meredam laju pertumbuhan muslim dengan menghilangkan peran penguasa perwakilan Bima di Reok. Sebuah sejarah yang bisa saja suatu saat berubah.***

Kekuasaan Yang Mengabdi Rakyat



Kanisius Teobaldus Deki
Dosen STKIP St. Paulus


Perhelatan demokrasi pemilu kada telah berakhir. Perjuangan untuk meraih kekuasaan dalam level pemimpin daerah kabupaten telah usai. Sebuah perjuangan yang tidak bisa dibilang mudah. Prosesi politik yang melelahkan dan menguras banyak hal. Perhatian, tenaga, financial, isu, strategi dan kedigdayaan multiaspek. Dari menerima kekalahan begitu saja sampai usaha untuk memperjuangkan kemenangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pola-pola dan isi berkampanye yang penuh dengan semangat pertarungan kini tinggal kenangan. Bahkan, segala bentuk caci maki yang sempat terucap serta sumpah serapah terhadap lawan kian senyap dari pendengaran. Yang ada kini hanyalah pertanyaan: mau dibawa ke mana kekuasaan yang telah diraih ini?  Serentak sebuah harapan: lahirnya politik kekuasaan yang diorientasikan pada pegabdian kemaslahatan masyarakat banyak. Kekuasaan yang mengabdi rakyak dan semesta!
Tanggal 17 Februari 2016 ada tujuh para kepala daerah kabupaten di provinsi kita dilantik di Kupang. Pelantikkan adalah sebuah moment pengumuman resmi serta pengabsahan kekuasaan yang dilimpahkan kepada mereka oleh proses demokrasi. Sekaligus sebuah gong titik mulai pengabdian kepada rakyat di daerahnya masing-masing.

Fakta Kemiskinan
Menengok angka statistic pembangunan NTT dari kaca mata nasional, hati kita selalu miris. Betapa tidak, kita selalu berada di angka akhir. Kesenjangan ekonomi, pendidikan dan kesehatan masih sangat tinggi.  Lihat saja Indeks Pembangunan Manusia provinsi NTT yang bertengger di angka 32 dari 34 provinsi di Indonesia. Data tahun 2015 memperlihatkan bahwa 66,40% tenaga kerja adalah tamatan SD. PDRB NTT berada di bawah PDB per kapita nasional. Rasio penggunaan APBD menunjukkan hampir 67% digunakan untuk belanja pegawai selebihnya belanja  barang dan jasa. Dari sisi tingkat kemiskinan, NTT berada di atas tingkat kemiskinan nasional.
Fakta berbasis statistic ini tidak harus membuat kita patah semangat. Fakta-fakta ini mestinya menjadi pemicu untuk memulai pembangunan NTT dengan cara yang objektif dan inovatif. Walaupun rentan dengan pelbagai kritikan tentang jargon-jargon pemerintah semisal: provinsi jagung, provinsi koperasi, provinsi sapi, ini kita makna sebagai sebuah usaha mencari bentuk yang pas untuk melawan kemiskinan yang mendera masyarakat NTT. Sebuah upaya untuk menemukan identitas ekonomi yang khas NTT dalam kemultian wilayahnya. Apalagi ketika memasuki era baru Masyarakat Ekonomi Asia yang terjangan persaingannya makin sengit dengan wajah pasar global. Dibutuhkan ketekadan yang kuat dan komitmen bersama dari semua elemen: masyarakat dan Negara secara bersamaan.

Kerja dan Program Strategis sebagai Fokus
Kekuasaan dalam alam demokrasi adalah sebuah proses yang dihasilkan oleh sebuah prosesi politik. Politik, dari asal kata Yunani “politikos” adalah proses pembentukkan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat. Di dalam kekuasaan ada ruang yang sangat luas untuk pembentukkan kebijakan (policy) yang mengatur kemaslahatan rakyat banyak. Kekuasaan memiliki legitimasi untuk melakukan perubahan-perubahan demi menciptakan kemajuan dan kesejahteraan rakyat banyak (bonum commune). Kekuasaan itu sebuah organum solutis populi, sebuah intrumen untuk keselamatan rakyat banyak (Pos Kupang, 16 Februari 2016).
Dalam suasana semarak pelantikkan, kiranya menjadi jelas bahwa ingatan akan peran strategis kekuasaan ini untuk mensejahterakan rakyat tidak tenggelam dalam aura ramah tamah kemenangan. Jikapun acara seperti itu dibuat, ia adalah ungkapan syukur untuk semua partisipasi public (rakyat) dan kepercayaan yang telah diberikan untuk mengabdi. Dalam aras yang sama, moment seperti itu adalah juga komitmen baru untuk memulai tugas yang telah diterima dari rakyat.
Di tengah-tengah keriuhan akan kegembiraan yang teramat sangat ini, ada dua hal yang harusnya menjadi kiblat para pemimpin daerah yang baru ini di NTT. Pertama, penciptaan program strategis yang berfokus pada peningkatan ekonomi produktif dan pembukaan sentra-sentra ekonomi serta lapangan kerja baru.  Di bidang kesehatan, penguatan kesadaran untuk berpola hidup sehat melalui inovasi lingkungan hidup yang bersih dan pelayanan kesehatan yang mudah dan bermutu. Di bidang pendidikan, perluasan pelayanan pendidikan yang disertai kemauan kuat menghasilkan pendidikan berkualitas. Pertanyaan mendasarnya adalah potensi apa di daerah yang dapat dikembangkan untuk menunjang kehidupan masyarakat dalam multi aspek kebutuhannya?
Kedua, kerja. Menarik bahwa setelah dilantik, Presiden Jokowidodo menyebut kabinetnya sebagai Kabinet Kerja. Hal yang sama juga menjadi imperative bagi kepala daerah terpilih di NTT. Kita tahu bahwa kinerja pejabat dan pegawai negeri kita belum maksimal. Masalah disiplin, profesionalisme, kemauan dan komitmen kerja masih rendah. Kerja dan kerja adalah pilihan untuk memajukan daerah NTT ini yang disertai semangat pelayanan yang tinggi kepada masyarakat. Belum lagi penguatan moralitas pegawai, hal mana selama ini kuat menggema.
Jika dua elemen ini menjadi fokus dari para kepala daerah yang baru, pengabdian kepada kebutuhan rakyat akan mudah terpenuhi. Tentu seraya menyadari bahwa keberhasilan pembangunan adalah capaian dari kerja bersama (net working) semua elemen (stake holder). Selamat membangun dengan kerja giat yang cerdas.***

Diterbitkan pertama oleh HU Pos Kupang, 18 Februari 2016

Belis, Kegelisahan yang Tak Teratasi?



Kanisius Teobaldus Deki
Dosen STKIP St. Paulus


Ada ironi dalam berita Pos Kupang, Minggu, 31 Januari 2016 tentang hubungan belis dan pendidikan yang tinggi. Dalam berita itu dijelaskan bahwa ada semacam kegelisahan yang menjerat para gadis yang hendak menikah tersebab  kenyataan seringkali pemberian belis dihubungkan dengan status sosial. Rumusannya, makin tinggi pendidikan atau status sosial seorang gadis, makin besar belis yang ditentukan. Rumusan semacam ini, walaupun tidak tertulis, sudah kerap terakui secara otomatis di masyarakat dan dipraktikkan seolah-olah sesuatu yang wajar (taken for granted).
Dari kenyataan ini, setidaknya, ada dua alasan yang juga menjadi pertanyaan. Pertama, apakah belis harus menjadi beban mahaberat yang harus dipikul oleh setiap pasangan yang akan menikah di NTT? Kedua, bagaimana membangun persepsi yang lebih seimbang tentang belis? Pada galibnya, belis tidak harus menjadi penghalang utama kebahagiaan pasangan suami istri yang hendak menikah dan membangun kehidupan rumah tangga mereka.
Dua pertanyaan ini terlahir dari begitu banyak peristiwa yang dimuat di media massa terkait belis dan dampaknya yang negative. Tulisan ini berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, seraya berharap, dengan jalan itu memberikan persepsi pencerahan kepada masyarakat.

Membangun Pemahaman
Apa sebenarnya yang menjadi nilai hakiki dari belis? Pertanyaan ini sangat esensial manakala kita berusaha memasuki area ontologi dari eksistensi belis yang sesungguhnya. Ada beberapa pokok pikiran tentang perlunya belis. Pertama, belis adalah simbol penghargaan terhadap  rahim. Hanya perempuan yang memiliki rahim. Karena itu, belis mengingatkan kita akan rahim dan perjuangan seorang perempuan yang menjadi ibu. Di beberapa tempat, diartikan sebagai penghargaan terhadap air susu ibu. Sebagai penghargaan, tentu tidak harus dinyatakan dengan materi tertentu, apalagi dengan jumlah yang fantastik, yang dihubungkan dengan status sosial. pasalnya, rahim dan air susu adalah aspek yang sama untuk semua wanita. Dalam alur gagas ini, praktik belis yang menegasikan rahim dan air susu sebagai identitas khas perempuan lalu menghubungkannya dengan status sosial adalah sebuah pemungkiran terhadap nilai belis itu sendiri.
Kedua, belis, dalam banyak literature, lebih sebagai bukti atau tanda bahwa kedua calon mempelai berada dalam satu ikatan. Ikatan itu juga secara sosial menyatukan dua keluarga besar (di Manggarai disebut woe nelu). Woe nelu adalah akibat. Sebagai tanda, belis hanyalah sebuah instrumen, alat bukti (yang berupa hewan, sejumlah uang dan barang berharga) tentang pengesahan sebuah proses perkawinan. Karena itu, tekanan yang menilai keabsahan perkawinan hanya sebatas jumlah instrumen (quantity focus) tadi bukanlah hal yang sangat esensial. Sebab, yang utama adalah cinta (quality focus) antara kedua mempelai yang akan mengarungi bahtera rumah tangga baru.
Ketiga, belis juga dilihat sebagai bentuk kesungguhan keluarga besar mendukung calon mempelai sekaligus tanda bahwa secara ekonomis, keluarga besar juga dapat membiayai kehidupan si anak gadis nantinya. Keterlibatan keluarga besar dalam membiayai sebuah perkawinan ada dalam ranah pembuktian cinta kasih dan ekspresi kegembiraan terhadap calon pengantin. Sebuah pemberian non investasi material yang tidak berdampak profit pula.

Otonomitas diri Perempuan
Sebagai seorang individu dalam kelompok sosial tertentu, perempuan terlimitasi oleh pelbagai kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan ini sering diterima begitu saja tanpa refleksi kritis. Bahkan kalau sang perempuan sudah memiliki pendidikan yang tinggi tidak menjamin ia bisa melawan situasi ini. Nah, inilah kekeliruan yang sangat fatal dan menyuburkan praktik belis yang menggelisahkan.
Menurut teori Pusat Kendali (locus of control: J.B. Rotter, 1954), ada dua macam tipe manusia, yaitu yang pusat kendalinya internal dan eksternal. Orang dengan Pusat Kendali Internal (PKI) percaya bahwa dirinya sendirilah yang menentukan apa yang akan terjadi dengan dirinya, bahkan lingkungan di sekitarnya pun bisa dia kendalikan sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan orang dengan Pusat Kendali Eksternal (PKE) jika terjadi sesuatu cenderung menyalahkan pihak lain, bukannya mengoreksi diri sendiri.
Merujuk pada teori itu, bukan saja pemurnian sistem patriarkat yang menjadi fokus pemurnian konsep sebagai pengendali eksternal, tetapi membangun konsep diri perempuan dan otonomitas dirinya dalam wujud pengendali internal. Perempuan adalah diri yang otonom (ens individuum), kendatipun ia adalah makluk sosial (ens sociale). Ia berhak menentukan dirinya, bukan hanya ditentukan (ascribed status). Ia berhak atas kebahagiaan hidupnya. Dialah yang mengatur proeses kebahagiaannya, termasuk ketika dia hendak menikah dalam menentukan belis.
Mengatasi kegelisahan ini, selain pemurnian pemahaman di atas, perlu pemilahan yang distingtif antara belis in se (sebagai bentuk penghargaan) dengan biaya pernikahan harus dibuat. Belis, sesuatu yang wajib, tanpa harus dengan harga nominal yang tinggi. Sedangkan pesta perkawinan dapat digelar sesuai kemampuan. Kiranya, meletakkan harga diri pada sebuah pesta  untuk menunjukkan status sosial, mesti disadari sebagai pemungkiran terhadap nilai hakiki perkawinan.
Orang tua dan keluarga besar adalah pihak yang membantu dalam aras cinta. Mereka adalah ‘tim sukses’ yang membuat perkawinan berhasil dan para pengantin memasuki gerbang rumah tangga dengan penuh kepercayaan diri dan kekuatan penuh. Tanpa harus gelisah dan penuh derai air mata kekecewaan.***

Diterbitkan pertama oleh: Harian Umum Pos Kupang, 11 Februari 2016.