Kanisius Teobaldus Deki
Sekretaris Pengurus Kopkardios,
Dosen STKIP St. Paulus
Tatkala membaca berita media ini (Flores Pos)
bulan Januari-April setiap tahun, tentang pelaksanaan Rapat Anggota Tahunan
(RAT) Koperasi Kredit (Kopdit) di NTT, ada dua kesan yang mendalam. Pertama, berita itu menghadirkan harapan
akan perbaikan ekonomi masyarakat. Kopdit menjadi salah lembaga keuangan yang
dalam banyak hal membantu masyarakat kelas bawah. Selain itu, yang kedua, ada ironi dalam kenyataan ini. Provinsi
yang menjadikan Kopdit sebagai salah satu jargonnya belum juga maksimal
mengentaskan kemiskinan secara total. Hingga Maret 2015, penduduk Nusa Tenggara
Timur yang miskin sebanyak 1.159,84 ribu
orang (22,61 persen). Jumlah ini meningkat 168 ribu orang bila dibandingkan
pada September 2014 hanya berjumlah 991,88 ribu orang atau 19.60 persen dari
total penduduk (Antaranews,
16/09/2015). Pertanyaan yang mengemuka
dari kenyataan ini, seberapa besar peran Kopdit membantu pengentasan kemiskinan
di wilayah ini? Pertanyaan ini menjadi sulit persis pada saat yang sama Kopdit
dihadapkan dengan rentenir baru berwajah “koperasi harian”.
Artikel ini memperlihatkan kenyataan
kontradiksi antara maksud baik hadirnya Kopdit dan hadirnya rentenir-rentenir
dengan nama koperasi seraya berusaha menemukan jalan keluar terbaik.
Spirit Awal Kopdit
Awal mula, koperasi kredit (Kopdit) dimaksudkan
untuk membantu orang miskin. Adalah wali kota Flammers Field-Jerman,
Friedrich Wilhelm Raiffeisen berefleksi bagaimana menolong orang miskin. Raiffeisen
merasa prihatin dan ingin menolong kaum miskin yang lapar dan telah di-PHK
perusahaannya. Mula-mula ia mengundang orang-orang kaya untuk menggalang
bantuan dan berhasil mengumpulkan uang dan roti, kemudian dibagikan kepada kaum
miskin. Dalam perjalanan ditemukan ternyata derma tak memecahkan masalah
kemiskinan. Kemiskinan datang dari cara berpikir yang keliru. Sikap hidup yang
boros, bergantung pada pihak lain merupakan sebab lain kemiskinan.
Raiffeisen
berpendapat bahwa kesulitan si miskin hanya dapat diatasi oleh orang miskin itu
sendiri. Orang miskin harus mengumpulkan uang secara bersama-sama dan kemudian
meminjamkan kepada sesama mereka juga. Pinjaman harus digunakan untuk tujuan
yang produktif yang memberikan penghasilan. Jaminan pinjaman adalah watak para
peminjam. Itulah cikal bakal dari kelahiran koperasi bernama Credit Union (CU) artinya, kumpulan
orang-orang yang saling percaya. Motto yang menguat, “the poor helping the
poor.”
Melawan Rentenir Berwajah Koperasi
Berlawanan
dengan spirit awal Kopdit besutan Raiffesen, kehadiran “Koperasi Harian”
sungguh meresahkan masyarakat. Bunga yang tinggi (20%-40%), sistem pelayanan
yang beraroma kekerasan dan ancaman serta penyitaan adalah kenyataan yang
sering dikeluhkan masyarakat pengguna (user).
Dari sisi bunga pinjaman saja jelas kelihatan bahwa sistem keuangan semacam ini
mencekik orang yang membutuhkan jasa keuangan mereka. Akibatnya, yang miskin
tambah dipermiskin lagi dan menciptakan orang miskin baru melalui utang
pinjaman yang sering sulit dibayar kembali.
Bagaimana
mengatasi hal ini? Pertama, membangun
kesadaran dalam diri peminjam bahwa sistem peminjaman uang semacam ini tidak
wajar dalam bisnis keuangan yang standar. Selain itu, masyarakat tidak mudah
terprovokasi ke dalam budaya instan untuk mendapatkan uang namun memperberat
peminjam pada akhirnya. Dalam ranah inilah, peran Kopdit melaksanakan sosialisasi
dan pendidikan kepada masyarakat sangat urgen.
Kedua, peran pemerintah daerah. Kehadiran
Koperasi Harian ditengarai makin kuat karena ketidakjelian dinas perkoperasian
melakukan pemantauan terhadap semua koperasi yang ada dalam wilayah
pengawasannya. Sikap tegas dibutuhkan masyarakat sebagaimana dilakukan dinas
perkoperasian kabupaten Manggarai Timur, menangkap staf dari salah satu
Koperasi Harian yang sudah meresahkan warganya (Pos Kupang, 22/01/2015). Sikap tegas itu, melindungi masyarakat
dari pemahaman yang keliru tentang usaha perkoperasian.
Ketiga, Kopdit berusaha terus menerus untuk
menciptakan produk keuangan yang memudahkan anggota masyarakat demi menjawabi
kebutuhan mereka. Sebagai missal, untuk memenuhi kebutuhan petani, dijawab
dengan pemberian pinjaman musiman. Setelah mereka menuai hasil, pinjaman baru
dapat dibayar dengan bunga yang rendah.
Usaha
Kopkardios
Hingga
di tahun buku ke-15, Kopkardios telah setia melayani anggota untuk memenuhi
kebutuhannya. Kopdit ini telah berusaha memberikan bunga rendah untuk menjembatani keterjaminan adanya uang
yang cukup untuk anggota yang berjumlah 8.371 orang. Dengan jumlah anggota
terbanyak datang dari kalangan petani, nelayan, tukang dan ibu rumah tangga
(62%) menyodorkan bukti bahwa Kopkardios berusaha dengan segenap hati
memproteksi kelompok yang rentan terhadap rentenir.
Produk
pinjaman musiman yang diberikan kepada petani dan nelayan menjadi salah satu
andalan Kopkardios dalam melayani anggotanya. Selain itu, kerja sama dengan
para pihak seperti Asosiasi Petani Kopi Manggarai (Asnikom) menjadi jalan lapang
untuk membebaskan kelompok rentan ini dari para rentenir di level pertama.
Dengan sebaran anggotanya yang hampir merata di desa-desa tiga wilayah
kabupaten Manggarai Raya, Kopkardios melayani masyarakat yang jauh dari lembaga
financial lain. Sebuah kesetiaan dan pilihan dasar (optio fundamentalis) untuk membantu masyarakat bebas dari belenggu
rentenir yang masih membayangi kelompok rentan.***
(Dipublikasikan pertama oleh HU Flores Pos, 18 Maret 2016).